9. Red Day
Shannon masih termenung, dia hanya menggeleng-geleng. Bukan bermaksud menyangkal pertanyaan Jason, tetapi karena dia sudah tidak tahan berada di sini. Tiga hari berada di ruangan kecil ini benar-benar menguji kewarasannya.
"Masih ingin diam?"
Suara Jason memecah keheningan. Masih duduk di meja, Jason mengangkat dagu Shannon agar wanita itu menatapnya. Wajah Shannon tampak pucat, bibirnya kering karena sudah berjam-jam tidak diberi minum, dan lingkaran hitam di bawah matanya terlihat makin jelas.
Jason turun dari meja. Dia menarik kursi lain lalu duduk berhadapan dengan Shannon. Jason mengubah tampilan hologram dari smartwatch-nya, lalu memutar rekaman suara. Rekaman itu memutar suara percakapan dari dua orang laki-laki.
"Dengarkan ini baik-baik!" perintah Jason.
Dia terlalu lama.
Apa masih belum ada informasi lagi dari Shannon?
Percuma kita menunggunya. Makin lama dia makin tidak berguna! Kalau dalam 24 jam ke depan masih tidak ada kabar, aku akan menganggapnya sudah mati.
Jadi, kita akan melanjutkan rencana tanpa dia? Apa Viktor dan Magnus sudah siap?
Aku akan segera mengabari mereka.
Rekaman itu berhenti, Shannon terkejut setengah mati. Dia benar-benar tidak menyangka setelah mendengar rekaman tersebut, tetapi dia tidak punya tenaga hanya untuk sekedar berekspresi.
"Rekaman ini didapat empat hari yang lalu. Kau tahu suara siapa ini?"
"Edvard dan Heinrich. Heinrich adalah salah satu investor yang mendanai Royal Masquerade." jawab Shannon lemas.
Jason mengangguk-angguk menanggapi Shannon. "Di rekaman mereka menyebut kalau menunggu informasi darimu. Memangnya apa yang kau cari?"
Shannon menatap Jason, tetapi pandangannya kosong. Dia mulai mati rasa karena saking terbiasanya dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Shannon makin sulit berpikir. Kepalanya selalu terasa sakit setiap kali dia memikirkan nasibnya. Saat ini, dia berharap bisa keluar dari ruang kecil remang-remang ini.
"Benda yang disebut penghalang sihir Hiddenland. Itu yang sedang aku cari di Nordia. Kami menganggap sihir tidak seharusnya ditentang, dan kami berencana menghilangkan penghalang itu."
Jason terbelalak begitu mendengar jawaban Shannon. Apa yang akan dilakukan Shannon sungguh di luar perkiraannya. Jason pun segera menghubungi Aria. Tidak butuh waktu lama, Aria menjawab panggilannya.
Bagaimana?
"Dia sudah mengaku. Aku akan mengirimkan rekaman interogasinya dan aku sarankan untuk memperkuat keamanan di sana."
Baiklah, terima kasih informasinya. Kalian boleh istirahat. Kalau dia butuh ke kamar mandi awasi baik-baik!
"Baik, dimengerti!"
Sampai di sini, sesi interogasi sudah berakhir. Jason sudah mendapat informasi yang dibutuhkan. Selanjutnya, dia hanya harus mengawasi Shannon baik-baik agar tidak banyak berulah.
"Aku benar-benar tidak menyangka kalian akan bergerak sejauh itu," gumam Jason. Suaranya begitu pelan sampai-sampai Shannon hampir tidak mendengarnya. Kemudian, Jason melepaskan invisible handcuff yang tertaut pada tangan dan kaki Shannon, agar wanita itu bisa berdiri berdiri. Begitu Shannon sudah berdiri, Jason memasangkan invisible handcuff ke pergelangan tangan Shannon.
"Aria memberimu waktu untuk istirahat. Aku akan mengantarkanmu ke kamar mandi, setelah itu kita kembali ke sini, lalu aku antarkan makanan dan minuman untukmu."
Shannon hanya mengangguk, dia sudah terlalu lelah bahkan hanya untuk bicara. Jason menarik tangan Shannon agar bisa berdiri, lalu mengantarkannya ke kamar mandi. Mereka berjalan melewati lorong. Jason mengawasi di belakang Shannon dan terus menyuruh wanita itu berjalan sambil menunduk.
Begitu sampai, Shannon dipersilakan masuk ke salah satu bilik toilet. Di bilik toilet itu ada pegangan besi di samping kanan kiri, Jason menautkan invisible handcuff ke salah satu pegangan agar Shannon tidak berusaha kabur saat bilik toilet ditutup. Shannon pun pasrah, tidak banyak yang bisa dia lakukan selain menurut dan menerima keadaan.
Shannon menghela napas untuk melampiaskan rasa lelah dan kesalnya. Beberapa bagian tubuhnya agak nyeri, terutam pada bagian kepala dan perut. Untuk bagian nyeri pada perut, sebenarnya dia baru merasakannya saat berjalan di lorong. Rasa sakitnya seperti ada sesuatu yang meremas kuat organ dalam perutnya sampai menyisakan rasa yang memilukan. Mungkin ini efek samping dari serum pemberian Jason. Entahlah, Shannon tidak mau berpikir terlalu banyak. Dia hanya ingin merasakan tenang sejenak selagi Jason memberinya waktu istirahat setelah sesi interogasi yang melelahkan.
Shannon agak kesulitan saat melepas celananya dengan tangan terborgol invisible handcuff. Setelah berhasil memelorotkan celananya, Shannon kaget setengah mati.
Apa? Sial, kenapa harus sekarang!
Shannon menoleh ke kiri dan kanan, dia tampak sedang mencari sesuatu entah apa itu. Segala sudut di bilik toilet itu diamati. Namun, apa yang dia cari tidak ada.
Bagaimana ini? Aku harus bagaimana ini? Astaga, situasi konyol macam apa ini! Kenapa siklusnya haru sekarang!
Shannon terdiam, dia sedang berpikir. Akhirnya dia memakai celananya lagi dan berteriak memanggil Jason.
"Jason! Jason! Ke sini cepat!"
Jason buru-buru menghampiri Shannon. Dia menggebrak pintu bilik toilet dan mendapati wanita di dalamnya tampak kesakitan memegang perut.
"Ada apa? Kenapa teriak-teriak begitu?"
"Dengar, aku butuh sesuatu dan ini sangat-sangat penting, jadi tolong dengarkan baik-baik," jelas Shannon sambil terengah-engah. Sementara itu, Jason tampak tidak serius menanggapi Shannon.
"Aku sedang menstruasi dan aku butuh pembalut."
"Apa?"
Shannon menghela napas dan menjawab lagi, "Aku sedang menstruasi dan aku butuh pembalut."
"Kau sedang apa?"
"Aku sedang menstruasi dan aku butuh pembalut! Astaga, apa kau ini tidak pernah belajar biologi? Apa saat sekolah dulu saat belajar sistem reproduksi pikiranmu hanya tertuju ke hal-hal porno? Biar aku ulangi lagi agar kau paham. AKU SEDANG MENSTRUASI DAN AKU BUTUH PEMBALUT! SEKARANG!"
Jason melongo, dia bingung harus bereaksi seperti apa. Otaknya menyuruhnya untuk segera mencari pembalut atau tampon sesegera mungkin, tetapi di sisi lain, dia juga berpikir kalau ini hanyalah trik Shannon agar bisa kabur saat dia sedang tidak mengawasi. Akhirnya Jason pun mematung. Dia jadi ikutan panik.
"JANGAN DIAM SAJA BODOH! CEPAT BAWAKAN–"
"Oke oke, baiklah. Tenang dulu, aku laporkan ini dulu ke Aria."
"Laporkan dulu ke Aria? LAPORKAN DULU KE ARIA? Aku– aw, aduh...." Shannon memekik dan refleks memegang perutnya saat rasa nyeri itu terasa lagi. Dia berdiri dari dudukan toilet sambil berpegangan.
"Aku sudah menahan sakit saat perutku kram sejak tadi. Ini belum dihitung dengan rasa sakit gara-gara kau menghajarku habis-habisan di ruang interogasi. Belum lagi efek sakit kepala yang membuatku gila gara-gara kau menyuntikku dengan serum aneh. Aku juga sudah memberikan informasi yang kau mau. Aku hanya butuh satu pembalut. HANYA SATU PEMBALUT JASON! DAN KAU MASIH BUTUH MELAPORKAN INI KE ARIA?"
"Shannon, tenanglah–"
"Kau menyuruhku tenang? Jason! Perutku sedang sakit. Kau ingin tahu sakitnya seperti apa? Rasanya rahimku seperti dikoyak dari dalam, dan vaginaku sedang mengucurkan darah. Kau pikir aku bisa tenang saat aku sangat butuh pembalut tapi kau tidak segera memberikannya untukku! Kau ini pria macam apa, hal seperti ini saja masih harus lapor dulu ke Aria ...."
Shannon masih terus mengomel, sementara itu Jason sudah menghubungi Aria.
Ada apa Jason?
"Maaf mendadak menghubungi seperti ini, tapi ... ada sedikit masalah di sini."
Masalah apa?
Begitu Shannon sadar kalau Jason sedang menghubungi Aria, tangan kirinya yang tidak terborgol segera menyabet wireless earphone milik Jason, lalu memasang benda kecil itu ke telinga.
"Hey, dengarkan aku berengsek! Sebagai sesama perempuan seharusnya kau paham bagaimana rasanya melewati hari pertama dalam siklus bulananmu. Jadi, bisakah kau perintahkan bawahanmu yang bodoh ini untuk MEMBAWAKAN SEBUAH PEMBALUT UNTUKKU!"
Errr, kau sedang menstruasi?
"Tidak Aria, aku sedang memberi makan anak bison di toilet. TENTU SAJA IYA BODOH!"
Baiklah, aku mengerti. Shannon, pertama kembalikan dulu earphone Jason. Aku janji aku akan memastikan dia membawa pembalut untukmu.
Shannon tidak membalas, dia langsung mengembalikan earphone Jason. Setelah itu, Aria bicara dengan Jason.
Jason, alihkan panggilan ini ke panggilan video hologram dengan smartwatch-mu.
"Baik!"
Sebuah layar hologram pun muncul dari smartwatch Jason. Wajah Aria terpampang jelas di sana. Rambutnya dikucir rapi ke belakang dan memakai pakaian formal dengan blazer merah. Itu warna merah yang sama dengan lipstiknya.
Shannon aku perlu memastikan bahwa kau benar-benar menstruasi. Jadi, bisakah kau melepaskan celana dalammu, lalu memperlihatkannya kepadaku dan Jason?
"APA?" Baik Shannon dan Jason pun terkejut. Mereka sampai berteriak bersamaan.
Ini untuk memastikan bahwa kau tidak menipu kami dan beralasan untuk kabur dari kami. Jadi, bisa kau lepas dulu celanamu?
Shannon menatap tajam layar hologram di depannya. Dia tidak habis pikir mendapatkan hal sederhana bisa serumit ini. "Baiklah, akan melepaskan celanaku, tapi selain pembalut aku juga minta hal lain. Aku mau obat pereda nyeri, celana dalam baru, dan pakaian baru."
Aria menggeleng-geleng, tidak habis pikir Shannon akan meminta lebih.
Kau hanya boleh mendapatkan pembalut, obat pereda nyeri, dan celana dalam baru. Kau tidak bisa meminta lebih dari itu.
"Baiklah, sepakat!"
Ini adalah moment of truth bagi mereka. Shannon membuka resleting celana jeansnya. Dia memelorotkan celana itu, lalu melepaskan celana dalamnya. Begitu diperlihatkan ke Jason dan hologram Aria, terlihat jelas ada noda darah yang masih segar di bagian tengah celana dalam Shannon.
"Kalian berdua lihat, lihat ini! Kalau kalian masih berpikir aku menipu kalian, memangnya kalian kira merah-merah di celanaku ini apa? Ingus?"
Wajah Jason mendadak pucat, dia tampak ingin muntah setelah melihat darah menstruasi. Baik Jason dan Aria sama-sama tidak menyangka kalau Shannon akan membuktikannya sampai sejauh ini. Akhirnya, Aria mengakhiri panggilan videonya, lalu Jason bergegas mencarikan pembalut untuk Shannon. Shannon sendiri hanya bisa menunggu di bilik toilet dengan tangan kanan terikat invisible handcuff pada besi pegangan.
Shannon menghela napas. Rasanya enak juga setelah meluapkan emosi seperti tadi. Setidaknya Shannon bisa sedikit lega meskipun rasa nyeri di perutnya belum membaik. Wanita itu pun menatap langit-langit, lalu sebuah ide muncul begitu saja.
"Benar juga, kenapa aku tidak sekalian memanfaatkan situasi ini untuk kabur?"
¤¤¤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top