6. Aku Ikan yang Tidak Bisa Berenang
Hai, halo (ノ・ェ・)ノ
Senang melihatmu masih membaca cerita ini. Jangan lupa untuk menekan tombol vote sebelum membaca.
Terima kasih dan selamat membaca ヾ(・ω・。)シ
***
Elio.
Teman sebangku baruku beranama Lysander. Sekelas memanggilnya Lynn. Terdengar seperti nama cewek, tetapi dia enjoy saja dengan panggilan itu. Anaknya ramah, walau secara penampilan ia sedikit urakan. Celana panjang warna beige dengan ujung terlipat, jas biru tua yang tidak dikancing, tidak mengenakan dasi, dan kemeja putih yang kusut sana-sini. Kukira dia memang suka tampil tidak rapih, ternyata penampilan begitu karena membantu ibunya bekerja sedari pagi. Lynn tidak mungkin memanggul boks berisi ikan laut, membawanya sampai halte yang berjarak 500 meter, dan berangkat sekolah dengan seragam formal anti-kusut.
Tubuh Lynn lebih tinggi diriku, kurasa 180 sentimeter lebih. Kulitnya cokelat, terbakar sinar mentari sejak kecil. Rambutnya agak panjang, hitam, kaku, dan berbau seperti matahari. Alisnya rapih, hidungnya sedikit mancung, bibirnya tipis, dengan bola mata biru langit. Kalau si Siren adalah putri yang mengadakan sayembara demi memilih pangerannya. Lynn itu orang biasa yang mampu membuat Putri Salju, Putri Tidur, dan Cinderella, mencampakkan pangeran mereka setelah melihatnya tersenyum. Dia memiliki vibes Aladdin, tetapi lebih ... manly. Lynn punya aroma tubuh khas yang kunamai bau laut. Campuran antara bau air garam dan pasir yang kering. Ia mengaku dilahirkan di desa ini.
Jika menulis adalah napasku, maka menggambar adalah jiwa Lynn.
Hari ini, aku datang terlalu pagi dan mendapatinya sedang menggambar karakter serial Naruto di papan tulis. Gambarnya begitu bagus, hingga guru jam pelajaran pertama sampai kedua merasa sayang untuk menghapusnya. Ia juga dibayar oleh beberapa siswa, supaya mau membuatkan potret wajah mereka. Tidak sedikit gadis yang mendekatinya saat jam istirahat demi sebuah sketas senyuman mereka. Kalau dibayar, dia mau. Lynn pilih-pilih dan tidak jarang menolak halus.
Seusai jam istirahat, pengajar berikutnya tidak hadir. Sementara aku menatap pantai di luar jendela sambil memikirkan alur novelku. Lynn sedang menggambar di buku sketsanya. Dia menggambarku.
"Apa hidungnya tidak terlalu kecil?" tanyaku.
Lynn tersenyum tanpa menoleh. "Hidungmu terlihat seperti ini di mataku." Setelah selesai, dia menyerahkannya padaku. "Kenang-kenangan buat Anak Kota."
"Sudah kubilang, aku berasal dari sini juga." Kuterima pemberiannya. "Terima kasih banyak. Baru kali ini ada yang menggambar wajahku." Kutatap hasil tangan ajaibnya dengan kagum. Bagaimana bisa, seseorang membuat wajah orang lain sampai sedemikian mirip?
Setelah menyelipkan gambarnya ke dalam buku—supaya tidak lecek—aku menatapnya sambil bertanya, "Pernah dengar tentang siren?" Karena Lynn tinggal di sini lebih lama dariku, daerah pesisir pantai tempat aku menjadi seekor siren. Kuharap dia punya sedikit petunjuk mengenai mereka.
Lynn yang sedang mengukir bentuk pada meja, menoleh. Ia menatapku sebentar, lalu mengangguk. "Tentang Dewa Laut yang membenci dan mengutuk manusia-manusia jadi setengah ikan itu, kan? Aku tahu."
"Kalau itu, aku juga tahu," keluhku sedikit kecewa. Padahal dulu aku tinggal di sini juga, tetapi baru semalam mendengar kisahnya. Kalau tahu sejak dulu, pasti kugali sampai tuntas. "Sesuatu yang lain ... seperti, kenapa Dewa Laut membenci manusia? Pasti ada alasannya, 'kan?"
"Mungkin dia iseng." Jawaban enteng Lynn mengingatkanku pada seseorang. "Kenapa, Anak Kota? Kau bertemu dengan siren?"
"Tidak. Jangan konyol." Aku mengalihkan tatapan darinya. "Aku hanya penasaran."
Lynn menggedikkan bahu. "Yah, kalau ketemu. Kamu harus hati-hati. Walau siren terlihat rupawan dan bersuara merdu, tetapi tetap saja mereka makhluk yang diciptakan atas dasar kutukan. Mereka berbahaya."
Aku terbangun karena hujaman tetesan air di wajah. Kukira hujan, ternyata siren yang kupelihara menyiramku dengan siraman tumbuhan. Aku memang tumbang seperti kaktus tadi, entah bagaimana bisa sampai ke halaman rumah. Terlalu lelah untuk bertanya, kubuka mulut dan membiarkan air dari lubang-lubang kecil penyiram memasuki mulut. Setelah air dalam wadah merah tua itu habis, barulah aku duduk.
Siren ini menyentuh tanganku.
Kamu pingsan di jalan.
Aku mengangguk. "Siapa yang membawaku pulang?" Semoga pelajaran mengingatnya sejak pagi membuahkan hasil.
Aku harus mengulang pertanyaan yang sama lebih dari dua belas kali, barulah dia menangkap pertanyaanku.
Aku.
"Bagaimana caranya?" Kali ini harus kuulang tujuh kali.
Entah sejak kapan, kurasa kita terhubung. Aku bisa merasakan saat kamu susah. Aku menyeretmu pulang.
Setelah mendengar jawaban itu, barulah kusadari bahwa seragamku sudah tidak layak pakai dengan banyaknya garis lurus berwarna cokelat dan abu-abu. Juga bercak debu di sana-sini.
Aku mengangguk-angguk, lemas. "Terima kasih." Kali ini dia langsung memahami apa yang kukatakan tanpa perlu diulang.
Selama kamu pergi, aku berusaha mengingat.
"Bagus. Kalau aku mendadak bisa bahasa ikan, kamu juga harus bisa bahasa manusia."
Aku juga terpikirkan satu hal.
"Apa?"
Kurasa, aku tahu siapa yang bisa kita tanya mengenai gagalnya kutukan ini.
"Siapa?"
Siren yang lain.
Malamnya, kami bergegas menuju pantai. Hal lain yang kuketahui tentang siren yang menjadi manusia, selain melupakan bahasa manusia, dia juga lupa cara jalan. Siren di sebelahku berjalan lebih lambat dari kura-kura hamil dan caranya berjalan ... seperti orang yang kakinya kesemutan. Aku tidak bisa mendahului karena dia mencengkram lenganku, sampai kukunya membekas.
Setelah berjalan cukup jauh dari wilayah pemukiman, kami berhenti di balik tebing-tebing berbatu. Kulepaskan tas berisi pakaian ganti, selimut, dan handuk. Kemudian menyuruh siren ini berbalik, karena mau melepas celana.
Apa aku harus lepas baju juga?
"Jangan! Pake aja." Aku berusaha tenang. "Kamu kan pake baju terusan, jadi kalau tumbuh ekor, ya, enggak apa-apa."
Kenapa kamu enggak pakai juga?
Aku hanya tersenyum kecil dan menggeleng. Senang karena ia mulai terbiasa dengan bahasa manusia dan sedih mendengar pertanyaannya. "Ini soal harga diri sebagai pria."
Kalau begitu, aku duluan, ya.
Dia meninggalkanku.
"Tunggu!"
Setelah menanggalkan bawahan, aku berlari mengejarnya. Awalnya kakiku masih terasa, menapak pada pasir. Lama-kelamaan, terasa sedikit gatal, lalu aku jatuh. Kakiku lumpuh. Aku membuka mata, semuanya gelap. Aku tidak bisa bernapas. Hidungku dipenuhi air garam, aku ingin batuk, tetapi tidak bisa batuk dalam air. Air menekanku dari segala arah, membuat dadaku sesak dan terbakar. Pinggang dan kakiku seperti dikepit kuat-kuat oleh tangan-tangan besi yang juga meremas paru-paru. Aku tercekik, tangan kesemutan, dan tidak bisa menggunakan ekorku dengan baik. Mataku berkunang-kunang, air menerjang, dan bergulung-gulung. Rasanya seperti tersapu ombak, tetapi kali ini aku tidak bisa mengambang. Tidak bisa berdiri dengan tubuh seperti ini.
"Pegang tanganku," bisik seseorang, suaranya menenangkan dan familiar. Kurasakan tangannya memegang lenganku, di tempat yang sama dengan bekas kukunya berada. "Jangan lepaskan. Aku tidak akan membiarkanmu mati."
Halo (((o(*゚▽゚*)o)))
Bagaimana pendapatnya tentang bab ini? Sewaktu menulis, saya excitied sekali karena akan memperkenalkan tokoh baru. Yap, Lynn. Ke depannya, dia akan (sensor)
Sampai jumpa lagi (=ↀωↀ=)✧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top