Chapter. 15
Sejak tadi, Grace berusaha menghindar dari gue. Meski dia masih rebahan di ranjang dan masih pake infusan, doi selalu membuang muka ke arah lain.
Disuruh makan, diem. Disuruh minum, juga diem. Ditanya mau apa, cuma melengos. Emang yah kalo cewek ngambek itu paling bikin keki. Trus kenapa juga gue mau diem di sini untuk ladenin kelakuan bocah kayak gitu?
Sejak semalam, gue belom tidur. Masalahnya, gue nggak bisa tidur karena sofa di dalam ruang rawat itu kurang panjang. Gue juga nggak bisa tidur di sofa, jadinya cuma nonton TV sambil ngeliatin Grace yang terlelap.
Dan dari semalam juga, Grace nggak buka suara. Sebuah kejadian langka karena doi yang biasanya ngebacot kayak truk gandeng, kini diem kayak angkot lagi ngetem.
Untuk orang yang suka ketenangan, harusnya suasana senyap kayak gini bukanlah masalah karena gue yang mau. Tapi kalo lagi sama Grace, ada yang aneh. Kembali ingat soal Grace yang pernah bilang kalo doi lagi diem, itu tandanya nggak baik.
Fine, gue mengerti. Jadinya gue nggak tawar-tawarin ini itu lagi kayak SPG yang lagi kejer setoran. Gue duduk aja di sofa sambil nonton TV. Mau gimana lagi? Chandra dan Joy lagi temenin Leo buat lamaran hari ini. Mereka balik, gue akan cabut. Gitu aja.
"Bang," panggil Grace yang bikin gue auto menoleh ke arahnya.
"Ya?" jawab gue.
"Bang Jo pulang aja, aku bisa sendirian di sini," ujar Grace pelan.
Cewek itu nggak liat ke arah gue waktu ngomong kayak gitu. Ngomongnya ke arah tembok. Jadi, JoJo adalah tembok saat ini. Bagus banget, pengen gue injek aja kepala yang lagi nulis.
"Oke!" putus gue akhirnya.
Gue beranjak dan berpikir untuk lakuin apa yang diminta Grace. Mungkin Joy ada benarnya soal Grace yang nggak mau diganggu karena takut terlihat sedih. Bisa jadi, daritadi doi nahan diri untuk nggak nangis atau luapin kesedihan karena ada gue.
Gue bisa melihat Grace menoleh dan menatap gue dengan kaget sekarang. Akhirnya, doi mau juga lihat muka gue. Mungkin juga udah sadar kalo nggak ada nilai lebih dari muka gue sampe harus bikin doi ngejer-ngejer kayak gitu.
"Bang Jo beneran mau pulang?" tanyanya sedih.
"Tadi lu suruh gue pulang," jawab gue enteng.
"Ya pake nolak dong, Bang. Masa langsung iyain aja?" balas Grace yang makin terlihat sedih.
"Gue iyain biar cepet, soalnya males jalanin drama kayak gini," sahut gue.
Gue bergerak untuk duduk di tepi ranjangnya dan mengarahkan diri untuk berhadapan dengan Grace, yang lagi duduk sambil menatap gue.
"Bang," panggil Grace lirih.
Gue tersenyum. "Udah kelar ngambeknya?"
Bibir Grace gemetar dan ekspresinya sudah ingin menangis. Sorot matanya seolah meminta sesuatu untuk diberi ketenangan dan gue segera lakukan.
Gue mendekat dan segera memeluk tubuh mungil Grace dalam dekapan yang erat. Grace pun langsung menangis sambil memeluk leher gue dengan tubuh yang gemetar.
"Sshhhh, everything will be fine," bisik gue sambil menenangkan Grace dengan mengusap punggungnya naik turun.
Isakan Grace semakin kencang, dan gue membiarkannya untuk berpuas diri dalam menangis. Cewek kalo sedih, marah, atau keki, yah cuma nangis yang jadi obatnya. Abis nangis, biasanya akan pulih dan membaik dengan sendirinya.
Cukup lama Grace menangis sambil memeluk gue. Pelukannya kenceng, kayak takut gue bakalan pergi. Saat tangisannya mulai mereda, gue ambil kesempatan itu untuk membujuknya minum dan makan.
Gue nggak pernah menaruh rasa peduli sebesar ini ke seseorang yang bukan siapa-siapa. Tapi melihat keadaan Grace kayak gini, seolah flashback waktu gue ditinggal sama Jordan.
"Udah mendingan?" tanya gue lembut.
Mata Grace membengkak karena terlalu banyak menangis. Wajahnya juga masih pucat dan lemas. Doi mengangguk pelan sebagai jawaban dan gue hanya bisa tersenyum.
"If you're angry, explain your anger and don't express it. There some said for every minute you're angry, you lost sixty seconds of happiness," ujar gue.
Grace mengangguk dan menundukkan kepala. Terbiasa ngeliat doi yang selalu ceria, kini jadi aneh liat doi sedih kayak gini.
"Gue minta maaf soal urusan kita waktu itu, okay? Gue bener-bener nggak kepikiran untuk ngabarin lu lagi," ujar gue dan berhasil menarik perhatian Grace yang langsung mengangkat kepalanya.
"Soal kemarin udah nggak Grace pikirin lagi, Bang. Bukan salah Bang Jo kalo nggak ngabarin Grace karena Bang Jo nggak punya keharusan dalam kabarin Grace," ucap Grace serius.
"Tapi gue merasa bersalah," balas gue jujur.
Grace menggeleng pelan. "Nggak usah merasa bersalah, Bang. Grace nggak marah soal itu, lagian Grace nggak punya hak buat marah kok. Grace cuma terlalu panik dan takut, sampe mikirin Bang Jo buat pengalihan. Soalnya, Bang Leo nggak jadi pulang dan Grace makin panik."
Gue kicep. Nggak tahu mau ngomong apa selain diem aja.
"Selama di sini, Grace udah mikir, Bang," lanjut Grace.
"Mikir apa?" tanya gue.
"Grace nggak bisa kayak gini terus," jawab Grace sambil menatap gue dengan dalam. "Grace harus berubah, bukan demi Bang Leo atau Bang Jo, tapi buat diri sendiri."
Gue bisa melihat ekspresi sedih yang terpancar dari muka Grace sekarang. Kalo boleh jujur, gue nggak suka liat Grace sesedih ini.
"Good, that's really good thought," balas gue sambil mengangguk.
"Bang Jo nggak usah kuatir, Grace akan baik-baik aja. Grace janji akan jadi cewek yang lebih baik. Kayak yang Bang Jo bilang kalo jadi cewek harus punya manner dan nggak pecicilan kayak biasanya," tukas Grace sambil mengambil satu tangan gue dan menggenggamnya dengan dua tangan.
"Gue yakin lu bisa lewatin semua ini, Grace," ujar gue tulus.
Grace tersenyum pelan lalu mengangguk. "Grace sakit bukan karena siapa-siapa, tapi karena kaget dan belum siap. Salah Grace sendiri karena nggak makan dan kurang tidur, jadi Grace sakit bukan karena Bang Jo, jadi nggak usah merasa bersalah."
Gue mengangguk paham.
"Tapi sekarang Grace udah lebih baik, Bang. Semenjak opname, Grace mikirin baik-baik apa yang mau Grace lakuin, juga dapetin masukan dari Kak Joy yang udah temenin Grace kemarin," lanjut Grace.
"So, udah putusin apa yang mau lu lakuin setelah ini?" tanya gue.
"Grace mau jadi mandiri dan dewasa, Bang," jawab Grace tegas. "Grace nggak bisa bebanin Bang Leo terus. Grace juga sadar kalo Bang Leo nggak nikah-nikah cuma karena mikirin kondisi Grace nantinya. Grace mau nunjukkin kalo Grace bukan orang yang lemah kayak gitu, Bang. Papa dan Mama pasti sedih kalo liat Grace tetap sedih kayak gini."
Gue membelai kepala Grace dengan lembut. "Lu kuat, Grace."
Grace mengangguk dan menatap gue lirih. "Grace nggak mau bikin semua orang yang Grace sayangi jadi sedih. Grace mau semuanya bahagia, itu aja."
"Yang terpenting adalah lu juga bahagia," tambah gue.
Grace mengangkat tangan gue yang digenggamnya ke arah bibirnya, lalu mengecup lembut punggung tangan gue sambil menatap gue lirih. Bisa gue bilang, mungkin matanya berkaca-kaca kayak mau nangis.
"Maafin Grace, Bang. Kalo Grace balik Sydney nanti, Grace nggak akan kepohin Bang Jo lagi. Jadi, Bang Jo nggak usah tungguin telepon, chat, atau email dari Grace, yah," ucapnya serak.
Shit. Gue kaget, anjir! Harusnya gue lega karena gangguan dari Grace selama 2 tahun ini berakhir. Tapi waktu doi ngomong kayak gitu, gue auto kaget.
"Kenapa?" tanya gue bingung.
Kenapa harus gue tanya? Udah jelas kalo hal itu yang gue mau dari dulu, kan? Screw you, Jo.
"Grace mau fokus biar cepet lulus kuliah. Tinggal setahun lagi, Bang. Abis itu, Grace akan usaha sendiri dan bikin bangga Bang Leo. Grace mau tunjukkin kalo usaha Bang Leo buat Grace selama ini membuahkan hasil," jawab Grace.
Gue memperhatikan keseriusan di wajah Grace. Cewek itu terlihat mantap dengan keputusan hidupnya sekarang. Ada tekad di sorot matanya yang tajam dan itu membuat gue takjub sekarang.
Dengan senang hati, gue tersenyum sambil terus membelai kepalanya. "You will be exactly as great as you decide to be, Grace."
Grace mengangguk dan bernapas dengan buruan kasar menahan tangis sambil menatap gue.
"Grace sayang Bang Jo. Sayang banget, Bang. Apa yang Grace lakuin selama ini karena Grace memang sayang banget. Tolong jangan benci Grace," ucapnya sambil tergugu.
Dada gue mendadak terasa nyeri saat mendengar ucapannya itu. Spontan, gue menarik Grace dan memeluknya erat. Cewek ini adalah orang terbaik yang gue kenal dan sama sekali nggak punya rasa benci atau dendam dalam hatinya.
Gue akui Leo udah berhasil mendidik dan merawatnya dari kecil karena punya kebaikan hati yang udah sangat jarang di masa ini.
Gue mengerti maksud pembicaraan Grace. Dia berniat untuk pamit dengan berat hati, meski mungkin nggak sampai hati untuk tinggalin.
"Gue pernah bilang kalo gue nggak benci lu, Grace. Jangan mikir yang nggak-nggak, oke? Lu udah jadi orang yang berkesan buat gue," ucap gue lembut sambil mencium pucuk kepalanya dengan dalam.
Grace mendongak untuk menatap gue sambil terisak. Gue pun langsung mengusap pipinya yang basah. Apa nggak capek nangis mulu? Gue yang liatnya aja udah capek.
"Beneran, Bang?" tanya Grace.
Gue mengangguk. "Iya. Kalo nanti mau telepon ato chat gue lagi, juga nggak apa-apa. Asal tahu waktu, yah."
"Seriusan, Bang?" tanya Grace lagi. "Bang Jo nggak php-in Grace?"
"Nggak," jawab gue.
Grace tersenyum dan tampak terharu. "Makasi yah, Bang. Grace senang banget. Sekarang Grace nggak heran kalo Bang Jordan juga sayang banget sama Bang Jo. Katanya, Bang Jo tuh orangnya baik dan nggak pernah benci sama orang."
"Jordan?" tanya gue bingung.
"Waktu Grace ketemu Bang Jordan, dia ada ngomong gitu sama Grace. Dari situ, Grace yakin kalo nggak salah pilih orang buat digebet," jawab Grace sambil terkekeh.
Gue auto ingat kakak gue sekarang. Orang itu suka sengaja nggak telepon ato cari gue, karena tahu gue bakalan sewot. Semenjak Jordan keluar dari rumah, gue sangat kecewa dan mutusin untuk lost contact sama dia. Meski dia sering kasih kabar, tapi gue cuma baca dan nggak balas. Tapi itu nggak berlangsung lama, karena setelah 2 tahun, gue dan Jordan kembali kontekan.
"Tapi, Grace bener-bener nggak akan cari Bang Jo lagi. Tujuannya supaya bisa fokus, Bang. Nanti kalo Grace udah lulus dan Bang Jo masih sendirian, Grace daftar lagi jadi calon istrinya. Boleh, kan?" ujar Grace penuh harap.
"Kenapa nggak sekarang aja daftarnya?" tanya gue langsung.
Grace tersenyum dan menggeleng. "Grace nggak mau kecewa, Bang. Kalo sekarang, Grace pasti banyak berharap dan masih belum cukup dewasa buat jalanin hubungan sama Bang Jo. Mudah-mudahan, Grace siap kalo udah lulus."
Gue ikut tersenyum. Dalam hati, gue berdoa agar cewek itu selalu mendapatkan hal terbaik dalam hidupnya, termasuk pasangan. Karena gue merasa nggak pantas bersamanya. Dia terlalu baik buat gue. Shit. Bullshit macam apa barusan? Klise.
"Lu nggak mau tanya soal kemarin?" tanya gue.
"Soal yang mana, Bang?" tanyanya.
"Soal cewek yang samperin gue kemarin."
"Emangnya Grace boleh tanya? Lagian, kemarin Bang Jo bilang kalo dia bukan pacar, kan?"
Gue cuma bisa nyengir. Makin lama, Grace makin lucu.
"Cewek itu bukan siapa-siapa. Ortunya punya kerjaan bareng ortu gue. Mereka niat jodohin gue sama dia. Tapi, kami sama-sama menolak dan nggak terima," jelas gue.
Meski gue nggak tahu kenapa bisa ngomong kayak tadi, tapi gue merasa perlu kasih penjelasan ke Grace.
Grace tersenyum dan membelai sisi wajah gue dengan pelan. "Makasi udah jelasin yah, Bang. Grace percaya sama Bang Jo kalo nggak boongin Grace waktu itu."
"Jadi, kapan lu balik Sydney? Nggak mungkin besok, kan? Lu masih kayak gini," tanya gue kemudian.
"Dokter bilang Grace harus bedrest, minimal 1 minggu. Tapi Grace udah yakinin kalo Grace bisa pulih secepatnya. Jadi, tiketnya Grace diundur sampe Rabu depan, Bang."
"Oke, nanti gue temenin lu sampe Rabu," balas gue.
Grace cuma senyum aja, nggak mengiyakan atau melarang. Dia cuma mencondongkan tubuh untuk mencium pipi gue dengan lembut.
"Bang Jo jadi balik sekarang?" tanya Grace.
"Lu mau gue balik sekarang?" tanya gue balik.
Grace menggeleng. "Grace mau ditemenin Bang Jo."
"Pake syarat, yah," balas gue.
"Syarat apa?"
"Jangan nangis lagi. Sedih nggak apa-apa, tapi jangan keterusan. Lu juga harus makan teratur dan minum obat biar cepet sembuh. Terus, jangan pake mogok ngomong."
"Banyak banget, Bang."
"Kalo mau ditemenin, yah harus kayak gitu."
"Iya, Grace akan lakuin. Tapi, Grace juga mau kasih syarat."
"Syarat apa?"
"Bang Jo suapin Grace makan. Panggil Grace pake kata sayang, trus nggak boleh misuh-misuh. Harus ikhlas, Bang. Bantu orang sakit, berkatnya melimpah."
Kalo dalam keadaan normal, rasanya gue pengen maki-maki. Tapi karena doi lagi sakit dan masih sedih, jadi gue iyain aja dengan mengangguk.
"Kenapa harus manggil sayang?" tanya gue kemudian.
"Biar Bang Jo beneran sayang sama Grace," jawabnya.
"Gue kayak gini juga udah sayang sama lu."
Grace tertegun dan menatap nggak percaya. Gue heran kenapa responnya harus kayak gitu, padahal gue lagi serius.
"S-serius, Bang?" tanya Grace kaget.
"Iya. Makanya jangan sedih dan mogok ngomong lagi. Gue nggak suka."
"Kenapa nggak suka, Bang? Kata Bang Jo, aku tuh bawel dan pusing kalo aku ngomong nggak berenti."
Gue terdiam. Memang benar kalo gue merasa terganggu dengan kebawelan Grace yang kalo lagi ngomong tuh nggak ada jeda. Tapi, pikiran gue berubah waktu ditanyain kayak gitu sama Grace sekarang.
Sampai akhirnya, gue merasa mantap dengan pikiran terakhir yang terlintas dalam benak gue sekarang, dan menuangkan pikiran itu dalam jawaban untuk pertanyaan Grace barusan.
"Because your voice is my favorite sound."
◾◾◾
Friday, Jul 10th, 2020.
11.45.
Pengen misuh-misuhin JoJo? Waktu dan tempat dipersilakan haqhaqhaq 😛
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top