I. Jangan Dibuat Repot

Nama? Budi.
Nama Ayah? Bapak Budi.
Nama Ibu? Ibu Budi.
Nama panjang? BUDIIIII-

"-iiiiiiiiiiiiiitt!!!!!"

"Hngg.. Lima menit lagi."

*BUGH!

"Pagi, Mal."

"Hng." Gadis berambut coklat pendek itu hanya menaikkan alis. Berjalan dengan langkah gontai menuju kamar mandi sambil mengedipkan mata, berusaha mengeluarkan belek dengan sendirinya.

"Cepet, Kurma! Setengah jam lagi berangkat."

Baru saja gadis itu di depan wastafel. Membasuh muka dan mau memencet odol di atas sikat gigi. Namun pandangannya langsung tertutup sesuatu yang lembab dan hangat, bercampur bau apek dan sabun. Handuk.

"Gantungin ya, Al."

"Hng."

Gadis itu menyikat gigi dengan malas. Terus mandi ala kadarnya. Asalkan badannya kena air, sudah masuk definisi mandi baginya. Pakai handuk, lupa punya siapa, yang tadi dilempar padanya. Persetan sama kadas kurap, panu, atau semacamnya. Habis itu pakai baju yang berada di tumpukan paling atas di meja. Biasanya baju yang baru dicuci dan kepakai berulang kali. Males banget kalau harus ambil yang bawah. Harus hati-hati biar tidak berantakan.

Tadi sih bilangnya setengah jam lagi, tapi baru lima belas menit sejak dia di depan wastafel, kini ia sudah melanjutkan sarapan di mobil. Melahap roti selai kacang dan minum susu kotak. Memandang ke jalan depan sambil mendengarkan lagu dari handsfree hitamnya. Berpikir kok bisa tadi dia mimpi iklan KetKet.

Nama? Terserah. Mau Kurma kek, Mala kek, Al kek, Lali kek, Alita kek, Lita kek, Lit kek. Bodo amat.

Nama Ayah? Bapak Horor-tapi-penuh-optimisme-dan-suka-berharap-berlebihan.

Nama Ibu? Ibu Penyayang-tapi-semuanya-harus-apa-katanya-biar-dia-tidak-jantungan.

Nama panjang? Simple. Kurmalalita.

Kena copyright tidak? Sudah jokes umum sih, entah jokes dari sananya, atau kebetulan sama, atau iklannya yang terinspirasi dari sana.

Entah.

Kembali ke sarapan di mobil. Kurma, biar gampang, adalah salah satu anak tidak beruntung yang lahir di keluarga seni super kaya raya. Kalau biasanya, di cerita ala-ala, orangtuanya yang menekan harus jadi semacam dokter atau apalah yang jenius. Padahal anaknya pintar di non-akademik. Sayangnya, yang terjadi padanya kebalikannya. Kurma wajib menguasai satu hal dari tiap lima jenis seni di keluarganya. Padahal dia lebih suka duduk di kamar, mengerjakan kalkulus atau sekedar baca-baca teori relativitas dan dark matter.

Buat ngeles semua hal ribet di keluarganya, Kurma selalu menerjemahkan secara definisinya yang seenak jidat. Contohnya seperti tadi, mandi ya pokoknya kena air, sama sabun, terserah seberapa banyak. Misal, kalau disuruh melukis buah, Kurma cuma bakal mencoret kuas coklat sampai lukisannya macam tai. Judulnya "Buah Busuk." Kan gurunya tidak bilang buah apa. Buah ya buah. Kalau disuruh main musik, ya asal bernada sudah musik itu, jadi Kurma membawa radio. Main berarti dia yang pegang kendali atas volume, pause, play, dan skip lagu.

Hidup jangan dibuat repot. Jangan kaya keluarganya ini. Mentang-mentang jadi bagian Keluarga Prabangkara tersohor, berkat kemampuan seninya, tiba-tiba satu keturunan terpaksa jadi seniman. Ada lima jenis seni menurut keluarganya; musik; vokal; akting; tari; dan rupa. Wajib tanpa diganggu gugat, menguasai setiap bidang. Katanya agar salah satu kemampuan tidak hilang di tengah generasi. Nenek moyang bangsat.

Hari ini Kurma dan keluarganya akan menghadiri pesta pertemuan keluarga besar terkutuk ini. Ayah, Ibu, kakak laki-laki, kakak perempuan, dan dirinya. Datang ke sebuah spa dan salon dimana mereka bakal, entah diapain, secara totalitas. Menyesal si Kurma mandi tadi.

Kurma memang jarang tahu ini keluarganya mau apa dan gimana. Tinggal ikut, kerjakan, lupakan. Baru paham tentang pesta ketika di mobil. Baru paham mau perawatan biar tampil ganteng dan cantik maksimal ketika mobil berhenti. Baru paham kalau gaun yang disuruh buat waktu itu ternyata untuk pesta ini. Omong-omong, tradisi keluarga ini kalau pesta adalah mengenakan baju handmade dan homemade. Sebuah kebanggaan bisa buat pakaian bagus. Sebuah penghinaan kalau tidak bisa, apalagi sampai menyewa penjahit. Kalau Kurma sih, pokoknya jadi.

Dan ini gaun Kurma. Entah apa warnanya, di mata Kurma ini krem. Lupa tadi kakaknya bilang ini krem apa. Baginya, ini cuma seperti warna bra yang sering ia pakai waktu awal-awal puber. Satu pack warnanya sama semua soalnya. Ia tidak menambahkan bordir atau apalah seperti punya kakak dan ibunya. Hanya rok lurus biasa yang agak mengembang, atasannya yang sengaja ia menjiplak dari model sweater turtleneck-nya, ditambah renda-renda putih dan kain-jala? Kain kasar tipis yang kalau dilihat-lihat polanya macam jala ikan itu lho. Entah.

Penata rias di salon itu juga menata rambutnya. Mengepang bagian samping, menyisir poninya berulang kali, diikat entah apa, sampai ditambahi mutiara putih. Cantik? Jelas. Lahir dari orangtua good looking soalnya. Meski namanya Kurma, tampilannya blas tidak mirip kurma. Kakinya jenjang dan kurus, sama seperti tangannya dan jemari lentiknya. Matanya coklatnya berkilau dibawah lampu, dengan pipi agak tirus dan bibir kecil tebal, yang kalau menurut Kurma sendiri kaya habis disengat lebah.

Para penata rias itu memujinya seolah akan mati kehabisan darah karena mimisan. Kemudian mereka akhirnya mati suri ketika melihat keluarganya yang lain. Sama-sama tinggi kurus, dengan mata coklat dan rambut senada, ditambah pakaian megah mereka. Lalu untuk testimoni dan kenang-kenangan, sekeluarga berfoto dengan anggunnya. Kurma, meski jelas tidak niat blas, tetap terlihat cakep. Tampang pemalasnya langsung berubah seperti gadis manja yang bodo amatan.

Tebak berapa lama mereka di tempat itu? Delapan jam.

Delapan jam! Cuma buat-Argh! Pentingkah ini!?

Ah sudahlah. Perjalanan berlanjut ke sebuah villa di sebuah gunung pribadi. Tidak salah tulis, gunung pribadi. Milik sang keluarga inti secara turun temurun. Tempat sakral dimana yang menjadi bagian keluarga merasa bangga sampai membesar kepalanya.

Lalu dimulailah ritualnya. Satu, ceramah. Lama pol. Selamanya, nyaris sepanjang masa. Kaya mau ngalahin judul kasih ibu. Siapa lagi kalau bukan om-om, tante, dan orang-orang tua terhormat yang sudah mengurus keluarga inti dan menjadi orang berprestasi. Sampai membuat Kurma ngantuk.

Dua, pertunjukan. Lagi-lagi dari keluarga inti. Bisa sih mengajak keluarga lain atau kenalan, pasti jadi kebanggaan tersendiri untuk mereka. Dan pertunjukan ini mewakili lima bidang seni itu dalam satu panggung cerita. Kurma ngapain? Tidur.

Tiga, makan bersama. Akhirnya waktunya bangun. Makan yang banyak, soalnya habis ini menyusahkan. Jarang-jarang dapat dessert lucu-lucu. Tidak terlalu manis pula rasanya.

Empat, mengobrol. Di aula besar, yang bisa tari, vokal, akting, dan musik akan tampil dalam beberapa kelompok. Seperti panggung dadakan, tampil tanpa persiapan. Yang punya seni rupa akan pamer juga. Yang lain bisa mengobrol, menonton, sampai gosip. Untung cemilan masih ada. Kurma? Lanjut tidur.

Lima, akhirnya ke tujuan pesta. Kok nggak dari tadi itu lho masalahnya! Yang terakhir ini, pengumuman. Disampaikan langsung oleh para perwakilan dari lima bidang seni. Orang-orang terhebat yang terpilih. Tidak pandang bulu mau dari mana, asal punya bakat. Pengumumannya adalah-

"Untuk Anggara Pandhita, dalam seni musik, saya memilih, dari rembulan kala malam, Kurmalalita Sitaresmi!"

Si Kurma ikut tepuk tangan. Aslinya tidak dengar. Sampai semua mata tertuju padanya.

Apa!?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top