Chapter 27
"Astaga! Kau sekelas lagi dengan Sasuke? Yang benar saja, kenangan tahun terakhirmu di sekolah harus diisi dengan hal yang tidak menyenangkan," ucap Tenten dengan penuh simpati sambil menepuk bahu Sakura.
Sakura meletakkan burger yang baru saja akan ia gigit dan menggelengkan kepala. Hari ini merupakan hari pertama sekolah dan hal pertama yang ia lakukan adalah mengecek daftar nama siswa yang sekelas dengannya. Ia berusaha mencari nama Sasuke dan berhasil menemukan nama lelaki itu, juga nama Naruto dan Hinata.
"Tidak buruk-buruk amat, kok. Setelah mengenalnya aku merasa jika dia adalah orang yang baik."
Ino dan Tenten saling berpandangan dan menyeringai penuh makna. Ino yang duduk di samping Sakura segera menatap gadis itu lekat-lekat.
"Jangan-jangan kau benar-benar jatuh cinta pada Sasuke, forehead?"
Wajah Sakura sedikit memerah. Ia bahkan tak tahu jika ia benar-benar jatuh cinta pada Sasuke atau tidak. Ia merasa nyaman ketika bersama Sasuke dan sempat mengkhawatirkan lelaki itu hingga menangis berhari-hari karena bersalah. Terkadang ia sempat berpikir jika mungkin akan menyenangkan seandainya ia menjadi kekasih Sasuke. Namun apakah perasaan semacam itu cukup untuk dikatakan sebagai perasaan cinta.
"Aku juga tak begitu yakin," sahut Sakura. "Mungkin aku tertarik padanya."
"Nah!" pekik Ino dengan keras hingga Tenten terkejut dan hampir tersedar coke yang sedang diminumnya.
"Ketertarikan bisa berubah menjadi perasaan suka. Dan perasaan suka bisa berubah menjadi cinta," ucap Ino sambil menyeringai. "Jika seandainya Sasuke terkena sakit parah dan membutuhkan donor. Maukah kau menjadi pendonor meskipun kau harus mengorbankan kesehatanmu atau bahkan nyawamu?"
Tenten meringis mendengar ucapan Ino, "Apa-apaan pertanyaanmu itu? Tumben sekali bertanya seperti itu."
Sakura menganggukan kepala. Jika diberikan pertanyaan seperti itu, tentu saja ia akan melakukannya tanpa ragu. Bukan berart ia bodoh atau terlalu baik, namun Sasuke bahkan menolongnya dan mengorbankan diri tanpa berpikir panjang. Jika Sasuke bersedia melakukannya, maka ia pun akan melakukannya.
"Tentu saja."
"Berarti kau jatuh cinta padanya, forehead!" ucap Ino dengan suara yang meninggi. Ia tersenyum lebar dan terlihat sangat antusias.
"Mana mungkin?" Sakura mengendikkan bahunya. "Itu karena dia menolongku saat aku hampir kecelakaan. Kalau tidak aku juga tidak akan menjawab begitu."
"Kecelakaan?" Tenten mengernyitkan dahi. "Ya ampun! Mengapa kau tak pernah bilang padaku? Jadi itu alasan mengapa aku tak melihatnya di sekolah hari ini? Kupikir dia sudah pindah sekolah."
Sakura meringis, merutuki dirinya sendiri yang mengucapkannya tanpa menyadari. Dengan terpaksa ia menceritakan mengenai Sasuke yang kebetulan berjalan di jalan yang sama dengannya dan menolongnya yang hampir tertabrak mobil hingga kini kehilangan tangan kanan nya.
"Aku merasa berhutang banyak padanya," ucap Sakura dengan perasaan tidak nyaman. Ia masih merasa tidak enak meski Sasuke tidak marah padanya.
Baik Tenten maupun Ino terdiam. Kedua nya saling berpandangan dengan mata terbelalak, merasa terkejut dengan cerita Sakura.
"Astaga," ucap Ino sambil memberikan selembar tisu pada Sakura yang mulai terlihat berkaca-kaca. "Kau sudah menemuinya? Dia tidak marah padamu, kan? Setidaknya ini bukan salahmu. Dia sendiri yang ingin menolongmu."
"Tidak sama sekali," Sakura menggelengkan kepala. "Karena itulah aku merasa semakin bersalah.
Ino menepuk bahu Sakura, sementara Tenten menyentuh tangan Sakura. Mereka berdua menatap Sakura dengan penuh simpati.
"Apa yang harus kulakukan? Aku membuat seseorang terluka parah," ucap Sakura dengan mata berkaca-kaca.
"Kurasa..." Tenten memutus ucapannya dan terdiam sejenak. "Ketimbang terus bersedih, sebaiknya kau melakukan sesuatu untuknya. Misalnya membawakan makanan? Atau memberikan catatan pelajaran selama dia tidak masuk?"
Sakura menganggukan kepala. Ucapan Tenten memang benar. Ia harus melakukan sesuatu untuk Sasuke sebagai balas budi.
.
.
Sakura mendorong kursi roda yang diduduki Sasuke. Ia memutuskan untuk mengunjungi Sasuke setelah makan siang bersama Ino dan Tenten serta mengajak lelaki itu untuk berjalan-jalan meski awalnya Sasuke merasa agak sungkan.
Sakura memutuskan untuk mengikuti saran Tenten. Ia akan berusaha merawat Sasuke sebaik mungkin sebagai bentuk permintaan maaf sekaligus balas budi pada lelaki itu.
"Hari ini adalah hari pertama sekolah, hn?"
"Ya," jawab Sakura. "Dan kita sekelas lagi tahun ini. Naruto dan Hinata juga sekelas dengan kita."
"Kau kecewa?"
Sakura menggelengkan kepala. Ketimbang kecewa, ia lebih merasa bersalah dan tidak nyaman jika harus bersama dengan Sasuke terus menerus karena perasaan yang membebaninya.
"Tidak. Justru aku malah berpikir jika kau akan kecewa berada di kelas yang sama dengan gadis yang mencelakaimu."
"Aku tidak berpikir begitu."
Sakura tersentak dengan apa yang diucapkan Sasuke. Namun Sasuke sendiri juga terkejut dengan kalimat yang ia ucapkan tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Ia tak mengerti mengapa sekarang dirinya mampu mengungkapkan perasaannya secara gamblang.
"Ah? Untunglah... awalnya kupikir kau akan sangat marah padaku. Jadi... aku agak takut menemuimu."
Sasuke tak mengira jika ia akan mendengar ungkapan hati seorang gadis. Ia memang tak ahli dengan apapun yang berkaitan dengan perasaan, namun setidaknya ia tahu jika ia harus melakukan sesuatu pada gadis itu.
"Kurasa aku belum pernah mengatakannya secara langsung," ucap Sakura sambil menundukkan kepala. "Maafkan aku... karena sudah melukaimu."
Sasuke melepaskan dua kancing terbawah piyama yang dipakainya dengan satu tangan dan memperlihatkan perban yang melilit perutnya. Terdapat gumpalan aneh di sisi kiri perutnya.
Sakura menatap dengan heran, dalam hati ia bertanya-tanya dengan apa yang dilakukan lelaki itu. Namun Sasuke segera menarik telapak tangan Sakura dan meletakkan tangan gadis itu di perutnya.
"Tak perlu merasa bersalah," ucap Sasuke sambil menekan tangan Sakura, membuat gadis itu merasakan tulang di gumpalan aneh itu. "Sementara telapak tanganku dipindahkan disini."
"Maksudmu?" Sakura mengernyitkan dahi meski sebetulnya ia merasa nyaman dengan telapak tangan lembut yang kini berada diatas tangannya. Kalau saja Sakura tidak mengendalikan dirinya, ia akan mengenggam telapak tangan Sasuke dan tak ingin melepaskannya.
"Dua bulan lagi aku akan menjalani operasi penyambungan tangan. Jika berhasil, tanganku dapat kembali berfungsi normal."
Sakura tersenyum, ia merasa lega. Setidaknya masih ada sedikit harapan bagi Sasuke untuk kembali normal.
"Syukurlah. Kuharap operasimu akan berhasil, Sasuke."
Sasuke bahkan tak lagi memahami dirinya sendiri. Ia tak mengerti mengapa ia merasa senang dengan ucapan Sakura dan bertindak diluar kebiasaannya. Ia bahkan tak masalah berbicara panjang lebar dan mengkhawatirkan gadis itu lebih dari yang seharusnya. Bahkan ia juga tak bisa merasa marah pada gadis itu.
.
.
Beberapa hari telah berlalu sejak kali terakhir Sakura mengunjungi Sasuke. Ia tak mengerti mengapa belakangan ini kerinduan terhadap Sasuke semakin menguat meski mereka bertukar pesan membicarakan berbagai hal. Sakura bahkan berkali-kali menemukan dirinya sendiri mencuri pandang kearah kursi kosong yang seharusnya merupakan tempat Sasuke.
Sakura bahkan mulai melakukan hal-hal yang sebelumnya takkan pernah dilakukannya bersama Sasuke. Kini ia bahkan nekat mengajak lelaki itu untuk bertemu dan makan bersama di sore hari setelah ia pulang ekskul.
Jantung Sakura berdebar keras ketika langkah kaki membawanya semakin dekat dengan restaurant tempatnya akan bertemu dengan Sasuke, Katanya Sasuke sudah tiba lima belas menit yang lalu, maka kini lelaki itu pasti sedang menunggu Sakura.
Sakura menepuk wajahnya sendiri yang mendadak memanas. Sudut bibirnya terangkat secara refleks saat ia melihat mobil Sasuke di kejauhan yang sudah terparkir di depan restaurant.
Sakura berdehem dan menutup mulutnya dengan satu tangan seraya berjalan menuju pintu masuk, mencoba menyembunyikan senyum yang terlanjur muncul di wajahnya. Seorang pelayan membuka pintu ketika melihat kedatangan Sakura dan mempersilahkan gadis itu masuk.
"Irassyaimase (selamat datang)," ucap pelayan itu sambil menundukkan kepala.
Sakura menatap sekeliling, berusaha mencari sosok Sasuke. Lelaki itu sudah menunggunya sejak tadi dan kini melambaikan tangan pada Sakura.
Sakura tak bisa menahan diri lagi. Ia kembali menyunggingkan seulas senyum dan berjalan dengan cepat menuju meja Sasuke tanpa melepaskan pandangannya dari lelaki itu.
"Konbawa."
Sakura tersenyum. Ia masih tak melepaskan pandangannya dari Sasuke. Kini ia bahkan menatap lelaki itu dari ujung kaki hingga ujung kepala, merasa terkagum dengan selera fesyen lelaki itu. Sore ini Sasuke memakai coat hitam yang mencapai lutut tanpa dikancingkan yang memperlihatkan dalaman berwarna abu-abu serta celana panjang hitam yang memperlihatkan kaki jenjangnya.
Sasuke mengernyitkan dahi. Ia merasa gugup dengan tatapan Sakura yang begitu intens terhadap dirinya, membuat wajahnya sedikit memerah. Ia merasa terkejut dengan reaksinya sendiri. Ia sama sekali tak pernah menduga jika iapun bisa bereaksi seperti ini.
"Apa yang kau lihat dariku, hn?"
Wajah Sakura memerah setengah mati. Ia cepat-cepat mengelak, "Tumben sekali penampilanmu seperti ini. Menyembunyikan tanganmu, eh?"
"Hn."
Sakura tersenyum, ia tak menduga jika lelaki cuek seperti Sasuke pun masih memperhatikan penampilan hingga repot-repot berusaha menyembunyikan tangannya dengan memakai coat di musim semi.
"Oh, ya. Kau sudah pesan makanan?" Tanya Sakura sambil melirik meja Sasuke yang masih kosong.
Seorang pelayan menghampiri meja mereka berdua dan menyerahkan buku menu untuk mereka berdua.
"Lho? Memangnya kau belum pesan makanan?" Tanya Sakura seraya melirik foto-foto yang tertera di buku menu.
"Aku menunggumu."
Jantung Sakura berdebar lebih keras. Ia kini mengulum sudut bibirnya, berusaha menahan diri agar tak tersenyum dihadapan Sasuke. Jawaban lelaki itu membuat Sakura merasa semakin terpesona. Lelaki itu memiliki 'manner' yang baik dan terkesan begitu memesona.
"Astaga. Kau pasti sudah lama menungguku, kan? Seharusnya memesan lebih dulu juga tidak masalah."
Sasuke tak menjawab. Tatapannya tertuju pada gambar-gambar makanan yang tertera di buku menu. Mata lelaki itu terlihat agak berbinar ketika mendapati menu tomat di restoran yang dikunjunginya.
Sejak tadi Sakura terus mengamati lelaki dihadapannya yang menyita perhatiannya. Meski buku menu berada dihadapannya, entah mengapa tatapannya malah tertuju pada Sasuke. Ia begitu sering mengamati lelaki itu hingga bisa menemukan lelaki itu dengan mudah di keramaian. Kini Sakura bahkan menyadari tatapan lelaki itu yang berbeda dari biasanya.
"Kutebak kau ingin memesan menu tomat. Bukankah begitu, Sasuke?"
Sasuke mengernyitkan dahi. Bagaimana bisa gadis itu mengetahui isi pikirannya? Apakah gadis itu begitu jago menebak? Atau malah dirinya sendiri yang begitu mudah untuk ditebak?
"Bagaimana kalau tidak?"
Sakura tersenyum tipis dan menatap dengan tatapan tidak percaya, "Lho? Bukankah kau berusaha memakan apapun yang brkaitan dengan tomat kapanpun dan dimanapun? Aku bahkan melihatmu makan pagi hanya dengan satu mangkuk penuh salad berisi tomat dan satu piring omelette dengan saus tomat. Apa kau akhirnya bosan dengan tomat?"
Wajah Sasuke terasa memanas entah sejak kapan. Dadanya bahkan terasa menghangat. Ia tak pernah mengira dirinya merasa begitu senang hanya dengan perhatian yang ditujukan padanya. Sebetulnya, ia merasa senang hanya dengan menghabiskan waktu bersama gadis yang kini berada dihadapannya.
"Mau pesan makanan tidak?"
Sasuke cepat-cepat mengalihkan pembicaraan dan mengalihkan pandangan dari Sakura. Ia merasa benar-benar gugup menanggapi senyuman yang sejak tadi terus menerus ditujukan padanya.
.
.
"Aish! Bagaimana kita menghabiskan semua makanan ini? Kau pesan banyak sekali, sih," keluh Sakura seraya menatap makanan-makanan yang memenuhi meja. Diatas meja terdapat satu loyang pizza berukuran besar dengan delapan slice pizza, lasagna, spaghetti Bolognese, sup tomat, dua piring berisi empat potong bruschetta tomat.
Sasuke tak menyahut. Ia sibuk meminum jus tomat dari gelas pertama yang ia pesan. Diatas mejanya sudah ada dua gelas jus tomat khusus untuk dirinya sendiri, sementara Sakura hanya memesan satu gelas lemon tea.
"Omong-omong, bagaimana kau bisa makan dengan satu tangan? Apa kau perlu bantuan untuk makan? Atau setidaknya memotong makanan?"
Pertanyaan Sakura membuat Sasuke mendadak mendapat ide untuk menjahili gadis itu. Sebetulnya ia bisa saja memakan bruschetta atau pizza langsung dengan tangan tanpa memotong terlebih dahulu walau sebetulnya ia merasa tidak nyaman. Setidaknya ia masih tidak terlalu kesulitan karena ia kidal, namun ia sengaja tidak ingin melakukannya hari ini.
"Aku belum terlalu terbiasa. Jadi bisakah kau membantuku?"
"Membantumu? M-maksudnya-" Sakura memutus ucapannya. Wajahnya memerah hanya dengan membayangkan jika ia benar-benar melakukan apa yang ia pikrikan, "-maksudnya...m-menyuapi-mu?"
Sasuke menahan diri agar tak tertawa geli. Rasanya ia kini terkena karma setelah berkali-kali memarahi sang kakak karena begitu jahil. Ia tak menyangka jika menjahili orang akan begitu menyenangkan.
"Kau ingin menyuapiku?"
"Kau meminta bantuanku untuk menyuapimu, kan?"
"Hn? Kapan aku mengatakannya?"
Sakura merasa malu dengan kesalahpahaman nya. Ia kini terkesan seperti seorang gadis murahan yang berusaha menggoda seorang pria dengan cara yang tidak elegan.
"Aku ingin bruschetta," ucap Sasuke dengan wajah datar, namun ia tertawa dalam hati melihat ekspresi Sakura yang terkejut sesaat.
Sakura mengambil sepotong bruschetta dan berusaha memotongnya. Ia tahu jika bentuk bruschetta itu akan berantakan jika ia memotongnya. Tomat-tomat diatas bruschetta juga akan berceceran jika ia memotongnya. Namun ia tetap berusaha memotongnya agar Sasuke lebih mudah untuk memakannya.
"Jangan dipotong," ucap Sasuke sambil menunjukkan gesture membuka mulutnya, berharap agar Sakura mengerti maksudnya.
Sakura segera menusukkan bruschetta itu dengan garpu. Ia mengarahkannya ke mulut Sasuke. Lelaki itu segera membuka mulut dan menggigit setengah potong bruschetta serta mengunyahnya perlahan. Namun sepotong kecil tomat hendak jatuh dan Sakura buru-buru menahannya dengan tangan agar tidak sampai jatuh ke meja. Namun Sasuke secara refleks mengigit potongan tomat di tangan Sakura tepat sebelum gadis itu menarik tangannya sehingga bibir Sasuke bersentuhan dengan tangan Sakura.
Untuk sesaat Sakura terdiam saat merasakan bibir lembut Sasuke yang bersentuhan dengan kulitnya. Jantungnya berdegup lebih keras dan ia menatap tangannya sendiri untuk sesaat sebelum ia menariknya.
Sasuke menyadari apa yang ia lakukan dan segera menundukkan kepala sesaat kemudian, "Maaf. Tidak seharusnya aku bersikap tidak sopan pada seorang gadis."
"Tidak," Sakura menggelengkan kepala. "Tidak masalah. Kau pasti merasa sayang dengan tomat yang terbuang sia-sia, kan?"
Sasuke mengerjapkan mata, tak percaya jika gadis dihadapannya bisa mengerti isi pikirannya. Ia sebetulnya menggigit tomat di tangan Sakura secara refleks. Ia begitu menyukai tomat hingga merasa tidak rela jika ada tomat yang terbuang sia-sia, meski hanya sepotong kecil sekalipun.
"Kali ini jangan sia-siakan tomatmu lagi, ya," ucap Sakura sambil mengarahkan potongan bruschetta yang masih berada di garpu ke mulut Sasuke.
Sakura segera mengambil sepotong pizza setelah menyuapi Sasuke dan makan sementara lelaki itu sedang mengunyah makanannya. Sakura tersenyum tipis ketika paduan roti tipis yang dipadukan dengan saus tomat, daging, sosis dan keju memasuki indra pengecapnya. Perpaduan rasa itu menghasilkan rasa makanan yang begitu lezat dan membuat Sakura merasa senang.
Sakura benar-benar menyukai pizza itu, entah karena rasanya memang benar-benar enak atau keberadaan Sasuke menambah kelezatan makanan yang disantapnya. Ia merasa senang karena Sasuke memilih restaurant yang enak untuk kesekian kalinya.
"Kau ingin makan la-"
Ucapan Sakura terputus ketika ia melihat Sasuke mengambil bruschetta dengan garpu di tangan kirinya dan menggigit bruschetta itu dengan mudah.
Rasanya Sakura benar-benar tak mengerti mengapa Sasuke berpura-pura kesulitan untuk makan hingga meminta bantuannya ketika ia bisa makan dengan mudah tanpa bantuan. Lelaki itu tidak mungkin sengaja menjahilinya, kan?
"Lho? Ternyata kau bisa makan sendiri? Mengapa kau malah memintaku membantumu untuk makan?"
Sasuke berpura-pura berdecak kesal meski sebetulnya ia menikmati kesenangan yang ia dapat dari menjahili gadis itu, "Ck... aku tidak pernah bilang aku tidak bisa makan sendiri, lho."
Sakura merasa benar-benar dipermainkan. Ia mengepalkan tangan dengan jengkel, namun di sisi lain ia merasa senang memiliki kesempatan untuk menyuapi lelaki itu.
"Sejak kapan kau menjadi sejahil ini? Kau tidak mungkin mulai terpengaruh oleh baka Naruto, kan? Atau mungkin anikimu sempat mengajarimu bagaimana cara menjahii seseorang?"
Sasuke tersenyum tipis sambil mengendikkan bahunya, "Tidak ada salahnya mencoba hal baru, hn?
"Rasanya sulit membayangkanmu menjadi orang yang jahil," ucap Sakura sambil tersenyum tanpa ia sadari. Senyuman Sasuke terasa menular dan membuat hatinya menghangat hingga ia juga ikut tersenyum.
"Ternyata menjahilimu benar-benar menyenangkan," ucap Sasuke dengan jujur. Ia tak lagi berniat menyembunyikan segala hal yang ia pikirkan dalam benaknya sendiri.
"Ya ampun. Kupikir aku baru saja merasa kesepian karena seseorang yang menjahiliku baru saja pergi."
Sakura merasa agak tidak enak. Pembicaraannya barusan pasti membuat Sasuke kembali teringat akan sang kakak dan malah merusak mood lelaki itu. Ia merutuki kebodohannya yang tak memahami kondisi Sasuke.
"Sejujurnya aku tak pernah menyangka, ternyata menghabiskan waktu bersamamu begitu menyenangkan. Berbicara denganmu juga membuatku nyaman."
Untuk sesaat Sasuke terdiam. Ia terkejut dengan apa yang diucapkan Sakura dan mengira jika ia salah dengar. Atau jangan-jangan, ia sedang berhalusinasi.
Wajah Sakura memerah. Perasaan yang selama ini ia rasakan membuatnya merasa sesak. Ia merasa tak tahan lagi, ia harus mengungkapkan perasaannya.
"A-aku suka padamu, Sasuke," ucap Sakura dengan gugup, namun setidaknya suaranya cukup keras untuk dapat didengar Sasuke. Wajahnya kini terasa panas dan mungkin sja terlihat semerah tomat.
Mata Sasuke terbelalak. Ia merasa benar-benar senang, namun di satu sisi ia merasa malu. Harga dirinya sebagai pria terkoyak ketika seorang gadis yang menarik atensinya menyatakan cinta terlebih dulu padanya. Ini bukan kali pertama baginya mendengar pernyataan semacam itu. Biasanya pernyataan semacam itu membuatnya bingung dan tidak nyaman, namun berbeda dengan kali ini.
"Apa yang kau sukai dariku? Aku tak mengerti apa alasan gadis-gadis memberikan pernyataan semacam itu padaku."
Sakura meneguk ludah. Ia merasa malu setelah menyatakan perasaan pada seorang pria terlebih dulu. Kini ia bahkan terkesan seperti sedang diintrogasi.
"Semuanya," sahut Sakura sambil memberanikan diri menatap mata Sasuke meski jantungnya berdebar keras dan wajahnya sudah memerah sejak tadi. "Aku menyukai semua kelebihan dan kekuranganmu."
Sasuke mengulurkan tangan dan mengelus rambut Sakura dengan lembut sebelum meletakkan dua jarinya di kening Sakura. Ia merasa senang ketika menyentuh gadis itu, dan ia lebih merasa senang ketika gadis itu tersenyum padanya.
"Dua bulan lagi, ketika operasi lanjutanku sudah selesai, aku akan menjawabmu."
Sakura sedikit terkejut. Apakah Sasuke memerlukan waktu selama itu untuk berpikir dan memberikan jawaban padanya? Namun sebetulnya Sakura tak mengharapkan jawaban apapun dari lelaki itu. Ia hanya ingin mengungkapkan perasaannya dan melepaskan bebas yang selama ini ia rasakan karena memendam perasaan pada lelaki itu.
Setidaknya Sasuke telah memberikan kepastian pada Sakura. Dan apapun jawaban lelaki itu, Sakura akan menghargainya.
"Sebetulnya jika kau tak menjawabku sekalipun aku tidak keberatan. Namun aku akan menunggu jawabanmu."
Sasuke tersenyum, menampilkan senyum termanisnya yang hanya ingin ia tunjukkan pada Sakura. Tak hanya Sakura, ia pun tak sabar menunggu saat dimana ia akan menjawab gadis itu, sekaligus meminta Sakura menjadi kekasihnya.
-The End-
Author's Note :
Ga nyangka udah hampir 2 tahun sejak publish chapter pertama fanfict ini. Terima kasih buat para adders yang udah baca cerita ini dari chapter pertama sampai ending. Maaf kalau ending nya mungkin ga sesuai harapan.
Ada beberapa perubahan rencana berkaitan dengan fanfict ini juga. Awalnya sempet berniat buat sad ending, tapi rasanya sayang juga. Awalnya sempet berniat ga masukin romance sedikitpun, tapi akhirnya nemu bagian yang pas buat dimasukin unsur romance. Aku tipe author yang memikirkan ide sambil nulis chapter, jadi terkadang saat nulis 1 fanfict pun aku belum punya gambaran pasti mengenai konflik atau ending nya (Jangan ditiru ya...).
Epilog bakal diupdate secepatnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top