Chapter 24


"Teme, aku datang bersama Sakura-chan," ucap Naruto dengan lirih ketika ia masuk ke dalam ruangan Sasuke.

Naruto menatap Sakura yang tampak mengerjapkan mata karena terkejut, kemudian mengalihkan pandangan dari tubuh Sasuke. Mata gadis itu tampak berkaca-kaca akibat perasaan bersalah.

Sakura tak memperhatikan Naruto. Ia menatap ke sekeliling ruangan dan tak mendapati sosok Itachi di dalam ruangan. Sejujurnya ia berharap lelaki itu ada di ruangan saat ini.

"Ya ampun," seru Naruto ketika ia membuka selimut yang menutupi tubuh Sasuke dan mendapati telapak tangan kanan Sasuke yang sudah hilang.

Sakura segera menghampiri Naruto dan membelalakan mata. Ia menatap perban yang melilit bagian pergelangan tangan Sasuke yang sudah terpotong dan merasa semakin bersalah. Sebagian dirinya bahkan berharap agar Sasuke tak akan pernah sadar sehingga tak perlu menghadapi realita yang menyakitkan. Sakura tak siap menghadapi Sasuke ketika lelaki itu sudah siuman dan menyadari ia tak lagi memiliki tangan.

"Sasuke," ucap Sakura dengan parau meski ia tak yakin Sasuke dapat mendengarnya. "Maafkan aku. Kalau saja saat itu kau tak menyelamatkanku, kau tak perlu jadi begini."

Sakura tak berani menatap wajah Sasuke. Ia hanya memandangnya sekilas dan hatinya terasa benar-benar sakit. Seandainya saja lelaki itu tak menyelamatkan Sakura, lelaki itu bisa menghabiskan waktu liburan yang hanya tersisa satu minggu dengan bersenang-senang, bukan dengan terbaring antara hidup dan mati di rumah sakit.

Sakura mengulurkan tangan dan memberanikan diri menyentuh tangan kanan Sasuke. Tangan itulah yang sempat menggendong tubuh Sakura dalam waktu yang lama hingga tangan lelaki itu pegal. Dan kini lelaki itu bahkan tak lagi memiliki tangan.

Sakura tahu jika Sasuke terlihat bahagia ketika sedang memainkan piano. Dan lelaki itu bagaikan mencurahkan seluruh emosinya ketika bermain piano. Seandainya lelaki itu tak mampu bermain piano sebaik dulu, hati lelaki itu pasti akan sangat hancur.

Sakura melirik kearah Naruto yang diam-diam meneteskan air mata. Tak hanya dirinya, bahkan Naruto pun ikut merasa sedih.


.

.


Sakura berjalan disamping Naruto menyusuri lorong untuk menuju lift. Tak satupun dari mereka yang berniat memulai percakapan sejak meninggalkan ruangan Sasuke. Mereka berdua seolah larut dalam pkirannya masing-masing.

"Kau ingin makan di kedai ramen-" Naruto memutus ucapannya sendiri. Ia membelalakan mata dan mengerjapkan matanya beberapa kali, tak yakin dengan apa yang dilihatnya.

Tak berbeda dengan Naruto, Sakura juga melakukan hal yang sama. Mereka berdua terkejut ketika melihat sosok seorang laki-laki paruh baya dengan wajah tegas berjalan dengan arah yang berlawanan dengan mereka. Mereka berdua mengenali lelaki itu sebagai ayah Sasuke.

"Konbawa, ojii-san," ucap Naruto dan Sakura seraya menundukkan kepala secara bersamaan ketika ayah Sasuke terlihat mengenali mereka berdua. Sakura dan Naruto tak berharap jika ayah Sasuke akan membalas sapaan mereka. Toh setidaknya mereka berdua sudah berinisiatif menyapa.

Fugaku tersenyum tipis. Ia mengenali Sakura sebagai putri rekan bisnis dan teman istrinya yang terkadang ia temui. Sementara ia juga mengenali lelaki muda berambut pirang yang merupakan teman Sasuke meski ia sendiri belum pernah bertemu dengan Naruto secara langsung.

"Konbawa, Haruno-san dan..." Fugaku memutus ucapannya dan menatap Naruto, "Siapa namamu?"

"Uzumaki Naruto, senang bertemu dengan anda, ojii-san."

"Senang bertemu denganmu," ucap Fugaku dengan maksud berbasa-basi.

Sakura dan Naruto mengangkat kepalanya dan menatap satu sama lain. Entah kenapa Sakura merasa tidak nyaman dengan ayah Sasuke. Ia bahkan tak pernah bicara dengan ayah Sasuke kecuali untuk menyapa ketika mereka bertemu.

"Apa kalian memiliki waktu sebentar?"

Ucapan Fugaku membuat Naruto dan Sakura terkejut. Mereka berdua menganggukan kepala dengan sopan.

"Tentu saja. Kalau boleh tahu, ada apa, oji-san?" ucap Sakura sesopan mungkin meski sebetulnya ia tak mengerti mengapa ayah Sasuke menanyakan hal itu.

"Ikutlah makan malam bersamaku."

"Tidak usah repot-repot, ojii-san," tolak Naruto sambil tersenyum canggung. Sakura ikut menganggukan kepala, mengiyakan ucapan Naruto.

Fugaku menggelengkan kepala, "Tidak masalah. Ada yang ingin kubicarakan dengan kalian."

Naruto dan Sakura kembali menatap satu sama lain, bertanya-tanya dengan apa yang akan dikatakan ayah Sasuke pada mereka berdua.


.

.


"Gochisosama deshita," ucap Sakura dan Naruto seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada.

Mereka berdua meneguk segelas teh dengan sangat perlahan dan memastikan diri agar tidak menimbulkan suara apapun. Bahkan ketika makan, mereka juga berusaha makan dengan sangat perlahan agar tidak menimbulkan suara apapun.

Sepanjang makan malam, mereka berdua hanya mengucapkan salam yang biasa diucapkan ketika sebelum dan sesudah makan. Selama makan malam tak ada seorangpun yang berbicara. Suasana makan malam benar-benar hening dan membuat Naruto maupun Sakura merasa gugup.

Kini Naruto mengerti mengapa Sasuke begitu formal ketika sedang makan. Lelaki itu bahkan tak mengucapkan sepatah katapun ketika sedang makan dan makan dengan sangat perlahan. Sepertinya lelaki itu sudah terbiasa makan dengan cara yang penuh tata krama formal seperti ini.

"Bagaimana pendapat kalian mengenai Sasuke?"

Pertanyaan Fugaku membuat Sakura dan Naruto tersentak. Lelaki itu bahkan tidak berbasa-basi sama sekali.

"Ah... umm..." Sakura tampak gelagapan. Ia tak tahu bagaimana harus mengatakannya.

"Jawablah dengan jujur. Aku tidak keberatan dengan apapun yang kalian katakan."

Naruto segera menjawab tepat ketika Fugaku selesai berkata. Ia bahkan seolah tidak berpikir sama sekali, "Sasuke adalah temanku. Apapun yang dia lakukan, bagiku dia adalah yang terbaik."

Fugaku agak terkejut dengan jawaban Naruto. Ia sudah mendengar mengenai Naruto dari salah satu informan terpercaya miliknya. Ia sendiri tak begitu yakin ada orang yang dengan mudahnya percaya pada orang lain hingga bertemu secara langsung dengan Naruto.

Tak hana Fugaku, bahkan Sakura pun langsung menatap Naruto yang terlihat sangat serius dengan ucapannya. Bahkan raut wajahnya yang hampir tak pernah terlihat serius, kali ini terlihat sangat serius.

"Hn? Bagaimana menurutmu, Haruno-san?"

"Menurutku..." Sakura terdiam sejenak. "Dia adalah orang yang sangat baik, meskipun dia tak banyak bicara. Meskipun hubungan kami tak terlalu baik, dia bahkan masih mau menolongku hingga dia menjadi begini."

Sakura segera menundukkan kepalanya dan berkata, "Maafkan aku."

Fugaku menggelengkan kepala. Sakura tak perlu meminta maaf padanya. Kecelakaan yang dialami Sasuke merupakan konsekuensi dari perbuatannya sendiri. Lagipula Fugaku seharusnya merasa bersyukur karena ia kini mendapat kesempatan untuk membiarkan Sasuke mati tanpa perlu mengotori tangan untuk membunuhnya.

Sejak awal Fugaku berniat menemui Naruto dan Sakura dan mengajak mereka berdua berbicara untuk mengetahui lebih banyak informasi mengenai Sasuke dari orang-orang yang berinteraksi secara langsung dengannya. Namun ia malah bertemu dengan Naruto dan Sakura tanpa perlu repot-sepot mencarinya.

"Tidak perlu meminta maaf padaku. Kecelakaan yang dialami Sasuke merupakan konsekuensi dari perbuatannya sendiri."

Reaksi Mikoto dan Fugaku benar-benar berbeda. Ketika Mikoto bersikap emosional, Fugaku bersikap logis. Sakura masih tak habis pikir mengapa orang yang bersikap logis seperti Fugaku bisa memperlakukan anaknya sendiri dengan sangat buruk hanya karena hal yang bersifat emosional.

"Ah, iya," jawab Sakura dengan nada datar.

"Menurut kalian, apa yang disukai Sasuke? Selama ini aku tidak akrab dengannya, karena itu aku tidak banyak tahu mengenai dirinya." Ucap Fugaku dengan ekspresi wajah yang agak sulit dipahami. Ia mengerti jika Naruto maupun Sakura pasti akan bertanya-tanya dengan alasannya bertanya seperti ini. Maka ia dengan terpaksa sedikit menjelaskan meski sebetulnya ia tak suka menjelaskan apapun yang ia lakukan pada orang asing.

"Tomat," sahut Naruto. "Sasuke terlihat sangat senang ketika makan tomat. Bahkan dia akan tersenyum ketika makan tomat, meski biasanya dia sangat jarang tersenyum."

"Dan kurasa Sasuke juga menyukai musik. Aku pernah mendengarnya bermain piano, dan permainan piano nya sangat bagus. Bahkan banyak orang memujinya ketika dia bermain drum di game centre,' timpal Sakura.

"Musik.. ya?" gumam Fugaku dengan suara pelan, seolah bicara pada dirinya sendiri. Ia tak menyangka Sasuke bahkan nekat belajar bermain drum diam-diam ketika ia sama sekali tak mengijinkannya. Ia tak menyukai musik yang berisik, terkesan urakan dan tidak elegan sama sekali.

"Ah... Sasuke terkadang juga bermain piano untuk upacara di sekolah. Rasanya, kalau dia yang bermain musik, upacara jadi tidak terlalu membosankan."

"Hn. Jangan katakan pada siapapun jika aku menanyakan hal-hal seperti ini pada kalian, termasuk juga Sasuke."

"Tentu saja, oji-san. Percayalah padaku," ucap Naruto sambil tersenyum.

Sakura menganggukan kepala meski merasa agak takut dengan tatapan dan intonasi yang mengintimidasi dari Fugaku. Ia sungguh berharap Fugaku akan bersikap lebih baik pada Sasuke setelah ini.


.

.


Fugaku memijat pelipisnya sendiri, berharap agar rasa sakit di kepalanya sedkit menghilang. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, namun ia bahkan sama sekali tidak bisa tidur. Ia mulai memikirkan banyak hal saat bertemu dengan Itachi saat menjenguk Sasuke, dan ia semakin tidak nyaman dengan beban perasaan yang dirasakannya mengenai Sasuke.

Ucapan Sakura dan Naruto membuatnya merasa malu. Bagaimana mungkin orang lan bahkan lebih mengenal putranya ketimbang dirinya sendiri yang bahkan tak tahu apapun mengenai Sasuke.

Sudah lebih dari seminggu Sasuke tak berada di rumah dan seharusnya Fugaku merasa senang. Namun entah kenapa ia malah merasa seolah ada yang kurang. Biasanya, ada sosok yang ia hindari ketika ia berada di rumah. Namun ketika sosok itu benar-benar pergi, ia malah merasa kehilangan.

Fugaku segera memejamkan mata. Ia berusaha memanggil Itachi, berharap agar lelaki itu datang dan menemaninya berbicara. Dan ketika ia membuka matanya, Itachi telah berada dihadapannya.

"Otou-san, ada apa memanggilku?"

Seperti biasa, Itachi tak ingin berbasa-basi, begitupun dengan Fugaku. Namun Fugaku memilih untuk sedikit mengulur waktu sekaligus memikirkan kata-kata yang tepat untuk ia tanyakan.

"Duduklah. Aku ingin berbincang denganmu."

Itachi segera mendudukkan diri di kursi yang berhadapan dengan ayahnya. Ia bahkan dengan sengaja menarik kursi meski ia bisa langsung menembus kursi itu dan mendudukinya. Ia mengamati ruang kerja ayahnya yang tak banyak berubah dibanding kali terakhir ia melihatnya.

"Bagaimana keadaan Sasuke?"

Sesaat Itachi tersenyum tipis, tak menduga jika sang ayah akan mengajukan pertanyaan semacam ini. Namun senyumnya segera menghilang sedetik kemudian dan ekspresi wajahnya kembali serius.

"Masih seperti biasanya."

"Hn? Bisakah kau berkomunikasi dengan rohnya? Kalau bisa, tolong mintalah padanya untuk segera siuman jika memungkinkan."

Itachi mengeluh dalam hati. Ia tak menduga jika ayahnya memanggilnya hanya untuk memerintahkan Sasuke agar siuman. Jika menggunakan cara seperti ini, ia yakin Sasuke akan menolak meski ia bisa melakukannya.

"Hn. Namun kurasa dia tak ingin melakukannya."

"Mengapa?"

Itachi berpikir sejenak, haruskah ia menceritakan pada ayahnya mengenai Sasuke yang sempat meluapkan emosi dihadapannya?

"Dia mengatakan padaku jika dia ingin 'pergi' saja jika bisa. Kurasa dia bahkan telah kehilangan tujuan pribadi dalam hidupnya."

Fugaku melirik putranya dengan tajam, berusaha memastikan jika Itachi tidak berusaha melebih-lebihkan cerita. Ia sendiri tak begitu yakin jika Sasuke benar-benar mengatakan hal seperti itu. Di matanya, anak itu adalah orang yang 'tak tahu malu' karena telah hidup dengan 'merampas' hidup orang lain.

Itachi menyadari jika ayahnya terlihat ragu padanya. Ia segera menatap balik ayahnya dengan tajam, membiarkan sang ayah menatap matanya dan memastikan sendiri melalui gesture nya. Kali ini ia memang tidak berbohong. Sasuke memang mengatakan hal itu, bahkan belakangan ini Sasuke mulai agak manja padanya. Lelaki itu bahkan meminta tachi untuk tidak meninggalkannya sendirian, entah karena apa.

"Pergi...? Dia bilang begitu?"

Fugaku mengucapkannya tanpa ia sadari. Ekspresi wajahnya bahkan terlihat muram meski ia berusaha agar ekspresi wajahnya tetap terkesan datar.

Fugaku menyadari jika ia memang telah mengatur banyak hal dalam hidup Sasuke. Ia menentukan bagaimana lelaki itu seharusnya bertindak secara garis besar, hal seperti apa yang seharusnya menarik minatnya dan tidak, termasuk gaya berpakaian yang harus terlihat 'berkelas'. Bahkan sekarang ia juga mengatur dimana Sasuke akan melanjutkan pendidikan dan jurusan apa yang akan diambil, bahkan juga dengan pekerjaan setelah lulus.

"Hn."

"Kudengar dia menyukai musik. Apakah dia mau melanjutkan hidupnya seandainya aku membiarkannya mempelajari music lebih dalam?"

"Kurasa asalkan orang-orang terdekatnya menginginkan keberadaannya dan mau menyayanginya dengan tulus, dia pasti bersedia melanjutkan hidupnya dengan sukarela. Kelihatannya dia merasa senang dengan sentuhan fisik sekali-sekali."

Fugaku teringat dengan dirinya sendiri yang terkadang menyentuh kening Itachi dengan dua jari ketika putranya masih kecil. Saat itu Itachi terlihat sangat senang dan bahkan menurunkan kebiasaan itu pada Sasuke. Fugaku juga terkadang menggendong Itachi dan mengajaknya berjalan-jalan saat kecil, dan Itachi juga melakukan hal yang sama pada Sasuke ketika Sasuke lahir.

Fugaku tersadar akan satu hal. Sedingin apapun kepribadian kedua putranya, pada dasarnya kedua putranya juga merupakan manusia yang memiliki perasaan. Mereka berdua akan merasa senang ketika mendapat perlakuan yang mengekspresikan kasih sayang.

Ketika Sasuke kecil, Fugaku tak begitu memperhatikan Sasuke. Bahkan Sasuke lebih dekat dengan Itachi yang memperhatikannya ketimbang dirinya. Namun anak itu begtu polos, menggemaskan, perhatian dan agak banyak bicara ketika kecil. Seiring berjalannya waktu, kepribadian Sasuke mulai berubah menjadi dingin dan irit bicara, namun tetap perhatian pada orang disekelilingnya.

"Aku baru sadar," ucap Fugaku dengan jujur. "Ternyata aku juga akan merasa sedikit kehilangan ketika Sasuke tak lagi berada di rumah dan tak bisa lagi mendengar suaranya."

Itachi hanya menatap ayahnya tanpa mengatakan apapun. Sepertinya kini sang ayah telah memahami maksud ucapannya dan mulai menyadari jika pada akhirnya ia pun akan merindukan keberadaan Sasuke.

"Aku tak tahu dan tak peduli apa yang dia sukai dan apa yang diinginkannya. Mungkinkah dia akhirnya merasa kesal setelah bertahun-tahun hidup dengan perlakuan buruk dariku maupun orang disekelilingnya dan terus menerus dikontrol olehku?"

Itachi menggelengkan kepala, "Dia berbicara padaku kemarin, bahkan bersikap sangat emosional. Ketimbang kesal, kurasa ia lebih terlihat lelah dan kecewa dengan perlakuan yang diterimanya."

"Aku sangat menyesal," ucap Fugaku dengan lirih.

Itachi sedikit terkejut. Ini merupakan kali keduanya melihat sang ayah bersikap emosional setelah melihat ayahnya bersikap emosional untuk pertama kalinya saat kematiannya sendiri. Melalui sorot matanya, Fugaku juga terlihat sangat menyesal.

"Bagaimana jika otou-san kembali menjenguknya dan mencoba berbicara padanya? Kurasa akan berbeda jika otou-san yang mengatakannya langsung ketimbang aku yang mengatakannya."

"Hn. Aku pasti akan mengunjunginya," ucap Fugaku dengan keseriusan yang terpancar di matanya.

Itachi merasa senang sekaligus legas. Perlahan satu persatu hal yang menjadi bebannya mulai hilang. Kini ia hanya perlu mengkhawatirkan Sasuke yang seolah tak ingin melepasnya.


-TBC-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top