Chapter. 12

WARNING : 21+ 🍌

Masih inget soal gue yang bilang kalo cewek punya napsu lebih gede dari cowok? Yep! That's the real thing you should know about.

Bukan mau membela kaum cowok ato nuduh yang nggak-nggak ke cewek. No, bukan itu. Gue mau lu buka pikiran lu lebih luas. Otak emang beda-beda, termasuk lu dan gue. Tapi, apa yang gue sampaikan, cuma sekedar info.

Nggak ada yang salah tentang cewek yang napsuan, karena itu nggak berarti murahan ato gampangan. Buat cowok kayak gue yang nggak pernah ribetin soal napsu gede or nggak, perawan or nggak, cewek napsuan itu meringankan urusan gue yang udah sange abis.

Gue males ladenin cewek yang malu-malu tapi mau. Yang ragu tapi ujung-ujungnya malah bete kalo cowok nggak jadi sange. Balik lagi, ini cuma soal selera. Ada cowok yang suka drama dan ladenin sikap malu-malu kayak gitu, ada yang merasa udah buang waktu, dan ada yang simple rules kayak gue, yaitu kalo cewek nggak mau, okay! We're not doing anything. Case closed.

Untuk cewek kayak Grace, meski pecicilan, gue akui jika doi punya pemikiran yang nggak kayak eibiji. She knows what she wants. She admits it, and say it without hesitation.

Contohnya kayak gini. Gue ikut doi masuk ke rumah dan langsung ke kamarnya. Rumah itu emang sepi banget, bahkan Grace masuk pun dengan pake kunci sendiri.

Sampe kamar, nggak pake basa basi. Kami lanjut ciuman dan saling menyentuh satu sama lain. Nggak mau buang waktu, kami sama-sama berinisiatif untuk kelarin hawa napsu yang udah di ubun-ubun.

Tanpa melepas pakaian, kami bergulat di dalam kamar itu. Grace yang pake terusan, gue arahkan untuk naik ke tepi ranjang, membelakangi gue sambil menungging, menaikkan ujung terusannya sampai batas pinggang, menurunkan celana dalamnya, dan memainkan celah basahnya dengan jari-jari gue.

"Ahh, Bang," desah Grace gelisah.

Pinggang Grace meliuk mengikuti gerakan jari gue, dan gue makin bernapsu untuk memompa tubuhnya dengan dua jari yang keluar masuk ke dalamnya.

"Sshhh, jangan berisik! Nanti ada yang denger," desis gue geram, sambil berusaha membuka celana jeans gue.

"G-Grace nggak bisa diam kalo sama Bang Jo," balas Grace dengan serak, menggeliat semakin gelisah, dan nggak beraturan.

Grace udah basah banget. Sial. Doi bener-bener bikin gue nggak bisa tahan diri dan makin hilang akal. Tiap kali sama Grace, gue merasa otak gue kurang 10 gram. Abis dari sini, gue perlu tambah asupan micin biar otak gue tetap cerdas.

"Bang Jo! Bang! Banggg," rintih Grace parau saat gue udah masukin diri ke dalam tubuhnya.

Gue mengerang pelan dan bernapas dalam buruan kasar saat sensasi kehangatan menyelubungi diri gue sepenuhnya. Grace yang sempit mencengkeram gue dengan ketat dan panas. Gue nyaris kehabisan napas saat Grace mulai nggak sabaran dan mulai menggerakkan tubuhnya.

"Bang, engghhhh, please," mohon Grace.

Gue segera menangkup bokong Grace, meremasnya keras, lalu menekan diri lebih dalam, dan kemudian menarik cepat untuk menekan lebih keras.

"Ah, ahhh," racau Grace.

"Grace, lower your voice, damnit!" desis gue parau.

Grace seperti bergumam dan meracau semakin nggak jelas. Kemudian, dia membekap mulutnya sendiri. Erangannya berubah menjadi gumaman berat yang terdengar begitu seksi di telinga gue.

Gerakan gue semakin cepat, cepat, dan cepat. Mendesak Grace maju mundur, terus menggali kenikmatan yang gue inginkan, semakin lama semakin kasar untuk mencari kepuasan.

Tubuh Grace semakin licin dan basah. Napasnya kian memburu kasar, masih membekap mulutnya sendiri agar nggak berisik, dan tubuhnya terguncang akibat hentakan-hentakan yang gue lakukan.

Doggy style is always be my favorite. For both of us. Cowok bisa masuk lebih dalam, dan cewek bisa ngerasain lebih enak.

Gue mendesis geram, mempercepat gerakan, dan mengarahkan satu tangan untuk mengusap klitoris Grace naik turun. Hal itu membuat Grace semakin menggila.

"Bang! Ahhh, ahhhh, Grace... oh dear!"

Grace menggelinjang, tubuhnya menyempit dan meremas di sepanjang ketegangan gue, membuat gue merasakan kenikmatan yang nggak bisa dijabarkan dalam kata-kata. Shit. Grace benar-benar enak, gue udah mulai ketagihan.

Mata gue terpejam, mendesah parau, dan napas semakin memberat ketika gue merasakan gulungan yang dinantikan.

Gue merasa semakin membesar, berkedut nyeri, dan semakin keras di dalam, lalu segera mencabut penis gue untuk keluar dari tubuh Grace.

Gue mengerang pelan sambil mengocok kasar dan menyemburkan sperma di atas bokong Grace. Fuck!

Gue memejamkan mata sambil membungkuk untuk menikmati sisa sensasi klimaks yang begitu hebat menyerang. Mata gue terbuka saat sebuah ciuman mendarat di pipi.

Ada Grace yang udah berbalik sambil menatap gue penuh arti. Pipinya memerah, bibirnya merekah, dan sorot matanya penuh damba.

Gue menunduk untuk mencium bibirnya, kami berciuman dengan liar dan kasar, masih bernapsu karena sensasi gairah itu masih terasa.

"Enak, Bang?" tanya Grace setelah kami menyudahi ciuman itu.

Gue mengangguk. "Lu?"

Grace juga mengangguk. Gue kembali mencium bibirnya dan memeluk erat setelahnya.

"Lu harus istirahat, udah capek banget," bisik gue pelan, lalu mengecup ringan kening Grace.

Grace mengangguk lagi. "Kayaknya, Grace bakalan tidur nyenyak, Bang."

Gue tersenyum. "Sorry, udah bikin lu kerja rodi dari semalam sampe malam ini."

"Nggak, kok. Grace senang dan puas. Apalagi kalo bisa bikin Bang Jo terpuaskan," balas Grace.

"Gue balik, yah," ujar gue sambil menarik diri dan memakai kembali celana gue.

Grace mengambil tissue untuk membersihkan cairan sperma di bokongnya, memakai celana dalamnya dan menurunkan terusannya, lalu beranjak dari tepi ranjang. Dia melepas kacamata yang masih gue pake dan kembali mengambil tissue untuk membersihkannya.

"Bang Jo kalo lagi mupeng, nggak inget buat lepas kacamata, yah. Sampe berembun gini," ucap Grace sambil mengerling nakal dan memakaikan kembali kacamata gue.

"Gue nggak ada waktu buat copot kacamata," balas gue sambil terkekeh.

"Padahal, dari kemarin pada tanyain soal kacamata Bang Jo semalam, kapan copot kacamatanya?" sahut Grace malu-malu.

"Banyak orang sirik dan cuma bisa gigit jari waktu kita lagi enak, Grace. Itu bukan urusan penting."

Grace tersenyum pelan dan memeluk gue erat. "Thanks for today, Bang."

"It has to be me who say thank you, Grace. Sleep tight, Baby," balas gue sambil mengusap kepala Grace.

"Grace anterin Bang Jo ke depan yah," ujar Grace sambil menggandeng tangan gue.

Gue mengangguk dan mengikuti Grace untuk keluar dari kamar itu. Rumah ini terlalu besar untuk hanya ditinggal Grace dan Leo. Suasananya pun terlalu senyap. Padahal nggak ada bedanya dengan rumah gue. Nggak tahu kenapa, kesan nggak nyaman yang gue rasakan, selalu berhubungan dengan rumah.

"Bang Jo hati-hati, yah. Nanti kabarin Grace, yah," ucap Grace saat kami udah sampe di depan pagar rumah Grace, tepat di samping mobil gue.

Gue hanya mengangguk.

"Jangan ngangguk doang, Bang. Jawabnya pake ngomong iya. Hape itu fungsinya buat terima telepon, bukan cuma diliatin trus dicuekin, apalagi kalo Grace yang telepon. Hape juga punya perasaan, Bang, sama kayak Grace," tambah Grace.

"Jangan konyol, Grace," celetuk gue mengingatkan. "Kalo gue udah ngangguk, artinya iya."

"Oke, barusan Bang Jo baru ngomong iya. Grace percaya," kekeh Grace geli.

"Sampe segitu nggak percayanya lu sama gue," tukas gue nggak suka.

"Bukan nggak percaya, Bang. Grace itu suka bingung sama maunya Bang Jo. Jadi tuh, Grace sering tebak-tebak buah manggis gitu. Maklumin aja yah, Grace emang gini orangnya. Nanti Bang Jo juga sayang," balas Grace.

"Gue balik dulu," ucap gue akhirnya, males buat ladenin ocehan Grace yang makin konyol.

"Hati-hati ya, Bang. Jangan lupa kabarin Grace kalo udah sampe yah," ujar Grace sambil berdadah ria.

"Ya udah, lu masuk. Gue akan jalan kalo lu udah masuk sampe ke pintu rumah," perintah gue sambil masuk ke dalam mobil dan membuka kaca jendela.

Grace mengangguk dan segera berbalik untuk menutup pagar. Doi sempet berseru untuk hati-hati dan berlari kecil untuk masuk ke dalam rumahnya.

Setelah gue pastiin doi masuk, barulah gue menjalankan kemudi untuk pulang ke rumah. Capek, itu udah pasti. Tapi ada rasa senang dan puas sekarang.

Oke, berhubung cerita ini udah cukup banyak bagian, otomatis lu nggak bakalan jauh dari yang namanya drama. Secara yang nulis juga demen bikin rusuh dan pengen ada sedikit drama, maka kesialan gue terjadi di bagian ini.

Saat gue tiba di rumah, ada sebuah mobil yang terlihat familiar lagi parkir di sana. Ofcoz, mood gue auto drop karena udah tahu bakalan ada apa sekarang.

Ada tamu yang datang ke rumah. Sepasang suami istri dan anak ceweknya. Om Beno dan Tante Dora, trus anaknya, Tania.

Gue kenal mereka sejak masih sekolah. Agak lucu dan konyol sebenarnya. Waktu itu, mereka datang sambil bawa Tania untuk dijodohin sama kakak gue, Jordan. Yah udah pasti Jordan nggak mau lha, karena dia udah punya cewek yang sekarang jadi istrinya.

Sekarang? Mereka datang lagi buat menjual anaknya, yang sialnya gue kena arahan. Nggak paham lagi apa maunya mereka sampe harus jodohin anaknya terus. Kayaknya, Tania nggak laku di pasaran.

"Kamu dan Tania sama-sama udah dewasa. Bisa dicoba untuk jalin hubungan, barangkali cocok," kata Papa.

"Kita sama sekali nggak cocok," balas gue tegas, tanpa basa basi.

Para orangtua nggak tahu aja, kalo gue dan Tania udah pernah main bareng. I mean, kami pernah ONS. Waktu itu gara-gara Tania nggak terima ditolak sama Jordan, lalu ngajakin gue pergi minum. Kami mabok dan end up ngamar di hotel buat sangean.

After that, Tania marah-marah dan nggak terima. Gue juga nggak terima dituduh kayak gitu karena kita sama-sama nggak sadar. Pada intinya, gue nggak tertarik meski Tania memang cantik.

"Belom dicoba, masa udah main bilang nggak cocok. Dicoba dulu aja, Jo," celetuk Tante Dora dengan senyuman lebar.

Gue yang masih berdiri cuma bisa menatap mereka yang lagi duduk dengan ekspresi datar. "Maaf, Tan, bukan saya mau kurang ajar. Sebagai seorang Ibu, harusnya bisa menjaga anak perempuannya dengan baik. Bukannya malah disodorin buat ajang uji coba. Saya yakin, Tante tahu jelas kalo Jordan nggak mau sama Tania. Dan itu juga berlaku buat saya."

"Joseph! Jangan gitu ngomongnya! Kamu belum coba, tapi udah ngomong sembarangan! Kami berusaha untuk supaya kalian mendapatkan kebahagiaan," kata Mama.

"Bahagia?" balas gue sambil menyeringai sinis. "Bahagia macam apa yang bisa didapat dari main atur jodoh anak sendiri, Ma?"

Gue bisa melihat ekspresi muka nyokap yang makin busuk aja, sementara bokap yang kayaknya udah naik darah.

Tania yang daritadi diam, akhirnya beranjak dan segera menarik gue keluar dari situ. Sampe di teras, gue langsung menepis tangannya.

"Kalo lu nggak mau, gue paham, Jo. Yah tapi nggak main nyablak kayak tadi dong," sewot Tania.

"Gue nggak bisa pura-pura. Lagian, ngapain lu ke sini dan ngikutin bokap nyokap lu? Jangan-jangan, lu hamil sama cowok lain , trus main dateng ke sini buat cari penampungan!" balas gue nyolot.

"Anjir lu! Mulut lu pengen banget gue tampol! Gue juga dipaksa ke sini! Bokap gue lagi punya bisnis baru sama bokap lu. Terus, mereka kayak yang kepengen eratin tali pertemanan dengan ngikat kita berdua," sahut Tania keki.

"Amit-amit! Sorry to say, Tan. Gue sama sekali nggak tertarik sama lu. Apa yang dulu pernah kita lakuin itu cuma sekedar fling, nggak lebih. Lagian juga, bisnis macam apa yang dibuat sama mereka sampe ngejodohin kita segala? Bikin aplikasi biro jodoh kayak Tinder gitu?" ucap gue judes.

"Capek ngomong sama lu! Nggak usah sok oke, gue juga nggak mau sama lu! Gue juga lagi mikir buat kabur dari sini! Temen gue udah nungguin di klub," tukas Tania keki, lalu mengambil hape dari tas dan mengetik di situ.

"Bagus, pergi sana. Nggak usah ke sini lagi."

"Besok, kita omongin lagi soal urusan ini. Kita perlu kerjasama buat menolak, nggak bisa sendiri-sendiri. Jadi, kita temenan!" ujar Tania setelah menyudahi teleponnya.

"Gue nggak mau. Kalo mau nolak, ya tinggal nolak aja. Kenapa harus belaga jadi sekutu, kalo lu punya niat terselubung?" balas gue tegas.

"Lu jadi orang bener-bener pengen gue kepret. Pokoknya, besok lu ketemu gue di tempat biasa. Sampe nggak dateng, gue yang bakal samperin lu langsung!" ujar Tania dengan nada nggak mau tahu.

Shit. Yang tadinya udah capek, jadi tambah capek karena harus urusin orang gaje kayak Tania. Tuh cewek emang bener-bener nggak tahu malu.

Gue pun masuk kembali ke rumah dan mengabaikan panggilan bokap dengan naik ke lantai atas. Bomat! Gue udah cukup disetir oleh mereka, tapi nggak dengan urusan sehidup semati kayak gini.

Kalo sampe mereka memaksa, gue akan ikutin jejak Jordan yang keluar dari rumah dan hidup bahagia dengan cewek pilihannya.

Baru aja sampe kamar, hape gue udah bunyi. Tai kuda! Saking kesal, gue ambil hape dan matiin tanpa perlu ngeliat siapa yang telepon.

Nggak mau mikir apa-apa, juga karena udah capek banget, gue pun langsung menghamburkan diri ke ranjang dan tidur. Hell yeah, itu adalah tidur paling nyenyak yang gue dapatkan selama ini.

◾◾◾

Friday, July 3rd, 2020.
10.00.

Sebenarnya, JoJo itu lebih kampret dari Chandra.
Taruhan? Haqhaqhaq 😛

Dari sini, gue pengen oper bola. Ada HolyMollyCrap yang kena giliran buat jadi bahan ghibah.

Follow him, Lads!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top