Six Feet Under
Ikebukuro, Jepang. Pukul 22.30.
'Sedangkan pada Kota Ikebukuro, awal prediksi cuaca mendung berawan dan gerimis dimulai dari petang hari telah berubah menjadi deras semenjak jam delapan malam, cuaca berbeda terjadi di wilayah penyangga Ibu Kota---'
Sebuah siaran berita pada televisi tampak dimatikan saat satu jemari lentik menekan tombol daya pada remot kontrol. Helaan napas menjadi penyambut pertama setelah suasana hening melanda ruangan, diikuti oleh suara benturan pelan dari sisi remot kontrol dan permukaan meja--- sesosok wanita tampak bangkit berdiri setelah menempati alas duduk sofa tunggal, sejenak pula merasakan efek menghabiskan waktu hampir berjam-jam hanya untuk menunggu kedua rekan kerja dari jam sembilan malam; melepas sensasi pegal dengan cara melakukan olahraga ringan sejenak. Ia kentara melakukan toleransi dalam pikiran saat sepasang indra penglihatan menangkap deras hujan di balik jendela berembun, begitu pula menahan rasa khawatir karena mengingat seberapa cukup berbahaya risiko dari pekerjaan mereka. [Full Name], wanita tersebut sempat mempertanyakan sebagaimana kadang tidak bergunanya berita prediksi cuaca yang dilakukan saat akhir berupa meleset hanya dibayar dengan siaran pengulangan berisi pembenaran semata. Walaupun sang wanita memutuskan tidak memikirkan lebih jauh, menarik keluar ikatan rambut di sekitar pergelangan tangan lalu mengumpulkan seluruh helai rambut [Hair Color] untuk diikat secara rapi.
"Kami pulang." Pintu terbuka diikuti suara maskulin bercampur deras tetesan hujan menjadi sambutan pertama, membuat arah pandangan [Name] mengarah ke asal suara seiring mulai menurunkan kedua tangan yang kebetulan telah selesai mengikat keseluruhan bagian helai rambut. Sang wanita menangkap sosok lelaki berambut putih bersih lebih dahulu masuk dengan decihan berpadu erangan keluh, melepas alas kaki dengan cara mengangkat kaki bergantian dan sedikit membungkuk-- ekspresi jengkel menjadi tangkapan utama. Tidak mengherankan, mengingat pakaian dengan luaran jaket kulit itu bahkan sudah terlihat amat basah setelah memaksakan diri menerobos hujan deras tanpa tanda henti.
"Hm, aku memikirkan hal ini setelah kita sampai."
"Oh, tidak, jangan mulai lagi."
"Pintu apa yang tidak bisa terbuka saat didorong oleh sepuluh orang?"
"..."
"Pintu yang memiliki tulisan 'ditarik'."
"Yeah, seperti selera humormu yang harus benar-benar ditarik di dalam otakmu."
[Name] otomatis mendengus geli saat menangkap suara dari sosok orang berbeda yang kentara memulai percakapan setelah tak lama ikut memasuki daerah dalam ruangan; memerlihatkan sosok lelaki berhelai rambut kehijauan dalam keadaan basah kuyup pula, melepas alas kaki setelah menutup pintu dari bagian dalam dan secara tidak biasa langsung melempar humor kepada sosok lelaki dengan tampang temperamen. Sang wanita sendiri menahan tawa bukan karena lelucon itu, tetapi jelas merasa gemas dengan bentuk hubungan yang dimiliki oleh dua sosok lelaki, yaitu Samatoki Aohitsugi dan Sasara Nurude. Merupakan rekan kerja pada organisasi Mad Comic Dialogue, memang sedang aktif melakukan pekerjaan mereka di Kota Ikebukuro untuk tujuan tertentu. Sang lelaki peledak emosi dan juga sang lelaki humoris aneh, setidaknya sisi bentrok mereka membentuk kerja sama baik dimomen tertentu. [Name] terlihat tidak mengatakan sepatah kata apapun selain lebih dahulu mengambil dua buah handuk kecil yang kebetulan sudah disiapkan, lalu melangkahkan kedua kaki guna mendekat.
"... Hah?! Aku kira itu salah satu lelucon yang lucu."
"Terkadang, kau tahu, di mana orang tak waras pada waktunya seperti kau tidak akan mengerti dan berakhir tak mampu menelan humor basinya."
"How dare you---"
Percakapan berubah menjadi debat cukup panas saat Sasara melakukan komplen tanggapan atas kualitas humor yang ia lemparkan secara personal kepada Samatoki, tetapi jelas sekali balasan cukup tajam dari lawan bicara membuat mereka saling memandang intens; masing-masing sepasang kaki secara bersamaan melangkah masuk ke dalam ruangan sebelum sosok [Name] benar-benar mendatangi mereka dan secara tidak langsung mengalihkan suasana. Sang wanita berdehem pelan sebagai keseluruhan pengalihan bahkan membuat mereka berhenti melangkah, sukses menarik atensi dua sosok lelaki setelah mereka berakhir memandang lurus ke depan. Samatoki menaikkan satu alis seiring jemari bergerak--- menyisir helai rambut ke arah belakang agar tak menghalangi arah pandangan sedangkan Sasara kebetulan sudah menggerakkan kedua tangan, melepas bagian luaran jas dari dua sisi dekat pundak lalu mulai menarik agar terlepas dari bagian atas menuju bawah. Ekspresi jengkel Samatoki kentara masih sedikit bertahan atas debat tadi, tetapi Sasara sendiri mengalami perubahan ekspresi secara total saat kedua sudut bibir bergerak naik setelah menyambut eksistensi [Name] dari indra penglihatan.
"Baiklah, pertama, perbaiki dahulu ekspresimu dan segeralah membersihkan diri, Samatoki." [Name] kentara mengulas senyuman mengancam kepada kedua sosok adam walaupun kini dirincikan kepada sang lelaki temperamen, salah satu tangan tampak melempar satu buah handuk kecil hingga mendarat tepat pada wajah Samatoki--- membuat sang lelaki refleks menangkap seiring menyingkirkan keberadaan benda tersebut. Samatoki terlihat mendecih kesal sejenak sebelum memutuskan meletakkan handuk itu di atas pundak, mengenyahkan sebisa mungkin suara tawaan tertahan dari dalam leher Sasara daripada harus berakhir berurusan dengan ocehan sang wanita secara berkepanjangan.
"Yeah, yeah, Nona Besar. Jangan lupa untuk menjitak kepala lelaki di sampingku ini." Samatoki membalas dengan malas, kentara tidak menaruh pandangan kepada dua lawan bicara selain terus melangkah untuk menggunakan kamar mandi secepat mungkin. [Name] sendiri memerhatikan Samatoki lebih dahulu guna memastikan sampai sosok sang lelaki benar-benar meninggalkan ruang utama, lalu memutuskan untuk kedua kalinya menaruh atensi kepada Sasara--- hanya untuk mendapati sang lelaki yang sudah melepas jas dan menaruhnya di atas pundak, kali ini menyibukkan kedua tangan; satu memandu batang rokok agar terapit pada bibir dan satu tangan lagi mengarahkan pematik dan hendak menyalakan ujung batang rokok.
[Name] menghela napas panjang--- satu tangan bergerak secara cepat guna menarik batang rokok dari apitan bibir Sasara, sukses menggagalkan sang lelaki untuk menyalakan. Tidak lupa memberikan hadiah berupa jitakan pada sisi kepala sang lelaki kemudian, sesuai dengan permintaan Samatoki.
"Aw~"
"Menghangatkan dirimu dengan sebatang rokok bukanlah pilihan baik, Sasara. Tidak pernah kasihan dengan kondisi paru-parumu?"
Sasara sedikit menunduk untuk memandang jelas di balik model mata sipitnya saat [Name] menjatuhkan rokok batang itu dan menginjaknya dengan alas kaki. Diam-diam sedikit meringis dengan nasib batang rokok yang sudah terbuang percuma, tetapi sama seperti Samatoki, ia tidak bisa berkomentar apa-apa. Dengan artian, kedua lelaki satu ini memang tidak mampu menentang wanita bernama [Full Name], kecuali jikalau sudah siap menerima konsekuensi sebagai bayaran karena melawan teguran bermaksud baik dan memang benar untuk kepentingan mereka.
"Tahu saja, [Name], ah, lagipula mulutku terasa hambar karena belum menikmati sebatang selama seharian ini~"
Sasara melepas tawaan pelan setelah membalas peringatan dari [Name], di mana sisi keras kepala tetap tertanam dari sosok penggemar rokok--- walaupun tidak mengambil risiko karena sudah memutuskan menyimpan kembali pematik ke dalam saku celana. Sang wanita sendiri mendengar balasan tersebut dengan perasaan gemas, tetapi berakhir dilampiaskan dengan dengusan kecil; kedua tangan pun bergerak guna meletakkan permukaan handuk ke arah atas kepala Sasara, mulai sedikit mendongak dan memberi gerak mengacak pelan guna membantu mengeringkan--- perbedaan tinggi mau tidak mau membuat Sasara lebih menunduk, tawaan pelan ia keluarkan untuk kedua kalinya. Mau bagaimanapun, mereka adalah sepasang kekasih dan [Name] sendiri sedikit lebih menaruh perhatian di antara kedua sosok lelaki pada hidupnya.
"Tidak pernah berpikir untuk berhenti merokok?" Kedua mata [Name] sedikit menyipit--- masih menaruh atensi dengan gerak tangan yang mengeringkan helai rambut milik Sasara. Perasaan khawatir ada tanpa didukung oleh paksaan, tetapi memang bukan sekali atau dua kali sang wanita bertanya demikian. Sasara sendiri memang tidak bisa membalas pandangan dari sosok kekasih, walaupun cukup sadar perasaan hangat atas kepedulian tersebut. Sang lelaki berakhir melepas kekehan tertahan, kedua tangan bergerak; masing-masing menyentuh pergelangan tangan [Name] guna diarahkan dan juga diberi sedikit tenaga agar sang wanita tahu bagian mana yang belum terlalu dikeringkan.
"Jika setiap harinya kau membuatkanku minuman krim soda, aku akan mempertimbangkannya."
"Tidak."
"Eh? Kenapa, kenapa, kenapa?!"
Sasara kentara langsung meluruskan pandangan; melepas sisi sedikit merajuk dan cukup mendramatisir di depan kekasih melalui nada bicara dan ekspresi, sukses membuat [Name] agak terkejut sebelum berakhir melepas tawaan hingga memejamkan kedua mata pemilik netra [Eyes Color] sejenak. "Karena minuman seperti itu juga tidak sehat untuk dikonsumsi setiap harinya. Mengingat bisa berapa gelas kau habiskan sendiri."
[Name] tahu bahwa Sasara dominan sengaja bereaksi demikian untuk membangun suasana tersendiri, kentara masih menggerakkan kedua tangan guna mengeringkan walaupun memang sebentar lagi sudah masuk pada tahap cukup; mengingat memang hendak dikeringkan agar sang lelaki tak mudah jatuh sakit nantinya. Sasara sendiri memberi ekspresi sedikit protes, memutuskan melepas kedua genggaman tangan--- diarahkan bersamaan hingga berakhir memberi kejutan kepada [Name] dengan mencubit pelan kedua sisi pipi sang wanita. Sang lelaki sedikit mengembungkan pipi, memperagakan diri masuk pada tahap 'ngambek' karena negosiasinya tidak berhasil. Krim soda dan rokok, mungkin dua hal itu memang masih sangat sulit untuk Sasara lepaskan.
"Rasakan cubitan ini, hm~ kau tidak melarangnya, kan?"
"A-Aduh, Sasara!"
---
Six Feet Under
"I can't help but wonder, if our grave was watered by the rain?"
Pairing: Sasara Nurude x Reader
Genre: Angst & Hurt/comfort
Rating: R-15+
Note: Ide fanfiksi yang terinspirasi dari sebuah lagu milik Billie Eilish - Six Feet Under. Disarankan untuk mendengarkan lagu pada media sembari membaca fanfiksi ini. Terima kasih!
---
[Name] memejamkan kedua matanya sejenak sembari membaringkan bagian belakang kepala di atas sandaran sofa. Setelah memastikan kedua rekan kerja dalam keadaan baik saja dan menyeduhkan minuman hangat untuk mereka, sang wanita kentara belum ingin mengistirahatkan diri walaupun jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Alih-alih tetap melanjutkan tugasnya, sebuah laptop dalam keadaan menyala sudah menjadi bukti bahwa [Name] akan melanjutkan pekerjaan hingga sangat larut. Sang wanita membuka sepasang indra penglihatan secara perlahan, mengamati sebentar langit-langit tembok; pemikiran hanyut pada kesadaran berbeda. Mungkin sejenak menerawang kembali sebagaimana ia sudah memilih jalur hidup demikian. Melakukan pekerjaan tidak biasa--- tidak memikirkan skenario terburuk dengan takdir ke depan. Kesulitan hidup atas ironi dahulu, [Name] tak mengharapkan sesuatu lebih indah dibandingkan mampu memenuhi kebutuhan setiap harinya.
[Full Name] tidak tahu di mana orang tua aslinya berada. Semenjak kecil, ia hidup pada sebuah panti asuhan yang memiliki nasib tidak jauh berbeda dari kata menyedihkan. Dengan kumpulan dana, pengurus panti asuhan melakukan korupsi bahkan menggunakan sebagian uang untuk kepentingan pribadi--- meninggalkan tanggung jawab besar kepada anak panti yang sudah menginjak usia cukup dewasa, bekerja untuk mencari uang, walaupun mereka berpikir uang tersebut setidaknya digunakan untuk memperbaiki kondisi panti asuhan, sang pengurus semakin menjadi-jadi; mengambil seluruh uang penghasilan dan membentuk kejadian palsu bahwa terjadi pencurian. Beberapa anak panti yang masih berusia kecil bahkan harus memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan uang. Beberapa dari mereka bahkan jatuh sakit, tidak memiliki biaya perawatan. Berakhir menimbulkan berita duka, bahwa teman baik sang wanita, meninggalkan dunia karena telat melakukan penanganan atas penyakit tumor.
[Name] merasakan frustasi amat hebat. Semakin lama ia sadar bahwa terdapat hal mengganjal, ia terus menelusuri dan berhasil menemukan seluruh kenyataan yang seharusnya ia ekspos selama bertahun lalu. Tetapi sang pengurus jauh memiliki akal dan melakukan antisipasi; membuat pengakhiran bahwa sang wanita mampu melapor polisi menjadi tergagalkan akibat tindakan senonoh dari sosok penjudi dan penikmat narkoba berbalut penyelamat.
"Ugh." Ruang utama memiliki pencahayaaan remang dan memang membantu [Name] untuk menenangkan pikiran atas urusan pekerjaan. Tetapi karena pemikiran yang tidak sengaja memutar kembali masa lampau menyakitkan, sang wanita berakhir memajukan bagian tubuh hingga cukup membungkuk dalam. Menutup wajah dengan kedua telapak tangan; mengatur deru napas dan kinerja jantung. [Name] jelas tidak ingin kehilangan kontrol atas kebodohannya sendiri, tetapi setengah kegelapan ini tidak pernah terus mendukung. Trauma kerap menyerang pada momen tertentu. Dan sang wanita merasa bahwa diri memang cukup menyedihkan karena belum mampu mengurusnya seorang diri.
Ruangan tanpa penerangan baik.
Bau alkohol.
Tawaan maniak dari pita suara seorang lelaki, dan---
Sepasang tangan yang meraih tubuhnya dari arah belakang.
"Mari kita lihat di sini, wanita yang jelas tidak tahu kapan untuk beristirahat. Eh~" [Name] merasakan gejolak terkejut pada setiap inci tubuh, tetapi atas suara dari sosok lelaki; sang wanita ikut pula tersadarkan dan mampu mengumpulkan kokohan tembok yang hampir saja runtuh atas kesalahan sendiri dalam mengingat. Kedua tangan hitam dan mengerikan tersebut memberi imajiner atas sentuhan menjijikan bahkan mengerikan, tetapi kejadian itu secara tidak langsung berulang saat ini; walaupun jelas sekali memberikan efek berbeda kepada [Name]. Sepasang tangan cukup kekar memeluknya dari belakang, menyalurkan kehangatan dan dukungan secara tidak langsung--- sang wanita kentara menurunkan kedua tangan dari keberadaan wajah, memgamati sebagaimana sepasang tangan tersebut melingkar di sekitar lehernya dan otomatis membuat tubuh sedikit menegap.
[Name] sedikit melepas kekehan pelan. Walaupun sedikit terdengar hambar.
"Beristirahatlah, Tsuma, kau membutuhkannya." Sasara berbisik pelan setelah membungkuk cukup dalam dan berakhir menopang dagu di atas bagian lengan yang melingkar pada sisi samping [Name]. Menatap wajah sang wanita dari jarak cukup dekat, tidak menyinggung apapun walaupun tahu seperti apa kondisi kekasih sekarang. [Name] sendiri sedikit mendengus pelan, tidak habis pikir lelaki seperti apa yang menggunakan panggilan sayang kuno--- di mana dilakukan oleh pasangan suami istri berusia 40 tahun? Tetapi [Name] tidak bisa membohongi diri bahwa ia merasa senang.
"Panggilan macam apa itu?" [Name] ikut berbisik pelan dan sedikit mengembungkan pipi. Salah satu tangan bergerak dan menyentuh permukaan lengan Sasara, mengusapnya perlahan seakan memberitahu bahwa kondisi diri sudah membaik. Bagian tersebut terasa keras dan kokoh; dengan jalinan urat menonjol, [Name] bisa menduga seberapa keras kinerja Sasara untuk mempertahankan hidupnya sendiri pula.
Sebetulnya mereka masing-masing tidak tahu masa lalu yang telah mereka lalui. Entah tetap memberikan garis rahasia, atau memang mereka sadar bahwa saling mendukung dengan cara seperti ini sudah melebihi dari kata cukup. Lagipula mereka tak tahu untuk ke depan, bukan? Di mana bisa saja mereka menjadi musuh dan keputusan saling menukar kisah berisi kelemahan karena cinta semata malah menjadi senjata mematikan. Tidak ada pihak yang berani membuka pintu dahulu, tetapi perasaan di dalam hati sebetulnya tidaklah main-main.
"Tetapi, aku harus melanjutkan sedikit pekerjaanku agar tidak menumpuk, kau tahu? Beristirahatlah dahulu." Tangan mengusap kini diarahkan guna menyentuh bagian samping helai rambut kehijauan milik sang lelaki, sedikit memberikan dorongan bersamaan menyampingkan wajah agar kecupan pada pipi mendarat dengan sempurna. Sasara berdehem pelan, merasa belum terbiasa dengan kecupan mendadak dari sang kekasih, walaupun sedikit rona muncul dan membuat [Name] melepas tawaan pelan--- sang lelaki jelas tidak meraih kata menyerah atas usahanya untuk membuat sang wanita lebih menikmati waktu istirahatnya.
"Hmmm~" Sasara tidak membalas dengan perkataan spesifik selain melepas pelukan secara perlahan. Membuat [Name] sendiri menatap pada posisi sama, memerhatikan apa yang hendak dilakukan sang lelaki. Sasara sendiri membawa tubuh melalui sepasang kaki, berputar hingga memosisikan diri tepat di depan [Name]; walaupun arah tubuh menghadap kepada keberadaan laptop menyala, berakhir tanpa izin menggunakan satu tangan guna menutup bagian layar--- otomatis membuat benda tersebut dalam kondisi istirahat.
"Ayolah, Sasara, aku akan berjanji untuk segera beristirahat setelah---" Baru saja [Name] ingin bangkit untuk mengembali keadaan benda tersebut, terlihat Sasara lebih dahulu berputar arah hingga benar-benar menghadap sang wanita. Meraih dengan kedua tangan, menempati dua titik agar Sasara mampu membopong tubuh sang wanita hingga dapat dieratkan pada dekapan. Sang lelaki mengulas senyuman, menoleh ke arah bawah dengan dengusan geli terlepas.
"Ayo tidur bersama."
"...?!"
"Dan kau tahu, aku akan membawa lilin aroma terapi di dalam kamar nanti."
"W-Woah?"
"Karena aku adalah 'light' sleeper."
"...."
[Name] seharusnya tidak berharap banyak saat Sasara berkata demikian, tetapi kalimat dengan siratan salah paham itu sudah terlanjur menciptakan rona pada sekitar wajah. Walaupun diakhiri dengan humor buruk dan membuat sang wanita melepas erangan pelan sebagai tanda komplen, Sasara sendiri mengamati dengan ulasan senyuman geli; tetap terus melangkah menuju ruang kamar, memang berencana membawa sang wanita untuk tidur bersamanya. Dengan sebuah pelukan dan sedikit bermanja; setidaknya Sasara menginginkan kebersamaan sederhana seperti itu. Memang benar, sang lelaki tidak masalah melempar seribu humor yang tidak mampu membuat orang lain tertawa--- tetapi [Name] adalah satu-satunya orang yang ia nikmati dari segala reaksi, tertawa atau tidak; asalkan sang wanita tetap memberikan perhatian. Semua terasa baik-baik saja.
Pada akhirnya Sasara menahan tawaan di dalam leher setelah menatap ulasan keluhan dan rona pada ekspresi milik [Name]. Menundukkan kepala sembari lebih mengangkat tubuh kekasih, mengarahkan wajah hingga puncak hidung mampu mengusap puncak hidung sang wanita pula. [Name] sendiri mengalami perubahan--- mengulas senyuman tipis seiring memejamkan mata, kentara menikmati afeksi milik Sasara dalam keheningan. Hingga sang lelaki berakhir memberikan kecupan pada kening, kedua tangan sang wanita menyentuh masing-masing sisi pipi kekasih--- memberi gerak mengusap sebelum mereka benar-benar mengakhiri hari bersama.
.
.
.
"Inilah mengapa aku selalu menganggapmu sebagai sampah, Sasara!"
"Kau ... Apakah kau tahu seberapa besar usahaku untuk membantumu, Samatoki?!"
"Brengsek. Kesalahan besar yang kau lakukan tidak bisa dibayar dengan tindakanmu dahulu sekarang ini!"
"Agh, lelaki sepertimu tidak akan pernah mendapatkan kehidupan lebih baik. Enyahlah!"
"Ap--- KAU YANG ENYAHLAH. Jika kau memutuskan untuk pergi, jangan ambil apa-apa dari sini. Termasuk [Name]."
"Kau tidak bisa mengaturku, SAMATOKI!"
"Tetapi pertandingan rap bisa menentukan segalanya."
.
.
.
.
C H A N G E
"Only I can change my life. No one can do it for me."
.
.
.
.
[Name] bisa merasakannya.
Ladang bunga mawar tersebut telah perlahan melayu. Ikut menggugurkan kelopak satu per satu; begitu pula makna yang seharusnya masih tetap bertahan di antara dua insan. Sebuah gambaran imajiner tertanam pada lubuk hati menjeritkan derita atas perubahan drastis, walaupun sang wanita tetap berlari untuk mempertahankan--- menerobos deras hujan akibat musim, ia tak memedulikan suhu tubuh yang mengikuti situasi cuaca saat malam kian menyambut; menahan mati rasa dan juga dinginnya permukaan kulit. Petang hati telah memulai kobaran api neraka di antara kedua lelaki, tetapi kondisi tidak tahu menahu membuat sang wanita sadar pada kondisi terlambat. Hati sesak dan otak penuh dengan seribu pemikiran perenggut ketenangan. Tetap mendorong tenaga hingga sampai pada tempat tujuan.
Samatoki Aohitsugi dan Sasara Nurude telah mencapai batas toleransi. Ledakan konflik atas inti masalah membuat mereka mengadakan pertandingan antara pemegang hypnosis microphone--- bukan hanya pertandingan biasa, [Name] diberitahu bahwa pertandingan tersebut sudah hampir sama dengan hidup atau mati. Maka dari itu, sang wanita tidak bisa membiarkan salah satu dari mereka harus menanggung efek paling terburuk. Sang wanita kentara tahu seperti apa jalinan hubungan mereka, tetapi apakah solusi demikian adalah pilihan terbaik? Nyawa bisa saja menjadi taruhan dan momentum yang telah mereka lalui jelas akan membawa rasa penyesalan dikemudian hari.
"!!!!" [Name] mendadak berhenti melangkah dengan sepasang mata membelalak. Ia bisa merasakan kinerja jantung seakan mendadak berhenti sesaat, menangkap pemandangan mengejutkan saat jarak memberi sebuah kenyataan. Samatoki dan Sasara sedang menghadap pada batas posisi ruang, tetapi mulut sang wanita jelas terbuka tanpa mampu melontarkan suara pada saat itu juga.
Sasara Nurude.
Lelaki itu telah ambruk.
Kedua kaki sudah bertekuk sempurna. Punggung tidak mampu lagi menegap dan membuat lengan harus menopang beban di atas permukaan tanah membasah, membungkuk dalam pada keadaan tubuh bergemetar hebat. Salah satu tangan mengepal guna melampiaskan amarah terpendam, walaupun sepasang indra penglihatan berhadapan dengan permukaan bumi; [Name] secara samar bisa menangkap ekspresi milik Sasara. Kumpulan derita berkumpul melalui satu mimik wajah, sebuah emosional yang sang wanita tidak pernah temui bahkan temukan setelah mengikat hubungan. Seakan menggambarkan bahwa sang lelaki telah mencapai titik batas pertahanan, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena telah menginjak kekalahan. Semua itu tergambar jelas, karena Samatoki masih berdiri tegap dan kokoh. Bahkan luka atas dampak pertandingan mereka sudah cukup berbeda jauh. Apa yang menyakitkan, Samatoki justru melempar tatapan dingin pada posisi merendahkan.
"SASARA!" Sang wanita tidak berpikir lebih jauh lagi, bahkan setelah menangkap tetesan darah yang mengalir jatuh dari permukaan wajah sang kekasih hingga bercampur pada genangan air hujan, [Name] langsung kembali berlari guna memperdekatkan jarak. Untuk saat ini, memang benar, sang wanita memberikan perhatian kepada Sasara; dilihat dari manapun juga, kematian menyambut sosok lelaki tersebut.
"Jangan mendekat, [Name]! Lelaki satu itu tidak akan mati. Tetapi sampai di sini kau bisa membelanya." Samatoki mencegah tindakan [Name]. Menangkap lengan sang wanita pada genggaman dengan tenaga cukup kencang, mau tidak mau membuat kedua kaki berhenti meraih sosok Sasara, dan jelas membuat [Name] memberontak tidak terima. Tetapi ia sudah cukup kehilangan tenaga, membuat pengakhiran bahwa Sasara Nurude harus memikul rasa putus asa seorang diri.
"Kau gila, Samatoki?! Dia temanmu dan juga kekasihku! Lepaskan aku!" [Name] berteriak, terus memberontak seiring melempar tatapan ke arah Samatoki dalam kondisi mengancam dan penuh amarah. Tetapi sang penerima tatapan tersebut tidak mendengarkan seperti saat-saat biasanya, memutuskan terus menahan lengan sang wanita sembari mengerutkan alis. Memerlihatkan sedikit amarah karena menganggap [Name] sudah dibutakan oleh perasaan semata. Karena menurut Samatoki, lelaki yang telah menjadi lawannya memang pantas mendapatkan hal demikian. Bahkan Samatoki tidak masalah pada kondisi seperti ini, ia menjadi peran antagonis.
"Pada pertandingan rap, orang yang telah mencicipi kekalahan mau tidak mau menerima konsekuensi. Buka matamu, [Name], tataplah lelaki satu itu dan terima apa yang telah ia putuskan dengan kedua tangannya sendiri."
Bagaimana bisa [Name] hanya mengamati tanpa melakukan apapun? Tetapi dengan tenaga yang Samatoki miliki, sang wanita tidak bisa melawan; bahkan membuang pandangan sama saja mengenyahkan kondisi Sasara pada hadapan. Maka memutuskan melaksanakan apa yang Samatoki inginkan, sang wanita kembali menyaksikan sebagaimana kondisi Sasara tanpa perbedaan berarti. Walaupun masih mampu membuka suara, sang lelaki tetap bungkam tanpa sepatah kata--- bahkan untuk sekadar memberitahu kondisi kepada [Name], ia merasa tidak bisa melakukannya. Tubuh tetap bergemetar, Sasara benar-benar tampak menyedihkan sekarang. Tetapi emosional yang ia rasakan bercampur aduk menjadi satu--- membuat deras hujan menutupi faktual, sang lelaki merasa bersyukur bahwa tangisannya tidak disadari oleh dua orang tersebut. Kali ini Sasara melepas tawaan hambar, tetapi tidak ada sepasang tangan menyambutnya. Hal itu bukanlah kesalahan orang lain, mengingat diri harus mempelajari dan menerima kekalahan selayak orang dewasa.
Jalur yang Sasara putuskan ambil pada saat itu juga, menciptakan sebuah pemandangan imajiner pada indra penglihatan [Name] dari sebuah koneksi perasaan. Sang wanita kembali membelalak, sebuah tangisan begitu saja pecah bersamaan rasa panik menggerogoti diri. [Name] benar-benar bisa melihatnya, puluhan penampakan tangkai mawar yang telah kehilangan seluruh kelopak kini memekarkan sebuah bunga dengan makna menyakitkan.
Higanbana.
Saat Sasara berusaha seorang diri untuk bangkit, satu per satu tangkai bunga menghasilkan bagian kelopak baru berwarna kemerahan. Menciptakan bunga higanbana pada sekitar posisi di mana sang lelaki masih berpijak, mencuatkan makna dari sebuah kematian. Sasara mendeklarisasikannya tanpa paksaan dari siapapun. Tetapi tampaknya [Name] tahu menahu keputusan dari sang lelaki, kentara meninggalkan hypnosis microphone miliknya sendiri di atas permukaan tanah; Sasara menatap ke arah dua lawan bicara setelah tubuh benar-benar telah menegap kokoh, dan pada saat itu juga puluhan bunga telah mekar secara sempurna. Sang lelaki memutuskan mulai membuka mulut untuk meninggalkan beberapa rangkaian kalimat.
"Aku akan meninggalkan tempat ini tanpa membawa apapun." Suara Sasara terdengar lemah, tetapi ia sebisa mungkin mengucapkannya dengan lantang dan tegas. Deru napas pada kondisi demikian pula, menelan kenyataan pahit sebisa mungkin. Meninggalkan harga diri memang menjadi musuh berat, tetapi hal yang jauh lebih berat adalah meninggalkan sosok wanita di hadapannya. Sang lelaki berakhir menghasilkan tawaan sedikit menggema, mengulas senyuman bersirat paksaan. Tidak ada ruang untuk tidak merelakan.
"Maka dari itu, hubungan kita juga akan berakhir di sini, [Name]. Kau hanya akan menghalangiku untuk berubah."
[Name] mematung total, tidak memercayai apa yang baru saja Sasara katakan. Tetapi dengan nada serius tanpa sedikitpun hambatan, sang wanita tidak bisa menyangkal kalimat tersebut--- jika saja sang lelaki benar-benar ingin mempertahankan hubungan mereka, maka Sasara jelas memiliki kekuatan untuk bernegosiasi. Ah, sang lelaki benar-benar meninggalkan segalanya. Terlalu menyakitkan, dengan keadaan sesak--- [Name] bahkan tidak lagi merasakan dingin menusuk pada setiap inci kulit tubuh selain rasa sakit pada hati. Walaupun diri harus tahu menahu, pada akhirnya manusia akan mementingkan kondisi mereka sendiri. Bahkan untuk Samatoki, sang lelaki sudah tahu apa yang sang wanita rasakan; memutuskan melepas genggaman dengan kepercayaan bahwa [Name] tidak akan lagi menyusul sosok Sasara.
Benar saja, [Name] dan Sasara saling memandang. Sang wanita memberi tatapan agar setidaknya sang lelaki sadar bahwa masih terdapat kesempatan, tetapi Sasara sendiri sama sekali tidak berkutik--- ekspresi mendatar total seakan tak sedikitpun berpikir untuk merubah keputusan. Bukan karena sepenuhnya dari konsekuensi, Sasara secara sederhana sudah muak dengan sebagian dari kondisi hidupnya sekarang. Dan untuk merubah--- sesuatu harus dikorbankan. Walaupun Sasara tahu [Name] masih menaruh perasaan, begitu pula sebaliknya; sang lelaki berpikir bahwa cinta bukanlah sebuah pendukung terbaik setiap saat. Mengingat mereka tetap menyimpan masing-masing luka, kelak suatu saat bisa saja [Name] mendapatkan sosok yang lebih baik daripada sosok lelaki sepertinya. Sang humoris aneh, begitu juga lelaki dengan perjalanan tragis. Bahkan untuk beberapa orang--- terlihat seperti sebuah komedi gelap di atas panggung.
Sasara mendengus geli, berakhir mengulas sedikit senyuman miring seiring menyimpan kedua tangan di dalam saku. Memutuskan berbalik badan dan, tanpa berpikir dua kali, melangkah menjauh. Meninggalkan mereka, terutama meninggalkan [Name]. Secara tidak langsung menciptakan sepasang makam yang didedikasikan untuk dua hal;
Sosok 'lama' dari Sasara Nurude dan juga perasaan dari kedua insan yang seharusnya masih bertahan.
.
.
.
Sedangkan sosok wanita itu menggertakkan gigi. Berakhir melepas teriakan yang dipenuhi oleh rasa frustasi, walaupun deras hujan tetap mengalahkan pendengaran bumi--- lelaki di dekat sosok tersebut menahan sepasang tangan yang mulai mencengkram kencang sepasang helai rambut tanpa rasa kasihan dengan diri.
.
.
.
Our love is six feet under. I can't help but wonder, if our grave was watered by the rain. Would roses bloom? Could roses bloom ...
Again?
.
.
.
"Kota Yokohama seperti biasa tampak padat pada siang hari. Atau hanya perasaanku saja?"
Sosok lelaki berkacamata menghela napas singkat sembari membenarkan posisi kacamata melalui jemari yang terbalut oleh pembalut tangan berwarna kemerahan. Sedikit memejamkan mata dengan perasaan sedikit jengkel, berjalan beriringan dengan dua sosok lelaki dan satu sosok wanita pada pinggir jalanan Kota Yokohama. Berpakaian formal dan rapi, mengeluh tentang seberapa padat keadaan kota di mana mengundang calon kasus kriminalitas pula. Menciptakan kekehan pelan pada mulut sang hawa, menarik atensi dari tatapan kehijauan milik Jyuto Iruma. Salah satu anggota Divisi Yokohama yang dibentuk oleh Samatoki. Banyak hal telah berubah, termasuk kenyataan bahwa [Name] mengikuti jejak sang lelaki setelah melewati beberapa kejadian mengejutkan.
"Sesuatu terdengar lucu, Nona [Surname]?" [Name] menggeleng pelan, melempar tatapan rasa tidak suka kemudian saat mendengar panggilan demikian. Pada posisi yang kebetulan sedang berjalan di samping sosok sang lawan bicara, wanita tersebut kentara tak senang; begitu pula memerlihatkannya secara jelas.
"Berhenti memanggilku demikian, Jyuto. Kau ini sengaja menyinggung walaupun tahu aku tidak suka dipanggil seperti itu, ya?" Sosok pemilik helai rambut kehitaman itu melepas tawaan tertahan, mengulas senyuman miring khas selagi menurunkan tangan setelah membenarkan posisi kacamata. Memandang sosok wanita yang secara jelas lebih mengenal ketua divisi dibanding dua anggota lainnya, kentara alih-alih tidak membalas karena sudah melempar ledekan melalui sudut bibir; menghasilkan helahaan napas panjang dari mulut [Name]. Malas berdebat, sang wanita secara sengaja membuang pandangan ke arah lain. Tetap melangkah dan membiarkan topik sementara tersebut pada keadaan mati.
"...." Kedua kaki [Name] berhenti melangkah; otomatis membuat ketiga sosok lelaki ikut melakukan hal sama. Begitu pula menaruh atensi sementara kepada sang wanita hanya untuk mencari tahu apa yang terjadi. Tetapi [Name] sendiri secara kebetulan memang memandang layar televisi pada salah satu toko elektronik, memerlihatkan sebuah acara di balik kaca pembatas--- menempatkan pemandu acara berbicara dengan logat khas pada Kota Osaka di atas panggung meriah. Diikuti pula dengan sosok lelaki di sampingnya, mengenakan model pakaian unik sembari mengulas senyuman cukup lebar. Terlihat mengulas ekspresi bahagia di depan banyak orang, tetapi sang wanita bisa mengambil kesimpulan dalam hati bahwa lelaki tersebut telah meraih kehidupan lebih baik.
'Dan itulah pertunjukan perdana yang dibawakan oleh pelawak jenius kita, Sasara Nurude---'
"What's wrong, [Name]?"
Kedua mata sang wanita berkedip sekali setelah disadarkan oleh suara berat milik sosok lelaki berpakaian tentara. Membuat [Name] menoleh ke arah sosok lelaki bernama Rio Mason Busujima, ekspresi tenang diulas walaupun pertanyaan tersebut memiliki siratan kepedulian--- kedua netra biru memandang lawan bicara, pemilik helai rambut kecokelatan itu secara diam-diam menaruh penasaran mengapa [Name] dapat dengan mudah terdistraksi oleh acara televisi semata. Sang wanita tertawa pelan, mengibaskan tangan di depan wajah. Secara cukup sadar mengenyahkan sebagaimana Samatoki mengamatinya sembari menghisap sebatang rokok; tetapi, tentu saja, lelaki tersebut tidak berkomentar apa-apa. Sedangkan Jyuto adalah peraih informasi untuk kepuasan personal, tapi sama seperti Samatoki, mengumbar tidaklah berguna dan justru akan memperburuk suasana.
"Bukan apa-apa. Hanya sedikit penasaran tadi. Lebih baik kita kembali berjalan sebelum terlambat."
Hati [Name] kembali merasa sesak.
Tetapi ia kelak harus tahu kapan untuk berhenti mengingat.
Lagipula mereka berdua sudah menyambut lembaran baru.
.
.
.
Help, I lost myself again, but I remember you.
Don't come back, it won't end well, but I wish you'd tell me too.
It's all too much for me.
Blow away.
Like smoke in air.
...
...
...
How can you die carelessly?
.
.
.
"Aku selalu penasaran kenapa kau berhenti merokok, Sasara?"
"Oh~ kau penasaran, Rosho? Seseorang memintaku untuk berhenti karena mengkhawatirkan keadaan paru-paruku."
"Hm? Apa aku tidak salah dengar? Sasara Nurude mendengarkan omongan orang lain?"
"Ayolah, setidaknya aku tidak sedang berbohong. Hahaha~"
.
.
.
End.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top