5. The Trap

Shannon menjatuhkan diri ke kasur begitu dia sampai di kamar hotel. Masa bodoh dengan barang-barang bawaannya yang masih tersimpan rapat di dalam koper. Sekarang ini, Shannon hanya perlu menghilangkan rasa pusing. Perbedaan waktu di Nordia dan Amricana membuatnya terkena jet lag. Meskipun dia bisa pulih dengan cepat, tetap saja saat sedang pusing seperti ini berbaring di atas kasur empuk adalah pilihan terbaik. Sekilas dia curiga dengan sikap Devon tadi. Agak aneh rasanya kalau pacarnya segugup itu hanya karena membalas pesan. 

Awas saja kalau dia berani selingkuh. Aku tidak segan-segan menghajarnya sampai dia memohon kepadaku untuk dibebaskan.

Shannon berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Tidak ada apa-apa di atas situ selain lampu dan cat berwarna putih. Dia memejamkan mata sambil mengatur napas, berusaha menenangkan pikiran dan memprioritaskan tentang apa yang harus dia lakukan.

Ah, sudahlah. Lupakan dulu soal Devon. Masih ada hal yang lebih penting untuk diurus. Sampai detik ini aku masih belum dapat petunjuk tentang lokasi Lock. Apa yang harus aku lakukan? Kalau seandainya aku adalah pembuat Lock, akan kuletakkan di mana benda itu?

Shannon mengambil ponselnya yang tersimpan di saku celana. Digengamlah benda ber-touchscreen itu untuk mengakses internet dan menelusuri beberapa tempat terkenal di Nordia. Penelusurannya tertuju pada museum Balduria letaknya di dekat Arenda, ibukota Nordia. Shannon berpikir kalau Lock itu kemungkinan tersusun dari benda-benda kuno yang bisa menangkal sihir. Setahunya, secanggih apapun teknologi di Hiddenland saat ini, masih belum ada alat atau mesin yang berhubungan dengan sihir. Karena itulah dia berpikir barangkali bisa mencari petunjuk di museum Balduria mengenai benda-benda kuno. 

Ketika sedang asyik menggulirkan layar ponsel, satu notifikasi pesan muncul di bagian atas layar. Itu pesan dari Devon. Shannon pun membuka dan membaca pesan itu.

Hey, besok sore aku senggang. Bagaimana kalau kita jalan-jalan ke suatu tempat? 

Shannon tidak segera membalas pesan itu, lalu ada satu pesan lagi yang masuk.

Aku ingin ke museum Balduria, kau mau ikut?

Shannon termenung. Kebetulan ini membuat wanita itu waswas. Tidak mungkin kalau Devon sedang menyadap ponselnya bukan?  Benar, ini pasti hanya kebetulan. 

¤¤¤

Sore itu Shannon sedang bersiap-siap ke museum dengan Devon. Dia melihat cermin, memperhatikan refleksi bayangannya sambil memakai kaos. Di pojok kanan atas cermin itu terdapat ikon matahari kecil tertutup awan yang menjadi perkiraan cuaca hari ini. Di sampingnya ada angka yang menunjukkan rata-rata suhu harian, 11 derajat celcius. Itu sama sekali tidak dingin bagi Shannon. Wanita itu sudah merasa cukup dengan kaos tipis berlengan panjang dan celana jeans.

Sekilas dia melihat tas selempang yang sudah disiapkan di atas meja rias, tetapi Shannon mengurungkan niat untuk membawa tas. Dia pun hanya mengambil ponsel dan dompet, lalu memasukkan dua benda itu ke kantong celana. 

Shannon keluar dari hotel. Dia dan Devon sudah berencana untuk bertemu di museum. Wanita itu berjalan menuju halte terdekat untuk menunggu bus. Tiba-tiba saja, bahu kanannya terasa panas. Di balik kaos abu-abu yang dia pakai, ada tato Triple Horns of Odin menyala. Suara Edvard pun terdengar di benak Shannon.

Ada perkembangan?

Belum. Agak sulit mencari petunjuk di sini.

Baiklah, tidak apa. Tetaplah waspada dengan sekitarmu.

¤¤¤

Museum Balduria adalah museum terbesar di Nordia. Tempat ini menyimpan berbagai macam artefak seni, peninggalan budaya kuno, dan fosil purba berumur jutaan tahun. Mayoritas koleksi di museum ini dipercaya sudah ada sejak zaman para viking berkuasa di Nordia. Beberapa benda juga ditemukan dari wilayah Swissa.

Shannon dan Devon berada di ruangan koleksi artefak rune kuno. Mereka datang dengan rombongan wisatawan asing yang dipandu seorang tour guide. Meskipun bukan bagian dari rombongan, Devon ikut mendengarkan penjelasan dari tour guide. Namun, tidak dengan Shannon. Dia lebih memilih mengamati benda-benda koleksi museum dengan perspektifnya sendiri.

Shannon melihat ke salah satu artefak. Benda itu terbuat dari tulang binatang, warnanya putih kusam, ada goresan huruf rune kuno yang terukir rapih. Goresan rune itu baru terlihat jika diamati dari dekat. Jika dibaca, rune itu bertuliskan 'Skadi, vær så snill' yang berarti 'Skadi, ampuni kami'. Shannon pun membaca sekilas penjelasan artefak tersebut. Intinya, benda itu ditemukan di lereng gunung Alpena. Ketika ditemukan, tulang itu hampir diselimuti es dan ada retakan-retakan di tulang yang terisi kristal es. Entah kenapa, Shannon jadi merasa konyol sendiri.

Aku yakin, para viking zaman dulu tidak akan menyangka kalau dewa-dewi yang mereka sembah menjalani kehidupan seperti manusia normal di masa kini.

"Shannon, ada apa? Kenapa kau senyum-senyum sendiri?"

"Oh, tidak apa-apa. Aku hanya teringat hal yang tidak penting."

Mereka berdua lanjut berkeliling, tetapi sekarang mereka terpisah dengan rombongan wisatawan tadi. Entah kenapa, makin lama mereka berjalan, makin sepi pula tempat yang mereka tuju. Firasat Shannon mulai tidak enak, apalagi saat ada petugas museum yang datang menghampiri mereka. 

"Selamat datang di section khusus dari Museum Balduria. Di sini saya yang akan menjadi pemandu Anda berdua."

Shannon menatap curiga, pria pemandu ini tidak seperti pemandu biasanya. Pakaiaannya terlalu formal untuk seorang tour guide. Setelan jas dan celana kain hitam yang tampak baru disetrika. Terlihat sekali orang ini jarang mondar-mandir. Selain itu, sejak kapan orang yang pekerjaannya berjalan sana-sini memakai sepatu pantofel dengan hak yang keras? Biasanya seorang tour guide memakai sepatu kets atau sandal yang lebih nyaman dipakai dan memakai kaos atau jaket tebal jika cuaca sedang dingin. Belum lagi dia memakai kacamata hitam di dalam ruangan, untuk apa coba? Cukup, ini sudah tidak beres.

"Shannon, ada apa? Ayo–"

"Tunggu!" Shannon menyela. "Devon, seingatku tadi kita hanya membeli tiket biasa. Kenapa sekarang tiba-tiba ada tur spesial?"

Devon tampak kikuk, dia bergantian melirik Shannon dan pria pemandu.

"Jangan khawatir, Nona. Ini adalah layanan khusus yang memang kami berikan untuk beberapa pengunjung secara acak. Saat ini kalian berdualah yang beruntung mendapatkan tur khusus ini."

Shannon makin gelisah, dia bergantian menatap Devon dan pemandu. Perlahan kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. Dia juga mundur selangkah dari dua orang di hadapannya.

Devon mendekat, tangannya terulur untuk menggapai Shannon, tetapi wanita berambut cepak itu malah mundur selangkah lagi. Devon pun diam, tatapannya bertemu dengan bola mata biru milik Shannon. Terlihat pula raut kekesalan dari wajah pacarnya itu.

"Kau berbohong padaku."

Tenggorokan Devon tercekat, napasnya juga mulai terasa berat. Dia sendiri sebenarnya paham kalau tidak bisa menipu Shannon lebih lama. Namun, apa daya dia tidak bisa berbuat apa-apa. Meski begitu, apa yang sudah dimulai harus diselesaikan. Devon memberanikan diri memegang pundak Shannon, lalu berbisik pelan.

"Maaf."

Saat itulah Shannon sadar dirinya tidak aman. Benar saja, sedetik kemudian Devon berteriak, "Tangkap dia!"

Shannon segera menepis tangan Devon. Di sisi lain, si pemandu mengeluarkan pistol  air soft gun dengan peluru bius. Shannon bergerak cepat, lalu berlari melarikan diri. Si pemandu memberikan sinyal bantuan melalui earphone yang sejak tadi bertengger di telinga kanannya.

Alarm keamanan museum menyala. Suaranya nyaring memekakan telinga. Beberapa penjaga mulai mengejar. Shannon menjatuhkan beberapa barang-barang koleksi museum untuk menghambat mereka. Bagitu sampai di ruang koleksi patung, Shannon melihat jendela terbuka. Letaknya memang tinggi, sekitar 5 meter dari lantai, tetapi masih bisa digapai dengan memanjat beberpa patung.

Shannon melompat dan memanjat patung begitu cepat. Sesekali dia ditembaki petugas dengan peluru bius dan peluru karet. Meskipun senjata yang digunakan bukanlah senjata api, tetapi peluru karet itu bisa sedikit merusak patung. Beruntung, dalam hitungan detik Shannon berhasil kabur lewat jendela. 

Saat ini Shannon berada di balkon lantai dua museum. Dia berlari dan melompati beberapa bagian tembok dan jendela yang menonjol. Setelah cukup dekat dengan tanah, dia menjatuhkan diri dan melakukan roll untuk mengurangi cedera. 

Shannon berlari menuju keramaian, berharap petugas yang mengejar akan kesulitan mencarinya di antara kumpulan orang-orang. Dengan gesit Shannon bergerak melewati keramaian dan pergi menuju gang sepi. Di situ Shannon merusak ponselnya dan membuangnya. Dia berpikir mereka akan melacaknya melalui benda itu. 

"Sialan, Devon brengsek! Apa selama ini dia diutus untuk memata-mataiku?"

Shannon makin gusar. Sesekali dia mengumpat dan merutuki kejadian ini. Meskipun sudah tidak berlari, kakinya masih melangkah cepat. Tiba-tiba saja dia menyadari sesuatu.

"Petugas tadi hanya menembakiku dengan peluru bius dan peluru karet. Apa itu artinya mereka ingin menangkapku hidup-hidup?"

¤¤¤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top