25. Bab Ke-25 dan Aku Tenggelam! Kali Ini Lynn

Tantangan hari ketiga: pastikan di bab naskah tidak ada kata dan dan yang di awal kalimat.

Easy /digeplak.

Bantu temukan tipo, ya (~‾▿‾)~
Selamat membaca.

---

[Lynn]

Matthea udah ngilang berhari-hari. Baru dua hari, sih. Cuma tetap saja kami jadi panik. Setelah kabur usai memukul wajah Selene—kakaknya Elio yang baru kutemui hari ini—gadis siren itu langsung kabur entah ke mana. Elio baru cerita masalah itu tadi pagi, pas dia suruh aku bolos untuk ke rumahnya aja.

Aku merasa kasihan padanya, karena menurut penuturan Selene, Elio bangun pagi ini dan tidak mengenali wajah Selene selama sejam penuh. Dia bahkan kelihatan seperti orang bingung sewaktu memandangi cermin. Butuh waktu sampai anak itu benar-benar enggak shock lagi dan lebih banyak waktu untuk membuatnya mendegar rekaman suaranya sendiri; rekaman yang berisi kejadian runut perihal kutukan siren yang Elio emban.

Anak itu kelihatan kacau sekali sekarang; kutebak dia tidak mandi atau sekadar cuci muka dan gosok gigi. Yah, memangnya penampilan seperti apa yang kuharapkan dari seseorang yang sedang berada dalam ambang kehilangan identitasnya sendiri? Aku sudah bilang padanya, bahwa akan kutemukan Matthea sendiri dan dia sebaiknya beristirahat sambil mengumpulkan sisa-sisa kewarasan yang ada. Namun, Elio kukuh ingin ikut mencari Matthea.

Matthea, gadis itu, aku tidak habis pikir di mana keberadaannya sekarang. Maksudku, memangnya selain rumah Elio dia tahu tempat lain apa?

Mungkin dia udah balik ke laut, ya?

Sepintas kejadian hari itu muncul dalam benak. Saat aku memberitahu Matthea bahwa Elio sudah cukup berani membentuk keputusan, gadis itu pun membulatkan tekad di saat yang sama. Sedih, karena mau ditinggal. Aku tidak bisa menampik perasaan kecewa yang hinggap dalam dada begitu mendengar perkataan tersebut. Rasanya ingin egois dengan meminta Matthea menetap.

Saat ini aku dan Elio yang ditemani Selene sedang mencari Matthea di tepi pantai. Belakangan cuaca di sini memburuk. Angin kencang disertai guntur menyapa setiap hari, obak bergulung-gulung menabrak batu karang seperti sebuah tangan memukul nyamuk, langit yang biasanya cerah kini terus kelabu sepanjang hari. Beberapa keluarga mulai mengungsi karena khawatir, apalagi saat malam, air laut naik lebih tinggi dari biasanya. Bukan bermaksud melakukan cocoklogi atau sejenisnya, tetapi cuaca buruk ini kian menjadi-jadi semenjak Matthea tidak di sini. Seolah tengah membenarkan ancaman yang dikatakan penguntitnya itu.

Kamu di mana, sih?

"Dia mungkin udah enggak di sini!" Selene berseru, setengah berteriak. Rambut pendeknya masuk ke dalam mulut ketika dia bicara. "Mungkin dia udah balik ke laut. Enggak mungkin kita mau nyari dia terus, apalagi kondisinya kayak gini!" Tangannya menunjuk-nunjuk langit.

Aku berdecak pelan, kurang setuju. Namun, apa yang Selene katakan bisa saja benar. "Oke. Kita balik aja." Aku sebenarnya enggak percaya kalau Matthea pergi gitu-gitu aja, tanpa pamitan.

Pandanganku beralih ke arah depan, memandangi lautan luas yang berombak. Tatapanku berhenti pada sosok kecil yang berada di dataran pasir yang lebih rendah, berjalan menuju bibir air asing lantas menceburkan diri dan terus berjalan seolah dihipnotis.

"ELIO!"

Teriakan Selene memecut kesadaran. Kedua kaki bergerak lebih cepat dari otak, seolah bisa membaca bagaimana kejadian ini akan berakhir. Aku merosot turun dari atas pasir dan berlari sekuat tenaga, mengejar Elio yang separuh tubuhnya sudah terbenam air.

"ELIO!"

Dia tidak menoleh dan satu langkah kemudian. Wujud Elio tidak lagi terlihat di permukaan.

---

Aku baru sampai di tepi, sendal sudah terlempar entah ke mana karena berlari tadi. Buru-buru aku menyusulnya ke dalam air, menarik napas panjang, dan menceburkan diri. Suara Selene yang turut memanggil namaku terdengar samar-samar. Aku suka berenang, anak pantai. Namun, aku tidak pernah berenang dengan kondisi alam sekacau ini dan lautan yang seolah ingin memuntahkan semua yang ada di dalamnya.

Gulungan air membungkus tubuh, membuatku tidak bisa mempertahankan posisi renang yang selama ini sudah kulatih. Aku merasa kehabisan napas lebih cepat dari biasanya. Aku tercekik, air tidak mengizinkanku bernapas! Tubuhku serasa dipilin oleh tali-tali tambang tak terlihat. Panas. Aku tidak bisa bernapas. Dorongan air membuatku tidak bisa berenang ke atas. Seluruh tubuhku kesemutan, pandanganku berkunang-kunang—iya, aku buka mata—air di sekeliling menerjang dari segala arah, memblokade seluruh celah untuk meraup oksigen. Rasanya seperti tersapu ombak ketika bermain selancar, tetapi kali ini tanpa jalan keluar. Tubuhku lemas, jalinan tali tak terlihat membuat paru-paru terasa panas. Tekanan air menimpaku dengan brutal, membuat tubuh terlempar tak tentu arah. Benakku kosong, hanya ada rasa sakit. Sakit sekali sampai kukira akan mati.

Semuanya gelap.

Di sisa-sisa kesadaran yang hanya setitik. Kurasakan sesuatu mengepit dadaku dari belakang dan menarik tubuh menuju atas. Lancar sekali kayak jalan tol. Begitu kepala menyembul ke permukaan, aku langsung menghirup oksigen sebanyak-banyaknya dan terbatuk-batuk. Otakku masih blur, pandangan masih rabun. Siapa pun yang sedang menarikku sekarang, membawa tubuh menuju tepi pantai. Dia tidak langsung membaringkanku, tubuhku ditarik naik di atas pasir.

"Berat banget." Suara Matthea terdengar, aku pasti lagi halu. Gerakan tarik-tarikan itu berhenti beberapa saat setelahnya. Mual, pusing, merutuki Elio sialan yang tiba-tiba tenggelam.

"Woi, Lynn. Masih hidup?" Selene bicara di samping kiri. Dia menepuk-nepu pipiku dan mengenyahkan sejumlah rumput laut dari wajah.

Aku mengangguk berat, berusaha duduk. Selene buru-buru membantu. Saat menoleh ke kanan, kulihat paras cantik-menyebalkan yang jadi biang keladi semua masalah ini. Aku tersenyum kecil, langsung tahu siapa yang barusan nyebur buat membantuku setelah melihat Matthea basah dari ujung rambut sampai kaki.

"Hai."

"Apanya yang 'hai'?" katanya galak. Dadanya naik-turun mengatur napas. "Gila apa kamu, nyebur di tengah-tengah kondisi kayak gini? Enggak mikir dua kali gitu?"

"Yah, kamu juga, kan." Selene menimpali, membuatku nyegir.

Matthea menggeleng, kulit cokelatnya mengilap dibasahi air asin. "Kamu enggak bisa ngejer Elio kayak gitu aja. Enggak ada rencana, enggak ada prepare. Main nyebur asal aja kayak enggak pernah liat air."

"Kamu bisa bahasa Inggris sekarang?"

"Bukan itu masalahnya!" Matthea berseru kesal, Selene menepuk belakang kepalaku. Bangun-bangun lihat cewek manis, bukannya lucky malah kena semprot.

Matthea memandangiku dan Selene bergantian. "Kalian di sini aja, biar aku yang ngejer Elio." Gadis itu diam sebentar, menyisipkan rambut hitamnya ke belakang telinga. “Ini perasaanku aja, tapi kayaknya Elio udah full jadi siren."

Kudengar Selene menarik napas panjang. Wajahnya kalut ketika Matthea berbisik, "Maaf."

"Kamu mau ngejernya kayak gimana?" tanyaku. "Lari gitu? Atau berenang? Kamu bilang Elio udah sempurna jadi siren. Berarti kamu juga udah sempurna jadi manusia, dong. Kutukannya pindah sempurna, kan?"

Seolah menyadari sesuatu, Matthea terdiam dan manggut-manggut. "Bener juga," lirihnya, aku tersenyum.

"Aku anterin aja."

"Tolong, bocil. Ini bukan saatnya sok-sokan mesra," potong Selene dengan ekspresi jijik. "Elio dalam bahaya! Dia enggak tahu bakalan pergi ke mana! Kondisi cuaca sama lautan juga bukannya bakal dukung kita buat pergi naik kapal."

"Itu bisa diatur." Matthea mengangguk mantap. "Kamu lihat pas aku belah lautnya, kan? Untuk dapetin Lynn tadi. Aku bisa mengendalikan ombaknya supaya enggak membalik kapal kita."

"Hah? Belah apa?" Sepertinya telingaku terlalu banyak dimasuki air.

Matthea menatapku, mata fusianya berkilat penuh harapan. "Kamu beneran punya kapal?"

"Punya ibuku, sih. Itu motor kapal." Yakali, anak sekolahan sepertiku punya kapal. Itu juga aset buat kerajaan Ibu. "Kuncinya ada di rumah. Kalau mau pakai, harus ngambil dulu."

"Bisa kamu ambil?" tanya Selene.

Sebenarnya daripada kunci kapal yang bisa diambil atau tidak, aku lebih penasaran sama perkataan Matthea tadi. Belah apa? Laut?

"Bisa diatur, sih. Asal enggak ketahuan." Aku mengangguk yakin. Lalu tiba-tiba Matthea memegangi lengan bajuku, sejurus kemudian air yang diserap oleh pakaian kami berdua keluar dari serat-serat kain, seperti sedang memerah baju yang basah. Bedanya, air ini enggak jatuh ke bawah. Melainkan melayang di depan wajah kami, seperti tetesan air hutan dan dunia tiba-tiba dijeda.

Itu kali pertama Matthea menatapku selekat itu. Membuatku tenggelam dalam warna matanya yang luar biasa cantik sampai membuatku kehilangan kata. Coba aja alat lukis sama gambarku ada di sini.

"Kita selesaikan semuanya hari ini."

---

Apa pendapatnya tentang bab ini? Sebentar lagi bakalan masuk puncak konflik. Mudahan bisa selesai pas di bab 30 atau 35 ( ◜‿◝ )♡

Terima kasih.
#KangenElio

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top