Chapter 15

"Lho? Mengapa kau terkesan membelanya, sih? Jangan-jangan kau jatuh cinta padanya, ya?"

Sakura menggelengkan kepala menanggapi ucapan Ino. Mana mungkin ia semudah itu jatuh cinta pada Sasuke? Perasaan yang dimilikinya pada lelaki itu hanyalah rasa kasihan.

"Kapan aku membelanya, pig? Itu hanya perasaanmu saja."

Ino menyeringai, "Buktinya kau menyangkal saat Tenten bilang jika dia merasa kasihan padamu karena menghabiskan satu minggu bersama Sasuke."

"Ya karena aku merasa biasa-biasa, saja."

Tenten ikut menyeringai, "Hati-hati. Rasa benci bisa berubah menjadi cinta, lho. Setelah kau merasa benci, lalu biasa-biasa saja, sebentar lagi kau akan jatuh cinta padanya."

Sakura menghela nafas panjang, "Kalian juga ikut merasa jijik padanya, kan? Bagaimana jika kalian nanti juga jatuh cinta padanya?"

Ino dan Tenten terdiam sejenak. Ucapan Sakura membuat mereka merasa tertohok dan malu membayangkan jika mereka benar-benar jatuh cinta pada Sasuke.

"Tidak mungkin. Cintaku adalah Sai tahu!" ucap Ino dengan suara keras, namun setelahnya ia menundukkan kepala ketika menyadari beberapa orang meliriknya.

Sakura tersenyum tipis. Wajah Ino kini terlihat merah padam dan kepalanya tertunduk. Ia merasa benar-benar malu dengan apa yang ia ucapkan.

"Sejak kapan kau jadian? Mengapa aku dan Tenten tidak tahu? Ya ampun, pig!"

Wajah Ino semakin memerah, "Uh.. sebenarnya kami belum jadian, sih. Itu... aku yang suka padanya."

Sakura dan Tenten tertawa keras. Ucapan Ino terdengar menyedihkan dan entah kenapa malah membuat mereka ingin tertawa.

"Ck... jangan menertawakanku, forehead. Kalau tidak akan kusumpahi kau menjadi kekasih Sasuke."

"Sumpahmu tidak buruk-buruk amat, kok," ucap Sakura secara refleks, membuat Tenten dan Ino menoleh.

"Wah! Jadi kau benar-benar suka padanya, Sakura?" Tenten bertanya sambil menatap Sakura lekat-lekat.

"Tidak kusangka. Hanya dalam satu minggu saja perasaan jijik bisa berubah menjadi cinta."

Sakura merasa malu. Ia cepat-cepat menggelengkan kepala, "Ya setidaknya dia memiliki banyak uang. Wajahnya tidak buruk-buruk amat. Sepertinya pintar juga, sih."

Ino dan Tenten menatap Sakura sambil menyeringai. Mereka berdua tampak bersiap meledek Sakura. Namun sebelum mereka berdua melakukannya, Sakura berusaha menghindari kecurigaan mereka dengan cepat-cepat berkata, "Ah, dia pintar memasak dan gentlemen juga ternyata. Dia bahkan pernah beberapa kali mentraktirku. Jadi, kalau dia menjadi kekasihku, aku bisa memanfaatkannya."

"Huh! Dasar materialistis!" ucap Ino dengan ketus.

"Kok mendadak aku malah merasa kasihan pada calon kekasih Sakura, ya?" timpal Tenten.

"Ah, tidak. Maksudnya -"

Sakura memutus ucapannya. Ia merasa tidak enak, padahal ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk berhenti membicarakan Sasuke dengan kalimat yang menyakitkan. Seharusnya ia tak perlu memedulikan jika ia akan dianggap aneh. Namun faktanya, ia mengkhawatirkan imej nya sendiri.

"-aku tidak ingin dianggap aneh kalau aku mengucapkan hal-hal yang bagus mengenai Sasuke, tahu, Jadi kubilang saja kalau aku akan memanfaatkannya. Sebetulnya aku tidak sematre yang kalian bayangkan, kok." ucap Sakura dengan jujur.

Tenten dan Ino tertawa seketika mendengar ucapan Sakura yang entah kenapa terdengar begitu polos hingga terkesan lucu. Wajah Ino bahkan memerah dan ia memegang perutnya yang sakit.

"Jujur sekali, sih," ucap Tenten sambil tersenyum. "Itu hanya perasaanmu saja, Sakura. Aku tak pernah berpikir kau aneh. Sejujurnya, kurasa opiniku pada Sasuke juga mulai berubah sejak makan-makan di ulang tahunmu."

Ino menepuk bahu Sakura dan merangkulnya dengan erat, "Ya ampun! Mana mungkin aku berpikir sahabatku adalah orang aneh. Kalau aku menganggapmu aneh, aku tak akan mau pergi bersamaku sekarang."

Sakura tersenyum lega. Setidaknya ia tak perlu mengkhawatirkan persepsi sahabat-sahabatnya terhadap dirinya.

.

.

Itachi menatap cemas kearah Sasuke yang sedang tertidur. Lelaki itu memejamkan mata dan tertidur dengan lelap, namun wajahnya terlihat agak pucat.

Sejak beberapa hari yang lalu Sasuke terkena flu, namun juga mengalami mual, demm dan muntah-muntah. Mikoto akhirnya meminta supir dan satpam untuk terlebih dahulu membawa Sasuke ke UGD dan akhirnya meminta dokter agar membiarkan Sasuke dirawat di rumah sakit meskipun sebetulnya Sasuke hanya terkena vertigo akibat virus yang bermula dari flu.

Baik Mikoto maupun suaminya tidak ingin mengurusi Sasuke di rumah. Selain itu mereka juga tak ingin menambah pekerjaan para pembantu rumah tangga dengan kewajiban mengurus Sasuke yang sedang sakit.

Rasanya Itachi benar-benar jengkel hanya dengan melihat kelakuan kedua orang tuanya. Tak bisakah mereka 'move on' dan mulai memperlakukan satu-satunya anak mereka dengan baik? Namun tak ada yang bisa ia lakukan selain hanya melihat Sasuke yang diperlakukan dengan buruk. Ia sudah pernah mencoba berbicara pada ayahnya mengenai Sasuke, namun ayahnya bahkan langsung mengganti topik ketika ia baru saja memulai pembicaraan.

Ia menatap Sasuke dengan perasaan kasihan. Rasanya ia tak habis pikir bagaimana bisa selama dua hari tak seorangpun menjaga atau setidaknya menjenguk Sasuke. Orang tuanya bahkan tak memberitahu siapapun jika putra mereka sedang sakit, sehingga kolega atau bahkan teman-teman kelompok sosialita ibunya tak menjenguk Sasuke.

Itachi merasa tak tahan lagi. Ia harus menemui Sakura dan memberitahu gadis itu mengenai kondisi Sasuke.

.

.

Sakura baru saja tiba di rumah setelah berkumpul dengan Ino dan Tenten. Ia dengan sengaja memilih pulang sebelum malam hari agar tak perlu melihat banyak mahluk halus di sepanjang perjalanan pulang. Setidaknya ia merasa lebih aman di rumah tanpa perlu melihat banyak mahluk halus dengan berbagai wujud yang membuat bulu kuduknya merinding.

Ia melepaskan sandal dan meletakkan di rak, kemudian berjalan menuju ruang makan. Ia terkejut ketika mendapati Itachi sudah duduk di salah satu kursi seolah menunggunya pulang.

"Okaeri."

Sakura berteriak dengan mata terbelalak. Itachi dengan sengaja memperlihatkan wujud asli tubuhnya yang agak hancur dan berlumuran darah akibat kecelakaan dengan maksud menjahili Sakura.

"Aaaarghhhh!" Sakura menjerit keras dan berjalan mundur.

Itachi menyeringai, merasa senang dengan reaksi Sakura. Belakangan ini lelaki itu menemukan hobi baru untuk menghilangkan kebosanan, yakni dengan menjahili orang-orang. Terkadang ia akan pergi ke tempat-tempat umum dan melakukan hal-hal untuk menjahili orang. Namun meskipun demikian, ia tetap menjadikan Sakura sebagai target favorit kejahilannya.

"Ngapain kau disini? Ini bukan rumahmu, tahu!" hardik Sakura dengan kesal ketika ia akhirnya bisa mengendalikan diri. "Cepat pergi! Kau membuatku tidak bernafsu makan!"

Itachi dengan sengaja berjalan mendekati Sakura yang secara refleks berjalan mundur sambil memejamkan mata. Ia merasa sangat jengkel, ia bahkan tidak lagi bernafsu memakan croissant dengan isian coklat yang dibelinya di café untuk makan malam.

Sakura tanpa sadar berjalan mundur hingga menabrak tembok dan membuat kepalanya terantuk. Ia secara refleks membuka matanya dan mengusap-usap kepalanya yang terasa sakit.

"Croissant, hn?" gumam Itachi sambil melirik kantung yang sedang dipegang Sakura.

Sakura tak menjawab. Ia memelototi lelaki itu –yang untungnya sudah merubah wujudnya menjadi seperti biasa- sambil mengusap-usap kepalanya dengan jengkel.

Itachi dengan sengaja menarik kantong plastik yang dipegang Sakura dan Sakura dengan terpaksa melepasnya. Kepalanya terasa benar-benar sakit dan ia sedang malas mengomeli seseorang.

"Croissant nya terlihat enak."

"Untukmu saja. Aku sudah tidak berniat memakannya," sahut Sakura. Ia dengan sengaja menambahkan, "Kalau bisa."

Itachi berdecak kesal, "Tidak usah menawariku kalau sudah tahu aku tidak akan bisa memakannya."

"Kasihan sekali," Sakura menyeringai seraya mengambil croissant yang berada dalam plastik dan memakannya dengan cara yang sangat dramastis.

"Croissant nya enak sekali. Terasa garing dan aku bisa merasakan rasa butter di mulutku serta krim keju yng lembut di dalam nya. Beruntung sekali aku bisa memakan croissant seenak ini."

Itachi segera mengalihkan pandangan dari Sakura, membuat Sakura merasa senang melihat ekspresi jengkel lelaki itu. Tak memerlukan waktu banyak bagi Sakura untuk menyadari kelemahan lelaki itu.

Sakura mengetahui jika Itachi benar-benar menyukai makanan manis ketika lelaki itu berkunjung ke rumahnya dan melihat setengah loyang kue tart sisa yang dibeli saat ibu Sakura berulang tahun. Saat itu untuk pertama kalinya tatapan Itachi terlihat seolah berbinar-binar dan aura lelaki itu terasa berbeda. Lelaki itu terlihat seperti anak kecil yang berada di toko mainan.

"Berlebihan," sahut Itachi dengan jengkel.

"Bilang saja kau tergoda. Iya, kan?" sahut Sakura sambil terkekeh. "Omong-omong, memangnya mengapa kau kesini?"

"Aku ingin kau menjenguk Sasuke," jawab Itachi dengan serius sambil menatap Sakura lekat-lekat.

Ucapan lelaki itu terdengar memaksa dan membuat Sakura agak jengkel. Namun ucapan lelaki itu cukup menarik atensinya.

"Menjenguk? Memangnya dia sakit?"

"Hn."

"Sakit apa? Rasanya aku tidak mendengar okaa-san bercerita kalau Sasuke sakit."

"Vertigo."

"Lho? Bukannya seseorang yang terkena vertigo memang harus banyak beristirahat? Kalau aku menjenguknya, aku malah menganggu istirahatnya, bukan? Lagipula apa tidak aneh jika mendadak aku datang ke rumahmu dan menjenguk Sasuke? Maksudku, Mikoto-obasan bahkan tidak memberitahu okaa-san mengenai Sasuke."

"Kau sudah lihat bagaimana okaa-san memperlakukan Sasuke, hn?"

"Ah, iya," Sakura mengangguk. "Jadi, maksudmu, Mikoto-obasan tak akan memberitahu temannya jika Sasuke sedang sakit?"

"Hn."

Sakura jadi teringat ketika ia melihat sendiri bagaimana ibu Sasuke memperlakukan anaknya. Rasanya ia jadi merasa jengkel. Ia tak habis pikir mengapa Sasuke hanya diam saja. Pria itu bukan masokis, kan?

"Apakah sakitnya benar-benar parah hingga kau datang seperti ini?"

Sakura menyadari jika lawan bicaranya sedang menatapnya dengan tajam saat ini. Ia bahkan bisa merasakan aura lelaki itu terasa berbeda. Sepertinya lelaki itu merasa marah dengan ucapan Sakura. Lelaki itu bisa berubah menjadi menakutkan ketika sedang marah, seperti ketika kali pertama Sakura bertemu dengannya secara langsung.

"Ah, maksudku, aku harus pergi menjenguknya sekarang? Aku mulai terbiasa menghindari pergi keluar di malam hari agar tak perlu bertemu dengan mahluk-mahluk halus yang menyeramkan."

"Tidak. Aku hanya memintamu datang, setidaknya satu kali," ucap Itachi dengan serius. "Datanglah ke rumah sakit X, kamar 0805. Jam besuk dimulai pukul sebelas siang hingga satu siang, lalu pukul setengah lima sore hingga setengah tujuh malam."

"Hah? Di rumah sakit?" ucap Sakura secara refleks. Baru pertama kali ia mendengar seseorang sampai dirawat di rumah sakit hanya karena terkena vertigo. Setahunya, dirawat di rumah saja juga sudah cukup. Sepertinya orang kaya memang berbeda.

"Hn."

"Souka, souka. Aku akan memberitahu Naruto nanti. Mungkin dia juga akan datang."

"Hn. Aku pergi."

Tanpa menunggu jawaban Sakura, Itachi segera meninggalkan Sakura. Gadis itu kini terdiam, ia merasa agak khawatir pada Sasuke. Padahal sebetulnya ia baru akan menghubungi lelaki itu untuk berkunjung dan memasak bersama.

.

.

Naruto muncul di depan rumah Sakura keesokan paginya. Tak seperti biasanya, lelaki itu bahkan tidak telat sedetikpun. Mereka berjanji akan bertemu pukul setengah sebelas dan berangkat bersama-sama, namun Naruto telah tiba lima belas menit sebelum waktu yang seharusnya.

Sakura masih bersiap-siap ketika ia mendengar suara ketuka pintu dan ia segera membukanya. Ia mendapati ibunya telah berdiri di depan kamar.

"Naruto-kun sudah datang, tuh. Katanya kalian ingin menjenguk Sasuke-kun? Memangnya dia kenapa?"

"Dia dirawat di rumah sakit," sahut Sakura sambil menyisir rambutnya yang masih berantakan.

"Hah? Ya ampun, mengapa Mikoto tidak bilang padaku? Parah sekali, dia bahkan mengajakku dan beberapa teman lainnya untuk pergi makan dan berbelanja nanti sore."

"Uh... okaa-san sudah lihat bagaimana Mikoto-obasan memperlakukan anaknya, bukan? Jadi menurutmu apakah dia akan peduli jika Sasuke sakit?"

"Ckck..." Mebuki berdecak kesal. "Padahal dia sendiri mengakui kalau sepertinya Sasuke mengurusnya saat mabuk. Masa sekarang dia tidak mengurus anaknya, sih?"

Sakura merasa agak khawatir dengan reaksi ibunya. Ia cepat-cepat berkata pada ibunya, "Okaa-san berpura-pura tidak tahu saja kalau Sasuke sakit. Jangan bilang pada Mikoto-obasan kalau aku dan Naruto menjenguk Sasuke. Oke?"

Mebuki menganggukan kepala, "Baiklah. Sampaikan salam okaa-san padanya. Berikan saja buah-buahan yang ada di kulkas. Kebetulan okaa-san baru membelinya kemarin."

"Oke."

Sakura segera keluar dari kamar ketika ia merasa rambutnya sudah rapi. Ia segera menuruni tangga dan mendapati Naruto yang sudah duduk di sofa ruang keluarga sambil menonton televisi dan memakan cemilan yang disediakan.

"Hey, tumben sekali kau datang lebih awal?"

Naruto terkekeh dan segera menoleh, "Habisnya aku khawatir pada teme, sih. Sudah dua minggu tidak bertemu dan mendengar suaranya, rasanya jadi rindu padanya."

Sakura bergidik mendengar ucapan Naruto. Ia menatap Naruto lekat-lekat dan berkata dengan suara bergetar, "K-kau tidak jatuh cinta padanya, kan? Omonganmu terdengar seperti orang yang jatuh cinta, tahu."

"Mana mungkin!"

Sakura tersenyum dan segera beranjak meninggalkan sofa.

"Sakura, kau mau kemana?"

"Mengambil buah-buahan di kulkas. Okaa-san menyuruhku membawakannya untuk Sasuke."

"Kalau kau memiliki tomat, bawakan itu untuknya. Aku juga sudah membawakan beberapa tomat dari rumahku."

"Tak perlu kau katakan, baka."

Sakura meninggalkan Naruto dengan berjalan cepat, tak menyadari jika Naruto tersenyum melihat reaksi Sakura.

.

.

Sasuke menatap kearah televisi yang menyala seraya menyandarkan tubuhnya di kasur. Demam nya mulai turun dibandingkan beberapa hari yang lalu dan ia juga tak lagi mual seperti kemarin. Kepala nya juga sudah tak terlalu pusing.

Sebetulnya ia merasa tak ingin menonton televisi, namun tak ada hal lain yang bisa ia lakukan untuk menghilangkan rasa bosan. Tak seorangpun menjenguknya dan ia juga tak mungkin memanggil perawat hanya untuk menemaninya bicara. Sementara kepala nya masih terasa pusing dan mendadak terasa sakit saat retina nya menangkap sinar ponsel.

Terdengar suara ketukan pintu dan Sasuke tak mengalihkan pandangan. Ia yakin jika yang datang hanyalah perawat yang biasa mengantarkan makan siang dan menawari untuk menyuapinya makan.

Pintu terbuka dan terdengar suara cempereng khas Naruto yang memanggilnya.

"Teme!" seru Naruto seraya menghampiri Sasuke dan tanpa ragu memeluknya. "Kau sakit apa?"

Sasuke menatap Naruto yang memeluknya dan berpura-pura merasa risih. Sebetulnya ia merasa agak senang dengan kehadiran Naruto. Ia meletakkan tangan nya di bahu Naruto, membuat Naruto merasa agak terkejut.

"Idiot," gumam Sasuke dengan pelan.

Naruto mengernyitkan dahi, "Lho? Tumben sekali kau membalas pelukanku. Kau jadi lebih emosional saat sedang sakit, ya?"

"Urusai."

Naruto cepat-cepat melepaskan pelukannya dan menatap Sasuke lekat-lekat, "Aku dan Sakura membawakan tomat dan buah-buahan untukmu. Semoga cepat sembuh, ya,"

Sasuke mengernyitkan dahi saat mendengarkan nama Sakura. Ia melirik kearah Sakura yang berdiri dengan canggung di tepi kasur. Gadis itu tampak gugup dan menatap kearahnya.

"Ah, semoga cepat sembuh, Sasuke," Sakura membuka mulut pada akhirnya saat menyadari Sasuke sedang menatapnya.

"Arigatou."

Sakura agak terkejut dengan reaksi lelaki itu. Namun ia cepat-cepat menganggukan kepala tanpa mengucapkan apapun. Sebetulnya banyak yang ingin ia katakan pada Sasuke, namun tiba-tiba saja otaknya terasa kosong dan ia tak tahu apa yang harus ia bicarakan.

"Darimana kalian tahu jika aku sedang sakit?"

"Kemarin Sakura-chan memberitahuku. Kupikir dia mungkin mendengar dari ibu nya."

Sakura terdiam sejenak. Rasanya ia ingin merutuki Naruto yang tiba-tiba saja membawa ibunya. Sasuke pasti akan merasa heran, maka ia mau tak mau terpaksa berbohong.

"Okaa-san mendengar kabar jika kau sakit dari Mebuki-obaasan. Lalu okaa-san menitipkan buah-buahan untukmu ketika tahu aku dan Naruto akan menjengukmu. Ia juga menitip salam padamu."

"Okaa-san?"

Sakura menatap Sasuke lekat-lekat dan menyadari jika sorot mata lelaki itu terlihat sedih. Namun ketika ia menatap lelaki itu sedetik kemudian, sorot kesedihan yang terpancar di mata lelaki itu sudah hilang dan senyum tipis sudah menghiasi bibir pucat lelaki itu.

"Hn. Sampaikan terima kasih pada Mebuki-obaasan."

"Oke."

"Dobe, oleh-oleh untukmu akan kuberikan nanti," ujar Sasuke pada Naruto yang menatapnya dengan jengkel.

Naruto segera menepuk kepala Sasuke dan berkata dengan suara meninggi, "Apa-apaan kau ini? Mengapa malah memikirkan soal itu? Pikirkan kesembuhanmu saja!"

Naruto segera menjauhkan tangannya ketika ia tersadar jika ia sudah menepuk kepala Sasuke dengan cukup keras.

"Ah! Kepalamu tidak sakit, kan? Gomen."

"Sangat."

"Hah? Ya ampun! Tunggu sebentar, aku akan segera memanggl dokter!"

"Tidak perlu."

"Hah? Kena-"

Naruto tersadar jika ia baru saja dipermainkan saat ia melihat Sasuke memalingkan wajah dan tersenyum tipis. Naruto terkekeh ketika melihat sahabatnya tersenyum, ia merasa senang dengan reaksi lelaki itu.

Sakura hanya berdiri diam dan memandang kedua lelaki itu. Ia merasa senang dengan sikap Sasuke yang terlihat lebih manusiawi dan hangat dibandingkan biasanya. Sepertinya keputusannya untuk menjenguk lelaki itu tidak salah.

-TBC-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top