1. Ready, Set, Jump!

Las Vegacia Strip, 2220


Sebuah motor sport 500cc melaju melintasi jalanan di siang hari. Dengan lihai, pengendara itu menyalip beberapa mobil hanya dalam hitungan detik. Di balik kaca helm yang dikenakan si pengendara, ada tampilan penunjuk arah seperti GPS kecil di pojok kiri atas. Tampilannya memang didesain agar tidak menghalangi pandangan si pengendara untuk melihat jalan.

Sejak tadi tadi dia melaju secepat 90 kilometer per jam. Pengendara itu berusaha menjaga kecepatan motornya agar tidak lebih dari 110 kilometer per jam. Dia tidak mau ada notifikasi penilangan yang muncul di layar helmnya atau di speedometer. Setelah melewati beberapa blok, pengendara itu belok ke sebuah taman kota.

Begitu motor hitamnya terparkir, wanita itu melepas helm. Terlihatlah rambut cokelat gelapnya yang dipotong model pixie cut. Sepasang mata biru lautnya agak memicing karena beradaptasi dengan terik matahari. Wanita itu sadar sekarang kalau butuh sunglasses. Resleting jaket kulit berwarna cokelatnya diturunkan, tampaklah di balik itu si wanita memakai tanktop abu-abu. Dia melangkah ke area duduk untuk pengunjung. Di sana sudah ada laki-laki berkaos biru muda menunggunya sedang duduk di bangku panjang. Laki-laki itu tampak sibuk dengan tabletnya.

Wanita itu menepuk pundak si laki-laki, bermaksud menyapa. "Hey, Ben. Sudah menunggu lama?"

Ben sedikit kaget. "Oh, Shannon, sini duduklah!" Ben pun merapikan beberapa gadget dan kamera di sampingnya untuk memberi ruang agar Shannon bisa duduk. "Baru 15 menit aku di sini. Lagipula yang lain baru datang setengah jam lagi."

Shannon mengangguk paham, lalu dia penasaran melihat tablet milik Ben. Tablet itu hanya menampilkan foto taman ini, tetapi sudah dicoret-coret oleh Ben di beberapa bagian.

"Jadi, bagaimana aku harus melakukannya?" tanya Shannon.

"Kalau menurutku, lakukan saja senyamanmu. Selama aku bisa merekammu dengan baik, itu sudah cukup."

"Oh, begitu saja, ya?" gumam Shannon sambil mengagguk-aguk. Dia masih menatap tablet milik Ben. Perlahan Shannon paham kalau garis-garis coretan yang dibuat Ben itu adalah perkiraan pergerakan Shannon yang harus direkam oleh Ben. "Baiklah, kalau begitu aku pemanasan dulu."

Wanita itu pun berdiri dan melepas jaket. Terlihatlah tubuh atletisnya dengan tangan kekar dan cukup berotot. Shannon pun melakukan berbagai macam variasi perenggangan, lalu berlanjut lompat-lompat dan lari di tempat. Dia tidak mau kalau nanti sampai cedera atau mengalami kram otot.

Shannon adalah atlet panjat tebing, tetapi selama tiga tahun terakhir, dia mendalami parkour. Baginya, parkour terasa lebih bebas, tetapi masih punya tantangan sendiri dibandingkan panjat tebing. Dalam olahraga panjat tebing, tentu Shannon harus berhati-hati dan memperhatikan berbagai aspek keamanan. Mulai dari tali pengaman, memastikan telapak tangan tidak berkeringat agar tidak tergelincir saat memanjat, memilih pijakan yang tepat, dan harus bertahan di kentinggian meskipun diterjang angin kencang. Namun, jika di parkour, Shannon tidak perlu memikirkan banyak hal.

Selama memahami dan melakukan teknik yang benar, Shannon bisa berlari sekencang yang dia mau, melompat dari ketinggian tanpa cedera, dan tentu saja kalau difoto atau direkam bisa terlihat keren. Alasan lainnya adalah tentu saja karena uang. Sejak Shannon mendalami parkour, dia sudah beberapa kali dijadikan model iklan produk olahraga dan menjadi stuntman di film laga. 

Selagi Shannon melakukan push up, ada tiga orang datang. Shannon kenal salah satunya, Adam Wilson. Pria yang memakai kemeja biru tua itu adalah pemilik perusahaan sepatu sport yang terkenal di Amricana. Adam datang dengan Aria, asistennya, dan satu lagi laki-laki yang membawa ransel, dia juga memegang sebuah kamera. Mungkin itu adalah kameramen lain yang ditugaskan Adam untuk merekam Shannon dalam project iklan ini.

Adam melepas sunglasses-nya, lalu bersalaman dengan Shannon. "Halo, Shannon, maaf kalau kami agak terlambat." Kemudian, dia bergantian menyalami Ben yang berdiri di sebelah Shannon.

"Tidak masalah. Kami juga belum lama datang, kok, Tuan Wilson," balas Shannon.

"Oh, ayolah, panggil saja Adam. Kau seperti tidak pernah mengenalku saja. Padahal kita sudah sering minum bersama."

Begitulah Adam, dia memang dikenal ramah. Shannon sendiri juga sudah beberapa kali menjadi model iklan untuk sepatu-sepatu Adam. 

"Aria, tolong siapkan sepatunya. Jason, kau bisa berdiskusi sebentar dengan Ben. Terserah kalian mau merekam seperti apa, yang penting hasilnya bagus. Aku percayakan semuanya kepada kalian."

Aria dan Jason pun menurut, mereka melakukan tugas masing-masing. Aria mengeluarkan kotak sepatu dari ranselnya, lalu memberikannya kepada Shannon. Begitu dibuka, Shannon tampak senang melihat sepatu berwarna biru dengan highlight putih itu. Kebetulan, biru adalah warna favorit Shannon. Desainnya memang seperti sepatu olahraga pada umunya, tetapi begitu dipakai, Shannon merasakan sesuatu yang berbeda.

Bagian dalam sol sepatu itu begitu empuk dan nyaman, terlebih solnya bisa menyesuaikan bentuk telapak kaki pemakainya. Sepatu itu tidak bertali, tetapi bisa otomatis menyelimuti kaki cukup rapat dan tanpa sesak. Kaki Shannon benar-benar seperti dipeluk dengan lembut. Tidak hanya itu, sepatu tersebut juga dilengkapi teknologi aerodinamis agar kaki tidak gerah saat memakainya.

Adam hanya senyum-senyum melihat ekspresi Shannon. "Bagaimana, keren bukan?"

"Ini gila. Kakiku benar-benar dimanjakan kalau pakai ini. Terlebih solnya, astaga! Bagaimana bisa kau membuatnya senyaman ini?"

"Itu rahasia perusahaan. Syukurlah kalau kau suka, sekarang kau bisa bersiap tampil di depan kamera." Adam menoleh ke arah Jason dan Ben yang melambaikan tangan. "Mereka berdua tampaknya juga sudah siap."

Sesi pembuatan iklan dimulai. Proses perekaman dilakukan dua cara, yaitu memakai sudut pandang Shannon sebagai pemakai sepatu, dan memakai sudut pandang ketiga dengan Jason dan Ben sebagai kameramen. Begitu dahi Shannon dipasang kamera kecil, wanita itu siap beraksi.

Pertama Shannon meragakan adegan saat sedang memakai sepatu. Di sini tampilan sepatu terlihat jelas dari atas, lalu Shannon berlari menuju dinding di depannya. Dipijakilah dinding itu, dengan momentum yang pas, tubuh Shannon berputar ke belakang, lalu dia melakukan salto. Adegan pertama berhasil dilakukan hanya dengan satu take.

Selanjutnya adegan lebih banyak diambil memakai sudut pandang ketiga. Di sini Shannon bergerak lebih bebas karena tidak perlu menghawatirkan kamera yang harus dipasang di dahinya. Wanita itu berlari melewati titian tanpa hilang keseimbangan, melompati pagar, bersalto di atas kolam ikan, memanjat tembok bekas bangunan lama, berlari lagi, lalu melompat dan mendarat di pegangan tangga. Sampai akhirnya, Shannon melompat dan mendarat di tanah berumput. Tak lupa dia melakukan roll untuk mengurangi cedera lutut. 

Jason dan Ben merekam setiap pergerakan. Sesekali mereka melakukan zoom-in  pada sepatu Shannon. Adam yang melihatnya tersenyum puas. Dia tidak menyesal memilih Shannon sebagai model iklan produk terbarunya. Setelah sejam lebih berlalu, sesi syuting iklan pun selesai.

Aria menghampiri Shannon yang sedang melakukan pendinginan. "Anda hebat sekali, Nona. Tidak heran jika Tuan Wilson sering menjadikan anda sebagai model iklan sepatunya."

"Terima kasih," jawab Shannon sambil menerima handuk dari Aria, lalu mengelap keringatnya. "Kau tahu, sebenarnya dia itu memilihku karena ingin memangkas biaya produksi. Dia ingin sepatunya bisa dipakai banyak kalangan, termasuk atlet lari, pemanjat tebing, atau orang-orang yang memang suka olahraga."

"Oh, lalu?"

"Dia memilihku karena aku bisa mewakili itu semua. Aku bisa berlari cepat, memanjat, melewati halang rintang, dan tahu caranya jatuh dari ketinggian tertentu dengan aman. Dia pasti ingin produknya terlihat baik saat digunakan dan bisa menunjang performa penggunanya. Dengan menjadikanku sebagai model iklannya, Adam tidak perlu menyewa banyak atlet hanya untuk satu iklan bukan?"

"Ah, iya juga, tapi ... selain itu sepertinya Tuan Wilson memang sudah cocok dengan Anda. Beliau pernah bilang kalau Anda itu mudah diajak kerja sama dan jarang terlambat kalau diajak bertemu."

Shannon tersenyum, lalu meneguk sedikit air dari botol minum yang diberi Aria. Dia melihat smartwatch yang terpasang di pergelangan kiri. Waktu sudah menunjukkan jam sepuluh siang. Setelah itu, Shannon mendekati Adam, Jason, dan Ben yang sedang berkumpul memeriksa rekaman video.

"Adam, apa setelah ini ada sesi syuting lagi atau sudah cukup sampai sini saja?"

"Sepertinya ini cukup. Memang kenapa? Apa kau sedang buru-buru ke suatu tempat?"

"Yah, begitulah. Nanti jam dua aku harus terbang ke Nordia. Jadi, kalau misal ini selesai, aku boleh pulang dulu, ya? Oh, iya, aku lepas dulu sepatunya."

"Tidak!" sentak Adam. "Itu untukmu. Anggap saja bonus dariku. Bayaranmu akan aku transfer nanti."

Shannon semringah mendengarnya. "Serius? Wah, terima kasih, ya. Semoga produkmu ini laku di pasaran dan iklannya booming di seantero Amricana." Wanita itu mengambil helm motornya yang sejak tadi dititipkan ke Ben, lalu berpamitan. "Kalau begitu aku pamit dulu, ya. Sampai jumpa."

Wanita itu pun berlari pelan menuju parkiran. Namun, tiba-tiba ada yang berteriak memanggilnya.

"Shannon!"

¤¤¤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top