8. Karena Inilah Kamu Harus Hapal Lirik
Halo (๑•̀ㅂ•́)و✧
Semoga sehat selalu. Jangan lupa minum air putih dan bahagia, ya (ノ・ェ・)ノ
Tekan tombol vote, sebelum mulai membaca. Terima kasih O(≧▽≦)O
Selamat membaca.
***
Elio.
Mendegar kisah siren dan keinginan-keinginannya untuk mendapatkan kehidupan normal membuatku sadar, bahwa bukan hanya aku yang kesusahan dibelit kutukan. Dia menjelaskan beragam hal. Perih yang diterima dalam usaha mengenyahkan kutukannya, memperbaiki persepsi-persepsi salah yang digambarkan dongeng, juga berbagi pengalaman dengan orang-orang yang menjadikan laut sebagai pemakaman mereka.
Lalu, terakhir ini.
"Elio, lihat! Hiu!" Dia berseru dengan nada seperti anak kecil menunjuk badut.
Aku menarik lengannya, berusaha berenang mundur. Dia bergeming. Sehingga kami sama-sama mengambang di tempat. "Kenapa diam saja? Dia bisa memakan kita." Napasku memburu, panik mulai menyerang. Aku datang, sakit-sakitan, dan kesusahan berenang bukan untuk jadi makanan ringan hiu. "Itu hiu."
"Santai saja, dia pemakan-kecil." Siren di sebelahku mendongak, memperhatikan hewan besar itu berenang di atas kepala kami tanpa rasa khawatir. "Kita tidak perlu takut padanya. Hiu memang pendendam, tetapi tidak akan mengganggu selagi kita tidak menghalangi jalannya."
"Pemakan-kecil?"
"Amatilah."
Kuperhatikan predator laut itu masih menganga sambil berenang perlahan, seluruh tubuhnya bergoyang ke kanan-kiri. Hiu itu terlihat sedang menyedot air.
"Dia sedang makan. Kerongkongannya berguna sebagai penyaring, makanannya hewan-hewan kecil."
"Maksudmu plankton?"
Dia mendesah. "Aku masih tidak terbiasa dengan istilah-istilah Darat," keluhnya dengan nada mengejek. "Kalian bahkan menamai bola panas di langit itu, yang membuatmu kekeringan."
"Matahari?"
"Yah, itulah. Sudah, ayo pergi! Hiu tidak suka diganggu saat sedang makan. Beruntung mereka bukan pemakan-besar." Kami berenang pergi pelan-pelan, meninggalkan makhluk air yang mengabaikan kami. Aku tidak bertanya apa itu hiu pemakan-besar, tidak ingin membayangkannya. "Kita akan ke mana?"
"Bertemu temanku."
"Di mana?"
"Entahlah."
Aku berhenti berenang, dia juga. Perasaanku tidak enak. "Apa maksudnya itu?"
Siren ini berdeham, dengan nada bangga ia berkata, "Entah atau entahlah adalah kata untuk menunjukkan ketidaktahuan atau berarti, boleh jad—''
"Tunggu-tunggu," potongku, "aku tahu itu artinya apa."
Dia berubah cemberut. "Terus kenapa tanya?"
"Bukan itu maksudku." Aku menggeram lirih, memberikannya kamus sebagai teman pengingat bukan ide yang cukup baik. "Kalau kamu enggak tahu di mana menemukan temanmu ini. Bagaimana caranya?"
Kami pergi untung-untungan, begitu?. "Jangan bercanda!" Aku mulai jengkel.
Makhluk air di depanku berkacak pinggang. "Kami tidak menandai setumpuk batu, memanggilnya rumah dan membuat jalur di atas pasir sebagai jalan," ejeknya. "Kami hidup berpindah-pindah. Kadang bertemu, seringnya tidak. Hidup sendiri-sendiri, supaya tidak perlu berebut kesempatan mengutuk seorang manusia."
Aku mengerang, berdesis sebal sambil menjambak rambut sendiri. "Jadi, perjalanan ini sia-sia!" Dadaku memberat, mulutku terasa ringan dan ingin menyumpahi.
"Aku tidak bilang begitu!" Dia ikutan ngegas. "Aku membawamu jauh dari wilayah dangkal, karena tidak ada siren di sana. Kami lebih sering menyelam ke bawah, tempat manusia-manusia sepertimu akan langsung mati karena tekanan air." Ia berujar dengan nada menyeramkan. Taruhan, dia pasti pernah melihat kejadian seperti itu secara langsung. "Kita juga menjauhi hiu, karena seperti yang kukatakan ... mereka tidak suka diganggu." Nadanya jadi lebih kalem.
Aku menghela napas, mengembuskannya perlahan, dan mengangguk. "Oke, maaf. Tadi, aku emosi. Sekarang, apa yang akan kita lakukan?"
"Tidak ada kita. Hanya aku." Gadis berambut hitam ini merentangkan tangan, sederet kalimat aneh keluar dari mulutnya. Lama-lama, kusadari bahwa itu adalah nyanyian dalam bahasa siren yang belum kuketahui. Seperti pelajaran bahasa asing di kelas, hanya segelintir susunan kalimat yang baru kumengerti. Pastinya, ini lagu yang berbeda dari saat di kamar ataupun pantai.
Lagu ini juga enak didengar. Jenis lagu yang tetap akan kusetel, walau tak paham artinya. Lagu berkadar pas, seperti segelas teh yang tidak terlalu manis. Nyanyian ini menghadirkan kehidupan. Lautan yang tadinya sepi kelihatan penuh saat dia bernyanyi.
Aku menunduk. Memandang pasir putih yang bergelombang diterpa ombak, seperti tanah baru dibajak. Dua ekor kepiting menyembul keluar, ukurannya lumayan besar, dan bergerak-gerak sambil mencapit-capit udara. Terlihat senang. Aku menoleh ke kiri, melihat seekor ikan pari selebar meja makan. Ada sekelompok ubur-ubur ungu, tentakelnya bergerak-gerak, perut mereka juga keluar-masuk seperti dipompa. Gerombolan ikan kecil menerobos, menabrak kedua lenganku, meninggalkan rasa geli. Ketika coba kutangkap, mereka lolos dari sela-sela jari. Aku mendongak ke atas, melihat sekelompok plankton berkilauan tertimpa cahaya dekat perbatasan. Ada juga hiu kecil, jenis seperti tadi. Sekelompok ikan abu-abu memelesat ke arah si hiu, kemudian terbelah dua, menghidari mulutnya yang terbuka. Ada batu-batu karang aneka warna yang dipenuhi barisan kerang, anemone laut yang melambai-lambai. Lalu lebih banyak ikan, bahkan sekelompok kuda laut tengah memutari penyanyi di sebelah sana. Menari-nari di antara kedua lengan dan rambutnya.
Lalu sesuatu bergerak amat cepat dari belakangku. Saking cepatnya, yang terlihat hanyalah sekumpulan gelembung. Makhluk asing ini berenang gesit mendekati si siren, tetapi sebelum aku sempat memperingatkan. Kulihat si gadis siren berhenti bernyanyi, tersenyum, dan menangkap kawannya.
"Matthea! Lama tidak bertemu. Kamu manggil?" Makhluk cepat tadi adalah manusia setengah ikan. Maksudku, siren. Dia punya ekor kelabu besi panjang. Rambut pirangnya berkibar.
Matthea. Aku baru tahu namanya Matthea.
Siren baru ini memegangi pinggang Matthea, mengangkatnya, dan berputar-putar sampai kuda-kuda laut menyingkir, takut terkena ekor mereka. Matthea tertawa lepas, tidak pernah kulihat ia tertawa seperti itu. "Aku butuh bantuanmu, Fee." Si siren pria menurunkannya.
"Apa pun untukmu," balasnya dengan nada genit yang tidak enak didengar kupingku.
Aku berdeham. Membuat Matthea menoleh.
"Aku punya masalah," kata gadis itu, berenang mendekat. "Perkenalkan, ini Elio. Dia manusia."
"Dia tidak seperti manusia, Manisku." Fee ikut mendekat sambil bergumam panjang, memperhatikanku dari ujung kaki—maksudku, ekor—sampai atas. "Yah, kulihat kalian sama-sama pakai benda aneh ini untuk menutupi badan."
"Namanya baju, Idiot!" Tentu saja, aku tidak bilang idotnya. Bisa-bisa, Fee—atau siapa namanya tadi, aku tidak peduli—malah batal membantu kami. "Aku manusia dan gara-gara Matthea," kutunjuk siren perempuan di sebelahku, "aku jadi begini, tetapi dia—''
"Ceritanya panjang." Matthea memotong, Fee menatapnya lega. Senang karena diselamatkan dari cerita panjangku yang membosankan. Keduanya bergandengan selama beberapa menit, membuaku teringat caraku dan Matthea berkomunikasi belum lama ini. Kukira itu cara spesial antara kami, ternyata memang begini para siren mengobrol.
Aneh. Kenapa harus pegangan? Kan bisa ngomong langsung!
Fee tertawa geli. "Kesalahannya ada padamu, Cantikku."
Matthea menaikkan alis. Kami saling pandang dengan raut bingung. "Salahku?" ulangnya dengan nada tidak percaya.
"Kamu menyanyikan lagu kutukan itu dengan lirik yang salah. Aku yakin 100%, itulah yang membuat kutukannya tidak pindah sempurna."
Hai! Hai! (╯✧∇✧)╯
Bab 9.
Sudah aku tulis. Cuma update-nya besok, ya. Karena masih lebih 87 kata. Spoiler dikit, bab ini akan menjelaskan soal cara Elio supaya tidak jadi manusia setengah siren lagi. Karakter baru juga akan muncul (walau cuma suara) dan si Fee bakal ngasih— (sensor)
Sampai jumpa besok ヾ(・ω・。)シ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top