4. The Prey


Perlahan Shannon dan Devon melepaskan kecupan dan pelukan, tetapi tangan mereka masih bertautan. Senyum semringah terlukis jelas di wajah keduanya. Perlahan pasangan itu tertawa karena merasa konyol dengan perilaku sendiri. Rupanya mereka bisa malu juga kalau bermesraan di tempat umum. Meski begitu, semua ini terasa setimpal demi rasa rindu yang mengendap di relung hati.

"Kau tahu, terkadang aku tidak menyangka kalau kau bisa bersikap semanis ini," ujar Devon sambil mencubit gemas pipi Shannon.

Shannon agak cemberut. "Maksudnya, kau tidak suka kalau aku bersikap baik padamu?"

"Bukan begitu, rasanya aku seperti melihat sisi lain dari dirimu, dan aku merasa beruntung bisa melihatnya."

Itu dia, kata-kata manis Devon yang entah kenapa bisa membuat Shannon senyum-senyum. 

"Kau ini bisa saja. Pemilihan kata-katamu agak cheesy kalau didengarkan. Tapi tidak apa, masih bisa aku apresiasi, kok."

Devon tersenyum dan melampiaskan rasa gemasnya lagi dengan mengacak-acak rambut Shannon. Beruntung wanita itu tidak masalah kalau rambutnya agak berantakan. Shannon malah membiarkan telapak tangan Devon berada di kepalanya, lalu dia memegang tangan itu dan menggandengnya.

Mereka berjalan menuju parkiran mobil. Berhubung Devon tidak terlalu hapal dengan bandara ini, sesekali dia menunduk melihat ponselnya yang menampilkan denah bandara. Tidak puas dengan tampilan default denah itu di ponsel, Devon pun mengubah tampilannya menjadi layar hologram yang melayang di hadapannya. Sesekali telunjuknya menggeser tampilan denah itu untuk melihat area lain atau memperbesar tampilannya.

Lain halnya bagi Shannon yang pernah tinggal di Nordia. Meskipun sudah lama tidak mengunjungi tanah kelahirannya, tetapi ini bukan pertama kalinya dia menginjakkan kaki di Bandara Internasional Stava. Ingatannya tentang tempat ini tentu tidak hilang begitu saja. Jadi, di sini Shannon malah yang menjadi pemandu untuk Devon.

Setelah beberapa menit berjalan, mereka pun sampai di parkiran. Shannon mengikuti Devon berjalan mencari kendaraannya, lalu mereka berhenti di dekat mobil kapsul berwarna silver. Devon menekan tombol yang tergantung pada kunci mobil dan terbukalah pintu mobil kapsul itu. Devon hendak masuk menempati kursi kemudi, tetapi dia mengurungkan niat saat ponselnya bergetar.

"Pesan dari siapa?" tanya Shannon dan hendak mengintip ponsel Devon. Namun, pria itu refleks mengangkat tangannya. Tampak sekali kalau dia tidak ingin Shannon melihat pesannya.

"I-ini, pesan dari pelatihku." Terdengar ada keraguan dari nada bicara Devon.

"Pelatihmu kenapa?"

"Errr, tidak kenapa-kenapa, kok. Hmmm, maksudku, mobil ini milik pelatihku dan sedang aku pinjam. Dia cuma berpesan agar aku hati-hati."

Shannon mundur selangkah dan berkacak pinggang sambil menatap Devon, berusaha mencari celah kebohongan di balik pandangan si pria. Namun, pada akhirnya Shannon tersenyum, lalu tertawa.

"Ya ampun. Pasti pelatihmu sedang memarahimu karena terlalu lama menjemputku. Baiklah, sebaiknya kita segera pergi dari sini. Setelah mengantarku ke hotel, kau bisa langsung menemui pelatihmu."

Shannon menyeret kopernya dan berjalan ke arah bagasi. Diam-diam dia melirik Devon yang kembali fokus ke ponselnya. Rasa curiga mulai bersemayam di hatinya, tetapi wanita itu tidak ingin terlalu cepat mengambil kesimpulan. Shannon pun lebih memilih fokus memasukkan tas kopernya ke bagasi.

Selama di perjalanan tidak banyak percakapan di antara mereka. Setelah menanyakan lokasi hotel Shannon, entah kenapa Devon tampak gelisah. Ponselnya beberapa kali bergetar dan dia tampak terburu-buru membalas pesan yang masuk.

"Dev, kau baik-baik saja?"

Devon terperanjat. Padahal Shannon tidak bermaksud mengejutkannya. "I-iya, aku baik-baik saja. Kenapa bertanya begitu?"

"Hmmm, dari tadi aku perhatikan fokusmu sering terganggu gara-gara pesan masuk di ponselmu. Apa terjadi sesuatu?"

Devon tidak bersuara, hanya menggeleng-gelengkan kepala. Segera dia simpan lagi ponselnya ke kantong celana dan menatap lurus ke jalanan. Shannon mulai jengkel. Wanita itu segera menekan tombol autodrive agar mobil kapsul yang mereka kendarai bisa melaju otomatis.

"Antarkan kami secepat mungkin ke Hotel Snow Drop. Pilih rute tercepat dan hindari jalanan macet," ujar Shannon ketus. Suara AI pun terdengar dari speaker.

Perintah dikonfirmasi. Rute tercepat berhasil dpilih. Estimasi waktu untuk sampai ke tujuan kurang lebih 10 menit. Harap pakai sabuk pengaman kalian untuk mengurangi risiko cedera jika mobil ini mengalami kecelakaan.

Sabuk pengaman mereka terpasang otomatis. Devon agak terkejut dengan perilaku Shannon yang tiba-tiba mengaktifkan mode autodrive. Dia hendak mengomel, tetapi Shannon telah mendahuluinya untuk bicara.

"Kalau memang sibuk, seharusnya sejak tadi kau mengaktifkan mode autodrive. Kau pikir bermain ponsel sambil menyetir itu bagus?"

Devon tidak berkata apa-apa. Dia hanya menghela napas dan menatap nanar jalanan di depan. Sesuai prediksi AI mobil kapsul, mereka sampai di Hotel Snow Drop dalam 10 menit. Mobil kapsul mereka melaju pelan saat mendekati area untuk menurunkan penumpang. Begitu berhenti, Shannon segera turun dan mengambil kopernya. Devon yang sedikit merasa bersalah pun ikut turun dan membatu Shannon menurunkan koper. Sayangnya, wanita itu tidak butuh bantuannya.

"Shaney," panggil Devon pelan. "Maaf kalau sikapku tadi membuatmu marah."

Shannon menggeleng, "Aku tidak marah, Dev. Aku hanya berusaha memahami kalau mungkin sekarang ini kau sedang sibuk. Aku tidak menyalahkanmu. Tadi aku hanya berpikir untuk tidak membuang waktu karena pelatihmu terus mengirim pesan. Jadi, aku asal menekan tombol autodrive."

"Baiklah, aku–"

"Kalau begitu aku masuk dulu, ya? Terima kasih tumpangannya."

Belum selesai Devon bicara, Shannon sudah berjalan memasuki lobi hotel. Pria berambut pirang itu menghela napas panjang, lalu masuk ke mobil. Setelah duduk, dia mengacak-acak rambutnya dan tangannya menghantam setir. Ponselnya bergetar lagi, kali ini getarannya lebih lama, pertanda ada telepon masuk. Devon yang baru saja melajukan mobil pun makin gusar. Dia merogoh kantong celananya dengan kasar. Sebuah nomor rahasia tertera di layar ponsel. Jempol kirinya menyentuh touchscreen untuk menjawab panggilan.

"Dasar bodoh! Jangan mengirim pesan beruntun menyebalkan seperti itu. Apa kau tidak tahu kalau tadi dia hampir curiga?"

Kau menyebutku bodoh? Berani sekali kau! 

Suara yang terdengar di panggilan itu telah disamarkan, sehingga tidak jelas apakah itu suara pria atau wanita. Panggilan dan pesan dari nomor misterius itu juga tidak bisa dilacak oleh apapun. Tidak hanya itu, setiap pesan dan panggilan dari nomor itu bisa megirim virus secara otomatis jika si penerima pesan atau panggilan tidak menjawab dalam 20 detik. itu sebabnya sejak tadi Devon kelimpungan membalas pesan-pesan masuk. 

"Ti-tidak, maaf, aku tidak bermaksud bilang begitu."

Dasar tidak tahu diri! Seharusnya kau paham akan tempatmu. Apa aku perlu mengingatkanmu sekali lagi?

Jantung Devon berdetak makin kencang. Firasatnya tidak enak saat panggilan itu terjeda tiga detik. Begitu tersambung lagi, yang dia dengar adalah suara beturan benda keras, suara denging yang entah berasal dari apa, dan suara teriakan wanita yang begitu memilukan.

Aaaargh! Tidak! Ampun, aku mohon. Aaaaaaargh! TIDAK!

Suara-suara itu membuat dada Devon makin sakit. Rasa sesak mulai dia rasakan. Perlahan matanya berkaca-kaca menahan air mata yang bisa kapan saja mengalir.

"Apa yang kau lakukan? Aku mohon, berhentilah menyakitinya!"

Dia itu selalu saja bereaksi berlebihan. Padahal aslinya tidak sesakit itu. Oh, iya, sampai mana kita tadi?  Ah, benar juga, bagaimana dengan tugasmu?

"Aku sudah mengantarkannya ke Hotel Snow Drop. Sepertinya tadi dia sempat curiga saat aku membalas pesanmu. Untungnya, dia tidak bertanya macam-macam.

Hmmm, bagus. Setelah ini temui aku. Lokasinya akan kukirim nanti.

"Lalu, apa hari ini aku bisa bertemu dia?"

Masih belum. Aku masih punya tugas lain untukmu. Lagipula, kita harus memastikan agar mangsa yang masuk perangkap tidak kabur begitu saja bukan?

¤¤¤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top