16. Nostalgia Kisah Milik Orang Tua
Hai ╭(●`∀'●)╯╰(●'◡'●)╮
Terima kasih karena sudah membaca sampai bab ini. Jangan lupa tinggalkan vote sebelum membaca.
Selamat membaca (/^▽^)/
***
Elio.
Setelah membeli dua gelas es jeruk, kami pergi ke belakang sekolah dan duduk bersandar di balik pohon dedalu kuning. Tidak ada jendela yang menghadap halaman belakang, cuma dinding sekolah yang dicat hijau limau sehingga lokasinya pas untuk istirahat makan siang atau membolos. Lurus di depanku, terdapat sumur tua dikelilingi pagar berkarat dan ditutup dengan papan triplek tipis. Baunya seperti tanah basah bercampur tumbuhan busuk yang diinjak dan lumut. Ada sarang burung kosong di atapnya yang sudah tidak lengkap dan karena hujan beberapa hari lalu, triplek tipisnya menahan genangan air kecil berwarna kehitaman.
Pada menit-menit pertama, aku dan Lynn malah membahas hal lain seperti perayaan tahunan Desa Hespia yang akan diadakan beberapa minggu lagi. Tidak ada alasan khusus kenapa perayaan itu diadakan turun-temurun. Warga desa menganggapnya sebagai hari ulang tahun desa kami. Biasanya pada saat itu akan ada pujasera (pusat jajanan serbaada) di sepanjang jalanan selama beberapa hari. Makanan yang tidak ditemukan di hari-hari lain, secara khusus muncul di pujasera. Aku ingat selalu merayakan kegiatan ini bersama kedua orang tuaku. Kami akan berangkat pagi, tidak sarapan, kemudian mengelilingi desa sambil jalan kaki dan makan apa pun yang bisa dibeli di jalan sampai malam. Besoknya, kami berenang atau sekadar main pasir di pantai. Lynn menambahkan, bahwa sekarang ada beberapa orang melakukan atraksi selancar menggunakan parasut sambil ditarik kapal cepat selain menyelam, selancar, dan lain-lain. Karena pada dasarnya Hespia merupakan desa wisata, kami punya beberapa kantor semi-permanen yang menyediakan perlengkapan dan layanan untuk bersenang-senang seperti itu. Lalu saat hari-H, semuanya kena diskon setengah harga. Kalau bosan main di pantai, bisa mendaki dan berkemah di puncak Aspian atau bertualang memasuki hutan di kaki gunung. Lumayan, lihat sungai dan air terjun.
Setelah bertukar pengalaman-pengalaman lucu dan saling menertawai. Lynn menceritakan sejarah Garis Marginot di Prancis yang dia sebut sebagai, "Simbol kemubaziran Perang Dunia Kedua." lalu cerita itu kubalas dengan, "Kamu tahu cerita seorang kasim Sun Yaoting yang sial seumur hidupnya? Dia kasim terakhir Dinasti Qing."
Minuman kami sama-sama tandas. Cuaca tidak terik, sehingga aku tidak sehaus biasanya. Sinar matahari menembus dari balik dinding yang mengelilingi bangunan sekolah, mengenai daun-daun dedalu yang menjuntai sehingga bayangannya membuat wajah kami belang-belang. Kalau basa-basi dilanjutkan, kami pasti tidak berhenti.
Lynn berdeham. "Kamu ... siren?"
"Enggak sepenuhnya siren," jawabku sambil mengingat wajah Matthea, wajah Fee, dan penjelasan mereka pada malam itu. Saat kami sama-sama berenang melintasi lautan untuk tahu apa yang menyebabkan hidupku jadi begini.
"Aku enggak ngerti." Lynn mencabuti rumput dekat sepatunya.
"Kamu sendiri?" tanyaku sambil memandang warna kuning lemon daun pohon ini. Cantik sekali. Andai aku bisa menggambar dan melukis juga. "Kamu tahu Lagu Kutukan dan terus bertingkah aneh setiap kali aku bahas siren atau tanya-tanya soal itu."
"Jeli, heh?" Lynn mendengkus sambil melempar kerikil ke atap sumur. "Bukan aku. Ibuku."
Aku berjengit, merasa salah dengar. "Maaf?"
Lynn menatapku dengan seulas senyum teduh. "Ibuku," ulangnya, aku tidak salah dengar. "Ibuku dulu seorang siren. Dia yang menceritakan padaku macam-macam hal soal siren. Tentang kutukan mereka dan bagaimana itu bekerja." Remaja berambut hitam di sebelahku tersenyum sendiri. Dari matanya, kurasa ia membayangkan wajah wanita yang kami bicarakan.
"Uhhh, kamu kesal karena aku menyanyikannya?"
"Enggak juga. Aku kaget, kalau kaget suka kayak orang marah. Maaf, ya." Lynn ketawa.
"Santai aja." Aku mengibaskan tangan. "Soal ibumu, kukira mereka yang kembali menjadi manusia akan melupakan hidup sewaktu menjadi siren."
Lynn mengangguk. "Ibuku menjadi manusia di pantai ini. Ayah menemukannya dan mengajaknya pulang, kakek dan nenek kemudian meminta ibu menjelaskan apa yang terjadi. Cuma, yah, ibuku tidak langsung bisa mengingat bahasa manusia. Ayah kemudian mengajari Ibu membaca, menulis, membantunya mengingat, dan mengenalkannya dengan beragam hal. Beliau juga yang meminta Ibu untuk menulis pengalamannya dalam bentuk diary karena ibu sulit bicara, tetapi lancar menulis. Jadi, sebelum ibuku benar-benar lupa, ia sudah lebih dulu menyelesaikan catatan hariannya. Hanya Ayah dan aku yang pernah membaca buku itu. Keping ingatan Ibu kembali seminggu kemudian. Ayah menemaninya pergi ke kota kelahiran Ibu untuk mencari orang tuanya. Berhasil! Walau, Opa dan Oma sempat mengira putri bungsu mereka meninggal akibat terbawa arus lima tahun silam, pada masa itu."
Aku terdiam. Teringat dengan keinginan Matthea untuk menemukan orang-orang yang mencarinya selama dia hilang. Ini juga mengingatkanku, tentang cerita Matthea bahwa siren menyelamatkan selama manusia melupakan daratan dan berserah pada kekuatan laut.
"Waktu yang lama bukan?" Lynn tersenyum penuh kenangan. Ia terdiam sesaat, menggali memori lama. "Ayah dan Ibu berpisah tidak lama kemudian. Ayah kembali ke sini, menyampaikan kabar gembira itu pada kakek dan nenek. Sementara, Ibu melajutkan hidupnya sambil mengurus beberapa hal karena sempat dinyatakan meninggal dunia. Ibu sempurna melupakan soal siren dan tidak pernah membaca diary-nya. Ayah juga sama."
"Ingatan mereka tertimbun di balik memori yang lebih penting. Mereka bertemu lagi saat kuliah. Sama-sama mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi di Boston. Setelah lulus, keduanya pulang dan menikah di kampung halaman ibu. Ayah kemudian mengajak ibu tinggal di sini. Di desa tempat kutukan itu lepas dari Ibu sekaligus pertemuan pertamanya dengan Ayah. Saat usiaku tujuh tahun, orang tuaku mulai menceritakan kisah-kisah lama mereka yang seperti dongeng. Ibu bersenandung Lagu Kutukan-satu-satunya memori yang tersisa tentang siren-sementara Ayah membacakan diary Ibu untukku. Ketika kedua adikku lahir, mereka sudah terlalu modern untuk mempercayai siren. Yah, aku pun sudah lupa, jika kamu tidak minta diceritakan."
Lynn menatapku. Wajahnya berseri-seri dengan senyum sehangat mentari. "Begitulah. Aku tidak suka siren. Mereka menjebak manusia untuk jadi wadah kutukan baru. Namun, di saat bersamaan, ibuku selamat berkat mereka dan bisa bertemu Ayah."
"Jadi kamu benci dan suka?"
"Banyakan bencinya," aku Lynn. "Terus, kamu gimana?"
Aku tersenyum kecut dan meringis. Kemudian mulai bercerita. Wajah Lynn merona saat kukatakan aku bertemu Matthea, ketika dia dalam kondisi telanjang. Lynn mulai mempertanyakan apakah ibunya juga begitu ketika bertemu ayahnya? Dan wajahnya semakin merah. Kuceritakan semuanya pada Lynn, sambil merekam suaraku di ponsel. Jaga-jaga. Mulai dari pertemuan pertama, perubahan di kamar mandi, bertemu Fee, dan segalanya. Termasuk tentangku yang pelan-pelan menjadi siren.
"Rumit," komentar Lynn. Wajahnya berkeringat.
"Yep."
"Ada yang bisa kubantu?"
Aku berpikir sejenak. Teringat keluhan Matthea soal ingatan dan kakinya lantas berkata, "Boleh ketemu Ibu kamu? Matthea ... sepertinya ada yang mau dia tanyakan."
Halo, hai (ง •̀_•́)ง
Bagaimana tanggapannya tentang bab ini? Sudah enggak penasaran dengan Lynn? Terbayang akan seperti apa perannya dalam cerita ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top