3. Arrival and Reunion
Hijau, biru, dan sedikit garis ungu yang tampak samar. Itulah warna yang Shannon lihat saat dirinya berjalan sambil menunduk. Setiap dia melangkahkan kaki di Bandara Internasional Stava, ada semburat warna tercipta di lantai yang dipijak. Tidak heran, beberapa bagian lantai di bandara ini memang tersusun dari layar-layar LCD yang sesekali menampilkan pemandangan aurora. Pemandangan itu seakan-akan membuat pengunjung sedang berjalan di langit malam Nordia. Lumayan, setidaknya itu bisa mengurangi sedikit rasa lelah dan stress pengunjung setelah menempuh penerbangan jauh.
Shannon melihat sekeliing. Ada dua anak kecil tertawa girang sambil mengentak-entakkan kaki. Salah satunya perempuan dan sepertinya dia adalah kakaknya, terlihat dari postur tubuhnya lebih besar daripada si anak laki-laki. Kedua anak itu terpukau dengan warna-warna aurora yang seolah-olah tercipta dari setiap langkah dan entakan kaki mereka. Ayah dan ibu mereka tersenyum melihat tingkah buah hati yang menggemaskan. Pemandangan keluarga kecil itu serasa menghangatkan relung hati Shannon. Tanpa sadar, dia pun tersenyum.
"Bagi beberapa orang, ternyata bahagia itu sederhana, ya!"
Si anak perempuan dari keluarga itu tidak sengaja bertatapan dengan Shannon, dia juga tersenyum. Kemudian, ayah dari anak itu ikut menoleh ke arah Shannon. Pria itu penasaran dengan apa yang sedang dilihat putrinya. Shannon hanya membuang muka. Dia jadi sungkan karena merasa mengganggu kebahagian kecil keluarga itu, lalu dia segera berjalan sambil menyeret kopernya.
Shannon terus berjalan hingga sampai ke tempat pemeriksaan imigrasi. Seketika Shannon cemberut melihat antrean panjang di depannya. Tiba-tiba getaran pelan di saku Shannon membuyarkan lamunan. Rupanya ada chat yang masuk ke ponselnya. Begitu membaca nama dari pengirim pesan, dia tersenyum. Siapa lagi yang bisa membuat wanita berambut pendek itu semringah kalau bukan Devon, kekasihnya.
Shaney, bagaimana penerbangannmu? Kau tidak kena jet lag, kan?
Shannon segera mengetik pesan balasan, Aku baik-baik saja, sekarang sudah di bandara. Antrean untuk cek paspornya gila banget. Rasanya aku bisa tua di sini.
Hahaha, itu artinya kau harus sabar. Tidak semua hal harus buru-buru seperti saat kau melakukan parkour, Shaney.
Iya iya, aku paham.
Jangan khawatir, kalau bosan tinggal chat saja. Pasti aku temani, kok.
Iya, terima kasih. Senangnya punya pacar pengertian sepertimu. Tapi ingat, ya, kau juga harus sadar untuk menjaga diri. Ingat besok kau ada turnamen. Jaga stamina dan jaga pola makan! Jangan sampai kau keasyikan chatting denganku sampai lalai dengan dirimu sendiri. Awas saja kalau kau menjadi payah saat turnamen nanti!
Pesan terakhir barusan terkirim dengan tambahan emoticon marah. Tidak cukup satu, Shannon menambahkan tiga emoticon marah.
Aduh iya, jangan terlalu galak begitu, dong. Aku sudah mengikuti program latihan yang diberikan pelatihku dengan baik. Selain itu, Turnamennya masih lima hari lagi dan hari ini jadwalku kosong. Jadi, aku agak santai sekarang.
Shannon hanya tersenyum sambil membaca pesan-pesan dari kekasihnya. Dia bahkan sampai tidak sadar kalau antrean pemeriksaan paspor tinggal tiga orang lagi. Rupanya ini berjalan lebih cepat dari perkiraannya.
Sebentar lagi giliran Shannon. Wanita itu hendak memasukkan ponselnya ke kantong celana agar tidak mengganggunya saat mengeluarkan dokumen yang harus diperiksa. Namun, tiba-tiba ada getaran lagi dari ponselnya. Shannon pun penasaran melihat pesan balasan dari Devon.
Lagipula, sekarang aku sudah di ruang tunggu bandara untuk menjemputmu.
Shannon kaget membaca pesan terakhir. Padahal dia tidak meminta untuk dijemput karena takut mengganggu Devon. Shannon sudah berencana naik taksi untuk ke hotel yang sudah dia booking sebelumnya. Namun, siapa sangka ternyata Devon rela meluangkan waktu untuk menjemputnya.
Wanita itu hendak membalas pesan Devon, tetapi sekarang tiba giliran Shannon untuk melakukan pemeriksaan dokumen. Shannon menyerahkan paspor, visa, dan kartu identitas. Setelah selesai, Shannon berjalan ke ruang tunggu. Tidak, sebenarnya dia setengah berlari karena tidak sabar bertemu kekasihnya.
Jujur saja, sudah sebulan lebih Shannon tidak bertemu Devon. Selama itu pula dia menahan rindu dan menantikan pertemuan mereka kembali. Kesibukan masing-masing yang harus dijalani membuat mereka harus menahan diri dan mengorbankan waktu untuk bersama. Shannon dan Devon memang sering berkomunikasi, tetapi tetap saja, obat terbaik untuk menyembuhkan rasa rindu adalah pertemuan.
Shannon mengeluarkan ponselnya lagi untuk membalas chat Devon.
Hey, kau serius menjemputku?
Tidak ada balasan. Shannon pun menekan nomor Devon dan menelponnya. Di tengah keramaian wanita itu berusaha bergerak lebih cepat. Jantungnya berdebar sebagai respon rasa tidak sabarannya untuk bertemu kekasih. Begitu sampai di ruang tunggu bandara, Shannon mengedarkan pandangan, mengamati setiap orang yang dia lihat untuk mencari Devon.
"Halo?" Panggilan tersambung, Devon menjawab telponnya.
"Devon, Kau di mana? Aku sudah di ruang tunggu bandara. Kau pakai baju apa?"
"Hmmm, kau cari saja lelaki paling tampan yang memakai jaket hitam," jawab Devon sambil cekikikan.
"Hey, yang benar saja. Di sini banyak orang yang pakai jaket hitam termasuk aku. Kau ada di mana, sih?"
"Baiklah, cobalah ke deretan kursi. Nanti kau akan melihatku."
Shannon menghela napas. Meskipun dia tidak kaget kalau dijahili Devon seperti ini, tetap saja rasanya agak menyebalkan. Beruntung wanita itu masih punya kesabaran untuk menghadapi lelaki kesayangannya itu. Shannon pun berjalan cepat ke arah deretan kursi-kursi. Dia menengok ke kanan dan kiri, tetapi lelaki yang dicari belum tampak di pandangannya.
"Aku tidak melihatmu di sini, kau ada di mana?"
"Di dekatmu."
Shannon menghela napas. Wanita itu mulai kesal, tetapi masih berusaha menahan diri agar tidak mengumpat di tempat umum. Sekarang ini dia berdiri di deretan kursi-kursi pengunjung. Di sekitarnya hanya ada sedikit orang dan mereka semua bukan Devon. Kalau misalnya Shannon masih belum bisa menemukan Devon di sini, sepertinya dia akan meledak.
"Coba lihat ke belakangmu."
Shannon patuh, dia menoleh ke belakang. Beberapa orang yang beralu-lalang sempat menghalangi pandangan. Sampai akhirnya, Shannon melihat lelaki yang menelponnya.
Devon melambaikan tangan agar Shannon menyadari keberadaannya. Senyum tulus terukir jelas di wajah lelaki berambut pirang dengan potongan cepak itu. Senyuman itu seperti menular dan membuat Shannon tampak lebih ceria. Wanita itu menyambar kopernya, lalu menariknya sambil berjalan cepat ke arah Devon. Devon pun merentangkan tangannya dan ikut melangkah mendekati Shannon. Begitu mereka berhasil mengikis jarak, pelukan hangat menjadi pelepas rindu mereka.
Shannon membenamkan wajahnya ke dada Devon. Perlahan tercium aroma parfum segar dari jaket pria pirang itu. Devon sendiri juga merasa nyaman dalam pelukan Shannon. Tangan lelaki itu mendekap tubuh wanita berambut pendek itu seolah-olah tidak ingin melepaskannya. Sesekali dia juga menciumi pucuk kepala Shannon. Hanya dalam waktu singkat, dada mereka terasa hangat. Ada sensasi nyaman yang tidak bisa dijelaskan. Rasanya kerinduan yang mereka pendam selama ini terbayarkan hanya dalam satu momen.
Shannon mendongak, menatap wajah Devon. Tangannya terulur menyentuh rahang pria di hadapannya. Dia menatap mata biru Devon, itu warna mata yang sama seperti miliknya. Mata biru itu tampak teduh dan tulus. Devon ikut tersenyum dan mengelus lembut pipi Shannon. Pandangan mereka terkunci. Waktu terasa melambat seakan-akan semesta sengaja menciptakan momen pertemuan ini hanya untuk mereka berdua.
Mereka sudah tidak mementingkan apa-apa. Rasanya benda dan orang-orang di sekeliling mereka memudar, lalu menyisakan diri mereka saja untuk saling melepas rindu. Perlahan, wajah mereka saling mendekat. Perlahan, bibir mereka mulai bersentuhan. Dan perlahan, sebuah ciuman mesra menjadi puncak dari pertemuan dua insan itu.
¤¤¤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top