26. Menuju Mata Badai
Tantangan hari keempat : pastikan dalam naskahnya ada konjungsi lalu, kemudian, tetapi, dan sementara.
Bantu saya temukan tipo ฅ^•ﻌ•^ฅ
---
[Lynn]
Oke. Menjalankan kapal boat itu perakara gampang-gampang susah, Ayah mengajariku cara mengendalikan benda ini dari masih kecil banget. Kami juga sering mancing ikan dulu. Sekarang, beberapa motor kapal punya keluarga kami dialihfungsikan sebagai fasilitas bekerja, buat nelayan, buat pariwisata juga. Cuma satu kapal ini aja yang udah lama enggak terpakai. Masih bagus, sih, cuma udah enggak dipakai aja karena banyak yang lebih modern.
Aku turun dari anjungan kapal, berjalan di sekitar pelabuhan kecil tempat kapal-kapal lain juga disandarkan. Biasanya ada sekuriti yang mengamankan wilayah sekitar sini, tetapi dia sepertinya dipulangkan akibat cuaca buruk. Kulihat Matthea tengah berdiri menghadap laut, kedua lengannya memeluk diri sendiri. Gadis itu mengenakan baju terusan tanpa lengan warna hitam—sedikit memberiku perasaan tidak enak saat melihatnya—pakaian itu menggantung tepat di atas tempurung lutut, dia pakai sandal jepit hitam, rambut hitamnya pun dibiarkan tergerai. Aku baru sadar rambutnya ternyata tidak hanya sepanjang punggung, tetapi sudah hampir mencapai pinggang.
Saat tanganku mencapai bahu kanannya, dia berjengit dan menoleh cepat. Kelihatan lega begitu menyadari siapa yang datang. “Mikirin apa? Kita udah mau jalan.”
Matthea menggeleng. “Sesaat aku cuma merasa cemas,” imbuhnya pelan.
Tadi pas pulang, aku sengaja bawa bawa dua jaket. Satu udah kukasih ke Selene yang lagi nunggu dalam ruang kendali, sementara satu lagi kini tengah kulebarkan dan kusampirkan ke kedua bahu Matthea.
“Pake," kataku pendek. “Kita jalan sekarang. Enggak usah mikirin yang jelek-jeleknya dulu, belum ada satupun hal dalam kepala kamu yang udah kita coba.”
Matthea meremat jaket hijau daun yang kubawa, dia mengenakannya perlahan kemudian menatapku. “Oke.”
Kami berdua meninggalkan pijakan pasir, naik ke atas pelabuhan yang dibangun dari tiang-tiang dan lantai kayu yang kokoh. Berjalanan beriringan menuju kapal yang akan membawa kami menuju sumber dari masalah ini. Membawa kami menuju teman kami.
Cuaca di sekitar kami terasa makin kacau, badai kembali datang, bunyi ombak yang menebas pasir dan batu karang seolah-olah tengah memberi peringatan pada siapa pun yang nekad mengarunginya di tengah-tengah amukan ini. Walau tidak hujan, gelapnya awan di atas langit menandakan gumpalan yang telah siap memuntahkan air kapan saja.
Aku memandangi laut, ke arah cakrawala yang membentuk cincin badai petir. Awan hitam menggulung-gulung menghadap permukaan laut sambil memuntahkan petir. Hatiku menciut. Aku mungkin tidak akan kembali dengan selamat jika pergi ke sana. Apa Matthea benar-benar bisa melindungi kami dengan kekuatannya? Mungkinkah Dewa Laut akan berbaik hati dan membiarkan kami pulang setelah membawa Elio? Keraguan mulai menghantam otakku, bercampur dengan logika dan kewarasan.
Aku terpejam, lalu mulai mengatur napas. Jika Elio berada di posisiku, apa dia akan melakukan hal yang sama?
Jawabannya, tentu saja.
Karena dia agak bodoh dan tidak sayang nyawa.
Matthea menepuk punggungku, awalnya dia enggak bilang apa-apa dan hanya menatapku lekat. “Aku janji bakalan bawa kamu dan Elio pulang dengan selamat," katanya. Aku percaya dia. “Untuk Selene juga paman dan bibi Elio, untuk ibu kamu Sarah sama adik-adik kamu. Aku akan pastikan kalian baik-baik aja. Aku janji.” Dia memberi satu anggukan mantap, membuatku tersenyum kecil dan balas mengangguk.
Kuharap bisa mengatakan sesuatu yang keren seperti: aku juga akan jaga kamu. Namun, di antara kami berdua, bukan aku yang dianugerahi kekuatan alam yang entah asalnya darimana itu. Aku tidak ingin menjanjikan sesuatu yang khawatirnya tidak bisa kutepati. Mungkin satu-satunya hal yang dapat kupastikan dari perjalanan ini adalah bahwa ....
“Santai aja. Aku enggak akan ninggalin kamu ... atau Elio, hehe.”
---
Aku duduk di balik roda kemudi, sedangkan Matthea ada di samping kanan. Gelombang menaik-turunkan kapal tanpa ampun, menabrak-nabrak kulit kapal sampai kami oleng sesekali. Tak jarang gadis di sebelahku itu mengangkat kedua tangannya ke udara lantas melakukan satu gerakan yang membuat ombak tinggi dari arah depan terbelah dua lalu pecah di atas geladak utama.
Selene memegangi teropong di sebelah kiri, sebentar-sebentar menaikkan benda itu ke matanya dan menyebut nama Elio dalam nada risau. Dia juga kerap memekik setiap kali kapal jadi miring atau suara gelegar petir terdengar begitu dekat.
“Apakah kapal ini bisa bertahan?" tanyanya, seraya aku memutar kemudi kemudi untuk menyeimbangkan kapal. “Apa kita bakal selamat?”
“Ombaknya besar. Kita hanya harus pastikan bahwa kapalnya enggak terbalik,” balasku, melirik Matthea.
“Apa yang membuat kita yakin kalau Elio ada di sana?” Dia terdengar putus asa.
“Karena aku merasakannya." kali ini Matthea membalas. “Semenjak kutukan itu hanya pindah separuhnya, aku dan Elio bisa merasakan keadaan dan mencaritahu tempat satu sama lain.”
Selene membuang napas gelisah. Dia kemudian mundur dan duduk di sudut anjungan sambil memeluk lutut. Mungkin berdoa, mungkin menangis, mungkin juga sedang harap-harap cemas agar kami bisa melihat matahari besok.
Matthea terlihat gelisah ketika dia berkata, “Sebenarnya aku juga takut, kayak Selene,” bisiknya. Tangannya tangannya memegangi lenganku yang telanjang, sebelah lagi mencengkeram punggung kursi. “Aku belum yakin seratus persen perihal cara menggunakan kekuatan ini.”
Dia menggigit bibir bawah. “Aku tahu, aku harusnya enggak bilang begini di tengah-tengah kondisi kita sekarang. Saat kalian semua bergantung padaku.” Matthea membuang napas. “Tapi, tenang saja. Aku berniat menepati janjiku tadi.”
Aku bisa merasakan kukunya sedikit menusuk kulit. “Punya keresahan, kegelisahan, dan kekhawatiran karena mengemban sesuatu yang penting itu wajar, Thea.” Bayangan wajahku yang meragu sewaktu di pelabuhan berkelebat dalam benak. “Ketika kamu tahu, banyak orang yang bergantung dan berharap padamu. Perasaan seperti itu adalah sesuatu yang wajar.” Kutatap matanya lekat-lekat.
“Kalau Tuhan mempercayaimu untuk sebuah kejadian, tidak ada alasan untuk meragukannya. Dia sudah mempersiapkan ini sejak awal, menuliskannya dalam garis takdir. Percaya pada diri sendiri adalah salah satu kekuatan yang setiap orang perlu temukan dalam diri mereka.”
Ekspresi tegang Matthea melunak, dia mengangguk pelan. Aku kembali memfokuskan pandangan ke depan. Merasa bahwa kalimat tadi tidak hanya meyakinkan Matthea, tetapi aku juga.
“Ke mana ....” suaraku menggantung di udara, “ke mana kamu ... dua hari ini?”
Matthea menatap lantai, tidak langsung menjawab. Bahkan setelah dia menjawab pun, aku merasa bahwa semuanya seperti kebohongan.
“Masa lalu.”
Diiringi debur amukan ombak dan suara berisik petir yang menyambar-nyambar, Matthea menceritakan semuanya. Tentang pria bernama James Nikolaus yang ternyata PAPANYA MATTHEA. Soal kutukan siren yang ternyata dibuat supaya Matthea tetap bertahan di laut. Juga tentang kegunaan kekuatannya bagi lautan yang sedang terancam.
“Kalau kamu ... satu-satunya siren yang pernah Papa kamu ciptakan. Kenapa bisa ada siren-siren lain?”
“Kurasa ... Dewa Laut ada sedikit campur tangan di dalamnya. Karena dia merasa bahwa manusia tidak lebih baik daripada makhluk laut, dia mengubah kutukannya jadi bisa dipindahkan melalui Lagu Kutukan. Papaku bilang, dia mungkin berniat mengubah manusia jadi siren untuk dijadikan pasukan, seperti Utusan Laut.”
“Dan Papa kamu diem aja?”
Matthea menggeleng, daripada menyangkal lebih seperti tidak tahu. “Papa bilang, dia enggak akan mengambil tindakan kalau sesuatu memang sudah seharusnya terjadi.” Gadis itu diam sejenak. “Mungkin itu bagian dari kekuatan dia, tahu apa yang harus dan tidak harus terjadi. Kapan harus bertindak dan lain-lain. Aku juga kurang paham. Namun, beberapa hal memang tidak bisa dicegah atau diubah. Kutukan Siren ini mungkin mengantar ke banyak hal lain yang saling berhubungan ke depannya.”
Aku manut-manut saja. Kurang lebih memahami maksudnya, walau tak paham bagaimana cara kerjanya. Masih enggak menyangka kalau ada orang-orang seperti ini di dunia.
“Kamu ... ke masa lalu ... sama siapa?” Keningku berkerut. Sangat sulit diterima oleh akal sehat.
“Aku enggak bisa bilang, siapa yang bawa aku ke sana.” Matthea menggeleng.
Wah. Udah macam rahasia negara.
Tepat saat kupikir bahwa perjalanan kami mulus-mulus saja, dalam artian tidak ada ombak besar yang akan tiba-tiba melahap kami dan satu-satunya masalah adalah guncangan serta guntur yang tanpa henti. Sesuatu terdengar memijak geladak utama. Seperti ada yang baru saja dijatuhkan.
Tubuhku dan Matthea sama-sama menegang saat melihat siapa yang berdiri di sana.
Elio.
Dan, dia tidak sendiri.
---
Bagaimana bab ini?
Jangan lupa tinggalkan vote (^._.^)ノ
Terima kasih sudah membaca
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top