💔 SISA RASA | 7

"Tuhan, sampaikan padanya bahwa sisa rasa itu masih ada."

💔

Ali berdiri dengan satu tangan masuk ke dalam saku celananya sementara satu lainnya memegang ponsel yang melekat di telinga kirinya. Panggilan telpon dari Bima membuat ia harus meminta ijin untuk keluar ruangan.

"Gimana udah ketemu sama ownernya?" tanya Bima penuh semangat.

Ali menelan salivanya cepat sebelum menjawab. "Belum."

"Lah. Katanya lo meeting sama mereka?"

"Dengan team kreatif." jawab Ali seadanya.

"Oh. Gue kira sama ownernya langsung. Soalnya tadi pagi dia telpon gue dan nggak mau make lo. Tapi udah gue yakinin kalo lo sohib gue dan nggak diragukan soal hasil karyanya."

"Hm. Okay."

"By the way, ownernya cantiiik banget. Sexy dan perlu lo tau satu hal."

Kening Ali mengkerut. "What is that?"

"Doi single Mom. Udah libas sana!"

Ali mendengus pelan. "Aku harus kembali. Mereka pasti menungguku."

"Kabarin ya Bro hasilnya nanti."

Ali tak menjawab dan langsung mematikan panggilan. Ia tidak mengambil pusing semua omongan Bima. Sudah sejak dulu Bima menyuruhnya untuk segera menikah dan Bima selalu mencoba mengenalkan Ali ke teman wanitanya. Tapi Ali sama sekali tak tertarik karena sampai saat ini hanya satu nama yang ada di dalam hatinya dan Bima tidak akan pernah tau masa lalunya.

Ali melangkah lebar kembali ke ruang meeting. Bisa ia dengar, ruang meeting sedikit ramai. Tidak seperti saat ia meninggalkannya. Suara gelak tawa begitu renyah terdengar hingga mampir ke dalam telinga Ali dan membuat tubuh Ali membeku. Ali hafal betul suara tawa ini.

Detak jantungnya seolah berhenti berdetak untuk beberapa saat. Ia menatap ke dalam ruang meeting dari balik pintu kaca dan mendapati sosok wanita yang selama ini ia cari.

"Lili?" panggilnya lirih. Mata Ali hampir tak berkedip dalam beberapa detik.

Kejadian ini sulit sekali di terima oleh Ali. 7 tahun lamanya ia kesana kemari mencari keberadaan Lili dan kini waktu mempertemukan mereka. Ali sampai tidak bisa mendeskripsikan perasaannya.

Tanpa sadar ia membuka pintu kaca itu dan melangkah masuk. Satu persatu mata menatap kearahnya, menyambut kedatangannya dengan senyum. Kepala Lili menoleh dan dua pasang mata itu saling beradu.

Kedua bola mata Lili terbelalak, mulutnya nyaris membentuk huruf O. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya, Lili tertawa miris. 'Kenapa harus ada bayangan Om Ali disini?'

Ucapan Gilang selanjutnya seolah mimpi buruk yang menjadi kenyataan. "Dia partner aku nantinya. Namanya Pak Rey."

Lili sadar ini bukan mimpi dan orang yang berdiri di depannya adalah Om Ali yang pernah ada dalam masa lalunya. Langkah Ali perlahan mendekat kearah Lili. Wajahnya selalu datar tanpa ekspresi. Ia mengulurkan tangannya kearah Lili.

"Virali Reynard!"

Ali menyebutkan namanya dengan pandangan mata lurus menatap wajah Lili yang masih terlihat shock. Perlahan, Lili mengulurkan tangannya dengan gemetar dan menjabat tangan Ali.

"Li--Lili." ucapnya terbata dan saat matanya berkedip, buliran bening itu meluncur begitu saja dari kedua mata indahnya.

💔

Lili berdiri mematung di dekat jendela ruangannya. Sekuat tenaga ia menahan airmatanya agar tak terjatuh, nyatanya bulir bening itu terus saja mengalir. Perasaanya campur aduk. Sulit sekali mengungkapkannya. Ia sama sekali tak menyangka akan melihat sosok itu lagi setelah sekian lama.

Pintu ruangan Lili terbuka perlahan. Ali melangkah masuk, mendapati wanitanya sedang berdiri di tepi jendela, Ali menghampirinya. Sementara Lili hanya melirik kedatangan Ali dan berusaha terlihat tegar dan kuat di depan Ali.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Ali yang kini berdiri tak jauh dari Lili. Pandangan matanya meneliti tubuh Lili dari atas sampai ujung kepala. Banyak perubahan yang terjadi pada diri Lili. Gadis kecilnya kini sudah berubah dan terlihat dewasa. Walaupun postur tubuhnya sama seperti 7 tahun yang lalu tapi ada beberapa bagian tubuh Lili yang terlihat berubah.

"Baik. Om Ali gimana?" tanya Lili balik tanpa menatap kearah Ali yang sepertinya tak bisa mengalihkan pandangan darinya. Hal itu membuat Lili benar-benar gugup.

Melihat Lili menelan salivanya beberapa kali membuat Ali terkekeh pelan. "Kenapa kau setakut itu bertemu denganku? Apa aku ancaman bagimu?"

Kepala Lili menoleh diikuti anggota badannya yang kini menghadap kearah Ali. Lili menyilangkan kedua tangannya di depan dada, mencoba mengatur senyum semanis mungkin. "Nggak ada yang perlu ditakuti dari seorang Om Ali. Karena ini adalah duniaku, bukan dunia Om Ali."

Setelah mengatakan pernyataan itu, Lili melenggang pergi meninggalkan Ali yang tersenyum miring.

"Dan duniamu dengan begitu mudah aku masuki!"

Lili membeku mendengar ucapan Ali. Kakinya seolah melekat erat di lantai marmer itu. Ali membuang napas cepat dan menghampiri Lili yang terlihat berdiri mematung, memutari tubuh mungil Lili dengan pandangan yang seolah-olah ingin menerkam Lili.

Jemari Ali perlahan melepas satu persatu kancing kemejanya. Lili hanya bisa menatap apa yang Ali lakukan tanpa bisa mengeluarkan suaranya. Ali membuka kemejanya tanpa melepasnya, menampilkan dada bidangnya. Hal itu membuat Lili meneguk salivanya dengan susah payah.

Ali mengambil posisi berdiri tepat di depan Lili, meraih tangan Lili dan meletakkan jemari mungil Lili ke perut kanannya.

"Kau tau ini apa?" tanyanya pelan saat jemari lentik Lili menempel di perutnya. Ada beberapa bekas luka jahitan yang terlihat begitu kentara. Lili tak bisa menjawab. Ali mendekatkan kepalanya dan berbisik di telinga kiri Lili. "Ini adalah kado terindah darimu di hari pernikahan kita."

Ali menarik dirinya dan melepaskan tangan Lili. Bisa ia lihat wanita itu tampak tercengang dan matanya mulai basah. Entah kenapa tangan Ali bergerak dan mengusap pipi kanan Lili.

BRAK!

"Li. Nanti siang ki---ta." kalimat Gilang terputus, ia berdiri terpaku di ambang pintu sambil menatap Lili dan Ali bergantian. Pikiran negatif langsung bersarang di kepala Gilang saat melihat baju Ali yang terbuka di bagian dadanya.

Merasa ada pengganggu, Ali memilih mengakhiri semuanya. Ia menoleh ke arah Lili sebentar dan berbisik. "Aku akan menemuimu lagi besok!"

Mengabaikan Gilang yang berdiri di ambang pintu, Ali menerobos begitu saja dan melangkah cepat meninggalkan ruangan.

Kedua mata Lili mengerjap beberapa kali, Gilang tampak kebingungan. Ia melihat Lili dan Ali bergantian. "Kalian?" tanyanya dengan menampilkan ekspfresi wajah yang tidak pernah Lili lihat sebelumnya.

Gilang melangkah masuk dan menghampiri Lili. "Kalian saling kenal?" ulang Gilang.

Tubuh Lili luruh dan airmatanya tidak bisa ia bendung. Ia menumpahkan tangisnya, mengabaikan kehadiran Gilang yang benar-benar tidak mengetahui permasalahan Lili dan Ali.

Bayangan masa lalu serasa berputar diatas kepalanya. Hal itu membuat Lili semakin tak berdaya.

"Li, kamu nggak apa-apa?" tanya Gilang pelan. Ia akhirnya menghampiri Lili karena tangis wanita itu semakin menjadi. Gilang berusaha menenangkan Lili dan memeluk tubuh mungil Lili. Tak ada penolakan dari Lili, ia menumpahkan tangisnya dalam pelukan Gilang.

Untuk saat ini ia butuh tempat untuk melepas lelahnya.

Ali melangkah cepat meninggalkan kantor Lili. Ia bergegas masuk ke dalam mobilnya, melepas kemejanya dengan kasar dan melemparnya ke kursi penumpang belakang. Ali meraba perut kanannya, bekas luka jahit itu ada disana. Bukan bekas luka itu yang ia ingat saat ini tapi sentuhan hangat tangan mungil Lili.

"Tidak ada kata lelah untuk kembali mendapatkanmu."

💔

Surabaya, 08 April 2022
AyaStoria

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top