Chapter. 18

"Kenapa sih lu nggak mau tinggal di rumah gue aja?" protes Jordan saat tahu gue booking hotel yang nggak jauh dari rumahnya.

"Gue nggak mau ngerepotin," jawab gue seadanya.

"Lu bisa liat rumah gue punya banyak kamar. Dan kamar di pintu tengah adalah kamar yang gue siapin khusus buat lu," ujar Jordan sambil menunjuk ke pintu yang dimaksud.

Gue terdiam sambil melihat ke pintu itu, lalu bergerak untuk melangkah ke sana dan membuka pintunya. Sebuah kamar yang cukup besar dan sudah dilengkapi dengan furniture, lengkap dengan meja kerja dan LED TV.

"Selama ini, lu siapin kamar kosong buat gue di sini?" tanya gue nggak percaya.

"Ya iya lha, gue ngarep lu bisa visit. Gimana pun, kita masih sodara dan lu adalah adik gue satu-satunya," jawab Jordan sambil menepuk bahu gue dan gue langsung menoleh padanya.

"Thanks. Kalo gitu, gue nggak akan segan minta bantuan sama lu," balas gue langsung.

Kening Jordan berkerut bingung. "Bantuan apa?"

Gue melirik ke arah belakang dimana Ivy tampak menyeringai lebar menghampiri kami. "Anak-anak lagi main di kamar."

"Kalian berdua kenal Grace?" tanya gue, mengabaikan pemberitahuan Ivy soal dua anaknya.

Keduanya mengangguk.

"Grace pernah datang 3 kali dan udah jadi temen baiknya anak-anak. Mereka bilang onti Grace baik banget," cerita Ivy.

Mata gue melebar kaget, lalu menggelengkan kepala karena niat Grace yang udah kelewat nekat. Tapi, harus gue akui usaha dia dalam mencari tahu tentang gue.

"Kenapa, Jo? Lu utang cerita sama kami soal cewek itu," timpal Jordan.

"Dan lu berdua yang nggak ngomong apa-apa soal cewek rese itu dateng ke sini," balas gue.

"Dia yang minta kami untuk jangan ngomong ke lu, karena katanya lu bakal marah. Menurut gue, dia baik dan terbuka. Bukan tipikal cewek nakal gitu. Anaknya juga lucu," sahut Ivy.

"Begitu menurut lu?" tanya gue dan Ivy mengangguk.

"Jadi, itu pacar lu?" tanya Jordan penasaran.

"Dia bilang apa sama kalian waktu ke sini?" tanya gue balik.

"Cuma bilang temen dan lagi berusaha memantaskan diri buat jadi orang terpenting dalam hidup lu," jawab Jordan.

"Untungnya, Grace itu calon chef profesional, jadi nggak usah ikutan rame soal nggak bisa masak mie instan," tambah Ivy sambil terkekeh.

"Dia jago masak," balas gue kalem.

"Jadi, Grace itu pacar lu?" tanya Jordan lagi.

"Bukan," jawab gue langsung.

"Bukan?" balas Jordan dan Ivy bersamaan.

Gue cuma bisa menatap datar melihat ekspresi nggak percaya dari keduanya. Mau gimana lagi? Memang kayak gitu keadaannya. Bisa dibilang, kami bisa jadi pasangan karena situasi yang mendukung.

"Terus, apa maksud lu untuk minta bantuan dan tanya soal Grace?" tanya Jordan.

Sesi tanya jawab masih berlangsung tepat di depan kamar, yang artinya bukan spot yang oke buat mengobrol. Yang punya rumah juga kampret, nggak ngajakin gue duduk atau apa kek.

Akhirnya, gue yang inisiatif untuk berjalan dan mereka mengikuti gue menuju ke ruang tengah. Jordan dan Ivy duduk di sofa yang berhadapan dengan gue.

"Gue pengen minta bantuan untuk kalian bisa terima Grace tinggal di sini," ucap gue kemudian.

"Hah?" Jordan dan Ivy kompak tersentak dan menatap gue kaget.

"I know, it's confusing. But, I really mean it," lanjut gue serius.

"Bisa lu jelasin ke kami soal permintaan lu barusan? Apa yang lu mau, jelas bukan hal yang perlu kami penuhi karena Grace bukan siapa-siapa," ujar Jordan.

"Kelak, dia akan jadi orang penting dalam hidup gue," balas gue kalem.

Jordan dan Ivy kembali tersentak. Mungkin bisa dibilang, mereka pikir gue agak sarap karena jet lag or something. Tapi, gue lagi sadar banget kok. 

"Ribet banget sih jadi cowok? Kalo emang pacar, yah tinggal bilang aja. Kenapa harus deny?" sewot Ivy.

"Gue bukannya muna atau mau ngelak, tapi kenyataannya yah emang gitu. Grace suka sama gue, dan udah deketin gue selama 2 tahun ini, tapi gue yang nggak pernah kasih jawaban atau tanggapan lebih. Bagi gue, dia cuma cewek rese. But, shit happened and I can't refused it anymore," ujar gue menjelaskan.

"Is she someone who gets you thinking, Bro?" tanya Jordan.

"I don't even know what I'm thinking right now. All I know is... I want her to be with me," jawab gue spontan.

Fuck. Jawaban apa barusan? It sounds so cheesy. Ewww. Kalo Grace denger, gue takut doi kejang-kejang.

Jordan dan Ivy langsung melebarkan cengiran penuh arti, disusul ejekan ala orang Indo dengan ungkapan cieee-cieee itu.

"Ini bukan karena lu jealous sama roommate-nya yang ternyata cowok biji-bijian, kan?" tembak Jordan dengan tatapan curiga.

Ekspresi gue datar abis waktu Jordan nanya kayak gitu. Bikin ilfil, itu udah pasti. Tapi gue nggak kasih balasan, selain ngebiarin Jordan cerita sama Ivy yang penasaran.

"Pokoknya, gue minta kamar itu untuk Grace. Doi bakal lulus taon depan. Jadi, gue pengen dia ada yang temenin dan ngerasain suasana kekeluargaan dari rumah ini," ucap gue ketus.

"Kenapa harus kayak gitu?" balas Ivy.

"Biar dia belajar buat jadi anggota keluarga ini, dimulai dari kalian dulu. Kalo ada doi, kalian bisa titipin anak kalo mau date night berdua, kan?" sahut gue.

Jordan dan Ivy cuma kicep sambil ngeliatin gue dengan kening berkerut. Bomat lha, suka-suka mereka aja. Gue udah capek dan ngantuk berat. Jadi, gue beranjak berdiri, diikuti mereka berdua.

"Anter gue ke hotel deh," ujar gue.

"Lu nggak mau tidur aja di sini?" protes Jordan.

Gue menggeleng. "Gue butuh ketenangan. Denger bacotan dua anak lu, kepala gue tambah pusing."

"Enak aja! Anak gue nggak suka ngebacot!" sahut Ivy nggak terima. "Gue sumpahin kalo nanti lu punya anak, bakalan ngebacot trus-trusan sampe bikin kepala lu pecah!"

"Nggak usah anak dulu, Vy. Calon nyokapnya anak gue juga udah bikin pusing," balas gue enteng, sambil melengos dan nggak menaruh peduli pada ekspresi keduanya.

Singkat cerita, Jordan anter gue ke hotel dan temenin gue sampe ke kamar. Jordan balik dan bilang akan jemput gue besok pagi.

Nggak pake lama, gue langsung mandi dan beberes. Sempet aktifin hape, kasih kabar di WAG yang isinya cuma gue dan dua teman kampret yang udah ngechat sampe segambreng, juga cek email.

Habis itu, gue bersandar di bantal yang udah gue susun tinggi sambil nonton TV. Nggak ada yang menarik, karena mata gue udah berat banget. Gue yakin gue udah merem dan kayaknya udah lelap banget, tapi nggak berlangsung lama.

Karena bunyi bel pintu kamar dipencet, trus diketok nggak sabaran. Shit. Gue bener-bener benci cerita ini, karena bikin gue nggak bisa tenang dan nyaman sebentar aja. Fix, yang nulis punya dendam kesumat sama gue.

Akhirnya, gue buka pintu dan menatap datar Grace yang datang. Nggak heran banget kalo doi nongol di saat kayak gini karena bukan orang yang sabaran.

"Kenapa dateng?" tanya gue tanpa berminat untuk kasih doi masuk.

"Grace takut Bang Jo belum makan," jawab Grace.

"Gue udah makan. Tadi kan lu lihat gue bungkus makanan," balas gue judes.

"Itu kan sarapan, Bang," sahut Grace sambil mengangkat satu paper bag warna coklat ke arah gue. "Nih, tadi Grace pulang ke flat untuk bikin makan siang buat Bang Jo."

Gue menghela napas. "Bukannya lu bilang ada project sampe jam tiga? Ini kan masih jam satu."

Grace mengangguk. "Grace mangkir dari project untuk ikut susulan aja, Bang. Karena kalo ngerjain sesuatu harus pake hati, pikiran, dan raga yang seimbang."

"What?"

"Hati dan pikiran Grace udah ada sama Bang Jo, meski raganya ada di kampus. Grace mundur bukan karena Bang Jo, tapi karena Grace tahu kalo nggak bakalan berhasil, soalnya nggak niat."

Gue cuma diam dan masih menatap Grace datar. Emang nggak bakalan bisa menang kalo adu bacot sama Grace, karena doi selalu punya alasan.

"Grace nggak dikasih masuk, Bang? Tega amat sama ceweknya yang udah repot-repot masakin lunch dan samperin ke sini?" tanya Grace dengan muka cemberut.

Spontan, gue melebarkan pintu dan bergeser untuk kasih Grace masuk, dimana cewek itu memekik girang sambil melompat, lalu memburu masuk dengan antusias.

Setelah tutup pintu, doi langsung sibuk untuk keluarin apapun yang dia bawa di dalam paper bag-nya. Sedangkan gue balik lagi ke ranjang, lanjut tidur.

"Bang, kok tidur?" tanya Grace protes.

"Gue belum laper, tapi ngantuk," jawab gue sambil menarik selimut.

Gue mendengar Grace berdecak kesal, lalu menggerutu sambil grasak grusuk di sana. Merasa terganggu, gue menoleh untuk melihat Grace yang lagi duduk di kursi sambil menatap cemberut.

"Kenapa lagi sih, Grace?" tanya gue keki.

"Bang Jo suka gitu sama Grace. Kadang baik, kadang bikin baper, tapi kadang julid juga. Grace jadi bingung, maunya Bang Jo itu apa. Biar gini, Grace juga punya hati, Bang," jawab Grace dengan bibir merengut.

Menghela napas, gue beranjak dari rebahan untuk duduk sambil menatap Grace yang lagi ngambek. Kemudian, gue mengulurkan tangan pada Grace.

"Apaan?" tanyanya ketus.

"Sini," jawab gue hangat.

Meski bibir Grace semakin menekuk, tapi doi beranjak dari kursi untuk menyambut uluran tangan gue. Grace memekik saat gue langsung menariknya dan mendarat di pelukan gue, lalu merebahkan diri dan memeluknya kayak guling. 

"Bang Joseph!" pekik Grace.

"Nggak usah ngambek. Jelek banget tahu, gak? Siapa suruh datang dan siapa yang kasih tahu kalo gue nginep di sini?" celetuk gue.

Grace membetulkan posisi untuk mencari kenyamanan dalam pelukan gue. Satu tangan gue jadi alas kepalanya, dan satu tangan lagi memeluk pinggangnya. Dua kaki gue pun mengunci dua kaki Grace.

"Bang Jordan. Tadi, Grace ke rumahnya, trus Bang Jordan bilang kalo Bang Jo nginep di hotel. Kenapa nggak tinggal di rumah kakak sendiri aja, Bang? Ngapain tinggal sendirian di hotel?" tanya Grace sambil menatap gue dengan seksama.

"Gue nggak mau ngerepotin, trus juga kepengen ngerasain tinggal sendirian itu kayak gimana," jawab gue sambil merapikan beberapa helai rambut Grace yang menutupi wajahnya.

"Sendirian itu nggak enak, Bang. Justru kalo punya teman atau saudara, kita punya temen ngobrol, temen curhat, dan kalo ada apa-apa, ada yang bantuin," balas Grace lirih.

"Itu alasan lu untuk cari temen sekamar, sampe homo pun jadi?" tanya gue dan Grace terkekeh saja.

"Sebenarnya, Benjamin itu nggak punya tempat tinggal karena sempet jobless waktu itu, Bang. Terus, aku tawarin satu kamar kosong dari flat yang disewa Bang Leo buat aku. Jadinya, dia udah keburu nyaman dan mau bayar setengah uang sewa, waktu udah dapet kerjaan sampingan, Bang," cerita Grace.

"Tapi tetep aja bahaya, Grace. Gue nggak suka kalo lu terlalu seleboran dalam tanggapin hal kayak gini. Lu itu cewek," tukas gue tegas.

"Grace juga bisa nilai orang, Bang. Kalo bukan Benjamin, Grace nggak akan tawarin. Dia sering bantu Grace, ajarin Grace banyak hal, juga lindungin Grace dari cowok-cowok ganjen yang deketin, Bang. Buat Grace, Benjamin itu udah kayak Bang Chandra dan Bang Babon," sahut Grace.

"Lu samain dia dengan dua temen gue, itu namanya penghinaan. Moga-moga, mereka berdua nggak baca dialog lu, karena kalo nggak, bisa-bisa lu dihardik," ucap gue serius.

Grace hanya meringis pelan dan mengangguk saja. "Iya, Bang. Nanti Grace pikirin caranya untuk supaya bisa lebih awas, dan nggak main ngajak tinggal bareng dengan sembarangan kayak gini."

Gue menarik Grace dalam pelukan yang lebih erat dan mencium puncak kepalanya dengan dalam. "Sekarang, temenin gue tidur. Gue ngantuk banget."

"Mmmm, tapi..."

"Apanya yang tapi?"

"Kalo mau tidur, kenapa yang di bawah malah bangun, Bang?"

Gue terkekeh sambil mencium kening Grace dan menatapnya penuh arti. "Gue normal dan deket sama cewek kayak gini, udah pasti bangun karena udah puasa sebulan lebih."

Grace mengerjap kaget dan menatap gue nggak percaya. "Jadi, terakhir kali Bang Jo dapet jatah, itu sama Grace? Bukan sama cewek lain?"

"Gue emang sampah, tapi nggak berarti bisa ngebuang sembarangan. Ibarat kayak tempat sampah 3 warna yang ada pembagian fungsi, gue itu masuk ke tempat sampah organik, yang masih punya fungsi buat jadi pupuk kompos," sewot gue judes.

Grace terkekeh sambil merapatkan tubuh kami dan doi menurunkan satu tangannya untuk membelai gue yang udah tegang sedaritadi. Emang nggak ada akhlak nih tit*t.

"Grace."

"Bang Jo pasti capek dan ngantuk banget," ucap Grace yang semakin berani untuk memijat pelan di bawah sana.

Okay! Sisi keagresifan Grace kali ini adalah yang terfavorit. Gue suka dengan sikap efektif dan efisiennya yang begitu pengertian.

"Supaya lebih nyenyak tidurnya, biar Grace bikin Bang Jo enak dulu, yah."

Ditawarin kayak gitu, mana mungkin gue tolak? Gue bukan orang yang muna, cuma suka ambil kesempatan yang ada di depan mata gue.

Apalagi dengan apa yang terlihat sekarang, yaitu Grace yang langsung beranjak untuk melepas pakaian dan bertelanjang, lalu segera menurunkan celana gue, menggenggam penuh diri gue yang udah tegang dan keras, dan membungkuk untuk mengulum di sana.

And yes, all I want is the taste of her lips allow. Including insane orgasms and play the sex dirty.

◾◾◾

Friday, July 17th, 2020.
13.30.

Next part main-main dulu.
Asiqueee! 🤣🍌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top