15. Jangan Bernyanyi Sembarangan

Halo, semoga sehat dan bahagia selalu 🐥 hari ini kembali bersama Elio, ya.

Jangan lupa menekan vote, selamat membaca 🏄 bantu saya temukan tipo.

***

Elio.

Sinar matahari menembus kaca. Bayang-bayang pohon yang menjulang tinggi jatuh di atas meja-meja kelas yang masih kosong. Hanya ada beberapa anak di sana-sini, nama-namanya belum kuhapal semua. Mereka membicarakan sesuatu tentang PR kemarin, hantu yang mendiami sumur tua di belakang sekolah, kakak kelas cantik dan ganteng dari kelas sebelah, penjaga sekolah tua berwajah seram, dan lain-lain. Aku tidak menyimak.

Setelah kejadian di rumah kemarin, saat Lynn ada di sana dalam waktu yang tidak terduga. Aku jadi tidak bisa tidur karena terbayang sama apa yang mungkin didengarnya. Kondisi ini diperburuk dengan kenyataan bahwa kami sebangku, menghindarinya akan terlihat sangat kentara.

Kemarin, aku pulang. Bersumpah tidak akan pergi bersama Selene lagi. Sudah kuduga ada yang aneh, dia terlalu kalem setelah jumpa dengan Matthea. Sepanjang perjalanan enam jam lebih yang mengenaskan, kupingku seakan berdarah mendengar semua omelannya yang setajam pisau. Masalahnya satu, ada anak tetangga di kamar tidurku. Kami pelukan saat matahari masih hangat-hangatnya dan kuping Selene jelas-jelas mendengar bahwa Matthea menangis. Kemudian aku masih berani menentangnya, untuk tidak bertanya apa pun kepada Matthea saat itu? Bagus, Selene menumpahkan semua padaku di perjalanan panjang rute neraka kami. Belum lagi, kami selalu berhenti di pom bensin karena aku benar-benar harus membasahi tangan dan wajahku. Minuman yang dibeli Selene, dua botol mineral satu liter kuhabiskan sendiri. Jadi dia ngamuk lagi. ("Kamu kenapa, sih?" "Aku haus." "Kamu minum, seperti tidak pernah minum seumur hidup!" "Aku haus, Sel." "Tidak ada berhenti di pom lagi!") Kami tetap berhenti karena aku mengancam akan menarik rem tangan jika dia ngotot jalan.

Setelah menyelesaikan urusanku di sana. Aku langsung buru-buru pulang, dengan tegas menolak niat baik Selene untuk mengantarku. Sepanjang perjalanan yang lebih melegakan, menaiki satu bus ke bus lain berbekal dua liter minuman, kemudian melintasi hujan dengan perlengkapan hasil beli dadakan di salah satu toserba. Aku sudah membulatkan keputusan menyerahkan kutukan ini.

Pikunku semakin parah. Ugh! Aku pulang ke rumah, lantas lupa harus melakukan apa. Barulah setelah Selene mengeluarkan sekotak perkakas dan menjelaskan masalah di bawah bak cuci piring, aku teringat. Aku lupa menyalin catatan dan tugas yang dikirimkan Lynn. Lupa melakukan apa sepuluh menit lalu. Lupa untuk apa aku membuka kulkas. Lupa apa yang kucari di kamar. Lupa apakah saat mandi tadi, aku sudah menyikat gigi atau belum. Lupa apakah ledingnya sudah diperbaiki. Lupa ponselku di mana, padahal aku sedang memegangnya. Untungnya, semua tragedi lupa ini bisa kusembunyikan rapat-rapat selama bertingkah sok tenang dan sewajarnya.

Ugh!

Mengerikan. Aku tidak bisa hidup seperti ini. Tidak mungkin aku sanggup hidup sebagai penulis sekaligus pelajar jika ingatanku memprihatinkan. Dalam sehari, aku mencatat banyak hal di ponsel, di buku, bahkan di telapak tanganku. Lengkap dengan jam-jamnya. Mencatat apa yang sudah kulakukan dan apa yang akan kulakukan. Hal-hal penting seperti bus yang kugunakan, rutenya, dan jam berapa tiba bahkan kujadikan alarm. Juga waktu-waktu di mana aku harus minum atau berendam. Aku bahkan mengubah wallpaper HP jadi tulisan: NAMA KAMU ELIO. Buat jaga-jaga. Aku tinggal ingin membayangkan kemungkinan terburuk.

Ugh!

Sambil berusaha berpikir positif, aku berlari ke rumah seperti bocah yang gemar mandi hujan. Cuaca yang tidak terik berpengaruh pada rasa hausku, menurunkan intensitas minuman yang kuhabiskan. Perasaan campur adukku sedikit menguap setelah melihat Matthea sudah bisa bicara. Kali ini bicara bahasa manusia. Melihatnya ketawa dengan bangga membuatku ikut tersenyum, walau jauh di dalam hatiku ada yang berbisik: Lihat Elio, selagi kamu pelan-pelan menderita. Dia makin bebas dari kutukannya.

Kemudian Lynn muncul. Suasana jadi super canggung untuk alasan yang tidak kumengerti. Mungkin, inilah yang dirasakan Selene saat memergokiku berdua saja dengan cewek asing.

Lynn menjelaskan soal hujan, numpang mandi, dan tugas antar makanannya. Oh, pikiranku enggak fokus karena terpecah dengan dugaan Lynn mendengar kegembiraanku dan ocehan kami yang tidak normal sama sekali. Remaja berkulit tan itu tidak lama, dia meminjam payung dan berjalan pulang. Sambil memperhatikan teman sekelasku semakin jauh, Matthea berkata begini, "Ada yang aneh denganku."

Napasku tiba-tiba sesak. Aku menyuruh Matthea masuk dan kami duduk berdua di lantai ruang tamu. Tanpa aba-aba, gadis ini melanjutkan.

"Aku masih belum dapat secuil ingatan tentang hidupku sewaktu masih jadi manusia," katanya. Suaranya bergetar dan ia memainkan ujung kukunya gelisah. "Kakiku sakit luar biasa jika dipakai jalan dan aku ... aku menyerap air."

"Menyerap air?"

Matthea memandangku. "Saat si Lynn itu ke sini. Dia basah kuyup termasuk tasnya. Dia memberikan benda basah itu padaku. Aku hanya memegangnya sebentar dan tahu-tahu tas itu kering, sampai ke dalam-dalam." Matthea berhenti sebentar, kembali menunduk dan melihat tangannya. "Aku tidak mungkin membasahi tas dan buku-bukunya lagi untuk menutupinya."

Aku menyentuh tangannya yang bergetar. "Lynn sadar?"

"Sepertinya. Dia kelihatan memeriksa tasnya berkali-kali, tapi enggak bilang apa-apa."

Aku melepaskan tangan Matthea diiringi embusan napas panjang.

Sudah hampir seminggu semenjak kami berbagi kutukan. Selain pelupa akut dan ancaman dehidrasi mengerikan, aku justru mampu mengingat Lagu Kutukan Matthea dengan mudah. Tanda-tanda bahwa aku semakin dekat dengan siren. Padahal belum mendekati tiga bulan.

"... bisa lebih cepat atau lebih lambat."

Suara Matthea terdengar dalam kepalaku. Aku terpejam dan menggeleng. Sementara aku semakin dekat dengan wujud setengah ikan, Matthea, alih-alih mendapat tanda-tanda menjadi manusia utuh justru membangkitkan kekuatan aneh. Lalu sesuatu yang sempat terlewat, muncul dalam otakku.

"Orang yang mengikutimu itu." Kulihat tubuh Matthea menegang dan wajahnya berubah kaku. "Kamu ketemu dia lagi?"

Gadis di depanku menggeleng dengan gerakan patah-patah. Aku tahu dia bohong, tetapi memutuskan untuk tidak menekan dan membuatnya tidak nyaman. Aku sudah berjanji, kami akan menemukan solusinya bersama-sama dan jika Matthea memegang omonganku dengan serius. Aku percaya, dia akan cerita.

Kami mengobrol seperti biasa setelahnya, sambil menyantap makanan dingin yang dibawa Lynn. Sementara ia membicarakan ini-itu tentang novel-novelku, aku mengerjakan catatan dan tugas-tugas yang terlewat tiga hari ini. Momen-momen seolah kami benar-benar manusia, tanpa pikiran akan kehilangan satu sama lain nantinya benar-benar kunikmati sepenuh hati.

Jam pertama dimulai lima belas menit lagi, kelas sudah lebih ramai. Sambil menggulir laman sosial media, aku menyenandungkan Lagu Kutukan. Benar kata Matthea, lagu ini terikat pada jiwa siren seperti lem. Keti

Bangku di sebelahku ditarik. Lynn meletakkan tasnya dengan kasar, membuatku mendongak untuk melihatnya.

"Elio, kenapa kamu bernyanyi lagu itu?"

Ah. Sial.

Halo! Bagaimana pendapatnya tentang bab ini? 🐤

Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca. Sampai jumpa besok (๑•̀ㅂ•́)و✧

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top