Chapter 11
Sakura menyenderkan tubuhnya di kursi pesawat dan memejamkan mata. Ia merasa lelah setelah perjalanan pulang dari Kyoto dengan kereta yang langsung diteruskan dengan penerbangan ke Seoul.
Namun sungguh aneh. Ia sama sekali tak bisa tertidur meskipun saat ini ia berada di penerbangan dengan kelas bisnis yang jelas lebih nyaman dibandingkan kelas ekonomi.
Sakura melirik Sasuke yang duduk disampingnya. Lelaki itu membaca katalog belanja di penerbangan seolah tertarik untuk berbelanja, membuat Sakura tersenyum kecil.
Di kursi belakang Sakura, ibunya dan ibu Sasuke terdengar asik mengobrol membicarakan berbagai hal, mulai dari resep masakan hingga pekerjaan.
Sakura merasa benar-benar bosan. Ia merasa terlalu lelah untuk membaca atau menonton televisi, namun ia tak bisa mengaktifkan data seluler untuk menghubungi temannya. Lagipula teman-temannya pasti akan sama lelahnya dengan dirinya.
Sakura merogoh tasnya dan berusaha mengambil earphone. Ia berniat mendengarkan lagu dan memejamkan mata, namun tangannya meraih dua buah plastik kecil dan seketika teringat dengan oleh-oleh dari Naruto untuk Sasuke yang dititipkan padanya.
Sakura hampir mengeluarkan kantung itu dan menyerahkannya pada Sasuke, namun ia segera mengurungkan niatnya. Ia teringat jika ia sendiri membeli oleh-oleh untuk lelaki itu dan menahan rasa malu ketika teman-temannya meledeknya. Sakura memutuskan untuk menyerahkan oleh-oleh yang ia beli bersamaan dengan oleh-oleh yang Naruto titipkan padanya.
"Sasuke-san," Sakura segera menepuk bahu Sasuke yang duduk disampingnya. Lelaki itu segera mengalihkan pandangan dari katalog belanja yang ia baca dan melirik Sakura.
"Hn?"
"Aku ingin tidur. Jika pramugari memberikan makanan untukku, ambil saja makanan itu. Aku tak ingin memakannya."
"Kau tidak lapar?"
Pertanyaan Sasuke membuat Sakura terkejut. Sejak kapan lelaki sedingin itu bersikap peduli pada orang lain? Atau jangan-jangan, inikah yang dimaksud Itachi dengan kepribadian Sasuke yang sebenarnya?
Sakura menggelengkan kepala. Sebetulnya ia agak lapar setelah melewati makan malam dan emnggantikannya dengan makanan ringan. Namun ia terlalu malas untuk makan.
"Tidak. Aku sudah makan di kereta."
"Arigato."
Sakura tak menjawabnya dan ia segera menyandarkan tubuh ke kursi serta memasang earphone. Ia memejamkan mata dan tertidur dengan cepat.
.
.
Sakura setengah tersadar ketika ia merasakan seseorang mengangkat tubuhnya dari kursi pesawat dan merasakan kedua tangan orang tersebut menopang tubuhnya.
"Sakura! Kau masih tidak mau bangun ju-"
Sakura terkejut mendengar suara ibunya yang tampak kesal. Namun ia matanya terasa berat untuk dibuka. Ia benar-benar mengantuk.
Terdengar suara Mikoto yang memutus ucapan Mebuki, "Sudahlah. Biarkan saja. Sakura pasti benar-benar lelah hingga tertidur pulas."
"Anak ini benar-benar sulit dibangunkan. Sangat memalukan," keluh Mebuki dengan jengkel. "Aku merasa tidak enak pada Sasuke-kun. Dia jadi harus menggendong Sakura."
Sakura terperanjat saat mendengar ucapan ibunya. Ia ingin segera turun, namun ia tak tahu dimana ia berada. Jika saat ini Sasuke sedang berada di pintu keluar pesawat dan berniat menuruni tangga, pasti akan sangat merepotkan jika harus menurunkan dirinya.
"Tidur saja," ucap Sasuke dengan pelan, seolah ditujukan pada Sakura.
Sakura terkejut mendengar ucapan lelaki itu. Sepertinya lelaki itu menyadari jika ia sudah terbangun. Apakah lelaki itu memerhatikan matanya yang bergerak-gerak ketika ia berusaha membuka mata?
"Tidak apa-apa. Putraku ini sudah terbiasa membawa barang-barang berat. Maka ia pasti tidak akan keberatan menggendong Sakura. Iya kan, Sasuke?"
"Benar, Mebuki-obasan."
Sakura mendengarkan percakapan ibu Sasuke dan merasa agak aneh. Wanita itu seolah mengarahkan Sasuke untuk menyetujui ucapannya. Selain itu nada bicara Mikoto pada Sasuke juga tak lembut seperti sebelumnya. Bahkan panggilannya juga berbeda.
"Wah! Kau hebat, Sasuke-kun. Kau sangat bisa diandalkan," puji Mebuki dengan penuh kekaguman.
Sakura ingin menutup mulut ibunya jika bisa. Ia meringis mendengar ucapan ibunya yang entah kenapa malah terkesan senang dengan Sasuke yang sebetulnya sedang dimanfaatkan.
Saat berlibur di Kyoto, Itachi sempat mengunjungi Sakura di malam hari. Lelaki itu bercerita lebih banyak mengenai hubungan Sasuke dengan ibunya yang membuat lelaki itu khawatir.
Sakura telah mendengar cerita Itachi mengenai perlakuan ibunya yang baik pada Sasuke karena berusaha menjadikan Sasuke sebagai pengganti sang kakak dan sikap kasar wanita itu pada Sasuke. Entah kenapa Sakura malah merasa kesal mendengarnya. Sasuke pasti orang yang benar-benar tolol hingga membiarkan dirinya diperlakukan kasar, sekalipun oleh ibunya sendiri.
"Tidak juga. Pujian obaa-san terlalu berlebihan," jawab Sasuke pada ibu Sakura.
"Tidak. Kau memang sangat mengagumkan, Sasuke-kun. Kau jadi putraku saja, ya?" ledek Mebuki seraya tersenyum.
Sasuke hanya tertawa pelan dengan canggung seraya melirik kearah ibunya, seolah bertanya jika apa yang ia lakukan telah sesuai dengan keinginan sang ibu.
.
.
Sakura tak tahu sudah berapa lama ia tertidur. Ia merasa benar-benar mengantuk dan akhirnya ia terbangun tepat ketika ibunya mencubit pipinya dengan keras.
"Aww!" pekik Sakura seraya membuka mata lebar-lebar.
Hal pertama yang Sakura lihat ialah wajah Sasuke yang menggendongnya. Sakura terkejut dan jantungnya berdebar keras. Wajah Sasuke yang dilihatnya tampak benar-benar menawan, entah karena ia sedang mengantuk atau wajah lelaki itu memang menawan.
"Dasar babi! Kau ini tertidur seperti orang mati saja!" ucap Mebuki dengan jengkel. Ia menatap Sasuke dengan tatapan tidak enak.
Sasuke segera menurunkan Sakura dan membantu gadis itu berpijak di lantai. Sakura berdiri di lantai dengan sempoyongan. Ia masih benar-benar mengantuk.
Sakura menyadari ibunya yang menatap tajam dan ia cepat-cepat menundukkan kepala pada Sasuke, "Arigatou gozaimasu. Maaf telah sangat merepotkanmu."
"Tidak apa."
"Sasuke-kun, sekali lagi oba-san minta maaf, ya. Sakura benar-benar merepotkan."
"Tidak perlu minta maaf, oba-san," jawab Sasuke sambil tersenyum tipis yang sebetulnya agak dipaksakan.
Sakura terkejut ketika menyadari Sasuke sedang tersenyum. Ia tak pernah melihat senyum lelaki itu sebelumnya dan bertanya-tanya dalam hati seperti apa senyum lelaki itu. Namun senyum lelaki itu menawan dan membuatnya ingin melihatnya lagi.
Sakura menatap orang-orang yang berbaris dan menyadari jika ia kini sedang berada di tengah-tengah antrian imigrasi. Ia mencuri pandang kearah Sasuke yang tampak lelah dan merasa benar-benar tidak enak. Lelak itu pasti sangat lelah setelah menggendongnya. Tubuhnya tidak terlalu ringan untuk ukuran seorang wanita.
"Sasuke-san, kau pegal setelah menggendongku, kan? Ingin kupijat?" tawar Sakura seraya meletakkan tangan di bahu Sasuke yang berdiri di belakangnya.
"Tidak usah."
"Benar, nih?"
"Hn."
Sakura menyadari jika ia sebetulnya menyela antrian dan ia seharusnya berdiri di belakang Sasuke. Ia segera melangkahkan untuk keluar dari antrian, namun Sasuke segera menyentuh bahunya.
"Jangan keluar dari antrian."
"Ah. Kurasa aku seharusnya mengantri dibelakangmu, Sasuke-san. Aku menyela antrianmu."
"Aku tidak keberatan."
Sakura menatap Sasuke dengan perasaan tidak enak. Apakah lelaki itu tipe pria yang menganut paham 'ladies first'? Tak disangka masih ada lelaki gentle men di jaman seperti ini.
"Arigatou, Sasuke-san."
"Hn."
Sakura segera berbalik badan dan melangkah maju ketika orang yang berada di barisan terdepan telah menyelesaikan pemeriksaan. Ia meraih ponsel di dalam tas seraya mencuri pandang kearah Sasuke yang berdiri di belakangnya.
Wajah Sasuke tampak lelah dan lelaki itu tak menyadari jika Sakura mencuri pandang kearahnya.
Sakura menahan diri untuk tak bertanya pada Sasuke. Sekalipun ia bertanya, lelaki itu pasti akan mengatakan jika ia baik-baik saja meskipun sebetulnya tidak. Ia sedang malas mendengarkan kebohongan lelaki itu.
.
.
Sasuke berbaring diatas kasur dan berusaha memejamkan mata. Ia memaksakan diri untuk tertidur. Namun ia sama sekali tak bisa tidur. Tangannya terasa benar-benar sakit hingga tak bisa digerakkan setelah menggendong Sakura selama lebih dari satu jam tanpa jeda sedikitpun.
Suhu ruangan malam ini terasa begitu dingin. Sasuke bahkan merasa kedinginan meskipun bed cover yang ia pakai telah menutupi perutnya. Ia berusaha menarik bed cover yang terpasang pada bagian bawah kasur, namun tangan nya terasa begitu nyeri ketika ia mencoba menarik bed cover.
"Okaa-san."
Mikoto yang sedang menatap layar ponselnya segera menoleh, "Ada apa?"
"Bisakah okaa-san membantuku menarik bed cover untuk menutupi seluruh badanku? Aku kedinginan."
Mikoto memasang ekspresi jengkel dan memberi tatapan tajam pada Sasuke, membuat lelaki itu menyesal telah meminta bantuan pada sang ibu. Ia merasa ragu untuk meminta bantuan sejak awal, namun ia memberanikan diri meminta bantuan dan memaksakan diri untuk menjelaskan panjang lebar meski sebetulnya ia sedang lelah. Ibunya lebih suka jika ia berbicara panjang lebar dan bersikap ramah seperti sang kakak.
"Kau pikir berapa usiamu? Tidak bisakah kau melakukannya sendiri," ucap Mikoto sambil berdecak kesal dan bangkit berdiri. Ia menghampiri kasur Sasuke dan menarik bed cover serta menutupi bahu Sasuke denan bed cover itu.
"Dasar merepotkan."
"Arigatou gozaimasu, okaa-san."
"Ya, ya. Cepat tidur dan jangan merepotkanku lagi."
"Hn."
"Oh, ya. Pastikan kau tidak menjerit di tengah malam dan mengangguku. Atau akan ku plester mulutmu."
"Plester saja. Aku tidak keberatan."
Mikoto berjalan menuju kopernya dan mengambil duck tape hitam yang telah ia persiapkan. Ia merasa agak terkejut dengan reaksi Sasuke yang begitu pasrah, seolah membiarkan siapapun bersikap sesukanya terhadap dirinya. Lelaki itu bahkan tidak menunjukkan emosi apapun dan hanya memperlihatkan raut wajah datar.
Mikoto memotong tiga lembar duck tape dengan panjang yang sama dan menempelkan di tangannya. Ia berjalan mendekati kasur Sasuke dan bersiap menempelkan duck tape.
Namun saat ia mendekat, entah kenapa hatinya terasa sakit. Hati kecilnya sebagai seorang ibu seolah melarangnya untuk melakukan hal itu meskipun sebetulnya apa yang ia lakukan adalah untuk kebaikan dirinya dan peserta tur lainnya yang tidur di kamar yang bersebelahan dengannya.
Mikoto menyadari jika Sasuke mulai sering bermimpi buruk hingga berteriak dan terkadang mengeluarkan air mata ketika ia pergi berlibur bersama Sasuke setahun setelah kematian Itachi. Pada dua malam pertama Sasuke bermimpi buruk hingga berteriak dan membangunkan Mikoto. Setelahnya Sasuke berusaha untuk tidur hanya jika ia benar-benar mengantuk sehingga ia tidak akan mimpi buruk dan Mikoto terpaksa membeli duck tape untuk ditempelkan pada mulut Sasuke agar tidak berteriak.
"Oyasumi."
Hati Mikoto terasa semakin sakit dengan ucapan putra bungsunya. Namun Mikoto berusaha tak menghiraukannya dan menempelkan tiga buah duck tape di bibir Sasuke.
Mikoto tertegun sejenak saat ia menatap wajah sang putra yang terlihat mirip dengannya. Sejak dulu banyak orang yang mengatakan jika Sasuke benar-benar terlihat seperti Mikoto versi pria. Wajah Sasuke benar-benar mirip dengan sang ibu.
Dulu Mikoto begitu menyukai wajah Sasuke dan senyum manis lelaki itu. Ia bahkan lebih menyukai Sasuke ketimbang Itachi meskipun sang suami bersikap sebaliknya. Namun setelah semakin dewasa, perlahan Mikoto merasa lebih dekat dengan Itachi yang menurutnya lebih hangat dan ramah. Sehingga pada akhirnya ia juga lebih menyayangi putra sulungnya.
Hingga kini Mikoto masih merindukan putra sulungnya yang menurutnya sangat menyenangkan untuk diajak berbicara apa saja. Karena itulah ia membenci Sasuke yang menurutnya menjadi penyebab kematian putra sulungnya dan melampiaskan kemarahannya pada Sasuke.
"Cepatlah tidur. Oyasumi."
Sasuke segera memejamkan mata dan tertidur dengan cepat. Mikoto menatap Sasuke dan memastikan jika lelaki itu sudah tidur sebelum ia menyentuh kepala Sasuke dan mengelusnya.
Terkadang Mikoto merasa bersalah dengan apa yang ia dan suaminya lakukan pada Sasuke. Lelaki itu pasti mengalami penderitaan emosional meskipun tak pernah mengeluh padanya. Ia juga sudah mengetahui jika Sasuke dihindari oleh teman-teman sekolahnya dan bahkan beberapa guru akibat sikapnya yang memang menakutkan bagi orang-orang yang tak memahaminya. Sasuke juga hanya memiliki satu orang teman di sekolah.
Namun Mikoto masih tak bisa menghentikan dirinya untuk tak melampiaskan kemarahannya atas kematian Itachi pada Sasuke dan menghilangkan kekecewaannya karena Sasuke tak bisa bersikap seperti keinginannya.
Mikoto mengelus wajah Sasuke dan segera kembali ke kasurnya. Ia tak bisa melihat wajah putranya lebih lama lagi. Melihat Sasuke seolah menyadarkan kegagalannya sebagai seorang ibu.
.
.
Sakura berjalan menuju restaurant hotel bersama ibunya dan dua orang seusia ibunya yang tidur di kamar sebelah. Sakura hanya menatap ponselnya dan membalas pesan-pesan sementara ibunya berbincang dengan dua orang itu.
Tur kali ini benar-benar membosankan bagi Sakura. Semula ia berharap bisa bertemu dengan teman sebaya yang bisa diajak untuk mengobrol dan duduk bersama di bus. Namun harapannya sirna ketika ia berkumpul di bandara dan melihat satu persatu peserta tur.
Mayoritas peserta tur adalah pasangan muda yang membawa anak berusia tak lebih dari sepuluh tahun. Ada pula beberapa orang lanjut usia yang menjadi peserta tur. Satu-satunya orang seusia Sakura hanyalah Sasuke.
Sakura berjalan dengan sedikit menyeret langkahnya seraya memasuki restaurant hotel untuk makan pagi. Ia benar-benar tak tahu bagaimana harus menghabiskan tujuh hari bersama Sasuke. Ia bahkan tak memiliki topic pembicaraan.
"Aku duduk disana, ya," ucap Mebuki sambil melambaikan tangan pada dua peserta tur yang berbincang dengannya serta menarik tangan Sakura.
Sakura dengan terpaksa berjalan mengikuti ibunya ke sebuah meja untuk empat orang. Mikoto dan Sasuke telah menunggu mereka di meja dan menyiapkan tempat duduk untuk Sakura dan ibunya.
"Ohayou," sapa Sakura dengan terpaksa yang dibalas dengan sapaan oleh Mikoto.
"Sudah menunggu lama?"
Mikoto menggelengkan kepala, "Tidak, Mebuki. Aku dan Sasuke juga baru tiba."
Sakura segera meletakkan tasnya di kursi dan beniat mengambil makanan. Namun di saat yang sama Sasuke juga meninggalkan tempat duduknya.
Sakura merasa benar-benar canggung. Ia ingin mendiami Sasuke, namun akan terkesan tidak enak jika ibu Sasuke sampai melihatnya,
"Sasuke-san, kau sudah mencoba apa saja? Menu makan paginya enak, tidak?"
"Aku hanya mencoba omelet, mashed potato dan sosis disana", Sasuke menunjuk sebuah stan di dekat stan salad, "Rasanya enak."
"Oh. Oke," sahut Sakura seraya berjalan menuju stan omelet.
Sakura melirik dua orang pegawai hotel yang sedang memasak. Salah satunya melirik Sakura dan tersenyum.
"Aku pesan satu omelet dengan satu sosis sapi goreng."
"Dimana meja anda? Omelete akan diantarkan jika sudah matang."
"Disana," Sakura menunjuk kearah ibunya.
"Baiklah. Silahkan menunggu," ucap pegawai itu pada Sakura.
Sakura segera meninggalkan stan dan berniat untuk mengambil menu lainnya. Namun langkahnya terhenti saat ia mendapati Sasuke yang juga sedang mengantri di stan yang sama dan kini sedang memesan sebuah omelet dengan tomat sebagai isian dan saus tomat diatasnya.
"Lho? Kau memesan omelet lagi?"
"Hn."
"Ingin menemaniku melihat-lihat makanan?"
"Hn."
Sakura merasa jika ia mengambil keputusan yang salah dengan mengajak Sasuke berbincang. Sebetulnya ia hanya berusaha mengakrabkan diri dengan lelaki itu selama di tur. Setelah acara tur selesai, tentu aja Sakura tak akan mau mengajak lelaki itu berbincang jika tidak terlalu penting.
Sakura menghampiri sebuah stan dengan bermacam-macam sup. Ia langsung mengambil mangkuk kecil dan berniat mengambil sup krim tanpa mempedulikan Sasuke yang mengikutinya.
Sakura melirik Sasuke dan merasa agak tidak enak pada lelaki itu. Mungkin saja lelaki itu ingin mengambil makanan lain. Namun Sakura merasa tidak enak jika ia harus menanyakan lelaki itu.
"Kau mengambil hidangan tomat lagi? Tidak merasa bosan?" ucap Sakura dengan heran. Tatapannya tertuju pada mangkuk berisi goulash yang baru saja diambil Sasuke.
"Tidak."
"Jangan-jangan kau memakan tomat setiap hari?"
"Tidak," Sasuke menggelengkan kepala. "Aku akan bosan jika memakannya setiap hari."
Sakura menyadari jika intonasi suara Sasuke terdengar lebih bersemangat dan ekspresi wajah lelaki itu terlihat lebih ceria berkat topik pembicaraan mengenai tomat. Sebelumnya, lelaki itu tersenyum dan menatapnya dengan mata berbinar-binar hanya karena diberikan hidangan serba tomat. Tomat bagaikan buah ajaib yang mampu membuat Sasuke bersikap berbeda dibandingkan biasanya.
"Bukankah kau maniak tomat?"
"Tidak juga."
"Oh, ya? Reaksimu benar-benar berbeda ketika berhubungan dengan tomat. Kau terlihat senang."
"Hn? Kau menyadarinya?"
Wajah Sakura memerah dan ia merasa malu bagaikan tertangkap basah melakukan sesuatu yang negatif. Harus dikemanakan harga dirinya jika teman-temannya sampai mengetahui ini? Belakangan ini ia memang memperhatikan lelaki itu diam-diam.
"Reaksimu benar-benar terlihat jelas. Tentu saja aku menyadarinya."
"Oh, ya?"
Sakura mengangguk.
Sasuke merasa terkejut dengan dirinya sendiri. Ia bukanlah tipe orang yang suka mengekspresikan emosinya dan ia juga berusaha menahan emosinya mati-matian. Namun ia tak menyadari jika ia masih menunjukkan emosinya dihadapan orang lain dengan jelas.
Belakangan ini Sasuke merasa jauh lebih emosional dibandingkan biasanya. Jika biasanya ia tak masalah menyimpan pikiran dan emosi untuk dirinya sendiri, kali ini ia malah ingin membagikannya dengan orang lain.
"Aku menyukai tomat karena aniki ku."
Sakura yang sedang berjalan menuju stan yang menghidangkan sushi seketika menoleh kearah Sasuke. Lelaki itu kini bahkan mulai membuka diri dengan membicarakan hal yang tak ia tanyakan.
"Aniki mu juga maniak tomat, Sasuke?" ucap Sakura tanpa menyadari jika ia lupa memakai suffiks di akhir kalimat.
Sasuke mengerjapkan mata, sedikit tak percaya saat menyadari Sakura memanggilnya tanpa diksi apapun, seolah berusaha menghilangkan jarak diantara mereka. Jika gadis itu berniat menghilangkan jarak diantara mereka, maka ia tak keberatan untuk berusaha mengakrabkan diri pada gadis itu, terlepas dari apa yang sudah dilakukan Sakura padanya.
"Dia sangat menyukai makanan manis. Saat kecil ia sering meminta okaa-san memasak hidangan berbahan tomat. Karena itu, aku jadi menyukai tomat."
"Jangan bilang tomat adalah makanan pertama yang kau konsumsi ketika kau bisa memakan makanan padat."
"Mungkin juga," sahut Sasuke dengan senyum tipis-yang terlalu tipis untuk disadari- menghiasi bibirnya.
Sakura menatap wajah Sasuke dan cepat-cepat memalingkan wajah ketika ia menyadari dirinya hampir tersenyum setelah melihat senyum lelaki itu. Senyum Sasuke yang begitu menawan dan langka membuatnya merasa spesial menjadi orang yang dapat melihatnya.
"Bagaimana jika setelah pulang nanti aku memasak hidangan tomat untukmu? Anggap saja sebagai ucapan terima kasih telah dipinjamkan ini," Sakura menyentuh bandul kalung yang kini terpasang di lehernya dan menunjukkannya pada Sasuke.
"Memasaklah di rumahku. Aku ingin menikmati masakan yang baru matang."
Sakura memang menyukai rumah Sasuke. Namun ia mengira jika ia mendapat kesempatan untuk kembali berkunjung meskipun pekerjaan telah selesai.
"Benar, nih?" tanya Sakura sambil menatap Sasuke lekat-lekat. "Kau tidak keberatan jika aku berkunjung, Sasuke-san?"
"Bukankah seharusnya aku yang menanyakan hal itu?"
Sakura meringis. Apakah sikapnya begitu keterlaluan hingga pria itu bersikap begitu berhati-hati padanya? Kini ia terkesan seperti wanita oportunis yang bersikap begitu baik pada Sasuke setelah mengetahui sisi-sisi lain darinya.
Setidaknya kini ia telah memutuskan untuk benar-benar mengakrabkan diri dengan lelaki itu. Dan lelaki itupun telah berusaha mengeliminasi jarak diantara mereka.
-TBC-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top