Bab 2
Sebuah tangan melambai di tengah keramaian kafe, membuat Uri yang masih berdiri di hadapan pintu masuk kafe mencari tau pemilik tangan tersebut yang ternyata adalah tangan milik temannya, Ratna.
Dengan semangat, Uri berjalan ke arah meja temannya itu. "Ratna! Aku kangen banget sama kamu!" ucap Uri tepat setelah duduk di hadapan Ratna.
"Ih, aku juga kangen tau sama kamu!"
Setelah mendengar ucapan Ratna, mata Uri berbinar melihat beberapa makanan di hadapannya. Semua itu sepertinya adalah pesanan Ratna karena Uri belum memesan apa-apa.
Ratna yang bingung dengan sikap Uri kemudian mengikuti arah pandang temannya itu dan setelah memahami maksud sikap Uri, Ratna menggeser salah satu piring agar mendekat ke arah temannya. "Nih, aku pesenin makanan yang kamu suka. Mac and cheese."
Wajah Uri terangkat setelah mendengar ucapan Ratna. Dia tidak menyangka bahwa temannya itu masih mengingat apa yang dia suka padahal mereka sudah cukup lama tak bertemu. Dengan wajah yang berubah sedih, Uri berkata, "terharu loh aku denger ucapan kamu."
"Apaan sih, lebay banget! Yuk, makan. Nanti keburu dingin makanannya."
Uri mengangguk dengan semangat dan langsung mengambil sendok guna memakan makanan yang sudah Ratna pesan untuknya.
Di tengah kegiatan mereka makan, keduanya asyik berbincang tentang banyak hal. Sebelumnya, mereka selalu bertemu di sekolah dan sekarang untuk bertemu sesekali saja sedikit agak susah.
Alasan utama mereka jarang bertemu adalah karena kesibukan mereka masing-masing. Berbeda dengan Uri yang langsung bekerja setelah lulus sekolah, Ratna memilih untuk melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi.
Sering kali, Uri merasa iri pada temannya itu karena Ratna berasal dari keluarga yang cukup kaya dan membuatnya dapat melakukan apa saja termasuk berkuliah. Uri tentu ingin berkuliah sama seperti yang Ratna lakukan. Namun, kondisi keuangannya tidak memadai. Lagipula, dia akan memilih untuk membayar utang kedua orang tuanya dulu jika memiliki uang lebih nantinya. Uri ingin bebas dari utang tersebut.
"Jadi, gimana kuliah kamu?" tanya Uri tiba-tiba yang membuat kegiatan makan Ratna terhenti.
Perempuan itu kemudian menopang kepalanya dengan tangan sembari mencari jawaban dari pertanyaan Uri. "Gimana ya? Seru, asyik tapi juga rada serem."
"Serem kenapa?" tanya Uri lagi dengan dahi mengerut. Dia cukup penasaran dengan kegiatan perkuliahan yang benar-benar dia inginkan.
"Yah gitu, temen-temennya mah asyik tapi dosennya serem-serem."
Uri mengangguk paham setelah mendengar ucapan Ratna. "Berarti sama aja kaya sekolah dong, di sekolah kita juga banyak guru yang serem, kan."
"Iya, bener banget!"
Kedua perempuan itu kemudian kembali fokus pada makanan yang mereka pesan dan di tengah kegiatan makan mereka, tiba-tiba Ratna mengeluarkan suaranya. "Kalau kamu gimana? Asyik nggak kerja?"
Tanpa basa basi Uri menggeleng pelan karena itulah yang dia rasakan selama bekerja dan dia tidak mau membohongi temannya. "Nggak, nggak asyik. Capek banget malah!"
"Seriusan?" tanya Ratna memastikan karena perempuan itu belum pernah bekerja sebelumnya.
"Iya, enakan kuliah. Kalau kerja mah, capek!"
"Yah, padahal aku pengen kerja sekalian kuliah loh."
"Ih, jangan nanti kamu kecapekan lagi."
"Ya udah deh, aku pikirin lagi."
Tepat pukul empat sore, Uri dan Ratna berpisah. Sebenarnya Uri masih merindukan temannya itu. Namun, Ratna memiliki jadwal kuliah sehingga Uri tidak bisa menahannya untuk tetap tinggal.
Setelah ditinggal Ratna, Uri kebingungan untuk pergi kemana. Jika pulang sekarang, dia akan merasa bosan di kamar kosnya. Perempuan itu akhirnya memutuskan untuk pergi ke kantor tempat dia bekerja.
Sesampai di kantor, Uri bertemu dengan Cleo, atasannya. Cleo menyapa Uri dengan ramah karena mereka sudah cukup dekat. "Tumbenan ke sini, Ri."
"Iya, nih. Tadi abis jalan sama temen, daripada langsung pulang mending aku ke sini kan."
"Pilihan yang bagus. Yuk, sini duduk," ajak Cleo sembari memberi ruang untuk Uri duduk. "Gimana jualan kamu aman nggak?"
"Aman kok."
Tidak biasanya, Uri menjawab dengan singkat pertanyaan dari Cleo. Perempuan berumur 20 tahunan itu kemudian menoleh ke arah Uri dan kembali bertanya, "kamu nggak pa-pa, kan?"
Merasa aneh dengan pertanyaan Cleo, Uri kemudian membalas tatapan atasannya itu. "Emangnya aku kenapa?" tanya Uri dengan polos yang berhasil membuat atasannya menghela napas.
Tanpa sadar Cleo memiringkan wajahnya. "Aneh aja denger kamu jawab singkat gitu."
"Aku nggak pa-pa kok. Tenang aja," jawab Uri sembari menepuk pundak Cleo beberapa kali. Dia benar-benar tidak mau membuat orang lain pusing dengan masalah yang tengah dia hadapi sehingga memutuskan untuk menutupinya.
Setelah percakapan singkat itu, keduanya terdiam untuk beberapa saat yang membuat suasana kantor kian mencekam. Apalagi sekarang hanya ada mereka berdua, tanpa orang lain lagi.
Merasa sedikit terganggu dengan suasana yang ada, Uri kemudian menoleh ke arah Cleo yang ternyata sejak tadi memperhatikannya. "Kenapa?"
Tentu, Uri perlu bertanya tentang sikap Cleo yang menatapnya untuk waktu yang cukup lama. Dia sendiri takut jika atasannya itu kerasukan karena suasana sunyi kantor mereka.
Tanpa aba Cleo merapatkan dirinya ke arah Uri, setelah yakin tidak ada orang selain mereka berdua. "Ri, kamu mau pekerjaan baru nggak? Gajinya besar loh," bisik Cleo yang membuat Uri mengerutkan dahi. Dia cukup bingung dengan tawaran atasannya itu.
Jika dia menerima, tentu karyawan kantor tersebut akan berkurang satu. Bukannya menahan karyawan untuk tetap tinggal, Cleo malah menawarkan pekerjaan pada bawahannya itu.
Walau sedikit ragu dengan tawaran Cleo, Uri tetap bertanya, "pekerjaan apa?"
"Jangan gede-gede suaranya," tegur Cleo sembari menutup mulut Uri dengan tangannya padahal perempuan itu tidak berteriak dan hanya bertanya dengan nada suara biasa.
Setelah dirasa aman, Cleo kembali berbicara, "kerjanya gampang kok. Cuman nganter minuman, tapi gajinya lima juta perbulan."
Merasa ada yang aneh dengan tawaran Cleo, Uri pun kembali bertanya. "Cuman nganter minuman kok gajinya bisa sampe segitu?"
Tentu Uri bingung dengan tawaran Cleo karena gaji pekerjaan yang dia maksud dua kali lipat lebih banyak dari gajinya sekarang.
"Nganter minumannya bukan ke tamu biasa, tapi ke tamu VIP."
Lagi-lagi, Uri merasa bingung dengan penjelasan Cleo. Tamu yang dimaksud perempuan itu siapa dan mengapa Uri bisa digaji dengan nominal sebesar itu.
"Kalau kamu mau, aku bisa bantuin kamu buat masuk ke sana," lanjut Cleo yang membuat Uri kembali melamun memikirkan pekerjaan yang dimaksud oleh atasannya.
Karena merasa diabaikan, Cleo memanggil nama bawahannya itu. "Uri."
Hal itu berhasil membuat Uri menatap ke arahnya. "Hah, kenapa?"
"Gimana? Mau nggak? Kamu kan cantik nih, sayang aja kalau cuman jadi SPG."
"Duh, gimana ya?"
Keraguan kian menghantui Uri sekarang ini, nominal gaji yang ditawarkan oleh Cleo cukup besar dan membuat pendirian perempuan itu sedikit bergoyang. Namun, keraguan membekas di benaknya. Dia takut salah langkah dan membuat masalah di kemudian hari.
"Gini deh, kalau kamu masih ragu. Kamu coba kerja di sana selama satu minggu. Kalau emang nggak suka, bisa berenti kok. Terus lanjut kerja di sini."
Seperti tak mengenal kata menyerah, Cleo kembali menawarkan hal yang membuat Uri memiliki alasan menerima pekerjaan tersebut.
Mata Uri kemudian menatap ke arah Cleo yang terlihat begitu berharap padanya."Gimana? Kamu mau, kan?" tanya Cleo lagi.
Cukup lama, Uri terdiam memikirkan tentang tawaran Cleo yang tiba-tiba padanya. Ada banyak hal yang kemudian masuk ke dalam pikirannya termasuk utang milik ke dua orang tuanya. Kalau gajinya beneran lima juta, aku bisa bayar utang tepat waktu, ucap Uri di dalam hati.
Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah utang ke dua orang tuanya, karena selama ini hal itulah yang terus menghantuinya dan sebelum utang tersebut lunas, hidup Uri tidak akan tenang.
"Gajinya beneran lima juta?" tanya Uri memastikan, dia benar-benar ragu dengan nominal tersebut.
"Iya, beneran. Itupun bisa nambah kalau kamu dapat tip dari pelanggan."
"Ya udah deh, aku mau."
Dengan penuh pertimbangan, Uri memutuskan untuk menerima tawaran tersebut. Dia juga sudah bosan dengan pekerjaannya sebagai SPG rokok. Dia mau mencoba pekerjaan lain dan berharap ada sebuah keajaiban yang datang setelah memperoleh pekerjaan tersebut.
"Nah, gitu dong. Berarti besok kamu nggak usah datang ke sini lagi, kamu langsung ke tempat kerja kamu yang baru aja."
"Hah, kok secepat itu?" tanya Uri dengan wajah terkejut. Dia tentu bingung karena tidak ada lamaran yang perlu dia kirim dan tes yang perlu dia hadapi.
"Iya dong, kan aku kenal sama yang punya. Kamu tinggal datang aja besok ke sana. Aku kirim ya alamatnya."
Cleo terlihat mengetik sesuatu di ponselnya dan setelah itu sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Uri. Perempuan itu kemudian membacanya di dalam hati. Vancy, Jalan. Selamat. No. 22. Pukul delapan malam.
"Kerjanya jam delapan malam?" tanya Uri setelah selesai membaca pesan yang dikirimkan oleh Cleo.
"Iya, jam delapan. Jangan sampai telat ya."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top