28. Sedikit Gila, tapi Tidak Apa-apa
Tantangan hari keenam : Pastikan dalam ceritaku ada majas/gaya bahasa (kiasan). Minimal ada tiga majas yang harus dibuat. Majasnya bebas.
Selamat membaca (っ˘̩╭╮˘̩)っ
Semoga naskahnya enggak error lagi hari ini.
---
“Sekali lagi, terima kasih atas wawancara hari ini.” Stela mengulurkan tangan yang diterima Elio dengan suka hati. Wanita berambut hitam itu tersenyum sekali lagi, setelah memastikan semua barang-barangnya aman, dia meninggalkan studio Elio.
Lynn datang dari arah dapur dengan semangkuk es krim. Laki-laki jangkung berambut hitam pendek itu merebahkan bokong di atas sofa yang menghadap jendela. “Kamu enggak cerita semuanya, kan?” Dia memasukkan sesendok es krim ke mulut.
Elio tidak lantas menjawab, dia turut memandangi lautan biru nan luas bersama sekumpulan burung camar yang menari-nari. “Enggak, sih," balasnya enteng, ikut duduk di sebelah Lynn. “Kayaknya bakal dianggap gila kalau cerita semua. Makanya ada yang dikarang-karang sedikit.”
Lynn mengangguk-angguk. Seniman yang pekan lalu masih ada di benua lain kini sudah kembali, mengingat sebentar lagi mereka akan segera bertemu teman lama. Kesempatan yang tidak akan selalu datang.
“Kok dia lama banget, ya?” Lynn mengernyit, terdengar giginya menggigit sendok besi keras-keras.
Penulis di sebelahnya tidak menjawab, dia hanya tersenyum tipis menatap hamparan air asin yang mencium permukaan pasir. Matahari hampir tenggelam, menyebarkan warna jingga di atas permukaan air seperti kuas kotor yang dicelupkan ke dalam segelas air bersih.
“Dia pasti datang.”
---
[Matthea]
Aku tidak pernah berharap bisa menang melawannya, sih. Elio—atau Dewa Laut—melempar tubuhku ke dasar pantai. Ya, tidak salah. Dia membentuk arena di tengah-tengah laut tempat siren maupun teman-teman manusiaku tidak bisa masuk. Sekeliling kami seperti tembok air.
Ke manapun orang ini melangkah, lautan seolah memberinya celah untuk berjalan. Bahkan tidak setetes pun air berani menyentuh. Newbie sepertiku mana ada kesempatan melawan God Level sepertinya. Semua serangan yang bisa kupikirkan bahkan ditepisnya hanya dengan bernapas atau berkedip. Sedih.
Tanpa menggerakkan seujung jari pun, kini ada aliran air yang mencekik leher dan memaksaku berdiri. Benda ini berusaha kulepaskan, tetapi tidak ada air yang bisa digenggam. Ikatannya yang seperti tali mulai menghambat napasku. Tubuhku dipaksa berdiri.
“Kembalikan Elio,” kataku saat dia berjalan mendekat dan kini hanya sejauh dua langkah.
Laki-laki bermata putih dalam tubuh Elio menyeringai, dia mendengkus geli. “Kau memihak kepada manusia, padahal ditakdirkan untuk menjadi bagian dari laut.”
“Makanya lepaskan dia,” tuturku pelan, berusaha tersenyum. “Aku akan ikut denganmu.”
“Akan kukembalikan, setelah selesai menggunakan tubuhnya menyapu bersih pemukiman di sekitar sini.”
Tubuhku menegang.
“Kau tahu tempat yang kumaksud, kan?” Elio tersenyum miring. “Mereka menggunakan cara-cara jahat untuk menangkap ikan, entah itu bom atau pukat harimau. Bayangkan betapa banyak yang dirusak oleh manusia-manusia tamak itu.” Suaranya bergetar, menekan amarah. Bisa kulihat pelipisnya menonjolkan sejumlah urat.
“Belum lagi kapal-kapal lewat yang membuang sampah sembarang, hewan-hewan laut tidak makan sampah sisa kalian.” Dia menekan kalimatnya. “Jadi, ayo balas mereka sedikit. Mau bantu? Aku janji akan melepaskan mereka setelah ini.”
Aku menggigit bibir bawah, tangan terkepal. Masih cukup waras untuk tidak langsung melayangkan tinju ke wajah rupawan di depannya. Kepalaku bising di tengah-tengah hening yang mengisi ruang di antara kami.
“Mana mungkin. Aku tidak akan mengorbankan satu jiwa pun."
“Setelah berapa ton makhluk air yang mereka hancurkan?” Elio menaikkan alis kanan. “Kau begitu naif dan bodoh. Seperti ayahmu. Harusnya tidak kudengarkan orang-orang seperti kalian."
“Lalu menurutmu menghabisi manusia akan mengubah sesuatu?” Aku berteriak, tubuhku bergerak maju, tetapi tali airnya menarikku mundur. “Tidak semua manusia bertindak sejahat itu! Masih ada yang peduli pada lautan ini!”
Dewa Laut berkacak pinggang, tampak tidak puas. Dia menggeleng diiringi embusan napas kecewa. “Biarkan yang pergi menjadi pelajaran untuk yang masih hidup," katanya setenang air. “Toh, aku hanya akan menciptakan tsunami kecil sambil mengembalikan sampah-sampah yang mereka bawa dari darat. Plastik-plastik yang tidak terurai ini.” Dia mengorek pasir dengan ujung kaki Elio, mengeluarkan benda sitetis bening yang tertimbun di dalamnya.
“Kau pasti kaget kalau kukatakan berapa umur benda ini.”
Aduh, orang tua ini keras kepala.
Tiba-tiba saja bunyi 'BANG' keras terdengar dari depanku dan wajah Elio sudah menghadap kanan. Lynn datang entah dari mana, menghajar kepala Elio menggunakan sebuah papan rapuh yang langsung hancur usai menghantam wajah kawannya dan meninggalkan jejak kental warna merah dari pelipis kiri. Melihat dari jejak kaki di belakang Dewa Laut, aku dapat mengira bahwa Lynn mengendap dari arah sana.
Dewa Laut bergeming, dia nyaris jatuh ke pasir. Tangannya terangkat dan menyentuh pelipis, menatap jemari rapatnya yang ternodai darah. Selama sepersekian detik yang hening dan mematikan, Lynn malah berseru, “DI SANA ADA KELUARGAKU, BAJINGAN!”
Hening. Hening. Hening.
Rasanya aku ingin mati ketika tiba-tiba saja Elio tertawa mengerikan, suaranya tinggi sampai seperti tercekik. Namun, hanya dengan itu saja langit kembali memuntahkan guntur dan angin kencang berembus. Pasir tempat kami berpijak bergetar, dinding air laut di sekitar juga ikut berguncang. Takut air di sekitar leher makin mengencang.
Lynn berlari mendekatiku yang jatuh terduduk, dia berusaha melepaskan benda cair yang melilit leher. Namun, nihil.
“Kamu bego sekali,” lirihku.
Lynn tidak menjawab, wajahnya kentara khawatir. Entah karena menyadari perbuatan bodoh dunia-akhiratnya atau karena melihatku makin lemas akibat kurang oksigen.
Elio berbalik dengan gaya perlahan yang dramatis. Kalau orang ini sudah sadar, akan kutampar dia karena membiarkan diri dikendalikan makhluk jahat bernama Dewa Laut itu. Bahu laki-laki ini masih berguncang karena tertawa, dia menatap kami dengan senyum mengerikan. Di belakangnya puluhan tombak es terbentuk, ujung runcing mengarah pada kami seperti senjata di hadapan hewan buruan yang lemah dan terpojok.
“Kau punya keberanian, Anak Manusia.” Dewa Laut memberi Lynn jempol, ucapannya terdengar sarkas. “Akan kuingat pukulan itu selamanya. Aku tidak sangka, bahwa kau bisa melakukan itu. Kalau dalam tubuh asliku, kau tidak akan bisa mendekatiku bahkan selangkah saja.”
Aku dan Lynn bergeming, tubuh kami sama-sama bergetar pelan atau lebih tepatnya, hanya aku yang gemetaran. Lynn sebisa mungkin tetap memandangi wajah kawannya lekat-lekat. Dia takut, aku tahu. Namun, dia lebih takut kehilangan apa yang dimilikinya.
Elio tersenyum miring. Tombak-tombak runcing di belakangnya memelesat ke arah kami. Aku tidak sempat bergerak untuk menyingkirkan atau membangun dinding guna menghentikan serangan tersebut. Semuanya terasa cepat, tetapi sesuatu merobek ruang hampa yang memisahkan kami dengan Elio. Robekan di udara itu menangkap puluhan tombak tadi dan menelannya. Benda-benda tajam itu kurang dari selangkah di depan kami tadi!
“Ah, sialan. Baru apa-apa udah hampir ketusuk,” keluh seseorang. Suaranya asing, benar-benar asing. Seorang pria bertopi hitam melangkah keluar, berdiri membelakangi kami.
Satu orang lagi keluar, laki-laki juga. Dia berambut cokelat kemerahan. “Untung aku enggak jalan di depan,” katanya enteng sambil tertawa.
Lalu yang terakhir seorang wanita. Rambutnya dikucir satu, pirang. “Jangan cerewet, ih. Jauh-jauh pindah zaman buat ngeluh,” omelnya. Wanita itu menoleh ke belakang, menatap kami.
Dua orang yang lainnya juga ikut menoleh. Kukira dia memandangi kami, tetapi sepertinya mereka sedang menatapku saja.
“Yuhu, Anak Kapten. Ayahmu mengirim kami dari jauh. Katanya harus bantu Elio kecil.” Si Wanita berbicara, nadanya ceria. Dia mengangkat sebelah tangan yang sejak tadi disembunyikan ke dalam jaket.
Laki-laki bertopi di sebelahnya tersenyum. “Kami bala bantuan.”
“Para Savants saling membantu,” sambung laki-laki terakhir. “Tidak peduli sejauh apa masanya.” Dia tersenyum lebar secerah mentari.
---
Bala bantuan datang, ninuninu. 🤏
Menuju ending. Terima kasih sudah membaca, jangan lupa tinggalkan vote jika berkenan. (♡ω♡ ) ~♪
Terima kasih sudah membaca.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top