11. Run into Blizzard
"Hey, tunggu sebentar!"
Bagaimana ini, apa mereka sadar kalau aku kabur?
Shannon mengamati petugas yang meneriakinya lewat kaca spion. Petugas itu berhenti dan mengetuk kaca mobil.
"Ada apa?" tanya Shannon setelah membuka kaca mobil.
"Kau belum tanda tangan di sini."
Petugas itu menyodorkan tablet touchscreen dan lightpen. Shannon agak ragu saat mengambil lightpen yang diberi. Dia menatap petugas itu sekilas. Begitu dia hendak membuat tanda tangan, tiba-tiba alarm keamanan berbunyi. Suara pemberitahuan terdengar lantang.
Seorang tahanan bernama Shannon Nidelva, dengan nomor tahanan 00208 telah kabur.
Layar smartwatch semua orang berubah merah, lalu memunculkan foto Shannon. Petugas yang meminta tanda tangan tadi terkejut saat menyadari bahwa Shannon adalah tahanan yang dimaksud. Petugas itu segera mengeluarkan pistol, tetapi Shannon sudah duluan menancap gas. Gerbang di depan hampir ditutup. Shannon makin belingsatan menambah kecepatan sambil menghindari beberapa petugas yang menghalangi.
"Satu, dua, ah sial meleset!" gerutu Shannon sambil menembak. "Tiga, empat, lima. Habis sudah semua peluruku."
Shannon menutup kaca mobil dan mempercepat lagi laju mobilnya. Suara gebrakan keras terjadi saat bagian samping mobil bergesekan dengan gerbang yang hampir menutup. Meski begitu, Shannon berhasil lolos dari sana. Mobil Shannon melaju dengan kecepatan 120 kilometer per jam. Dia menyetir sambil mengaktifkan smartwatch Jason untuk mengirim denah lokasi Lock ke Edvard.
"Bagus, akhirnya berhasil!"
Sayangnya, kelegaan Shannon hanya sementara. Mobil yang dia kendarai makin lambat. Seberapa keras Shannon menginjak pedal gas, kecepatan kendaraan itu tidak bertambah. Sampai akhirnya, kendaraan itu berhenti di tengah lahan kosong. Tidak ada bangunan di sekitar situ, yang ada hanya jalan raya sepi, tanah terjal berbatu, dan sedikit jajaran pohon pinus. Sebuah notifikasi muncul di layar GPS yang ada di sebelah kemudi. Begitu melihatnya, Shannon buru-buru keluar dari mobil.
Notifikasi tersebut berisi sebuah peringatan singkat bahwa semua sistem kendaraan dinonaktifkan paksa. Itu adalah sebuah mekanisme keamanan untuk mencegah pencuri mobil kabur lebih jauh sekaligus untuk melacak posisi kendaraan. Shannon paham kalau posisinya sudah ketahuan dan segera keluar dari mobil. Dia melihat sekitar, dari kejauhan tampak ada tiga mobil yang melaju ke arahnya.
Shannon pun lari ke arah jajaran pohon pinus. Tiga mobil itu melaju mengikuti Shannon. Bagian atas dari setiap mobil-mobil itu mengeluarkan machine gun yang dapat otomatis mengunci tembakan ke arah target. Shannon tidak tahu hal ini. Suara tembakan terasa memekakan telinga, beruntung Shannon masih sigap menghindar. Namun, tetap saja tembakan machine gun itu mengenai pundak kiri dan pinggang kirinya.
Peluru yang berarang di tubuh Shannon terasa menyakitkan, seolah-olah daging tubuhnya dikoyak dan dibakar bersamaan. Darah mulai mengucur dari lukanya. Di saat itulah Shannon mengamuk. Dia mengangkat tangan kanannya untuk membuat badai salju di sekitarnya.
"Enyahlah kalian semua!"
Salju mendadak turun deras. Angin dingin berembus kencang. Sebagian daun-daun pohon pinus membeku. Kabut tebal menghalangi pandangan pasukan pengejar. Salju dengan cepat menumpuk di kaca mobil mereka dan membuat mereka kesulitan melacak Shannon. Meski begitu mereka tidak hilang akal. Mereka mengaktifkan sensor pelacak panas untuk mendeteksi keberadaan Shannon.
"Mana dia?" ujar salah satu petugas saat pelacak panas melakukan scanning.
Belum ada hasil dari scanning. Mereka mulai gusar. "Kenapa dia tidak terlacak di sini?"
"Tenanglah, masih ada cara lain. Berdasarkan informasi yang aku dapat, dia tadi mencuri smartwatch salah satu petugas. Kita coba lacak saja smartwatch-nya."
Mereka pun mencoba cara tersebut. Namun, tetap saja tidak berhasil karena begitu Shannon menciptakan badai salju, dia juga melepas smartwatch yang dia curi dan merusaknya.
"Tidak berhasil, Pak, bagaimana ini?"
"Terus mencari. Entah bagaimana caranya kita harus menangkap tahanan itu."
Sementara itu, Shannon masih berlari sambil menahan sakit. Pundak dan pinggang kirinya mengucurkan darah, Larinya juga makin lambat. Sesekali dia menutupi jejak tetesan darahnya dengan salju.
"Semoga dengan begini mereka akan kesulitan mencariku, tapi ... lama-lama aku juga kesulitan memertahankan badai salju ini."
Shannon terus bergerak, karena mulai tidak kuat berlari, dia pun berjalan cepat. Setelah 200 meter berjalan, dia menemukan gua kecil. Letaknya hampir tidak terlihat karena di lubang masuknya ada tanaman rambat. Shannon pun berjalan menunduk untuk masuk dan beristirahat di dalam sana. Shannon bersandar pada dinding gua. Dia melepas pakaiannya untuk memeriksa luka tembaknya.
"Sial, ini sakit sekali. Tidak biasanya lukaku susah sembuh seperti ini."
Shannon menggerutu sambil mencoba mengeluarkan peluru yang bersarang di daging pundaknya. Telunjuk dan jempolnya kanannya meraba-raba luka sampai menemukan benda keras yang ada di sana. Shannon menariknya, tetapi tidak berhasil.
"Astaga, sulit sekali!"
Shannon pun mengeluarkan pisau dari tas pinggang Jason yang dia curi, lalu memakai pisau itu untuk menyayat pinggiran lukanya. Ujung tajam pisau itu mengenai dagingnya. Perlahan-lahan dia menyayat pundaknya sendiri agar peluru sialan di pundaknya bisa dikeluarkan. Shannon mengeraskan giginya sambil menahan sakit. Darah makin banyak mengalir menuruni lengannya. Setelah sayatan yang dibuat terasa cukup, Shannon mencoba mengambil lagi pelurunya. Dia menarik benda keras itu kuat-kuat dengan telunjuk dan jempolnya.
"Ah, akhirnya berhasil," ujar Shannon sambil terengah-engah.
Shannon mengamati peluru itu, bentuknya agak bulat dan sudah gepeng. Terlihat ada sedikit lapisan bening di tengahnya. Kemudian, entah kenapa kepala Shannon terasa sangat sakit, pandangannya juga perlahan memburam. Shannon melihat lukanya lagi, darah masih mengalir di pundak dan pinggang kirinya.
"Apa? Kenapa lukaku tidak sembuh-sembuh? Kenapa darahnya masih terus mengalir?"
Shannon panik, tetapi tidak bisa berbuat banyak. Dia tidak punya perban atau obat-obatan yang berguna untuk menyembuhkan lukanya. Belum lagi, rasa nyeri di perut Shannon juga menjadi-jadi.
"Argh, sial. Kenapa di saat aku sedang menstruasi aku harus terluka sampai begini?"
Shannon berusaha menekan lukanya, tetapi tetap saja itu tidak berguna. Di sisi lain, badai salju yang dia buat mulai mereda.
Apa aku akan berakhir di sini?
Di keadaan seperti ini, Shannon mencoba menghubungi Edvard dengan telepati.
Edvard, maafkan aku. Sepertinya aku tidak bisa kembali. Kuharap kau menerima denah lokasi Lock yang aku kirim.
Pandangan Shannon makin memburam, kepalanya makin pusing, bibirnya mulai bergetar pelan, dan napasnya terengah-engah. Dia tidak yakin bisa mempertahankan kesadarannya lebih lama.
Aku benar-benar minta maaf.
Mata Shannon terasa makin berat, perlahan pandangannya menggelap seiring dengan tertutupnya kepopak mata Shannon. Ketika dia terpejam sepenuhnya, Shannon mendengar suara pria yang terasa familiar.
"Halo, apa kau mencariku?"
Shannon perlahan membuka mata. Dia melihat ke kanan dan merasa heran dengan pria yang memakai setelan jas di sampingnya.
"Sebaiknya kau belajar membuat badai yang lebih ramah untuk dilewati. Aku jadi kesulitan ke sini gara-gara badaimu tahu!"
Shannon hanya menatap pria itu. Dengan sisa tenaga yang masih ada, dia berkata, "Diamlah. Kau mengganggu tidur siangku, dasar Raja Judi."
¤¤¤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top