6. Useless Pawn
"Aku sudah melakukan semua yang kalian suruh. Sebelum ini, aku juga sudah memperingati kalian kalau dia sangat lincah. Ini bukan salahku kalau dia bisa kabur!"
Devon berteriak membela diri. Sementara itu, pria petugas di hadapannya tidak bereaksi apa-apa. Wireless earphone yang terpasang di telinga kanan si petugas mengeluarkan suara, ada panggilan masuk. Pria itu menekan tombol kecil pada earphone untuk menjawab panggilan.
"Baik, segera saya laksanakan!"
Si pria petugas mendekati Devon. "Ketua bilang kau bisa menemui wanita itu di penginapanmu. Aku akan mengantarmu ke sana dan kalian dibebaskan."
"Sungguh?" tanya Devon tidak percaya.
"Tentu. Ikut aku!"
Devon pun mengikuti pria dengan setelan jas itu menuju parkiran. SIngkat cerita, pria itu menepati janjinya untuk mengantar Devon ke penginapannya. Begitu mereka masuk ke kamar penginapan Devon, di sana sudah ada perempuan berambut pirang panjang sedang duduk di kasur. Wanita itu hanya memakai kemaja putih kebesaran. Keliatannya, di balik kemeja itu dia juga tidak memakai apa-apa. Rambutnya acak-acakan. Matanya tampak sembab dan ada beberapa lebam di wajahnya.
Devon segera menghampiri wanita itu dan memeluknya. Pelukan itu berlangsung cukup lama. Si wanita bahkan sampai menangis terharu, seolah-olah sudah lama sekali mereka tidak bertemu. Pelukan mereka berganti menjadi ciuman penuh kerinduan. Mereka bertemu seakan-akan takut berpisah lagi. Sementara itu, pria berjas yang mengantarkan Devon mengunci pintu dan hanya diam mengamati mereka.
"Oh, ya ampun, Trish. Apa yang telah mereka lakukan padamu?" tanya Devon khawatir.
"Jangan khawatir, luka ini akan segera sembuh. Aku baik-baik saja. Setelah bertemu denganmu seperti ini, rasanya semua rasa sakitku hilang seketika."
"Aku janji, ke depannya kau tidak akan kesakitan lagi, semua ini sudah berakhir. Aku tidak akan berurusan dengan Shannon lagi. Mereka juga bilang kalau akan membebaskan kita, tugas kita sudah selesai."
"Benarkah? Syukurlah kalau begitu."
Mereka berpelukan lagi, tetapi tidak lama pria berjas yang menunggu di pintu memanggil Devon. Devon pun datang menghampiri. Si pria berjas terlihat ingin membisikkan sesuatu. Namun, tidak ada yang sadar jika tangan kirinya mengulurkan pistol ke arah Trish. Satu tembakan dilepaskan, sebuah peluru menembus tulang dahi dan bersarang di dalam otak Trish. Jasad Trish terkulai di atas kasur. Cipratan darah membasahi sprei dan kemeja putih wanita malang itu.
Devon syok dengan kejadian barusan. Amarahnya memuncak hingga ubun-ubun. Sayangnya, pergerakannya kalah cepat saat dia hendak menghajar si Pria Berjas. Hanya dalam hitungan detik, si Pria Berjas menjatuhkan Devon dengan keadaan tengkurap dan mengunci pergerakannya.
"Baiklah Devon, ini kronologisnya. Seorang atlet panjat tebing frustasi karena didiskualifikasi untuk ikut kompetisi internasional. Dia diketahui mengonsumsi obat-obat terlarang dan beberapa kali menyiksa pacarnya sendiri, Trish Gloria. Suatu malam, Devon yang sedang dalam keadaan mabuk dan pengaruh obat, sedang bertengkar dengan Trish. Dalam pertengkaran itu Devon sempat beberapa kali memukuli kekasihnya sendiri. Begitu Trish mencoba membela diri, Devon mengeluarkan pistol dan menembak Trish Gloria."
"Apa-apan itu? Kau pikir ada yang percaya dengan cerita bualanmu itu?"
Si Pria Berjas membenturkan kepala Devon ke lantai agar diam, lalu menggenggamkan pistol ke tangan kiri Devon.
"Karena menyadari kesalahannya dan takut akan hukuman sebagai pembunuh, Devon Maximiliam panik. Dia begitu putus asa dan berakhir menembak kepalanya sendiri."
Suara tembakan mengakhiri percakapan mereka. Devon terkapar di lantai, tangan kirinya masih memegang pistol dari Pria Berjas. Darah perlahan membasahi lantai berubin putih. Kemudian, sebuah suntikan diinjeksikan ke bahu kanan Devon. Cairan itu adalah campuran dopping dan antidepresan dengan konsentrasi cukup tinggi. Semua ini dilakukan agar saat pemeriksaan otopsi jasad Devon benar-benar dinyatakan positif mengandung napza.
Si Pria Berjas menghubungi atasannya, "Lapor. Kedua pion sudah dibereskan. Semuanya sudah dilakukan sesuai instruksi."
Bagus. Kalau begitu pergilah ke kamar mandi. Di belakang kloset ada pintu rahasia seukuran satu kali satu meter yang terhubung dengan kamar sebelah. Ganti bajumu dengan seragam petugas kebersihan yang sudah disediakan di sana, lalu keluar dari penginapan itu.
"Baik, siap laksanakan!"
¤¤¤
Matahari sudah terbenam sejak satu jam yang lalu. Suhu di kota Arenda pun makin dingin. Meski begitu, keringat masih terus membasahi dahi Shannon. Sejak tadi wanita itu berlari menghindari kejaran orang-orang yang memburunya. Awalnya yang mengejar hanya petugas keamanan museum. Namun, setiap kali Shannon berhasil sembunyi dan lolos dari pengejaran, selalu ada saja sekelompok orang yang bergantian mengejarnya. Sekarang saja, seluruh kepolisian Arenda memburunya.
Sekarang ini Shannon berada daerah pinggiran Arenda. Dia menghindari daerah ramai dan hanya berjalan menyusuri gang-gang sepi. Beruntung saat ini tidak banyak polisi atau petugas berseragam lainnya yang mengejar, sehingga Shannon bisa sedikit santai. Dia melihat sekeliling, entah kenapa daerah ini terasa agak familier baginya.
Shannon berjalan lagi hingga dia sampai di taman kecil di tepi sungai. Perlahan dia ingat tempat ini. Dulu waktu kecil, setelah orang tuanya bercerai, ibu Shannon mengajaknya ke sini setelah mengurus surat pindah ke Amricana. Menyadari itu, rasanya baru terasa kalau saat-saat itu telah lama berlalu.
Taman ini kurang lebih masih sama seperti yang Shannon ingat. Ada beberapa bangku panjang untuk tempat duduk pengunjung. Beberapa ayunan dan tembok memanjat untuk anak-anak. Ada beberapa bagian yang direnovasi seperti papan informasi berupa layar hologram dan beberapa tanaman yang ditanam ulang. Sayangnya, di musim gugur ini, tidak semua bunga di taman ini berbunga. Kebanyakan dari mereka layu atau dorman sebelum memasuki musim dingin.
Shannon berjalan ke vending machine dan membeli sekaleng bir, lalu duduk di salah satu bangku taman yang menghadap ke sungai. Semilir angin musim gugur dan dinginnya suhu udara saat malam tidak membuat wanita itu menggigil. Padahal udara di Arenda saat musim gugur bisa mencapai 7 derajat celcius, apalagi kalau mendekati musim dingin, suhunya bisa menedekati nol derajat celcius.
Shannon meneguk birnya sampai habis. Tiba-tiba saja ada seorang pria dengan kupluk dan jaket tebal duduk di sebelahnya. Pria itu juga menyodorkan sekaleng kopi hangat untuk Shannon.
"Ini untukmu," ujar pria itu.
Shannon agak skeptis, dia tidak menerima kopi kaleng itu. "Maaf, tapi kenapa kau memberiku kopi?"
"Apakah salah kalau aku hanya ingin berbuat baik? Lagipula menikmati sekaleng bir sendirian di tempat terbuka dan udara dingin seperti ini bukanlah hal bagus. Kau pasti sedang frustasi."
Shannon terkekeh, ternyata orang ini lumayan menarik. Diterimalah kopi kalengan itu, tetapi Shannon masih enggan membukanya. Dia sekilas mengamati pria yang duduk di sebelahnya, rupanya si pria memakai masker. Meskipun tidak bisa melihat keseluruhan wajahnya, entah kenapa Shannon merasa seperti pernah bertemu dengan pria ini.
"Ada apa? Kenapa melihatku sampai seperti itu?"
"Oh, maaf kalau aku kurang sopan. Hanya saja, aku merasa kalau pernah melihat wajahmu. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Pria itu menarik maskernya ke bawah dagu, wajahnya pun terlihat jelas. Di bawah lampu taman yang terang, Shannon bersumpah dia mengenal wajah itu. Pria ini adalah salah satu kameramen yang merekamnya saat membuat iklan sepatu sebelum Shannon berangkat ke Nordia.
"Jason?"
Jason menyeringai. Saat itulah Shannon merasa ada benda kecil yang menancap di lehernya, sebuah dart bius yang entah ditembakkan dari mana. Shannon berdiri dan mencabut dart itu. Dia melihat sekeliling, berusaha mencari siapa pelaku yang menembaknya. Namun, pandangannya perlahan memburam. Tidak hanya itu, dari belakang Jason menjegalnya dan menjatuhkan Shannon dalam posisi tengkurap. Tangan Shannon dipaksa ditekuk ke belakang, lalu diborgol, dan kepalanya ditekan agar terus berada di tanah.
Shannon tidak bisa memberontak. Samar-samar dia mendengar derap langkah yang makin ramai. Perlahan pandangannya makin kabur hingga dia tidak sadarkan diri.
¤¤¤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top