24. Aku Bukan Superhero!
Tantangan hari kedua: Pastikan di bab naskah ceritamu ada kata dibalik, di balik, dan di mana.
Bantu saya temukan tipo (人*´∀`)。*゚+ terima kasih.
---
[Matthea]
Aku menggeleng dan terpejam, berusaha memproses semua data ingatan yang baru saja ditambahkan dalam kepala. Memori-memori mengenai Bangsa Nisnes dan para Savants berseliweran dalam benak, sesuatu yang awalnya terasa sangat asing kini begitu familier.
Para Savants adalah sebutan untuk pemilik bakat Savant, orang-orang yang dipilih semesta untuk mengemban kekuatan tertentu ketika berusia 15 tahun atau kurang. Mereka yang memiliki kemampuan ini biasanya ditandai dengan kapasitas ajaib dan mendalam atau kemampuan melebihi batas normal. Misalnya: berhitung cepat, daya ingat, kemampuan bermusik, dan seni. Kemampuan penanda ini umumnya muncul di usia-usia belia, anak-anak berbakat yang menciptakan karya-karya seni lukis bernilai tinggi di usia muda dapat digolongkan sebagai calon Savants.
“Aku bingung harus bagaimana setelah tahu semua ini,” kataku sambil meringis dan memijat kening, teringat penjelasan Elio Dua terkait bangsa Nisnas ketika kami masih di pantai tadi. “Terus? Terus ... Kenapa harus aku yang megang kutukan itu? Kenapa. Harus. Aku. Yang jadi alasan kutukan itu dibuat?”
James memiringkan kepala, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Dia memandangku lekat, mungkin bertanya-tanya harus mulai menjelaskan dari mana.
“Aku enggak mau, ya, kalau disuruh menyelamatkan Bumi. Apalagi berhadapan sama makhluk kuno sekelas Dewa Laut. Maksudku, bayangkan apa yang mungkin dia lakukan padaku! Dia hidup lebih lama dari seluruh manusia di dunia! Dan pernah berhadapan dengan pasukan surga ... Kenapa pula dia harus mengkhawatirkan newbie sepertiku yang beberapa waktu lalu masih mengap-mengap di darat dan enggak tahu cara jalan.”
Aku membuat gestur seolah ada ledakan dalam kepalaku. “Kita bukan superhero!”
James mengangguk. “Katakanlah begitu," katanya kalem. “Namun, di balik kekuatan yang diberi Tuhan, pasti ada alasan. Semesta enggak mungkin secara asal mewarisi sesuatu pada manusia.”
“Di masa depan itu beda Matthea.” Elio menginterupsi. “Kita yang biasanya hidup dalam rahasia dan membiarkan kekuatan tertidur, harus bersama-sama menyelamatkan peradaban manusia. Contoh kecilnya akan segera terjadi sama kamu, sama Lynn, Selene, dan aku-kecil. Dewa Laut ... Dia memang seperti yang kamu katakan. Namun, enggak cuma ada dia di seluruh dunia ini.”
Aku terbungkam, menggigit bibir dalam. “Aku enggak ngerti.”
“Ibaratnya kayak seekor semut.” James mengacak-acak rambut cokelat keemasannya. “Semut itu mungkin beranggapan bahwa manusia dan apa yang ada di sekelilingnya adalah hal terbesar. Mereka enggak tahu soal alam semesta, tata surya, galaksi, dan lain-lain. Mereka enggak tahu soal Dewa Laut yang bisa aja menyapu bersih daratan ini kapan aja. Sama kayak manusia yang mungkin enggak tahu, makhluk dengan kekuatan sebesar itu masih hidup. Hewan-hewan laut yang besarnya melebihi pulau itu ada dan itu, itu masih sebagian kecil dari yang kita tahu. Beberapa hal mungkin lebih baik disimpan sebagai rahasia semesta demi kebaikan bersama.”
Sesuatu dalam diriku bergetar, entah karena takut atau pacuan adrenalin. “Aku enggak pernah minta semua ini. Semua ini terasa terlalu imajinatif.”
James mengembuskan napas panjang, seolah kecewa melihat balasanku. “Aku tidak tahu kalau kamu jadi pengecut.”
“HAH?” Aku berdiri, merasa tersinggung. “Orang yang mengorbankan anaknya sendiri itu lebih pengecut tahu! Kalau ini memang ada masalah antara ka-kamu dan Dewa Laut itu ... kenapa aku harus dibawa-bawa, sih?" Pasti rasanya aneh banget memanggil seseorang yang baru kutemui hari ini Ayah atau Papa, meskipun ternyata dia memang benar orang tuaku.
James tidak lantas menjawab, dia membuat nuansa hening mengisi ruang kerjanya yang lapang dengan perasaan canggung, ganjil, dan tidak enak.
“Beberapa hari lalu, Dewa Laut datang padaku dan mengeluh—”
“Dia bisa berubah jadi manusia!?”
James mengabaikannya. “Dia mengeluh soal masalah yang dibawa manusia pada lautan.”
Aku terdiam.
“Aktivitas manusia, pembakaran bahan bakar fosil telah meningkatkan jumlah gas rumah kaca di atmosfer sampai tingkat mengkhawatirkan. Hal ini menyebabkan bumi menjadi hangat dan sebagian besar energi ini diserap lautan. Laut yang memanas adalah bencana bagi banyak ekosistem.”
“Karbon dioksida terlarut di laut membentuk asam karbonat dan menghancurkan cangkang kalsium karbonat dari banyak organisme yang memproduksinya sebagai kerangka. Banyak terumbu karang mati karena tidak mampu membentuk skeletons yang dibutuhkan untuk melindunginya. Pada tahun 2016, lebih dari 20% karang Great Barrier Reef mati. Manusia menghadapi hilangnya beberapa habitat paling berharga dan penting di Bumi. Mencairnya es di kutub dengan cepat, membuat satwa liar mungkin tidak mampu mengatasinya dan generasi mendatang tidak dapat memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan beragam spesies.”
Oke. Oke. Bentar. Bentar. Otakku? Enggak aman. Aku berusaha mencerna setiap omongan James yang terlampau cepat. Apalagi gaya bicaranya mendadak berubah.
Sepertinya James menyadari wajah bingungku, dia kemudian berkata dengan bahasa yang lebih sederhana. “Masalahnya bukan itu saja; ada penangkapan ikan berlebihan, jaring yang dibuang di lautan sehingga mencelakai hiu, kura-kura, paus, lumba-lumba, dan burung laut; dan tentu saja, polusi plastik.” Pria itu berdecak sambil menggeleng.
Aku manggut-manggut, kalau diingat-ingat bahkan di tempat terpencil sekalipun dalam lautan, sekarang sudah bisa ditemukan sampah plastik.
“Diperkirakan ada belasan ton plastik yang masuk ke laut setiap tahunnya, dan suatu saat nanti mungkin jumlah plastik akan lebih banyak daripada ikan. Plastik yang ukurannya besar dipecah dari waktu ke waktu menjadi mikroplastik yang mengandung kimia beracun. Ada kemungkinan saat makan ikan, kita juga sebenarnya memakan mikroplastik ini.”
“100% penyu ditemukan dalam kondisi perut yang menyimpan plastik. Untuk ukuran hewan yang sudah mau punah ini adalah bencana.”
Aku bergidik ngeri. Tidak mau membayangkan makhluk-makhluk malang itu tampak sekarat dan terapung-apung tanpa nyawa.
“Sebagai Dewa Laut, tentu saja dia memiliki kemampuan untuk meminimalisir hal-hal seperti ini. Mengobati makhluk-makhluk hidup yang terluka, menyeimbangkan kembali ekosistem di lautan. Namun, sampai kapan dia bisa mempertahankan hal itu?” Nada suara James berubah serius. “Untuk itulah, dia datang padaku dan berkata akan menenggelamkan daratan.”
Jantungku rasanya seperti baru dipukul sesuatu. Bahkan Elio sampai memuncratkan minumannya, padahal sejak tadi dia tidak bersuara.
“Dewa Laut merasa bahwa manusia sudah tidak bisa dibiarkan. Namun, tentu saja aku mencegahnya. Toh, nyatanya, masih banyak orang yang mempedulikan lautan di seluruh dunia ini dan usaha menjaga kelestarian alam masih sangat digemborkan. Tapi, yah, ... Namanya juga orang tua, dia sudah tidak bisa sabar lagi. Saat itulah dia melihatmu, lalu berkata 'anak ini bisa membantuku.'”
“Waktu itu aku berpikir, di mana letak korelasi antara putriku yang masih berusia sepuluh tahun dengan terancamnya lautan. Maka kuminta Elio datang dan mengecek masa depan, saat itulah dia melihat bagaimana kamu benar-benar bisa menjaga kestabilan laut.”
Kami sama-sama diam. Aku masih tidak percaya, kekuatan ini bahkan baru kuketahui beberapa waktu yang lalu. Bagaimana mungkin aku bisa melakukan hal sekeren menjaga ekosistem lautan?
“Kamu mungkin tidak bisa mencegah plastik-plastik itu atau perubahan iklim, tetapi kamu bisa menjaga kestabilan ekosistem dengan menetralisir racun, mengobati makhluk-makhluk yang terluka, mengurangi kadar karbondioksida dan hal-hal keren lainnya. Waktu itu usiamu masih sepuluh, jadi kekuatanmu belum bangkit. Sekarang kamu 17.” James mengangkat bahu. “Sudah waktunya untuk mulai belajar, kan? Begitu tahu peran besar dan potensi yang putriku simpan, aku menciptakan satu kutukan untuk membuatnya tetap di laut supaya bisa menjalankan misinya. Siapa sangka, kutukan itu nyaris lepas darimu. Pertemuanmu dengan Elio, itu sesuatu yang tidak diceritakan anak di sebelah sana.” Mata James memicing ke arah Elio yang duduk di sofa hitam.
“Namun, seperti yang kukatakan, garis takdir tidak ada yang bisa mengubah. Tidak oleh manusia.”
Semuanya terasa jelas sekarang. Alasan Dewa Laut kukuh memintaku kembali, bahkan sampai memberi ancaman untuk memporak-porandakan Desa Hespia.
“Kalau tahu sepenting ini, kenapa tidak menyuruhnya menjemputku sejak awal.” Telunjukku menuding Elio.
Laki-laki itu mengangkat tangan. “Aku tidak bisa sembarangan membawamu.” Dia menunjuk James. “Harus ada perintah darinya, sambil pelan-pelan menyebar petunjuk bahwa kamu enggak seharusnya tinggal di darat. Lagipula, aku enggak bisa ketemu sama diriku sendiri yang ada di masa lalu. Itu aturan pertama dan terpenting dari seorang Pelompat Waktu. Itu juga yang bikin aku bawa kamu ke masa tujuh tahun lalu, beberapa hari setelah ingatanmu disegel dan masa kutukanmu dijalani. Bukan ke masa depan, tempat kamu sudah menjalani hidup yang ... seharusnya.”
Aku menatap James. Ekspresinya yang semula kaku dan keras sudah melembut. Pria itu mengangguk perlahan, lalu meletakkan kedua tangan di atas bahuku.
“Maaf karena sudah menempatkanmu di posisi sulit. Tapi, kuharap sekarang kamu bisa mengerti. Sekalipun aku adalah pemimpin para Savants, kami dianugerahi bakat yang berbeda-beda. Kami punya porsi dan peran masing-masing, jadi sewaktu Dewa Laut datang dan memintamu, aku—”
“Enggak usah dijelasin. Aku mengerti sekarang.”
Untuk kali pertama, aku merasa lega sekali. Meskipun harus menyerahkan keinginan mendalam untuk hidup sebagai manusia normal, aku sudah sangat senang bisa bertemu dengan orang yang ternyata memikirkanku selama ini. Karena itulah motivasiku menjadi manusia. Mungkin kalau posisiku dan Dewa Laut dibalik, aku juga akan merasa marah.
“Papa, aku sudah membuat keputusan.”
---
Eyy (༎ຶ ෴ ༎ຶ)
Aku suka bab ini, www.
Mari kita lihat bagaimana selanjutnya. Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tekan tombol vote.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top