Chapter. 16

Gue menutup pintu Camaro yang baru aja gue lakukan pengecekan terakhir untuk interior-nya. Meski jam udah 7 malam dan cukup lelah, tapi gue nggak pernah jenuh dengan kegiatan ini sehabis aktifitas di kantor.

Sejak jam 3 sore, gue udah mangkir dari kantor untuk lanjutin kerjaan gue di bengkel. Ofcoz, masih ada Chandra dan Babon juga. 

"Hood scoop?" tanya Chandra.

"Checked," jawab gue langsung.

"Velg?" tanya Chandra lagi.

"Checked!"seru Babon sambil ngunyah kripik.

Gue menoleh pada Chandra yang sedang melakukan check list di selembar kertas yang beralaskan clipboard berisi pekerjaan yang udah selesai.

"Camaro is damn badass muscle car," ucap Chandra sambil menyeringai puas dan menoleh pada gue. "Jadi kepengen punya."

"Tinggal beli aja," balas gue santai.

Chandra menggelengkan kepala. "Nggak ada budget. Duit gue dioper ke biaya nikahan."

"Gaya lu, Chan. Urusan kawinan mah tinggal minta aja sama bokap lu," sahut Babon yang udah samperin kami sambil ngemil kripik kentang.

Gue terkekeh melihat Chandra mendesis sinis ke Babon.

"Yang mau gue nikahin tuh anak orang, anjir! Masa buat halalin, masih pake duit bokap? Gue nikah bukan modal kont*l doang!" balas Chandra keki.

Babon malah ngakak sambil berseru girang. "Gue lupa kalo lu udah jadi mantan fakboi."

"Kayak lu nggak fakboi aja, Bon," balas gue.

Babon terkekeh geli. "Emang yang ngomong nggak juga? Udah insyaf juga? Dasar kancut lu berdua!"

"Biarin aja, Jo. Kebiasaan jadi simpenan Tante Girang tuh si Babon, makanya nggak pernah ketahuan ceweknya yang mana," ejek Chandra.

Bukannya marah, Babon malah makin ngakak. "Justru gue mau kasih tahu shortcut buat dapetin duit banyak. Jadi piaraan si Tante deh, dijamin cepet balik modal. Cuma modal kont*l gede doang, pasti bayaran lu kenceng."

"Bangsat!" umpat Chandra sambil menggeplak kepala Babon dengan clipboard yang dipegangnya.

"Aduh, anjir! Sakit, Tai!" decak Babon kesal.

"Mulut dijaga, Kampret! Di ruang kerja ada Joy lagi nungguin gue, kalo sampe dia denger, awas! Jangan sampe kejadian waktu Irene keulang cuma gara-gara lu kepo!" omel Chandra geram.

Gue menggelengkan kepala sambil membereskan peralatan kerja dan menyimpannya di lemari. Sehari lepas sehari, cuma kesibukan yang temenin gue untuk lewatin hari dengan cepat. Pergi pagi, pulang malam. Gitu aja tiap hari.

"Kabar hati lu gimana, Jo? Sehat?" tanya Babon yang bikin gue langsung nengok ke arahnya.

Chandra juga ikut menatap gue dengan alis terangkat. Sial! Gue baru sadar kalo ternyata mereka emang kepengen kepohin gue daritadi.

"Sehat. Gue nggak ada riwayat hepatitis," jawab gue.

"Si Bego! Maksud gue bukan liver! Hati yang menyangkut perasaan gitu! Masa nggak paham?" balas Babon geregetan.

"Harus banget ada yang nyangkut?" tanya gue lagi dan tergelak saat melihat Babon membuang bungkusan kripik ke arah gue karena kesal.

"Lu sama Grace gimana, Jo? Udah jadian?" tanya Chandra sambil menarik satu bangku plastik dan duduk di situ.

Gue bersandar di sisi mobil yang ada di belakang dan Babon bersidekap di posisinya sambil menatap gue sengit.

"Gimana ceritanya gue dan Grace jadian? Sebelum part ini, gue sama doi masih di rumah sakit buat baikan," balas gue geli dan bikin Babon auto tambah keki.

"Ngebatin banget jadi temen lu yah, Jo. Sebelum lu, gue ngurut dada liat Chandra pas lagi ditulisin. Sekarang giliran lu yang kayak gitu," sewot Babon.

"Nanti giliran kita yang ngurut dada pas lu ditulis," balas Chandra.

Babon langsung menggeleng dengan tegas. "Gue udah menolak. You know what? Nggak enak hati sama kalian kalo pembaca beralih nge-ship ke gue. Kayak gini aja, udah banyak haters dan lovers. Cukuplah kayak gini aja."

"NAJIS!" seru gue dan Chandra berbarengan.

Babon makin ngakak dan keliatan seneng banget. Kami pun terdiam dan nggak ada yang mulai duluan. Sampe akhirnya, gue yang memulai.

"Gue dan Grace udah sepakat untuk jalanin hidup masing-masing," ucap gue dan membuat mereka kaget.

Udah satu bulan, Grace balik ke Sydney dan memenuhi ucapannya dengan nggak kasih kabar atau gangguan, kayak yang biasa doi lakuin selama 2 tahun ini.

Tapi itu nggak berarti kami lost contact karena terkadang, kami saling berbalas chat di WhatsApp. Itu aja.

"Gue pikir kalian jadian. Maksud gue, kok bisa ngegantung gitu aja?" tanya Chandra heran.

"Grace mau fokus dan nggak mau jadi beban buat Leo," jawab gue.

"Trus, lu sendiri gimana?" tanya Babon.

Gue kicep. Bingung. Sempet berpikir tentang perasaan gue saat ini, tapi nihil. Dibilang kehilangan, nggak juga. Gue nggak pernah mikir terlalu jauh soal hubungan atau berharap lebih. Bagi gue, jalanin hidup dan menjadi yang terbaik adalah yang terutama. Soal lain-lain, nanti bisa menyusul. Time will tell.

"Boleh kasih saran?" tanya Chandra dan Babon langsung berdecak.

"Songong dah. Ngerasa udah expert mentang-mentang dikasih happy ending di sini. Ckck," cibir Babon.

Gue hanya tersenyum saat melihat Chandra menimpuk Babon dengan pulpen. Sayangnya, timpukan itu berhasil ditangkap Babon.

"Silakan, Chan," balas gue kalem.

"Lu tahu kan, hubungan gue sama Joy tuh dulunya kayak gimana?" tanya Chandra dan gue mengangguk.

"Lu juga tahu waktu Joy punya pacar, gue itu kayak gimana?" tanya Chandra lagi.

"Kayak Tai Kuda yang ngambang di kali alias mau mati," jawab Babon dan langsung berlari untuk menjauh dari Chandra yang beranjak untuk menghajarnya.

Gue pun bekerja untuk memisahkan Babon dan Chandra yang semakin nggak terkendali. Akhirnya, Babon minta maaf dan Chandra melepasnya. Dasar bocah!

"Bon, lu diem aja! Biar Chandra yang ngomong dan gue yang denger. Lu cari gara-gara lagi, mendingan pergi," tegur gue.

Babon terkekeh dan mengangguk. "Lucu aja liat temen lu yang sensian dan baperan sekarang. Malesin soalnya."

"Bacot!" sembur Chandra.

"Stop, yah! Sama sekali nggak lucu kalo lu berdua berantem kayak anak kecil, anjir!" desis gue tajam.

Lima menit kemudian, keduanya kembali ke posisi semula dan gue yang kembali bersandar di sisi mobil.

"Dulu gue oleng dan nggak tahu soal perasaan gue ke Joy. Kami dekat, bahkan terlalu dekat sebagai sahabat. Gue pikir gue sayang doi sebagai teman, tapi waktu tahu Joy sama yang lain, gue nggak terima," ujar Chandra.

Gue dan Babon manggut-manggut. Nggak membalas karena kasih Chandra lanjutin. Versi cerita ini, kami belum tahu karena waktu itu Chandra nggak mau terbuka.

"Akhirnya, gue baru sadar kalo gue anggap Joy lebih dari sekedar teman. Gue pengen dia buat gue sendiri, nggak mau berbagi dengan cowok lain. Sebenarnya, Joy lebih dulu yang kasih keputusan untuk mencoba karena gue yang masih belum berani kasih kepastian. You know lha, rasa nggak pantas dalam diri gue bikin minder. Gue nggak merasa pantas buat Joy," lanjut Chandra.

"Gue dan Grace nggak punya hubungan dekat kayak lu dan Joy, Chan," ujar gue mengingatkan.

"Bukan berarti lu nggak punya rasa kan, Jo?" balas Chandra.

Gue terdiam. Rasa? Satu-satunya rasa yang melekat dalam diri gue jika berhubungan dengan Grace adalah waktu ML sama doi. Cewek itu udah kasih momen seks terhebat sejak gue udah kenal sejak enaknya ngewe.

"Kalo Grace punya cowok, lu marah gak, Jo?" tanya Babon.

Gue menoleh ke arah Babon. "Kenapa harus marah? Itu pilihan dia."

"Mikir dulu baru jawab. Jangan jawab dulu baru mikir. Kebanyakan, lu nelen ludah sendiri," ujar Babon sotoy.

"Babon bener," sahut Chandra menyetujui. "Lu nggak tahu hidup lu ke depannya nanti. Lu bisa ngomong kayak gitu karena belum kejadian."

Ucapan Chandra dan Babon bikin gue kicep, sampai akhirnya Chandra pamit duluan karena Joy lagi nggak enak badan karena katanya lagi sakit perut.

Gue sempet makan sama Babon di resto deket bengkel. Bisa dibilang, Babon sering temenin gue untuk ngabisin waktu sampe malam sebelum pulang ke rumah.

Setiap kali pulang ke rumah, perasaan gue nggak senang. Kayak yang merasa terbeban dan nggak ada damai dalam hati.

Grace udah balik ke Sydney sebulan yang lalu, Leo udah ngelamar ceweknya dan katanya mau nikah taon depan.  Urusan jodoh-jodohan yang dilakuin sama orangtua gue, tetep dilakuin sampe niat banget bikin janji dadakan supaya gue dan Tania bisa ketemuan.

"Darimana aja kamu, Jo? Nggak lihat udah jam berapa sekarang?" tegur Papa saat gue mau naik tangga.

"Bengkel," jawab gue sambil menaiki anak tangga.

"Papa ajak kamu ngomong, kenapa malah main naik aja? Ke sini!" desis Papa yang bikin gue mendengus dan menoleh ke arahnya.

"Mau ngapain lagi sih, Pa? Aku udah capek," balas gue sengit.

Mama berdeham pelan. "Duduk dulu di sini, Jo. Papa dan Mama mau bicara."

"Soal?" tanya gue curiga.

"Duduk dulu di sini," jawab Mama.

Menghela napas, gue pun beranjak ke sana dengan enggan. Nggak tahu apa yang mau diomongin mereka, yang jelas nggak ada hal baik yang bakal jadi omongan di sini.

"Papa sudah memutuskan untuk kamu dan Tania segera menikah," ucap Papa tegas saat gue baru aja duduk di sofa.

Gue cuma menatap mereka tanpa ekspresi. Lagi-lagi, mereka berniat untuk maksain kehendak.

"Karena Papa yang putusin, gimana kalau Papa aja yang nikah?" balas gue datar dan Papa langsung melotot galak. Mama juga.

"Joseph! Nggak pantas kamu ngomong kayak gitu! Itu kurang ajar!" tegur Mama dengan keras.

Gue hanya menyeringai sinis sambil menatap keduanya dengan dingin. "Kalian boleh kurang ajar, kenapa aku nggak? Hanya karena kalian orangtua aku, nggak berarti kalian berhak menentukan jalan hidup aku, Ma."

"Ini cara kamu balas budi sama orangtua?" balas Papa berang.

"Sejujurnya, bukan aku yang minta dilahirkan dan dibesarkan di keluarga ini," sahut gue kalem dan memicu kemarahan Papa semakin menjadi.

Umpatan kasar mulai terdengar dan gue udah biasa banget. Malahan, gue anggap angin lalu. Tapi waktu Papa ungkit soal Jordan dan menghinanya, di situ gue nggak bisa santai.

"Papa ngomong apa barusan?" tanya gue dingin.

"Jo, sudahlah," lerai Mama.

Sama kayak gue, Papa nggak menggubris Mama dengan terus menatap gue tajam. Kami pun sudah beranjak berdiri, seolah ingin saling bertarung sekarang.

"Kamu sama seperti Jordan yang nggak tahu diri jadi anak! Nggak ada terima kasih atau balas budi yang semestinya, tapi malah pergi dan sok mandiri sekarang! Coba lihat Jordan, apa jadinya dia sekarang? Cuma jadi bankir yang mengandalkan gaji bulanan! Dia..."

"Dia bahagia dan bebas! Nggak terbeban dengan orangtua yang terus maksain kehendak," sela gue tajam.

"Bah! Bullshit! Kebahagiaan itu bisa diatur selama kamu punya kuasa. Intinya, Papa mau kamu turutin apa perintah Papa dan menikah dengan Tania!" balas Papa yang bikin emosi gue semakin melonjak naik.

Okay! It's now or never.

"Kalo aku nggak mau turutin?" tantang gue.

Mama udah terisak dan memohon agar gue jangan melanjutkan. "Joseph, please. Don't do that."

"I'm not doing anything, Mom," balas gue tenang.

"Kalau kamu nggak nurut, maka nama kamu akan Papa coret dari warisan keluarga!" sahut Papa.

Yes! Itulah yang gue tunggu-tunggu sejak lama. Kalimat pamungkas yang bikin Jordan mangkir dari rumah. Dan kalimat itu jugalah yang akan bikin gue ikutin jejak Jordan.

"Papa! Dia anak kita! Aku udah kehilangan Jordan, jangan sampai Joseph juga tinggalin kita," seru Mama sambil menangis tersedu-sedu.

Seperti biasa, Papa akan bersikap sombong dan seolah nggak peduli. Gue pun santai aja dan sama sekali nggak masalah. What destroyed me, strengthen me.

"Bisa apa dia tanpa kita, Ma? Dia nggak punya apa-apa dan cuma taunya utak atik mesin rongsokan di bengkelnya," ejek Papa.

Gue cuma bisa menyeringai sinis dan menatap orangtua gue untuk terakhir kalinya. Enough is enough. Selama ini, gue udah berusaha yang terbaik dengan jadi anak kebanggaan dengan menggantikan Jordan untuk menjadi penerus walau setengah hati. Tapi ternyata, gue tetap diremehkan dan dianggap nggak mampu. Bahkan, gue udah dihina oleh bokap gue sendiri.

Pelajaran hidup yang perlu lu ketahui adalah jangan pernah menyesal untuk sesuatu yang udah lu usahakan atau perjuangkan. Senggaknya, ada pengalaman tersendiri untuk merasa sakit hati, tapi nggak menjadi patah semangat.

"Thanks buat hinaannya, Pa. Silakan nikmatin kuasa yang Papa punya dan semoga bahagia. Aku pamit dulu. Take care," ujar gue sesantai mungkin, lalu berbalik untuk menuju ke lantai atas, membereskan barang-barang.

Mama histeris dan menangis nggak karuan. Berkali-kali meminta Papa untuk menahan gue, tapi Papa nggak peduli. Gue pun merasa lega karena dia nggak perlu sampe lakuin yang diminta Mama.

Dengan senang hati, gue keluar dari rumah. Bukan karena paksaan tapi keinginan sejak lama. Bukan juga kepengen ngikutin jejak Jordan, tapi karena gue butuh ketenangan untuk memilih jalan hidup yang bisa menuntun gue ke arah yang lebih baik.

Gue keluar dari rumah nggak bawa banyak hal. Cuma sekoper baju dan mobil sedan yang gue beli sendiri.

Merasa bebas dan lega, gue keluar dari rumah dengan senang hati. Sadly but true, keluarga gue emang toxic. Seringkali, banyak anak yang jadi korban dalam keluarga yang kurang harmonis.

Karena itulah, gue nggak mau salah langkah, apalagi soal Grace. Bukan gue nggak berani kasih kepastian, tapi karena hidup gue sendiri belum pasti. Hidup gue hancur dan nggak mau sampe harus menarik Grace untuk ikut hancur.

Menata hidup nggak melulu soal pasangan, tapi komitmen pada diri sendiri. Lu harus yakin dengan pilihan hidup, baru lu bisa ajak anak orang untuk hidup bareng. Alasannya simple, gue nggak mau jadi orang yang gagal untuk bahagia kayak orangtua gue.

Gue punya satu apartemen yang gue beli pake tabungan sendiri di Simprug. Apartemen yang punya 2 kamar tidur dan fully furnished. Keluarga nggak ada yang tahu, cuma dua temen kampret gue aja yang tahu soal ini.

Begitu tiba di apartemen itu, tatapan gue melihat sekeliling dengan perasaan yang campur aduk. Lega, marah, sedih, kecewa, dan semua hal yang menyangkut dalam diri gue saat ini.

Rasa sepi dan sendirian udah jadi hal yang nggak asing buat gue. Tapi kali ini, gue benar-benar merasa kesepian. Sama sekali nggak merasa senang dengan hidup yang udah gue jalanin selama 28 tahun.

Mata gue terasa memanas, shit. Gue bahkan nggak pernah merasa sesedih ini sampe ingin menangis sekarang. Melepas koper dan menaruh kunci mobil di rak kaca, gue berjalan ke sofa dan duduk di situ untuk tenangin diri.

Berpikir untuk telepon Babon atau Chandra, tapi mereka punya kehidupan sendiri. Apalagi, ini udah malam. Gue nggak enak ganggu, tapi butuh pengalihan untuk ajakin gue ngobrol supaya nggak terbawa suasana.

Tiba-tiba, hape gue bunyi dan spontan gue ambil dari saku celana.

Grace is calling...

Gue terdiam selama beberapa saat waktu liat siapa yang telepon gue malem-malem kayak gini. Grace? Cewek ini bener-bener nggak tahu jam untuk telepon orang. Di Sydney, harusnya udah tengah malam. Kenapa belum tidur?

"Halo?" ucap gue kemudian.

"BANG JOSEPH!!!"

Seruan kencang itu bikin gue auto jauhin hape dari kuping sambil meringis, lalu menempelkan kembali.

"Di sana udah malem, Grace. Jangan teriak kayak gitu," ucap gue pelan.

"Sorry, Bang. Ini Grace lagi seneng banget! Tahu, gak? Grace menang lomba, Bang."

"Hah? Lomba apaan?"

"Tadi siang ada lomba ala-ala gitu di kampus. Katanya suruh bikin makanan otentik tapi harus di-improved gitu. Grace bikin gado-gado, Bang. Tapi gado-gadonya dibikin beda. Nggak pake bumbu kacang, tapi Grace bikin pake kentang, santan, brown sugar, sama bawang-bawangan. Hasilnya malah lebih enak dan..."

Grace ngebacot nggak berhenti dan nggak pake jeda. Herannya, gue nggak merasa terganggu dan justru merasa tenang. Bahkan, gue bisa senyum dan membiarkan Grace menyelesaikan ceritanya.

"Eh, maaf, Bang. Grace kebanyakan ngomong, tapi yah kalo lagi seneng emang gini. Maaf banget, yah. Tadi pengumuman dikasih tahu via web, trus curang banget umuminnya malem-malem," lanjut Grace.

"Kenapa langsung telepon gue waktu dapat pengumuman itu?" tanya gue pelan.

"Nggak tahu kenapa, Grace pengen Bang Jo jadi orang pertama yang tahu. Abis ini, baru mau telepon Bang Leo. Lumayan, Bang. Hadiahnya itu 1 set Anolon Cookware Set, Bang. Cuma, Grace nggak tahu mau taro dimana panci-panci idaman itu karena sayang kalo disimpan di flat ini," jawab Grace dengan nada suara yang berubah dari antusias menjadi sedih.

Ada rasa senang dan haru waktu Grace ingin gue jadi orang pertama yang tahu. Jika Grace beralasan kayak gitu, lain halnya dengan gue.

Seorang teman pernah bilang bahwa satu atau dua orang akan dipilih oleh Tuhan untuk mendoakan atau menemani saat masa terburuk. Di saat gue lagi butuh temen, ada Grace yang tiba-tiba telepon padahal doi nggak pernah hubungi gue sejak balik ke sana. Gue yakin, itu bukan satu kebetulan, melainkan penghiburan buat gue.

"Bawa pancinya ke tempat gue aja, Grace," ucap gue spontan.

"Hah? Bang Jo mau pancinya? Emang bisa masak?" tanya Grace dengan nada kaget di sana.

"Di apartemen gue, cuma ada kitchen set tapi belum punya alat masak. Lu bisa taro cookware itu di sini, buat nanti kalo lu mau masak," jawab gue.

"Mmm, Bang, maksudnya gimana? Otaknya Grace jadi roaming nih. Bang Jo mau beli cookware punya Grace buat taro di dapurnya? Gitu?"

"Nggak. Gue mau cookware itu taro di dapur gue."

"Kenapa gitu, Bang?"

"Karena dapur itu udah jadi milik lu."

Gue hanya bisa terkekeh saat nggak terima balasan dari Grace. Doi ngaku masih bingung dan nggak paham. Jadi, gue putusin untuk bikin dia mengerti.

Berhubung gue udah keluar dari rumah, itu berarti gue nggak kerja di kantor, dan udah saatnya gue ambil cuti karena udah lama nggak liburan.

So, gue mutusin untuk beli tiket ke Sydney saat ini juga. Tujuannya untuk visit Jordan, sekaligus bikin seneng anak orang.

◾◾◾

Sunday, Jul 12th, 2020.
17.30.

Bang Jo emang se-ucul itu.
Suka bikin anak orang jadi sarap. Haqhaqhaq 😛

Anyway, are you guys ready?


Save the date, Fellas!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top