Chapter. 4
Hari Minggu, biasanya gue pake buat bangun lebih siang, ato ngetem di bengkel seharian buat urus kerjaan. Tapi minggu ini, terpaksa harus bangun pagi karena temen kampret gue, si Chandra, minta bala bantuan.
Chandra dan Leo memperluas bisnis kafenya dengan membuka cabang di daerah Jakarta Utara. Hari ini katanya soft opening, dan mereka kudu standby di kafe baru, sambil ngajarin karyawan baru di sana. Gue nggak tahu kenapa harus tiba di jam 9 kayak gini, padahal pembukaan kafe dimulai jam 11.
Dan ternyata, yang namanya temen kampret emang nggak ada yang bisa nandingin Chandra. Bala bantuan yang dia maksud adalah minta gue jadi tukang bersih-bersih. Babon dapet tugas buat pasang banner, gue dapet tugas buat ngelap meja, dan Joy lagi diajarin megang kasir sama Chandra.
"Brengsek tuh kancut, bilang aje mau deketan mulu sama si Boncel," sewot Babon.
Gue menoleh pada Babon yang sedang melirik sinis ke arah Chandra yang sedang menjelaskan pada Joy dalam suara rendah.
"Pacaran lama, nggak jamin bisa berhasil juga, Bon. Maklumin aja, namanya juga orang berdosa, banyak kemungkinan yang bisa bikin Joy berubah pkiran kapan aja," komentar gue skeptis.
"Kasian amat kalo sampe nggak jadi," ejek Babon geli, lalu duduk di salah satu kursi kosong. "Ngantuk banget gue, semalam main game ampe jam 3 baru tidur."
"Sama, gue..."
"BANG JOSEPH!"
Shit. Suara itu lagi. Gue hanya menoleh dengan enggan, melihat Grace yang datang dari belakang. Gue lupa bilang kalo ada Grace juga hari ini. Doi sibuk di dapur, bantuin Leo dan baker lainnya untuk bikin menu makanan yang ada di kafe.
"Bawa apaan, Grace? Sarapan buat kita? Kebetulan, gue juga belum makan. Temen kampret gue nggak kasih makanan, tahunya cuma jadi mandor ngepet yang masih usaha di sana," celetuk Babon ketus.
Grace hari ini tampak berbeda. Doi pake seragam chef, yang terlihat pantas untuknya. Rambut panjangnya dibundel ke atas, tangannya masih pake sarung tangan, dan mukanya cemong. Ada noda tepung di sisi wajahnya, tapi kayaknya Grace nggak ngeh.
"Bukan buat Bang Babon, ini Grace bikin khusus buat Bang Jo," balas Grace lantang, lalu menoleh gue sambil cengengesan. "Bang, ini Grace buatin Salted Egg Croissant. Enak deh, cobain!"
Gue mengangguk dan duduk di kursi saat Grace menaruh sepiring croissant di depan gue. Persis kata Babon, si Chandra beneran kampret jadi temen, dengan nggak siapin sarapan buat kami.
"Gue bisa sirik juga kayak gini jadinya," sewot Babon dari samping. "Kenapa si Jojo doang yang dapet ransum? Gue kan juga laper."
Grace menoleh dan menghela napas kesal. Gue udah mulai nikmatin makanan itu, dan emang enak banget.
"Bang, yang sabar ya. Grace cuma bisa kasih perhatian sama Bang Jo aja. Kasihan, dia bersih-bersih daritadi, kan capek," ujar Grace ringan.
"Lu pikir naek-naek buat pasangin banner, nggak lebih capek? Ancuk! Begini amat hidup gue jadi orang?" balas Babon sengit.
"Berisik banget sih lu, Bon? Nih, gue bawain!" tiba-tiba Leo muncul sambil memberinya sepiring makanan yang sama dengan gue.
Gue menyeringai geli ketika melihat ekspresi Babon yang kaget sekarang.
"Yo, lu masih straight, kan? Perhatian amat sama gue. Biar begini, gue masih doyan kerang tirem, bukan teripang," tanya Babon yang langsung dibalas dengan gelepakan dari Leo.
"Ngehe bener lu jadi orang! Masih bagus gue kasih makan!" desis Leo kesal dan langsung pergi meninggalkan kami.
Babon hanya mengusap kepala dan mulai menunduk untuk menikmati makanannya. Gue masih mengulum senyum geli sambil menggeleng, dan kembali menoleh pada Grace yang sedang menatap gue sambil menopang dagu.
"Kenapa liatin gue kayak gitu?" tanya gue dengan alis bertaut.
"Seneng aja kalo liat Bang Jo senyum, kayak ada manis-manisnya gitu," jawab Grace sumringah.
"Eneg banget gue dengernya," celetuk Babon sambil beranjak untuk berpindah ke meja yang lebih jauh sambil membawa makanannya.
Gue nggak memberi respon dan kembali melanjutkan makanan. Agak risih kalo lu lagi makan, tapi diliatin terus. Kesannya kayak nggak rela kasih gue makan.
"Lu udah makan?" tanya gue sambil melirik Grace yang masih ngeliatin orang sambil bertopang dagu.
Grace mengangguk sambil tersenyum.
"Terus ngapain masih di sini? Makanan lu lagi gue makan. Balik aja ke dapur," lanjut gue.
"Grace suka liatin Bang Jo makan lahap kayak gitu. Grace tungguin sampe Bang Jo kelar, biar ada alasan buat bawa piring kotor ke dapur," balas Grace senang.
Gue pun langsung menghabiskan makanan dengan cepat. Selagi gue menunduk, gue merasakan Grace beranjak dari kursi, lalu kembali dengan bawain segelas air. Gue mendongak untuk melihatnya masih tersenyum di sana.
"Udah kelar," ucap gue sambil mengunyah dan menyodorkan piring kosong ke arahnya.
Grace mengangguk dan menarik selembar tissue dari meja, lalu langsung mengusap sudut bibir gue tanpa ragu. Ofcoz, gue kicep. Dari sudut mata, gue bisa memastikan kalo Chandra dan Joy yang lagi di kasir, sedang memperhatikan gue sekarang.
"Ada remah croissant, Bang," ujar Grace menjelaskan aksinya barusan.
Dia segera mengambil piring kosong dan mendekatkan segelas air itu. "Makasih udah mau makan makanan buatan Grace. Nih, minum dulu. Grace mau sekalian bawa gelasnya kalo udah kosong."
Gue mengambil gelas itu dan meneguknya cepat. Saat Grace hendak mengambil gelas kosong dari tangan gue, di situ gue bergerak lebih cepat. Gue ambil selembar tissue, dan kini giliran gue yang usap pipinya yang cemong karena tepung. Grace tersentak dan melongo menatap gue. Mungkin juga kaget, tapi gue lebih kaget karena bisa refleks kayak tadi.
"Ada tepung di pipi lu," ujar gue menjelaskan.
Pipi Grace memerah, lalu mengulum senyum senang. Dia hanya mengangguk, lalu beranjak dan berlalu ke arah belakang. Kini, tatapan gue sepenuhnya melihat ke arah Chandra yang lagi menyilangkan tangan dengan cengiran penuh arti, dan Joy yang tersenyum di sana.
"Ceilahhh, ada yang lumer, tapi bukan es krim," cibir Babon sambil lalu.
"Apa dong, Bon?" balas Chandra geli.
"Debaran jantung, kepanasan karena AC lu belum nyala daritadi, Tai!" sahut Babon yang udah di depan kasir dan menyodorkan piring kosongnya ke Chandra.
"Lu sakit jantung?" sahut Chandra lagi.
"Bukan gue. Ada yang bakal nyusulin lu, moga-moga nggak ada parade bucin jilid 2. Bisa makin najis gue jadi temen lu pada," tukas Babon.
"Bacot!" sembur gue ketus.
"Ih, sensi. Padahal mah, gue nggak berasa ngomongin lu," celetuk Babon langsung.
"Ada yang merasa, tapi bukan kita," sahut Chandra semakin menjadi.
Cibiran mereka terhenti saat Leo muncul dan memanggil Chandra untuk ikut ke belakang. Babon pun berlalu ke depan untuk merokok. Kini, tinggal gue yang udah samperin Joy di kasir. Cewek itu masih mengotak-atik mesin kasir dan mempelajari daftar kode yang ada di samping mesin.
"Mbak kasirnya belom ada?" tanya gue memulai obrolan.
Joy mendongak dan tersenyum manis. "Siangan baru bisa dateng, jadi sementara gue yang incharge. Moga-moga nggak kesalahan."
"It's okay, permulaan ada salah-salah dikit, masih excusable," balas gue sambil ikut senyum.
Mata Joy melebar senang dan masih tetap tersenyum.
"Udah sarapan?" tanya gue kaypoh.
"Udah, semalam ada bikin makaroni," jawabnya santai.
"Pasti Chandra yang request," tebak gue langsung.
Makaroni atau makanan sejenis pasta adalah kesukaan Chandra. Dan tebakan gue udah pasti bener karena Joy semakin melebarkan senyuman, lalu mengangguk.
"Udah makin deket, ada rencana buat naik level? Nikah, mungkin," tanya gue lagi.
Joy terlihat berpikir dan mengangguk pelan. "Ada, tapi itu bukan satu-satunya rencana kami. Soalnya, kami masih belajar dan perlu banyak toleransi dalam berbagai hal."
"Maksudnya?"
"Gue nggak mau nikah karena udah pacaran lama. It wasn't the achievement I had wished in a relationship. So, I need something different, likewise, need to be locked in a firm embrace."
"Such as?"
"Acceptance, understanding, appreciation, etc. Banyak hal yang bisa kita dapetin dalam hubungan," jawab Joy lugas.
Kini gue paham kenapa Chandra cukup kesusahan untuk meyakinkan cewek itu dalam melangkah ke jenjang yang lebih serius. Pembuktian diri nggak cukup kalo masih ada banyak hal yang belum lu pahami. I got the point. Joy nggak mau Chandra terlalu cepat dalam memutuskan sesuatu yang harus diemban seumur hidup, jika masih belum memiliki pengertian seluas itu.
"Wow," gumam gue pelan.
"Makanya, lu perlu buka hati buat liat banyak hal," celetuk Joy kemudian.
Alis gue terangkat, menatapnya bingung. "Maksud lu?"
"Kasih kesempatan untuk sesuatu yang baik, jangan langsung menghakimi sebelum lu dapet jawaban atau alasannya. Gue yakin lu paham apa maksud gue, karena kita lebih dewasa. Nggak ada yang susah, kan?"
"Acceptance, itu yang mau lu sampein ke gue?" balas gue dengan alis terangkat setengah.
Joy mengangguk. "Nggak ada salahnya untuk mencoba, Jo. Siapa tahu lu akan dapetin hal baru dari orang yang lu anggap bertolak belakang sama lu."
"Kayak lu misalnya?"
"Iya," jawab Joy sambil mengangguk. "Awalnya memang agak ragu, tapi lama kelamaan, gue jadi terbiasa dengan adanya Chandra di samping gue. Bukan mengandalkan, tapi kita sama-sama tahu bahwa kita saling butuh untuk kasih dukungan. Nilai plusnya, gue tetep bisa jadi diri sendiri, karena dia nggak pernah menuntut gue untuk jadi orang lain."
Gue mencoba memahami apa yang disampaikan Joy, meski terkesan aneh buat gue. Dari omongannya, kayaknya udah mantep banget sama Chandra. Tapi kenapa masih gitu-gitu aja? Chandra sering curhat kalo doi sering berkelit kalo bahas tentang pernikahan.
Obrolan kami terhenti saat Chandra kembali. Ofcoz, mukanya keliatan curiga dengan adanya gue yang mengajak Joy ngobrol. Bomat lha, kenapa harus merasa insecure, kalo udah memiliki apa yang diinginkan? Ckck.
Akhirnya, kafe pun dibuka untuk para undangan. Kebanyakan, teman main Chandra dari sekolah sampe kuliah, yang artinya temen gue dan Babon juga. Leo juga samperin temen kenalan yang diundangnya, sementara Joy masih ngetem di kasir, dan Grace yang masih di dapur.
Gue? Jadi pengawalnya Joy aja di kasir, karena gue tahu diri bukan temen yang asik buat diajak ngobrol. Cukup banyak yang dateng, mungkin karena menjaga hubungan pertemanan, yang emang dari dulu si Chandra paling banyak temennya. Sibuk? Nggak juga. Chandra dan yang lainnya sibuk ngobrol sama para undangan, sedangkan Joy sibuk membuat rekap pesanan.
"Lu nggak apa-apa kalo Chandra dikerubungin cewek-cewek centil kayak gitu?" tanya gue dengan kening berkerut, saat melihat Chandra meladeni para sekelompok cewek agresif yang ada di sana.
"Emangnya gue mesti gimana, Jo?" tanya Joy heran.
Gue auto nengok dan melihat Joy yang lagi ngeliatin gue dengan tatapan menilai. Kenapa sih kalo liatin orang nggak bisa biasa aja?
"Nggak cemburu?" tanya gue jujur.
Joy menoleh pada Chandra yang masih meladeni mereka dan kembali menatap gue. "Mereka cuma ngobrol."
"Kalo ada yang minta nomor telepon, or..."
Joy tertawa pelan. "Yah, itu biar jadi urusannya Chandra aja. Yang gue pegang adalah ucapannya. Misalkan dia nggak bisa pegang ucapan, yah tinggal terima resiko. Karena setiap tindakan, kita sama-sama udah tahu konsekuensi."
"Joy, ada kloningan kayak lu, gak? Serius nanya," tanya gue langsung.
Kalo ada, gue langsung lamar hari ini juga. Hidup gue bakalan ringan kalo bisa dapetin cewek yang punya pengertian dan logika kayak gini. Sial banget si Chandra, gue kalah cepet waktu itu.
"Rumput tetangga emang lebih ijo, Jo. Jangan lu pikir bakalan cocok sama gue, hanya karena ada satu atau dua hal yang sejalan sama lu. Hidup itu perlu tantangan, kalo monoton, yah bosen," jawab Joy sambil tertawa geli.
See? Modus gue barusan, mental gitu aja. Gila. Usaha cowok bakalan sia-sia buat ngebokis kalo mau deketin, karena doi bisa balikin bokisan lu pake logika.
"Gue liatin lu deketin Joy terus daritadi," celetuk Chandra sinis, bikin gue dan Joy sama-sama menoleh.
Muka Chandra busuk banget kayak sampah. Emang nggak tahu diri tuh orang. Siapa yang abis keganjenan, malah ngerasa berhak buat menuduh gue yang keganjenan deketin ceweknya sekarang.
"Bukan deketin, tapi ngobrol doang. Kayak kamu sama temen-temen kamu, Bee," balas Joy kalem.
Gue menyeringai puas melihat Chandra yang berdecak pelan.
"Niatnya Jojo nggak gitu, Bae," sahut Chandra nggak terima.
"Sayang," panggil Joy sabar. "Misalkan niat Jojo nggak gitu, bukan berarti aku juga punya niat yang sama, kan?"
Chandra mengerjap bingung. Gue cuma menahan senyuman saat ngeliat dia kicep.
"Yah, nggak, lha," balas Chandra ragu.
"Kalo gitu, nggak ada yang perlu disewotin, okay? Udah lha, kayak gini aja ribut. Tuh sana, anterin pesanan ke meja nomor 7," ucap Joy ketus dan bikin Chandra makin kicep.
Saat Chandra menyingkir, dia menarik kerah kaos gue agar menjauh dari Joy dan berbisik, "Pergi ke dapur sana, nggak usah di sini!"
Gue hanya menggelengkan kepala dan ikutin apa yang Chandra mau aja. Males ladeninnya. Gue pun menuju dapur dan bisa melihat Grace masih sibuk di sana. Meski doi pake masker, tapi gue bisa melihat ekspresi seriusnya lewat sorot matanya yang tajam saat menghias seloyang kue di sana.
Seseorang dengan passion-nya, adalah hal yang memiliki daya tarik tersendiri untuk diperhatikan. Dan saat ini, gue melihat hal itu pada Grace sekarang. Doi jadi terlihat lebih menarik dan sempet menyita perhatian gue selama beberapa detik, sampai nggak sadar kalo gue udah berjalan mendekat ke arahnya.
Seperti bisa merasakan kehadiran gue, Grace berhenti dan menoleh untuk mendongak. Sepasang matanya membulat, tampak kaget di sana. "Bang Jo, kenapa? Ada apa? Laper? Mau makan lagi?" tanyanya sambil membuka maskernya.
Soal perhatian, Grace memang ahli dalam memberikannya. Tiba-tiba ada rasa senang yang muncul dalam hati gue sekarang. Joy benar, kayaknya gue perlu memberi kesempatan buat diri sendiri untuk sesuatu yang baru dan melihat banyak hal.
"Nggak, cuma mau nanya aja," jawab gue kemudian.
"Mau tanya apa?" balas Grace.
"Abis dari sini, lu ada acara?"
Grace menggeleng. "Nggak."
"Kalo gitu, mau pergi bareng sama gue?"
◾◾◾
Friday, June 12th, 2020
22.51.
Saan ae lu, Kanebo.
Anjir, gue masih ngebet sama Joy. Gagal move on banget.
Bomat lha, extra parts aja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top