empat

Berpuluh-puluh menit kuhabiskan terpekur memilih baju yang akan kugunakan keluar. Dari sekian banyaknya baju yang memenuhi lemari, bukan berarti aku sama sekali gak memiliki baju pergi.

Hanya saja, memutuskan mana yang cocok untuk digunakan adalah problematika yang cukup sulit. Oh, rasanya begini jadi cewek yang bingung kalau mau hang out. Soalnya aku memang jarang keluar kemana-mana. Selagi bisa di rumah, aku lebih memilih berada di rumah.

Aku menampar kedua pipiku pelan. "Sialan. Pakai seadanya saja! Toh kau ini bukan keluar untuk kencan!" rutukku pada diri sendiri.

Mengingat saat ini aku akan keluar untuk urusan klub. Riset dan wawancara beberapa tempat tongkrongan/kedai/kafe sekitaran sekolah yang nyaman buat tempat belajar sekaligus aman di kantong pelajar. Guna dijadikan artikel di majalah sekolah edisi bulan ini.

Partner tugasku adalah kau, Suna Rintarou. Sudah sejak awal ketika aku baru bergabung menjadi anggota klub, hingga belakangan ini kita semakin dekat karena banyak melakukan tugas klub bersama.

Begitu aku baru sekejap mengingat tentangmu dalam hati, aku bergidik kala mendapatkan notifikasi pesanmu di layar ponsel.

Aku sudah di jalan. Tunggu di titik temu yang sudah kita sepakati kemarin.

Aku cepat-cepat bersiap diri, lantas bergegas menuju lokasi. Tak mau membuatmu kalau-kalau sudah sampai terlebih dahulu dan menunggu lama.

Akhirnya aku memilih untuk tampil ala kadarnya saja. Setelan baju musim panas sederhana dengan cardigan tipis sebagai outer menjadi pilihan outfitku kali ini.

Sesampainya di titik temu, kau sudah bergeming menunggu. Kamera DSLR menggantung di leher. Kau mengenakan pakaian kasual yang simpel tapi modis. Dengan tubuh tegap tinggimu itu, penampilanmu yang meski biasa terlihat bak seperti seorang model.

Aku nyesal gak dandan apik. Setidaknya biar gak kelihatan buluk saat harus bersandingan denganmu. Karena seharian di hari Sabtu ini, kita akan hunting  di beberapa tempat anak muda yang kekinian. Duh, mendadak jadi insecure.

"Maaf, Rin. Sudah lama nunggu ya?" tanyaku begitu menghampirimu.

"Nggak. Aku juga baru sampai. Langsung aja keburu siang, ini mau ke tempat yang mana dulu?"

Aku membuka catatan kecilku yang sudah berisi list tempat tujuan. Kepala kutengadahkan ke arahmu, dengan netra yang berbinar, aku menyebutkan tempat yang menjadi tujuan pertama sesi hunting kita.

-o-

"Berasa jadi anak indie banget ya seharian ini," aku berujar sambil terkekeh. Tangan kujadikan tumpuan di penyangga besi pinggiran sungai kota. "Ke kafe-kafe estetik, jajan kopi, sekarang menikmati senja di pinggir sungai. Haha."

Kau masih sibuk memandangi hasil jepretan tempat-tempat yang sudah kita kunjungi tadi. Menghapus beberapa yang menurutmu kurang sreg.

"Iya. Tapi, kuakui hampir semua tempat tadi worth it," timpalmu.

"Kan! Nggak sia-sia dari kemarin aku sampai nanya ke anak kelas sebelah dan begadang buat browsing."

"Well done. Habis ini kau masih harus begadang lagi buat nyusun artikelnya."

Aku mendekatkan diri ke arahmu, menengok kegiatan yang kau lakukan lantaran penasaran. "Mau lihat dong, hasil-hasil jepretannya."

Kau sedikit menggeser kamera yang kau genggam, menjadi berada di tengah depan antara kita berdua. Dengan begini, aku jadi menghirup napas tertahan. Aroma wangi maskulin tubuhmu dapat tercium dengan jelas oleh indraku.

"Kok bisa sih kamu ngefoto sebagus ini? Masih nggak nyangka, kamu selain jago voli juga jago fotografi!" ucapku menyuarakan kekaguman.

Kau masih menampakkan wajah datar seperti biasa. Suka heran, sebegitu minim ekspresinya kah, wajah default-mu?

"Biasa aja, gak jago. Aku bisa kayak gini karena dua-duanya memang hobiku."

"Oh, jadi karena itu kamu gabung jadi fotografer di Klub Jurnalistik?"

"Iya, soalnya di sekolah gak ada Klub Fotografi."

"Rin, apa kamu nggak ngerasa berat ikut dua klub sekaligus dari kelas satu SMA?"

Kau menggeleng, lalu menjawab, "Enggak. Hobi itu pada dasarnya berkembang dari suatu hal yang kita sukai. Kalau sudah melakukan sesuatu atas dasar suka, nggak bakal bikin kebeban. Justru malah enjoy."

Aku manggut-manggut paham. Terkesima atas jawabanmu. Benar juga, aku sepenuhnya setuju.

Netramu tiba-tiba memandangku. "Kalau kau? Apa kau gabung ke Jurnalistik karena menulis adalah hobimu?"

"Kurasa... aku tidak bisa mengatakan kalau menulis adalah sepenuhnya hobiku. Maksudku, karena aku menganggap diriku sanggup dan bisa, jadi aku memutuskan untuk mencoba. Kalau dikatakan suka sih iya, suka banget sih enggak," jelasku panjang lebar.

"Cewek emang ribet ya. Hal sepele pun dibikin kompleks."

Aku tertawa renyah. Tertohok pun juga lagi-lagi setuju atas tanggapanmu. Nampaknya kau memang sosok yang pandai berujar simpel tapi ngena.

"[Name], kalau udah suka sesuatu, jangan ngelakuin setengah-setengah."

Kepala kuanggukkan. Kau rupanya memiliki potensi terpendam menjadi orang bijak, Rintarou.

"Siap! Eh, Rin, pinjem kameranya, aku pingin belajar motret."

Kau melepaskan kalung kamera yang melingkar di lehermu. Benda itu lantas kau serahkan padaku. Aku mengangkat kamera yang kini ada di genggaman, mengarahkan bidikan ke sosokmu, lalu menekan tombol potret.

Aku menyodorkan hasil potretan tersebut. "Gimana? Sudah keliatan bagus belum? Bagus 'kan? Apalagi latarnya senja."

"Jelek banget, gak fokus gitu. Sini kuajarin."

Kau beringsut membenahi posisi tubuhmu, menyesuaikan dengan posisiku.

Kau mengangkat tanganku yang menggenggam kamera, mengarahkannya ke pemandangan langit senja kota yang terhampar dari pinggiran sungai.

Tanganmu membenahi bahuku, "Pertama, rileksin bahu," katamu.

"Kedua, pegang fokusnya tuh kayak gini." Kau beralih membenarkan caraku memegang bagian fokus depan kamera.

"Selanjutnya cari angle yang pas. Kalau sudah pas, tinggal bidik."
Kau melepaskan kontak fisik dariku, membuat napas yang sedari tadi kutahan dapat kuembuskan. Kualihkan fokus pikiranku pada bidikan pemandangan.

"Tanganmu gemetar, kamu tremor?" Aku tak sanggup menjawab. Lidahku sedang kaku, bahkan untuk meneguk ludah saja rasanya susah.

Permukaan telapak tangan yang cukup kasar, kembali menyentuh punggung tanganku. Kau menahan tanganku yang gemetar memegangi kamera.

Sial. Rasanya jantung dan waktu seakan berhenti.

Kalau bisa, aku lebih memilih ingin mengabadikan momen seperti ini saja ketimbang pemandangan yang terhampar di depan sana.

Selesai mengambil foto, aku menyerahkan kembali benda tersebut ke sang pemilik. Kau bergeming mengamati hasilnya.

"Nggak buruk-buruk amat," komentarmu.

Aku mencibir diri sendiri, "Sudahlah, aku kayaknya emang nggak bakat begituan," kataku menyerah lalu mendengarmu terkekeh sebagai tanggapan.

Aku mengalihkan atensi pada permukaan tenang air sungai. Mengamati bias yang tercipta dari pantulan sinar mentari senja dan langit oranye jingga. Indah. Lidahku berdecak kagum.

"[Name], tetap diam dengan pose itu."

Alisku berkerut heran. Seolah tahu aku hendak menolehkan kepala, kau mengomel, "Sudah kubilang diam sebentar."

Aku menurut. Beberapa detik setelahnya, bunyi jepretan kamera terdengar. Kemudian kau menyodorkan hasil potretan tersebut.

Siluetku berlatarkan sungai kota dan senja.

"I-ini... indah. Boleh minta nanti kirimin ke aku?"

Kau menyeringai. "Berani berapa? Karya seni itu nggak ada yang gratis, lho." Keluar juga sifat rese dan usilmu.

"Ayolah, kau 'kan baik hati."

"Iya, iya. Jangan masang tampang melas gitu. Dah yuk, kuanter kau ke halte. Keburu malam." Tubuhmu kau tarik dari posisi yang semula bersandar pada pagar tepi sungai, kemudian mengambil ancang-ancang beranjak.

"Nganter? Emang kamu gak sekalian pulang?"

"Enggak. Ada film yang mau kutonton."

"Kamu nonton sama siapa?"

"Sendiri. Ceritanya lagi me time."

"Ngenes amat nonton sendiri, hahaha!"

"Kau mau pulang sendiri atau mau sekalian ikut?"

Aku tersenyum lebar. "Hee~ apa itu barusan? Ajakan kencan?" Giliranku menggodamu.

"Gak jadi. Pulang saja sana, cewek gak boleh pulang malem-malem."

"Aku sudah terlanjur izin pulang sampai malam kok! Haha, yuk lah, kok kesannya gak tega ngebiarin temen nonton sendiri?"

Aku tak pernah merasakan perasaan yang begitu berbunga-bunga seperti saat ini. Seharian penuh kuhabiskan waktu bersamamu. Awalnya untuk kepentingan klub, tapi malamnya kita bermalam mingguan sekedar melepas penat akhir pekan.

Apa terdengar egois kalau aku sendiri yang menafsirkan ini adalah kencan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top