27. Setua Waktu
Tantangan hari kelima: pastikan tidak memakai cuaca (pagi, siang, malam, dan lain-lain) di paragraf pertama.
Aku enggak yakin itu cuaca, tapi oke 🤣
Selamat membaca. Bantu saya temukan tipo (人*'∀`)。*゚+
---
[Elio]
Pikiranku rasanya kosong, tubuhku seperti dikendalikan sesuatu dan bergerak sendiri. Seolah-olah ada benang tak terlihat yang menarikku untuk menenggelamkan diri ke laut. Tidak seperti waktu itu, kali ini aku bisa langsung menyesuaikan diri dengan suhu, ombak, gelombang, tekanan, cahaya, bahkan bernapas tanpa perlu mengkhawatirkan apa pun. Kedua kakiku mati rasa dan yang kutahu setelahnya adalah aku tidak lagi berwujud manusia.
Meskipun mendengar Selene dan Lynn meneriakkan namaku berkali-kali, aku tidak bisa kembali. Dorongan untuk meninggalkan daratan mengendalikanku untuk berenang menjauh, lebih dari itu ... rasanya seperti seseorang tengah memanggilku.
Semuanya terasa kabur dan buram, aku bahkan tidak tahu lagi apakah aku berenang atau sedang berjalan. Tubuhku bukan milikku lagi, tidak setelah dia memberikanku perintah untuk menghabisi orang-orang di atas kapal dan membawa Matthea pulang padanya.
Lalu yang kutahu setelahnya adalah, tubuhku terangkat ke udara bersama lima atau tujuh Utusan Laut dan mendarat di atas geladak kapal. Utusan Laut bertubuh seperti manusia, tetapi dengan lubang-lubang di beberapa bagian tubuh, kulit menghitam dan ditumbuhi lumut, karang-karang kecil di wajah, kaki, lengan, dan dada. Juga sebelah tangan yang menyerupai capit kepiting. Ada juga yang hanya serupa kerangka sambil memegangi kapak berkarat, dan bentuk-bentuk lain seperti monster bekepala T besar. Wajahnya jelas tidak enak dipandang sama sekali. Secara keseluruhan, semua Utusan Laut menyerupai manusia gabungan makhluk laut.
Kapal bergoyang, kepalaku terasa makin pening. Walau aku mulai menyadari apa yang sedang terjadi di sekitarku, semuanya terasa jauh dari jangkauan. Aku tidak bisa bergerak sesuka hati, tidak mampu bicara pula. Satu-satunya yang bisa kupertahankan sekarang adalah pengelihatan.
"ELIO!"
Suara Matthea, Lynn, dan Selene terdengar, tetapi tidak bisa kubalas. Tangan kananku terangkat, lalu terayun ke depan dan satu deburan ombak menabrak ketiga orang tersebut. Setelah serangan pembuka, para Utusan Laut yang kubawa menyerang ke depan sambil mengayunkan senjata mereka. Entah tangan bercapit atau barang-barang berkarat itu.
Kulihat Matthea menggunakan kekuatannya untuk menjatuhkan beberapa Utusan Laut sekaligus, air naik ke atas kapal dalam wujud menyerupai tali laso dan melempar para Utusan Laut, sementara Lynn menggunakan sebuah tongkat untuk memukul si Kepala T. Seseorang menabrak tubuhku dari kanan hingga berbaring, ternyata Selene. Dia menahan tubuhku di antara pahanya.
"Kamu kenapa, sih?" Dia menampar wajahku, sakit. Namun, aku bergeming. Telunjuk kiri melengkung dan tahu-tahu Selene sudah terlempar ke sisi lain. Aliran air mendorong tubuhku kembali berdiri, tangan bergerak ke arah depan dan jemari membentuk segitiga kecil. Air bervolume lebih besar menerjang naik ke atas kapal dan membungkus tubuh Matthea, mengangkatnya ke udara.
Gadis yang tenggelam dalam pusaran air di udara itu mengibas tangan kiri dan ombak besar menghajarku dari kiri. Tubuhku terpelanting sampai ke sudut geladak dan pusaran air yang membungkus Matthea menghilang, dia terjatuh, terbatuk-batuk dan seorang Utusan Laut memukul kepalanya dari belakang.
Lynn kelihatan murka, tetapi dia tidak bisa apa pun saat disudutkan oleh si Capit Kepiting. Matthea bangun, tangan memegangi sisi kiri kepala. Dalam satu gerakan tangan, makhluk yang memukul kepalanya menggunakan tongkat besi sudah terlempar entah ke mana.
Telingaku berdenging, rasanya seperti ditusuk-tusuk sesuatu. Aku menggeleng, berusaha mengenyahkan rasa menyakitkan yang berdenyut-denyut di kepala. Tubuhku menegang, aku membungkuk dan mengerang sambil mencakar geladak baja kapal. Sekelilingku terasa bergumur, guncangan demi guncangan makin terasa keras, angin menerpa kencang tanpa ampun, bunyi guntur yang menyambar saling bersahutan seperti sabetan-sabetan cambuk. Lalu sesuatu yang tak terduga terjadi, ombak tertinggi yang pernah kulihat muncul dari arah belakang kami seperti telapak tangan raksasa dan menghantam kapal keras. Benda malang yang menampung tubuh-tubuh manusia tak berdaya ini terbalik, menjatuhkan semua yang bernyawa di atasnya ke dalam lautan yang mencekam dan berbahaya.
---
[Matthea]
Sialannnn.
Sial.
Sial.
Sialannn.
Aku memunculkan kepala ke permukaan, mengap-mengap seperti normalnya makhluk yang tak bisa bernapas dalam air. Namun, bertahan di atas dengan gelombang seperti ini rasanya seperti mencari jarum dalam jerami. Air asin masuk ke mulut, ke mata, dan telinga. Membuatku tidak bisa fokus untuk memikirkan cara mengeluarkan diri, tidak bisa memikirkan cara untuk menggunakan kekuatan yang dititipkan untukku.
Aku tidak bisa.
Aku tidak tahu bagaimana cara melakukannya.
Rasanya perih dan menyakitkan, untuk kali pertama tekanan air terasa ingin membunuhku. Lautan tidak lagi berpihak padaku seperti sewaktu menjadi bagian dari siren. Lynn? Selene? Mereka gimana? Aku juga tidak bisa membawa pulang mereka dengan selamat, tidak bisa menepati janjiku.
Elio.
Maaf, ya.
Tubuhku berat dan lemah. Semua gerakan yang bisa kulakukan untuk tetap di permukaan terasa sia-sia, hingga perlahan berhenti terasa seperti sebuah pilihan terbaik. Tanpa melakukan perlawanan berarti, aku mulai jatuh ke bawah sebelum kemudian merasakan sesuatu melingkar dari belakang ke depan perut dan badanku ditarik ke atas.
"Kurasa kau memanggilku Matthea." Diucap dalam bahasa asing yang harusnya tak kumengerti. Aku masih menatap ke bawah, melihat ekor ikan berwarna kelabu besi yang lebih panjang dari tubuhku melingkari kedua kaki. Saat menoleh ke balik bahu, kulihat wajah jahil Fee dihiasi senyuman lebar. "Butuh bantuan?"
Hanya dalam beberapa kali ayunan ekornya, kami kembali naik ke permukaan. Aku tahu betapa menyakitkannya bernapas menggunakan oksigen bagi seekor siren, tetapi Fee tetap melakukannya meskipun sadar bahwa dadanya mungkin terasa seperti terbakar sekarang.
Udara yang memasuki paru-paruku terasa segar, kedua tangan Fee menjadi pangkuanku dan membuatku sedikit lebih tinggi daripada gelombang-gelombang ombak yang mengenai wajah. Beberapa kali dia berpindah tempat dengan posisi menggedong seperti ini. Aku berusaha menguasai diri, mencoba mengingat-ingat bahasa siren yang masih terekam dalam benak.
"Teman-temanku?" Aku menatap Fee, dia mengangguk.
"Jangan khawatir," katanya. "Aku tidak datang sendirian."
Meskipun tidak tahu, bagaimana caranya bisa menemukanku di sini tanpa harus kupanggil seperti waktu itu, aku senang sekali bisa melihatnya. Awan di atas kami membentuk gulungan dengan lubang menghadap ke bawah, kegelapan menyelimuti kulit putihnya disertai kilatan petir. Namun, di atas sana dapat kulihat sosok yang amat familiar. Berada dalam bola air dengan keadaan tak sadarkan diri. Elio dan bola air raksasa yang mengelilinginya seperti pelindung itu berada sekitar sepuluh atau dua puluh meter di atas permukaan laut.
Aku terpejam, berusaha memfokuskan diri dengan gerakan air di sekeliling kami. Berusaha merasakan dan membayangkannya mengalir ringan seperti darah dalam pembuluh. Kedua tanganku terangkat perlahan, masih menanamkan visual apa yang sebenarnya ingin kulakukan terhadap anugerah yang sudah semesta titipkan ini.
Gelombang laut tidak seganas tadi, perlahan ombak mulai bergerak pelan sesuai dengan kemauanku. Aku mengepalkan tangan kanan dan semburan air muncul dari sisi kanan tubuh Fee, membeku, dan melayang cepat menuju ke arah Elio. Begitu ujung tajam tombak es itu manabrak pengukung Elio, benda dingin itu hancur berkeping-keping.
Fee ternganga, memandangi si Manusia Melayang dan kawan lamanya dengan wajah bingung. "Bagaimana kau melakukan itu?"
Aku tidak menjawab, tadi jelas hanya melakukan apa yang bisa kupikirkan. Aku mengangkat kedua tangan bersamaan, seperti gerakan seorang dirigen yang memandu orkestra. Air laut terangkat dari bawah tubuh Fee, tetapi hanya membebaskan tubuhku dari pegangan siren pria itu. Sesuai arahan, benda cair itu melingkupi bagian pinggang ke bawah dan membawaku sedekat mungkin dengan lokasi Elio. Dari ketinggian, dapat kulihat keberadaan Selene dan Lynn yang berdekatan di atas punggung dua ekor siren pria dan wanita. Aku mengembuskan napas lega.
Tanganku terangkat, hendak menyentuh pengurung yang membatasi diriku dan Elio. Manusia di dalam bola air itu tidak tampak seperti tertidur, meskipun kuyakin dia hilang kesadaran apabila melihat matanya terbuka dengan bola mata seputih suhu. Namun, tiba-tiba gerakan tanganku terhenti seperti ditahan sesuatu.
"Bukankah tidak sopan, mendatangi wilayahku tanpa menyapa terlebih dahulu." Seseorang berucap dengan bahasa yang umumnya digunakan manusia. Aku menatap Elio lekat-lekat, dia tersenyum, mata putihnya membuat penampilan yang biasa enak dipandang ini jadi sedikit menyeramkan. Bahkan itu bukan suara Elio yang kukenal. "Datang untuk menyelamatkan temanmu?"
"Untuk seseorang yang sudah setua waktu, Anda ternyata masih suka mengganggu anak-anak, ya."
Dewa Laut tersenyum melalui Elio.
---
Edit : Wattpad error banget. Masa ceritanya cuma sepotong pas update kemarin, hiks.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top