Bab 1

"If you want to destroy, then destroy together."

—Tatjana Maudia Harimurti—

***

Aksi nekat Tatjana berhasil membuatnya berhadapan langsung dengan wakil CEO Neo Entertainment, Sagara Hirawan Iskandar, yang menjadi sasaran kegilaannya tadi. Di dalam ruangan bernuansa suram itu, hanya ada mereka berdua, karena Levi memilih menunggu di Kafetaria atas permintaan—lebih tepatnya titah—Sagara. 

Membosankan. Satu kata yang terus berkeliaran di kepala Tatjana saat menatap seisi ruangan tersebut. Didominasi warna abu-abu dengan logo Neo Entertainment yang terukir gagah di dinding belakang kursi, Sagara seolah-olah menegaskan kalau dirinya merupakan pria kaku. Tak ada yang istimewa, seperti potret Sagara atau sekadar lukisan-lukisan dari berbagai macam aliran seni, seperti naturalisme atau realisme yang mungkin dapat memenangkan jiwa.

Hanya saja, Tatjana sangsi kalau Sagara memiliki perasaan sentimentil seperti itu. Dia saja dengan tega mendepak Tatjana secara tersirat, hingga dipermalukan di depan wartawan yang mengira kalau dirinya sudah kalah dari Priscilla. Andai Sagara melihat, jangankan menyerah, Tatjana pasti sudah lebih dulu mencabut helai-helai rambut Priscilla yang dirawat di salon langganan Tatjana. Wanita licik itu memang ingin menyingkirkannya. 

“Jadi, apa maksud kamu menyeret saya ke dalam problematika kamu?” Setelah bermenit-menit dilalui Tatjana dalam keheningan yang seakan-akan hendak mencekiknya karena Sagara tidak memberinya izin untuk berbicara duluan dan hanya menunggu pria itu selesai menandatangani berkas. Padahal, mulut Tatjana sudah gatal ingin menghardik Sagara. 

“Seharusnya, gue yang tanya. Lo punya dendam apa sama gue sampai-sampai lo suruh gue hiatus?” Mata Tatjana memicing tajam dengan tangan bersedekap. Kaki tersilang angkuh seperti menunjukkan kalau wanita itu tidak merasa terintimidasi oleh siapa pun. 

“Keputusan hiatus adalah solusi yang tepat untuk menangani wanita seperti kamu. Suka menimbulkan masalah, tidak tepat waktu, merundung rekan sesama aktris, dan menunjukkan kemesraan secara terang-terangan dengan salah satu model pria.” Sagara menautkan jari-jemari di atas meja. Terhitung sudah lima bulan dia kembali ke Indonesia dan sejak dua bulan lalu menempati jabatan sebagai wakil CEO di agensi yang didirikan oleh sang ayah, Adlan Iskandar, setelah posisi tersebut kosong nyaris satu tahun, tapi dia sudah dihadapkan dengan seorang Tatjana Maudia Harimurti, si pembuat onar yang merusak citra agensi. 

Tatjana mendengkus. “Gue nggak bakal bertindak kalau bukan mereka yang cari masalah sama gue duluan. Dan, model yang lo maksud itu namanya Diego Shagufta, pacar tersayang gue.” Mengikuti Sagara yang menautkan jari-jemari di atas meja, Tatjana melanjutkan. “For your information aja, dengan lo yang bikin gue hiatus, otomatis penghasilan terbesar Charismatic Aura, termasuk Neo Entertainment, berkurang. Mungkin lo masih belum tahu kalau gue adalah salah satu aktris dengan bayaran termahal di Indonesia.” 

“Sekadar informasi juga. Production house tidak akan mau menarik aktris yang bermasalah dan merupakan musuh media. Kecuali kalau kamu lebih suka hidup dengan hujatan masyarakat. Lambat-laun, karir yang kamu banggakan itu, akan hancur dalam sekejap. Menjadi salah satu aktris dengan bayaran termahal tidak akan berdampak apa pun lagi, Maudy.” 

Tatjana terperangah dengan balasan Sagara. Terlebih, nama Maudy yang terlontar dari mulut Sagara seketika mengingatkannya pada anggota keluarga Harimurti. Sebentar, tak ada yang boleh memanggilnya begitu selain orang-orang terdekat atau teman masa sekolahnya. Ayah Sagara mungkin teman ayahnya, tapi pria paruh baya itu selalu memanggilnya Tatjana. 

“Lo kenal gue?” Tatjana mencoba menggali memori kepala mengenai Sagara. Keningnya berkerut dalam, menelisik wajah datar pria itu yang terlihat tak terganggu sama sekali. Namun, dicoba berkali-kali pun, tak ada ingatan pasti tentang kapan dan di mana mereka bertemu, hingga gambaran samar-samar muncul di pikirannya. Lapangan SMA, di hadapan banyak orang, anak laki-laki berpenampilan geeky dengan setangkai bunga mawar dalam genggaman gugupnya.

“Kita tidak saling mengenal.” 

“Lo kakak kelas culun yang nyatain cinta ke gue di tengah lapangan?” Tatjana langsung menembak tepat sasaran. Ada riak pada kedalaman kelereng gelap Sagara yang segera dialihkan ke arah luar jendela. 

“Gue nggak bakal pernah lupa sama kejadian yang bikin gue malu setengah mati karena ada orang nyatain cinta cuma pake bunga satu tangkai. Harga diri gue jatuh sebagai murid paling fenomenal seangkatan. Dan, hari ini gue ketemu lagi sama orang itu, di tempat yang nggak terduga.” Seringai terbit di sudut bibir Tatjana. Setelah kejadian paling memalukan di hidupnya, dia memang tidak pernah lagi bertemu dengan anak laki-laki itu. 

Bahkan, meski dia sering menjumpai berita tentang Sagara yang digadang-gadang akan menjadi pewaris tunggal keluarga Iskandar di media sosial maupun televisi, ini adalah kali pertama mereka bertatap muka secara langsung. Siapa yang menyangka kalau Sagara sangat berbeda dari yang terakhir kali dilihatnya. Kalau saja kemampuan intelegensinya tidak mengambil alih, mungkin dia masih belum menyadari identitas asli pria itu.

“Kita sedang tidak membahas masa lalu, Tatjana.” 

“Maudy. You call me Maudy. So, go ahead. Gue kasih izin lo untuk panggil gue Maudy. Sebuah kehormatan, kan, bisa ketemu sama crush lo di masa sekolah? Atau mungkin ini juga akal-akalan lo supaya kita bisa berduaan di sini? Lo cerdik juga, ya.” Tatjana meralat ucapan Sagara. 

“Saya tidak menyukai wanita tantrum seperti kamu.” 

Tatjana terbahak, sampai memukul pegangan kursi. “Ternyata, lo munafik, ya. Kayak orang-orang manipulatif yang paling gue benci. Kenapa? Lo lebih suka Priscilla yang pengin rebut semua yang gue punya? Si anak nggak tahu diri yang melakukan banyak cara untuk menghancurkan karir gue?” 

“Kamu yang menghancurkan karir kamu sendiri, Maudy. Bukan orang lain, apalagi Priscilla yang kamu jadikan kambing hitam.” 

Kalimat yang keluar dari mulut Sagara seketika mencipta amarah di diri Tatjana. Gebrakan di meja semakin menjelaskan betapa emosi menguasainya. “Lo nggak tahu apa-apa! Dia mencoba untuk meniru gue. Dia bersikap seperti superstar yang nggak mau terkalahkan. Dia terlalu tamak!” 

Mendengar suara menggelegar Tatjana, Sagara memijit pelipis, pening. Dia sudah pernah menghadapi berbagai macam manusia, termasuk yang keras kepala seperti Tatjana, tapi amukan salah satu aktrisnya itu sangat memusingkan. “Watch your mouth, Maudy. Priscilla adalah rekan kamu. Kalian berada di agensi yang sama. Keputusan hiatus kamu tidak ada sangkut-pautnya dengan Priscilla.” 

“Pak Adlan nggak pernah ganggu gue, Sagara. Gue yakin pihak direksi juga nggak bakal setuju kalau keputusan itu merugikan agensi. Daripada hiatus, kenapa lo nggak pecat gue sekalian? Takut harus bayar penalti? Keluarga Iskandar kaya, kan? Mendepak gue sekarang nggak bakal bikin keluarga lo bangkrut.” Akting adalah hidupnya. Bagaimana dia bisa meninggalkan kehidupannya hanya karena masalah yang sudah menjadi makanan sehari-harinya? Dia sungguh tidak mau kembali ke keluarga Harimurti yang akan memaksanya untuk mengurusi bisnis di bidang kuliner dan pemasok frozen food. 

“Kalau kamu bisa mengurangi sikap tempramental kamu, mungkin saya akan berubah pikiran. Tidak sekali dua kali saya mendapat keluhan mengenai ini. Saya tidak memiliki banyak waktu untuk mengurusi masalah kamu saja di saat pekerjaan saya yang lain masih menumpuk. Diskusi ditutup. Silakan kamu keluar dari ruangan dan kembali ke kediaman kamu.” Sagara melepas kacamata baca yang bertengger di hidung lalu meletakkannya di atas meja. 

Tatjana masih belum puas. “Lo terlalu sombong, Sagara. Kalaupun nantinya karir gue bakal hancur, I won't be destroyed alone.” 

Sagara mengernyit samar, terlebih saat Tatjana berdiri lalu mencondongkan tubuh, mendekat ke arahnya hingga wajah mereka berhadapan dengan hidung nyaris bersentuhan. Sagara bergeming, menatap manik cokelat muda Tatjana yang natural, tanpa sentuhan kontak lensa. 

“Rumor tentang kita kemungkinan udah menyebar luas. Menurut lo, apa yang ada di pikiran orang-orang about living together before marriage? Jangan pernah mengusik hidup Tatjana Maudia Harimurti yang bakal melakukan segalanya demi keegoisannya. Let's destroy together, Sagara Hirawan Iskandar.” 

Yang harus Sagara tahu, Tatjana tak akan pernah main-main dengan ucapannya. 

***

Adu urat yang nyaris membuat Tatjana menghancurkan seisi ruangan, berakhir sudah. Dia sempat membanting pintu seraya mengumpat sebelum benar-benar pergi. Masih terbayang ekspresi Sagara yang menatapnya seolah-olah ancaman tersebut hanyalah bualan belaka. Kalau saja dia tidak menghargai Adlan, sudah dipastikan wajah sok tampan milik si petinggi agensi itu menjadi karya seni karena ketajaman kuku-kuku Tatjana. 

“Gue bakal bikin lo malu sampe liang lahat!” janji Tatjana dengan tangan terkepal erat di sisi tubuh.

“Baby?” Belum sempat Tatjana berbelok, menyusuri lorong kantor yang cukup lenggang, dia sudah dikejutkan dengan kemunculan sosok pria jangkung yang sangat dikenalnya. Seketika, Tatjana tersenyum sumringah. 

“Diego!” Buru-buru, Tatjana berjinjit lalu memeluk tubuh besar Diego Shagufta yang menjadi daya tariknya di runway. Pria kelahiran 2001 itu balas memeluk sang kekasih tak kalah mesra, mengabaikan para karyawan yang berlalu lalang dan menatap mereka aneh. 

“I miss you so much. How long have we not seen each other? Satu Minggu, ya?” Diego mengelus punggung Tatjana lembut, sebelum mengurai pelukan mereka hingga terlepas, meski tangannya masih hinggap di pinggang Tatjana.

“Gimana Italia? Aku pengin lihat kamu, but it's a mess here.” Tatjana mengedikkan bahu tak acuh. 

“I know. Sosial media lagi heboh banget gara-gara kamu. Beneran bakal hiatus? Bukannya karir kamu lagi naik-naiknya? Film kemarin pecah banget, kan. Kalau kamu hiatus, takutnya nggak ada kesempatan lagi.” Diego menyingkirkan anak-anak rambut yang menghalangi wajah cantik Tatjana. Saat dia akhirnya tiba di Bandara Soekarno-Hatta setelah berada cukup lama di Italia untuk melakukan runway edisi musim dingin, dia langsung dikagetkan dengan berita yang menyeret nama kekasih dan petinggi baru Neo Entertainment itu. Alhasil, tanpa pulang terlebih dahulu, dia segera datang ke kantor Neo Entertainment untuk bertemu dengan Tatjana. 

“Dia memang gila. Aku heran kenapa Pak Adlan yang baik hati punya anak minim empati kayak dia. Many plans and contracts were cancelled because of him. Kamu bayangin aja, tahun ini aku lagi mempertimbangkan tiga film besar, tapi semuanya batal. Lama-lama aku ikutan gila!” Seraya berjalan beriringan dengan Tatjana yang bergelayut manja di lengan Diego, dia mengeluarkan uneg-unegnya kepada Sagara. 

“Aku belum pernah ketemu sama Pak Sagara.” 

“Aduh, jangan sampe. Aku nggak mau brondong gantengku ini ikutan gila.” 

Diego tertawa lalu mencubit pelan pipi Tatjana. “I'm younger than you, but why are you cuter? Tapi, kamu nggak tinggal bareng Pak Sagara, kan?” 

“Enggak. Aku cuma pengin dia dipermalukan. Siapa suruh mengibarkan bendera perang ke aku?” dumel Tatjana. Seperti ingat sesuatu, dia kembali berbicara. “Oh, iya. Mungkin, setelah ini berita tentang aku dan Sagara bakal lebih banyak. Aku pengin bikin perhitungan sama dia. So, don't be jealous, hm?" 

Melihat raut penuh permohonan itu, Diego tak kuasa untuk kesal, apalagi marah. Maka, dia hanya bisa mengangguk. “Aku udah terbiasa sama pekerjaan kamu, By. So, this news will not affect me. Tapi, jangan abaikan aku, ya?” 

“Enggak, dong. Brondong kesayanganku ini bakal dapet perhatian aku selamanya.” Ibarat remaja yang sedang kasmaran, Tatjana semakin erat memeluk lengan Diego dengan senyum mengembang. 

Tatjana yang selalu bersikap seenaknya, mendadak menjadi anak kucing yang manja di hadapan Diego. 

***

Part pertama dari kisah ini. Bagaimana menurut kalian?

Then, let's see apa yang bakal Tatjana lakukan untuk hancur bersama Sagara.

See u!

Bali, 05 Januari 2025

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top