7. Vulnerable
"Apa tidak masalah jika menginterogasinya sekarang?"
"Jangan khawatir. Aku yakin sebentar lagi dia akan siuman."
Suara itu samar-samar terdengar oleh Shannon, suara dua laki-laki. Sekarang ini Shannon masih belum sepenuhnya sadar. Matanya masih terpejam rapat. Dia masih duduk di kursi dengan kepala yang terkapar di atas meja.
"Bagaimana kalau dia tidak segera bangun?"
Laki-laki satunya tidak menjawab. Dia melipat kedua tangan di depan dada dan termenung mengamati Shannon. Sorot matanya tajam, seolah-olah Shannon adalah mangsa yang siap dia terkam kapan saja.
Shannon perlahan membuka mata. Dia melihat keadaan sekitar yang remang-remang. Satu-satunya sumber cahaya di ruangan 3x3 meter itu adalah lampu meja yang diletakkan di sampingnya. Gara-gara melihat cahaya lampu yang dekat, Shannon pun pusing. Belum selesai mengumpulkan kesadaran, Shannon makin dibuat kaget saat salah satu laki-laki di ruangan itu menggebrak meja.
BRAK
"Cepat bangun, dasar jalang!"
Tidak sabar dengan Shannon yang belum sepenuhnya sadar, laki-laki itu menjambak rambut Shannon agar duduk tegak.
Shannon berusaha memfokuskan pandangan. Rasa nyeri yang terasa di kulit kepala dan tamparan di pipi kanannya, segera membuat wanita itu sadar.
"Kalau aku bilang bangun, cepat bangun bangsat!"
PLAK
Satu tamparan mendarat lagi di pipi Shannon. Saking kerasnya tamparan kedua ini, telinga Shannon sampai berdenging. Kalau sudah begini dia tidak bisa diam saja. Sayangnya, tubuh Shannon terasa kaku saat digerakan. Shannon memerhatikan tangan dan kakinya, semuanya terikat di kursi. Kalau hanya diikat dengan tali biasa, itu tidak akan jadi masalah. Namun, yang melilit pergelangan tangan dan kakinya saat ini adalah invisible handcuff. Dia pun tidak bisa berkutik.
Incisible handcuff adalah gadget yang berfungsi seperti borgol, tetapi dapat diikat ke benda lain seperti kursi dan tiang. Disebut invisible karena memang benda ini nyaris tidak terlihat. Hanya ada pantulan lampu atau percikan listrik kecil yang samar-samar tampak saat tangan atau kaki Shannon bergerak. Sengatan listrik, rasa panas, dan rasa perih seperti tertusuk ratusan jarum akan terasa jika Shannon memaksa untuk melepaskan diri. Saat ini Shannon tidak bisa melakukan apa-apa, tetapi bukan berarti dia menyerah untuk melawan.
"Bajingan brengsek! Berhentilah menamparku seenaknya!" Teriak Shannon.
Salah satu laki-laki di ruangan itu mencengkeram rahang Shannon. "Hey, siapa yang bilang kalau kau boleh bicara, ha?"
Shannon berusaha memberontak, tetapi laki-laki itu memelesatkan tinju dan mendarat tepat di wajah Shannon. Hidung wanita itu pun berdarah. Tanpa memberi ampun, laki-laki itu hendak meninju Shannon sekali lagi, tetapi rekannya menghentikannya.
"Jason, cukup! Kita belum mulai menginterogasinya. Kurasa kita tidak perlu menghajarnya terlalu keras." Suara laki-laki satunya terdengar tenang. Nada bicaranya juga tidak menyiratkan kalau dia sedang marah dengan rekannya.
"Ayolah Gray, aku masih memukulnya dengan pelan. Terlalu baik dengan tersangka itu tidak bagus tahu!"
Tunggu, Jason? Apa dia Jason yang sama dengan kameramen saat shooting iklan sepatu?
Shannon membatin. Dia mengingat beberapa kejadian yang dia alami sebelum berakhir di ruangan kecil ini. Dia ingat kalau sempat bertemu Jason, lalu semuanya terjadi begitu cepat. Dia jatuh, sekelompok petugas kepolisian datang. Ah, mungkin saja memang Jason yang membawanya ke sini, tetapi untuk apa?
"Jason?" ujar Shannon pelan. "Apa kau yang membawaku ke sini?"
Jason mendekat. Dia mengarahkan lampu meja ke wajah Shannon. Silau lampu membuat Shannon refleks terpejam dan mengalihkan pandangan. Namun, Jason menjambak rambut Shannon seolah memaksa wanita itu menatap dan menahan silaunya lampu meja. Jason hendak mengumpat lagi, tetapi suara pintu yang terbuka membuatnya mengurungkan niat.
Seorang wanita memasuki ruangan. Sosoknya tampak tidak terlalu jelas, baru ketika wanita itu mendekat, Shannon mulai bisa melihat wajahnya. Entah kenapa, wanita itu terasa tidak asing. Dia mengenakan pakaian formal dengan blazer merah, rok span selutut berwarna merah, dan kemeja hitam. Rambutnya hitam lurus panjang dikucir rapi. Meskipun tidak seberapa jelas, Shannon yakin kalau wanita itu memakai riasan tipis yang membuat wajahnya tampak elegan dan berwibawa.
Wanita itu duduk di kursi yang ada di hadapan Shannon. Dia membetulkan posisi lampu meja yang sekarang tergeletak gara-gara ulah Jason. Berkat cahaya lampu itu, Shannon mulai sadar kalau dia mengenal wanita ini.
"Tunggu, kau ...."
Wanita itu tidak menghiraukan Shannon. "Shannon Nidelva, kau ditangkap atas tuduhan spionase. Di sini kau akan diinterogasi atas dasar informasi yang sudah kami peroleh."
Ini gawat, Shannon tidak habis pikir. Dia tidak menyangka musuh akan menangkapnya secepat ini. Apa mereka sudah tahu soal tujuan Shannon ke Nordia? Padahal Shannon sudah berhati-hati. Apa ini berarti kalau musuh sudah selangkah di depannya?
Tenanglah, kalau aku terlihat panik mereka pasti langsung curiga.
Shannon terdiam, dia mengamati wanita yang duduk di depannya. Dengan pencahayaan terbatas, dia berusaha mengingat di mana dia pernah bertemu wanita ini.
"Tunggu, Aria? Untuk apa sekretaris sekaligus asisten pengusaha sepatu sport ada di sini. Oh, atau ... Sebenarnya kau ini bukan asisten Adam? Per malamnya kau dibayar berapa oleh Adam? Dia sering pakai kamu ya?"
Satu pukulan mendarat lagi ke pipi Shannon. "Hey, sebaiknya kau jaga bicaramu atau aku akan menghajarmu sampai rahangmu patah."
Ancaman itu tidak berarti bagi Shannon. Jika ada kesempatan untuk melawan Shannon tidak akan menyiakannya, meskipun hanya berupa umpatan atau olokan.
"Wah, ternyata kau masih mengingatku," jawab Aria tenang.
"Ya kau kira aku ini pikun. Lagipula belum lama juga sejak terakhir kita bertemu. Ngomong-ngomong, apa yang terjadi dengan Adam?"
Jason makin kesal dengan sikap Shannon yang tidak ada takut-takutnya. Dia hendak meninju wanita itu lagi, tetapi Aria menahannya. Tatapan Aria pada Jason seolah memperingatkan 'Jangan khawatir, ini masih di bawah kendaliku'.
"Sehari setelah sesi syutingmu, aku mengundurkan diri. Selama ini aku menjadi sekretaris Adam hanya untuk mengorek informasi tentangmu."
"Wah, tidak kusangka ternyata aku punya fans fanatik. Aku tidak sadar kalau pesonaku sekuat itu."
Aria agak kesal dengan jawaban Shannon, tetapi dia masih menahan emosinya. "Terserah kau saja Shannon. Teruslah membual sesukamu, tetapi kita lihat berapa lama kau bisa bertahan di sini."
Shannon menatap Aria. Sorot matanya tajam seolah menyiratkan kalau dia tidak takut dengan ancaman itu.
"Baiklah Shannon, aku akan mengajukan beberapa pertanyaan untukmu dan sebaiknya kau menjawabnya dengan jujur."
Aria mengangkat tangannya ke arah Gray, laki-laki itu pun memberikan sebuah tablet. Aria menunjukkan tablet yang menampilkan foto seorang pria ke Shannon. Pria itu tampak dipotret dari samping secara candid. Pria itu memakai setelan jas rapih, dia sedang duduk dan memegang segelas anggur. Pria itu melihat ke arah gelas anggur seolah sedang menilai kualitas minuman itu.
"Apa kau kenal orang ini?"
Shannon melihat foto itu, lalu menjawab, "Tidak."
Satu tinju mendarat lagi ke wajah Shannon. Sedikit darah pun mulai mengalir dari lubang hidungnya.
"Perhatikan baik-baik foto ini. Apa kau kenal orang ini?"
Jason menjambak Shannon dan mendekatkan wajahnya ke arah tablet. Mau tidak mau Shannon pun harus melihat foto yang ditampilkan.
Aria bertanya lagi, pertanyaannya masih sama. "Apa kau kenal dengan orang ini?"
Shannon mengamati foto pria itu. Fitur wajah tegas dan berwibawa. (Tambahkan fitur wajah hoenir) Jas bermerk mahal dan botol anggur Itania dari merk terbaik.
Heinrich? Sial, apa mereka sudah menyelidiki anggota Regodnity yang lain?
Sosok di foto itu adalah Heinrich, wujud fana dari dewa Hønir. Meskipun Shannon tahu siapa sosok pria yang dimaksud, tentu saja dia tidak mau mengaku.
"Bagaimana? Apa kau mengenal pria ini?"
"Errr, dia pasti sugar daddy-mu."
Aria mulai kesal, tetapi dia masih berusaha menahan emosinya.
"Baiklah, kalau begitu bagaimana dengan ini, apa kau kenal dia?"
Foto berganti, kali ini tablet itu menampilkan foto pria yang tidak memakai baju. Hanya ada handuk putih yang melilit pinggangnya. Tentu saja kemolekan tubuhnya terlihat begitu sempurna. Pria itu tidak terlihat sedang melakukan apa-apa. Dia hanya berdiri di halaman rumah dengan kucing di sebelah kakinya. Sepertinya foto ini juga diambil secara diam-diam karena sosok pria di foto tidak melihat ke arah kamera.
Tentu Shannon mengenal sosok pria yang di foto. Itu adalah Viktor, wujud fana dari dewa Vidar. Viktor bertanggung jawab mengurus laboratorium besar yang ada di Ruzia. Meskipun tidak terlalu suka berkumpul dengan yang lain, tetapi dia memiliki kontribusi penting untuk Regodnity.
"Oh, kalau ini aku tahu. Dia pasti gigolo yang sering kau sewa. Lihat tubuh itu, sepertinya itu lebih dari cukup untuk memikat jalang sepertimu dan membuatmu tidak bisa berhenti berfantasi liar."
Aria tidak bisa menahan emosinya. Dia tahu sejak tadi Shannon tidak serius. Tablet di tangannya pun diayun kencang untuk memukul Shannon. Layar tablet itu pecah dan pelipis Shannon berdarah.
"Kita istirahat dulu dan melanjutkan interogasi nanti. Grey, Jason, kalian ikut aku."
Mereka bertiga meninggalkan Shannon yang masih terikat di kursi. Begitu Shannon sendirian di ruangan, lampu di meja ikut padam. Tidak ada apa-apa selain Shannon yang termenung di dalam sana.
¤¤¤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top