-1-

Hamburg 14 Februari 2009, Jerman.

"Hari ini hai valentine, kau akan memberikan cokelat kepada siapa?" tanya gadis SMU dengan rambut hitam ikalnya pada temannya berambut cokelat lurus sebahu.

Gadis berambut cokelat itu mengangkat kedua bahunya tak acuh, sambil melihat gadis berambut ikal yang tengah membawa cokelat berbentuk hati berbungkus kertas merah jambu.

"Entahlah, tak ada lelaki yang kusuka, dan kurasa aku tak seberuntung dirimu, Natalie, bisa mendapatkan kekasih yang begitu mencintaimu."

"Jacob sudah datang, Adeline. Aku pergi dulu, aku yakin sebentar lagi para bodyguard ayahmu akan datang menjemputmu." Natalie beranjak pergi meninggalkan Adeline, sedangkan gadis itu masih setia di taman sekolah menunggu para bodyguard ayahnya menjemput.

"Apakah kau anak Garson?"

Adeline mendongak melihat anak laki-laki bermata hazel manatapnya dengan tajam.

"Ya, ada apa?" Jawab sekaligus tanya Adeline.

Laki-laki itu menyeringai, kemudian menyeret Adeline masuk ke dalam ruang lab sains dan mengunci rapat pintu itu dari dalam. Tubuh Adeline gemetar, dia tahu anak laki-laki di depannya ini berniat buruk, melihat pakaian yang dikenakan tampaknya dia bukan lagi seorang pelajar.

"Kau mau apa?" Tanya Adeline dengan suara nyaris seperti cicitan.

Laki-laki itu melangkah mendekatinya, membuat Adeline memeluk tubuhnya seolah memberikan perlindungan pada dirinya yang ketakutan.

"Aku hanya ingin membayar apa yang telah dilakukan ayahmu kepada ibuku," ucap lelaki itu tajam. Laki-laki itu melangkah dan mendorong dengan kasar tubuh Adeline, sampai terbentur dinding dengan keras.

Dengan kasar anak lelaki itu merobak seragam pakaian milik Adeline, dan mencium bibirnya.

Menang, itulah yang tampak nyata terpancar dari mata lelaki itu. Dia bahkan merasa seolah telah selesai membalaskan dendam yang Adeline tidak tahu dendam apa itu. Yang Adeline tahu adalah, saat ini, ia merasa menjadi gadis kotor. Gadis yang telah diperkosa oleh lelaki berengsek yang bahkan ia tak mengenalnya.

"Jika ayahmu bertanya siapa yang melakukan ini padamu, katakan anak lelaki dari keluarga Harvey yang telah melakukannya."

Munchen 27 Juni 2014, Jerman.

"Selamat, Tuan Garson, tampaknya putri Anda benar-benar mewarisi darah Anda. Saya yakin dia akan menjadi jaksa penuntut umum yang sangat berbakat. Lihatlah di hari pertama kerja, dia sudah bisa membuat tersangka bertekuk tulut di hadapannya. Bahkan pengacaranya pun tak bisa berkutik," puji salah satu kolega Garson.

"Ah, itu masa laluku dulu. Sekarang aku sudah pensiun menjadi seorang hakim." Garson tersenyum kecil membuat teman koleganya menepuk bahu lelaki paruh baya itu beberapa kali.

"Apa-apaan ini? Pesta untukmu atau pesta untuk kolega ayahmu?" tanya Della setelah dia, dan Adeline berada di ujung ruangan. Dia tampak bosan karena di pesta itu isinya hanya lelaki paruh baya.

"Ayolah, kau tak perlu risau begitu. Sebentar lagi Erdward akan membawa temannya, Alfonso. Aku yakin dia akan cocok denganmu."

"Erdward? Kekasihmu dari Amerika itu? Apa dia datang ke sini? Ya Tuhan, aku penasaran dengannya setelah mendengar cerita betapa tampan kekasih yang selalu kau bangga-banggakan itu,"

Adeline terkekeh mendengar ucapan antusias Della, beginilah sahabatnya selalu bisa membuat suasana menjadi ramai.

"Dan aku yakin, sangking tampannya sampai kau ingin selalu berada di atas ranjang bersamanya," cibir Della.

Berhubungan badan? Dengan Erdward? Bahkan selama tiga tahun mereka pacaran mereka tak pernah melakuannya. Bukan karena Erdward tak pernah meminta kepada Adeline, lelaki itu hampir menginginkannya saat berada saat-saat romantis. Tapi Adeline masih tidak bisa, trauma masa SMUnya membuat dirinya takut untuk melakukan itu, takut merasakan sakitnya melakukan hal itu, hal yang sangat mengerikan yang sahabat dan kekasihnya sendiri tidak tahu.

"Aku mencarimu kemana-mana, ternyata ada di sini!" aeru Erdward sambil mencium bibir Adeline.

Della, dan Alfonso memiringkan wajah mereka seolah tak melihat adegan romantis itu.

"Perkenalkan, dia Della, sahabatku. Della ini Erdward kekasihku, dan ini Alfonso sahabat dari kekasihku," Adeline mengenalkan ketiga itu, tak butuh waktu lama untuk ketiganya akrab.

"Aku pergi ke toilet dulu."

*****

"Apa kau merindukanku, Nona Garson?"

Mata Adeline melebar mendengar suara serak itu. tubuhnya semakin gemetaran ketika melihat mata hazel itu bertemu dengan matanya di cermin, dengan segera dia beranjak dari toilet tapi lelaki itu mencekalnya.

Kenapa lelaki ini datang lagi, setelah sekian lama dia menghilang, kenapa lelaki ini menghantuinya lagi, belum cukupkah semua trauma yang telah diperbuat kepadanya selama ini?

"Tak puaskah kau telah menghancurkanku dulu, sekarang aku menjadi jaksa, dan aku bisa saja menuntut semua hal keji yang kau lakukan padaku!"

"Coba saja tuntut aku, maka semua aibmu akan terbongkar, dan nama baik ayahmu akan tercemar. Aku ingin sekali melihat time-line surat kabar dengan judul 'putri semata wayang Garson diperkosa oleh lelaki yang tak dikenalnya' itu cukup menarik," tantang lelaki itu dengan seringainya.

Adeline mematung, melihat mata lelaki ini, melihat senyum lelaki ini. Semua bayangan hitam itu muncul diotaknya.

Lelaki itu menarik tubuh Adeline dengan paksa masuk ke dalam toilet kembali, mulutnya sudah mengunci mulut Adeline sampai gadis itu tak bisa bergerak. Sedangan tangan kirinya mencengkram dua tangan Adeline ke atas, dan tangan kanannya sudah asik membuka ikatan gaun Adeline.

"Lima tahun tak kusentuh tak kusangka tubuhmu mengalami banyak perubahan. Apakah kekasihmu yang selalu memberikan pijatan untuk payudaramu ini? Aampai mereka tampak bulat sempurna," ucap lelaki itu membuat wajah Adeline memerah, Adeline benci lelaki menjijikkan ini, terlebih ketika lelaki ini mengamati tubuh polosnya seakan tengah menilai.

"Bagaimana? Kau sudah sangat basah, Sayang. Padahal aku belum melakukan apa-apa. Bagaimana kalau kita main malam ini sampai puas?"

Tangan lelaki itu berirama semakin cepat membuat tubuh Adeline terasa begitu panas. Ada rasa aneh yang menjalar di tubuhnya sekarang. Tapi tidak dia tak mau lelaki ini menjamahnya lagi, dia tidak mau!.

"Lepaskan aku, jangan sentuh aku!" bentak Adeline.

"Teriaklah Adeline sayang, maka semua tamu ayahmu akan melihat betapa jalang dirimu sekarang, dan kekasihmu akan tahu betapa murahannya dirimu."

Mata Adeline terasa begitu panas mendengar ucapan lelaki itu, dia ingin sekali bebas dari lelaki ini. Tapi dia juga tak ingin mempemalukan ayahnya.

Berlin 28 Juni 2014, Jerman.

Damian mengetuk-ngetuk meja kantornya beberapa kali sambil membaca file-file yang ada di tangan satunya, sementara dahinya berkerut mencoba menelaah tulisan-tulisan yang ada dikertas itu. Sesekali dia menghela napas panjang, meski sudah dua tahun dia menjadi CEO di perusahaan keluarganya, tapi dia selalu kesulitan untuk memecahkan masalah perusahaan. Entahlah mungkin karena menjadi CEO bukanlah cita-citanya, makanya dia seakan enggan melakukan pekerjaan itu sepenuh hati.

"Jadi sahabatku sudah mulai bosan sekarang?"

Damian mengerutkan kening saat melihat sahabatnya masuk ke dalam ruangannya, dan duduk tepat di depannya.

"Ayolah, Derik, kenapa kau suka sekali datang ke perusahaanku. Bukankah kita sedang bermusuhan sekarang," ucap Damian sambil masih fokus dengan file-filenya.

Derik menarik file-file yang ada di tangan Damian, kemudian dia bertopang dagu.

"Aku tahu meski kau hanya memejamkan matamu kau akan memenangkan tender ini. Tapi aku ingin bertaruh padamu saat ini," ucap Derik membuat alis hitam Damian semakin bertaut. "Ayolah, kenapa mantan detektif swasta sepertimu menjadi begitu bodoh sekarang, mana insting ditektifmu, huh?"

"Lupakan, itu kan dulu selama kita berada di Amerika. Sekarang kita berada di Jerman, jangan sebut masalah itu, nanti Ayah akan menggantungku."

Derik terkekeh mendengar ucapan Damian. Ya dulu ketika keduanya berada di Amerika, Damian mengikuti jejak salah satu temannya untuk menjadi detektif swasta di sana. Tapi sayang, hal itu terjadi hanya dua tahun. Karena ayahnya tahu, dan Damian ditarik paksa untuk pulang ke Jerman untuk meneruskan bisnis ayahnya.

"Itu sebabnya aku ingin bertaruh padamu."

"Apa?" tanya Damian mulai tertarik.

"Kembalilah jadi seorang detektif secara diam-diam tanpa sepengetahuan ayahmu, dan aku akan menyerahkan tender itu padamu. Bukan itu saja, aku akan menyerahkan cabang perusahaanku yang ada di Inggris padamu," tawar Derik membuat Damian mengerutkan kening.

"Lalu, apa untungnya bagimu, Derik?"

Derik merebahkan punggungnya di sofa kemudian dia menatap Damian lurus-lurus.

"Tolong selidiki kematian ayahku 15 tahun yang lalu," ucapnya mantap, Damian menghela napas panjang dia pun meraih file-filenya lagi.

"Itu kasus lama, bahkan aku yakin semua bukti dan saksi sulit untuk aku temukan. Jadi lupakanlah tawaran yang sangat menggiurkan itu,"

Derik meraih kedua tangan Damian, membuat lelaki itu tak tega juga melihat sahabatnya memohon sampai seperti ini.

"Sekarang apa lagi ini, setelah Ayah menyuruhku untuk mencari kekasih sekarang sahabatku menyuruhku menjadi seorang detektif, ya Tuhan," gumam Damian sambil memijat pelipisnya yang mulai nyut-nyutan.

Berlin 30 Juni 2014, Jerman.

Damian memijat pelipisnya yang terasa sakit. Demi memenuhi permintaan sahabatnya, sekarang dia rela menjadi seorang detektif swasta yang tak menentu. Bagaimana tidak, Derik menyuruhnya untuk bergabung dengan salah satu perusahaan jasa dektif yang tidak resmi di Berlin. Dengan dalih jika dengan hal tersebut, tidak akan ada yang curiga jika dirinya adalah seorang pengusaha yang cukup sukses di negara ini.

Lagi, Damian mengebuskan napas. Kantor swasta yang ia tempati bahkan nyaris tidak ada satu pun orang yang datang. Dalih dari enam rekannya yang selama beberapa hari ini sibuk dengan beberapa khayalan bodoh mereka karena bayaran yang diminta terlalu mahal. Akan tetapi, Damian tahu lebih dari apa pun. Jika sepinya pelayanan jasa yang tak penting ini adalah, karena masyarakat akan lebih memilih polisi beserta detektif dengan pengalaman luar biasa dari pada orang-orang bodoh yang kini ada di sekitarnya.

"Apakah sekarang tidak ada pekerjaan lagi?" tanya Damian kepada lelaki berkacamata yang bahkan Damian tak sudi untuk mengingat namanya.

Dia harus pergi, sebab mencoba untuk membantu Derik tidak harus menunggu jika semuanya sibuk.

"Ya, kurasa kita akan memiliki waktu sengang untuk beberapa pekan." jawabnya.

Damian mengembuskan napas. Dia melirik ke arah Dona—rekan kerja perempuannya yang masih sibuk dengan kutek-kutek yang ada di tangannya.

"Kurasa, aku harus pergi," putus Damian setelahnya.

Belum sempat ia beranjak dari sana. Romi datang sambil membawa seseorang, dan menghalanginya yang hendak pergi dari sana.

"Hey, kau mau ke mana?" tanya Romi penasaran.

"Pergi," jawabnya acuh.

Lagi, Romi menarik tangannya dan itu berhasil membuat Damian sedikit kesal.

"Kau tak melihat aku membawa siapa, huh?" kata Romi dengan nada sedikit tinggi. "Kenalkan, dia adalah rekan baru kita. Adeline Garson."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top