III. Kompleks Perumnas Serangga
Sejak kapan ini jadi genre horor!? Sejak alat itu terus membujuk memainkannya untuk Anggara Pandhita? Mungkin.
Esok harinya, Kurma sudah berangkat pagi sekali menuju rumah mendiang kakeknya. Meminta izin pada guru privatnya untuk meniadakan kelas hari ini, biar mereka saja yang laporan ke orangtuanya nanti. Lalu bersama supir pribadinya, mereka berangkat ke sebuah desa kecil penuh kabut. Berhenti di dekat salah satu bukit setelah sekian jam kesasar.
"Akan saya bawakan, Nona Muda."
Kurma tersenyum mendengarnya. "Nggak usah." Ia mengambil papan musik yang terbungkus dalam kardus. "Tunggu di sini saja."
"Tapi-"
"Iya gitu lho. Ini rumah Kakek kok, nanti kalau Papa Mama telpon, bilang aja gitu. Cuma satu jam, kalau lewat baru nyusul." Kurma mencoba membujuk supir muda itu.
"Baik, Nona Muda."
Kurma dengan sopan pamit untuk pergi. Dengan ransel dan membawa kardus itu ke jalan menanjak. Memang desa ini agak terpencil. Tiap rumah berada di tempat berbukit. Tanah tak bertuan yang diklaim sendiri. Tempatnya sepi, ada sih orang, cuma mereka agak tidak peduli pada orang asing. Rumah kakek juga jauh dari gapura masuk. Katanya, ini tempat yang cocok untuk membuat musik.
Sementara Kurma pergi, si supir duduk di mobil. Baik, satu jam, ujarnya melihat Iphone. Baru sadar tidak ada sinyal.
Setelah belasan tahun, rumah kecilnya yang lebih mirip gubuk terlihat jauh lebih parah. Kurma menghela napas saat hanya melihat puing-puing. Penduduk lain mungkin tidak memperhatikan gara-gara bukitnya agak tinggi juga. Luas rumahnya tidak sampai ruang tamunya. Puing-puing kayu lapuk dan peralatan lain yang diabaikan sudah hancur dan dipenuhi hewan. Bau tanah, pesing, dan busuk dari kotoran entah hewan apa. Kurma menghembuskan napas keras-keras, sekarang waktunya menggeledah.
Sebelum itu, ia menuju ke papan meja yang sudah berpolkadot berisi telur serangga. Mengeluarkan papan yang tebalnya nyaris setengah telunjuknya. Lalu menunggunya berubah sendiri diikuti angin dingin.
"Kangen~"
Kurma tersenyum simpul. Iya, dia juga kangen. Di kamar sempit ia sering menunggu kakek bangun. Di ruang kecil itu mereka makan bersama. Di halaman itu, dulu pohon itu sudah ditebang sekarang tumbuh lagi, di sanalah mereka memasak. Lalu di pinggiran bukit, melihat ke langit atau gubuk ini dari samping, ia mendengar alunan musik khas dari alat buatan kakek sendiri.
Nostalgia Kurma hancur mendadak. Ia menjerit saat melihat kelabang merayap di sneakers putihnya hendak ke celana jeans-nya. Berdecih saat kaki dan bajunya terciprat air genangan yang pesing. Juga bergidik jijik saat tidak sengaja menyenggol sarang semut. Iih, melihat koloni semut dan telur-telur putihnya membuatnya merinding.
"Kita cari apa sih?"
Yaelah, pantesan dia malah asik diam waktu Kurma ribut sendiri. "Catatan Kakek, apa saja. Buku, tulisan, siapa tahu Kakek mencatat soalmu."
Dia mengangguk. Tersenyum lebar pelan-pelan-Kurma tidak mau lihat, lalu telunjuknya juga terangkat pelan. Mengarah ke tempat tidur beralas kapuk berjamur.
"Ya ambil dong."
"Tidak mau." Cepat sekali dia menjawab sambil menggeleng. Seperti kepalanya bakal berputar 2π°.
Kurma menelan ludahnya. Apa sih. Kurma belum merasa benar-benar takut. Cuma tingkahnya saja yang agak disturbing.
Kurma akhirnya berjalan ke tempat tidur yang kakinya sudah ambruk. Kayunya dikerubungi rayap membuat Kurma ragu untuk menyentuhnya. Mencoba mendorongnya tapi ia tidak terlalu kuat. Ia menatap ke kasur kapuk yang bau dan basah. Melihat serangga menjadikannya kompleks perumnas. Kurma agak-agak jijik, ia mencubit ujung kasur dengan ujung dua jarinya. Jelas tidak bisa. Akhirnya ia mengambil papan kayu, hati-hati untuk tidak mengganggu sarang semut lagi. Susah payah Kurma menggulung kasur berair itu. Langsung mundur dulu sebentar, menunggu serangga atau apapun yang di sana pergi dulu.
Tapi si manusia jadi-jadian ini malah dengan santai mendekat. Di antara puing-puing, rasanya dia berjalan biasa saja melewatinya. Gaunnya sama sekali tidak tersangkut. Kurma mengalihkan matanya. Oke, dia aneh. Jelas kemunculannya sudah mustahil. Jadi, apapun yang dia lakukan, senyum, kepala, jalan atau melayang, itu semua normal karena dia sudah aneh dari awal.
"Ketemu!" Dia tersenyum lebar sambil melambaikan tumpukan kertas.
"Berengsek." Kan Kurma yang susah payah menyingkirkan kasur. Kakinya melangkah lagi mendekati rangka ranjang dengan tumpukan kertas. Sekali lihat, mata Kurma langsung tahu itu tulisan tangan kakeknya.
Kurma mengeluarkan bungkusan plastik dari ranselnya. Memasukkan semua kertas-kertas yang ada tulisan kakeknya. Sedikit kecewa kalau sebagian sudah luntur. Mereka berdua berdiri menatap sekeliling setelah selesai. Lalu kembarannya itu menunjuk lagi pada lemari ambruk.
"Kok nggak dari tadi bilang!?"
Dia hanya tersenyum. Lebar. Ujung bibirnya sekarang seperti mencapai ujung mata.
Pelajaran hari ini, jangan protes apa-apa pada makhluk itu. Kurma kembali fokus bagaimana mengambil apapun yang ada di dalam lemari itu. Mau diangkat tidak kuat, dihancurkan tapi permukaannya berlapis seng. Kurma memutarinya untuk mencari celah.
Saatnya mempraktekkan ilmu eksaknya. Yang tak akan ia dapat kalau belajar kreasi melulu. Dengan konsep pengungkit, mencari kayu yang tidak terlalu lapuk dan dihinggapi serangga, dan barang-barang lain yang bisa ia jadikan titik tumpu. Setelah puluhan menit, Kurma berhasil mencongkel lapisan seng berkaratnya. Dilas sampai melekat di kayu ternyata. Ada sedikit warna hangus di sekitarnya. Begitu terbuka, sekali lagi Kurma menjerit dengan segala penampakan yang keluar.
Setelah buang-buang waktu entah berapa lama, makhluk itu menyahut di pinggir lemari, "Aku pernah lihat ini." Ia mengangkat tiga lonceng besi yang diikat di tali rafia.
Kurma maju mendekati lemari. Menerima uluran lonceng sambil menggoyangkannya. Tidak bunyi. Tapi ada sesuatu di dalamnya. Kurma mencoba melihat apa yang ada di dalamnya. Tidak ada apapun. Sekali lagi, ia menggoyangkan loncengnya.
*KRINCING!
Akhirnya bunyi? Tapi suaranya seperti bukan dari loncengnya. Kurma membolak-balik benda itu lagi. Lalu sadar tidak ada pemandangan puing-puing di sekelilingnya.
Warnanya putih kabut. Persis seperti ia baru tiba di desa. Suara lonceng terdengar lagi, tapi diiringi suara petikan senar, tetesan air, dan bisikan orang yang pelan-pelan terdengar. Kurma yakin yang ia lihat selanjutnya bukan apa yang di depan matanya, tapi otaknya. Muncul bayangan lima orang berkumpul, kemudian mereka menjauhi seorang lainnya. Kurma masih diam di tempat, tidak bisa bergerak. Sampai sesuatu menghantam punggungnya bersamaan dengan suara lonceng.
"Nona Muda!"
Kabutnya menipis. Cepat sekali. Menampakkan bukit dan puing-puing biasa. Jantung Kurma berdegup kencang. Punggungnya yang tadi dihantam tiba-tiba terasa dingin. Menjalar menggelitik sampai ke lehernya. Matanya berkedip beberapa kali, memastikan yang ia lihat nyata.
"Sudah satu jam, Nona Muda." Si supir sudah di depan rumah hancur. "Tidak ada sinyal di sini, sebaiknya kita segera pulang."
Kurma menghela napas. "Sebentar."
Ia melihat papan musiknya sudah tergeletak di samping kakinya. Kurma memasukkan kertas-kertas di lemari itu ke dalam bungkusan plastik lain. Sang supir dengan sigap langsung membantunya. Kemudian Kurma kembali membungkus papan itu dalam karung dan kardus. Akhirnya mereka pulang.
Di mobil, Kurma membayangkan lagi sensasinya tadi. Halusinasi? Mungkin, sejak tiga bulan lalu sepertinya. Sejak ia melihat alat ini hidup. Lalu orang-orang tadi itu-satu, dua,-enam!
Enam pendiri Keluarga Prabangkara!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top