14. Cewek Ini Cosplay Menjadi Casper

Hei! Balik lagi bersama Lynn. Selamat membaca jangan lupa menekan vote. (๑•̀ㅂ•́)و

***

Lynn.

Desa tempatku berasal bernama Hespia adalah wilayah pesisir pantai. Meskipun letaknya sangat jauh dari ibu kota yang menjadi pusat pemerintahan, sistem pendidikan dan layanan kesehatan di Hespia sangat terjamin. Selain menjadi salah satu pusat distribusi hasil laut, Hespia juga menjadi distrik wisata. Namun, pembangunan hotel, motel, maupun apartemen di tempat ini sangat dibatasi oleh pemerintah setempat. Alasannya aku tidak tahu jelas, tetapi setahuku agar nilai autentik dari tempat ini tidak hilang. Pengunjung yang datang ke sini biasanya dibiarkan menginap di rumah-rumah warga. Tentu saja mereka dibayar. Selain sebagai tuan rumah, warga desa bisa merangkap menjadi guidetour juga. Jadi kami, sedikit-banyak mampu berbahasa asing. Selain pembatasan penginapan, supermarket juga dibatasi dengan alasan agar usaha warga setempat tidak mati. Wisatawan jadi lebih menikmati bauran sosial dan ritme kehidupan Hespia.

Kalau rumah Elio berdekatan dengan pantai berpasir merah muda dan putih yang ada di belakang kediamannya. Rumahku punya pemandangan puncak-puncak gunung Aspian yang ditutupi rimbunan pohon. Dari jendela kamar di lantai dua, aku bisa duduk berjam-jam, memutar playlist lagu Coldplay sambil menyelesaikan belasan sketsa gambar hutan dan gunung. Jika malam tiba, suara hewan-hewan malam terdengar seperti musik. Berpadu bunyi deburan ombak.

Dua hari lalu, Elio absen sekolah untuk menjenguk pamannya. Aku dibayar menjadi tukang antar makanan untuk saudaranya semejak hari itu. Kembali ke rumahnya seperti sekarang, sepulang sekolah. Hujan deras mengguyur Hespia siang ini, tidak biasanya.

Aku memeluk tas basahku. Sudah sejam rumah ini tidak kelihatan memiliki tanda-tanda penghuni padahal sejak tadi jendelanya kuketuk. Inturksi Elio jelas, tinggalkan makanan di depan pintu masuk. Entah untuk alasan apa, aku benar-benar dibuat seperti kurir tanpa kesempatan berkenalan dengan penghuni baru lain desa kami. Bisa saja kutinggalkan bungkus makanan ini di depan, seperti yang sudah-sudah, tetapi jika saudara Elio membukakan pintu. Aku ingin masuk, menumpang kencing, dan mengeringkan tasku sekalian berteduh. Aku sudah bela-belain kehujanan, masa tidak boleh menumpang di rumahnya sebentar?

"Permisi, paket!" Aku mengetuk-ngetuk pintu depan, keras-keras agar suaranya tidak teredam bunyi tetesan hujan yang menghantam atap ganas.

Baru saja berbalik dan akan kembali duduk di teras. Bunyi keriut pintu terbuka membuatku menoleh sangat cepat.

Dari celah yang sedikit, seseorang bersuara serak. "Ke-napa bel-um per-gi?" Suaranya ditimpa bunyi hujan.

"Hah?"

"Kenapa belum pergi?"

Yang kudengar: Pshhspshsps. "Apaan?" Aku sedikit teriak.

"Kenapa belum pergi?" Dia berteriak. Suaranya tinggi. Perempuan ternyata.

"Oh?" Aku mendekati pintu kikuk. "Mau numpang ke kamar mandi, boleh? Ini Lynn." Suaraku melembut, berusaha merayu supaya dapat izin kencing.

"Tahu." Jawabnya ketus. Masih mempertahankan pintu yang sedikit terbuka. Saking sedikitnya aku tidak bisa mengintip seperti apa cewek menyebalkan setengah tuli yang membiarkanku kedinginan di luar selama sejam. Padahal, aku mengetuk pintu dan jendela seperti orang kesetanan.

"Jadi ... boleh?"

Pintu dibanting tertutup. Aku mengerang.

"Dasar pelit!" Aku menyumpah. Membuka ritsleting tas dengan kasar dan mengeluarkan plastik putih berisi tiga tempat makan busa. Berniat pergi dari sana setelah meletakkan kewajibanku. Peduli amat kencing-kencing di celana, toh aku sudah terlanjur basah kuyup.

Aku menunduk. Pintu mengayun terbuka. Kulihat sepasang kaki bersandal rumah.

"Jadi masuk?" Suaranya tajam, membuatku mendongak dan cepat-cepat berdiri. Sedikit keheranan dengan penampilannya. Dia menutupi tubuh dengan sprei kasur warna putih yang menggantung beberapa senti dari ujung kaki.

Cosplay jadi hantu Casper, huh?

Aku mengangguk. "Jadi," balasku mantap. Tak acuh dengan pakaian aneh cewek ini.

Dia bergeser dan aku masuk tanpa memedulikan bekas air hujan yang menetes dari seragam.

"Kamar mandinya di ...."

"Pintu ketiga, lorong kiri." Pungkasnya cepat.

Aku mengikuti intruksinya sambil berseru terima kasih dan menuntaskan urusanku bersama kamar mandi.

"Jangan keluar kamar mandi kalau masih basah." Si Casper menghalangi jalanku seperti seorang penjaga bersenjatakan pengepel lantai saat aku keluar. "Keringkan badanmu dulu. Handuknya di sana." Casper menuding gantungan handuk yang menggantung di sebelah boks berisi pancuran. "Pakai yang warna hijau."

"Hehe, maaf ngerepotin." Kuserahkan tas abuku padanya. "Makanan kamu di dalam. Ambil aja. Aku boleh sekalian pinjam pengering rambut?"

Casper menerima tasku hati-hati. Seolah ia anti sekali dengan benda-benda basah. "Terserah," katanya sambil lalu.

"Sekalian mandi?"

"Terserah!"

"Makasih!"

Aku menghabiskan waktu sekitar setengah jam lebih dikit. Walau bilangnya mandi, sebenarnya aku cuma membilas rambut dan mengusir rasa dingin air hujan. Setelah merasa cukup bersih, aku handukan dan menggunakan pengering rambut untuk mengeringkan pakaian. Baju dan celana enggak tertolong sampai dalam-dalamnya. Merasa agak menyesal menyuruh cewek tadi membawa tasku, aku jadi tidak bisa menyembunyikan celana dalam basahku di sana. Kutatap seisi kamar mandi berdinding keramik biru muda dan putih ini. Sepertinya ini kamar mandi Elio, kalau dilihat dari bersihnya meja westafel dari pernak-pernik cewek. Tidak seperti kamar mandi rumahku yang westafelnya penuh dengan set pembersih muka, yang bisa membuat adik perempuanku tertahan di kamar mandi selamanya. Rumah Elio luas, jadi dia pasti punya lebih dari satu kamar mandi untuk saudarinya.

Aku menekan tuas, menarik pintu ke dalam.

"Uh, Mbak?" Suaraku memantul di lorong. Aku keluar dan mengeringkan kaki di atas keset. Casper muncul dari ujung kelokan dengan tasku di tangannya. Masih dengan penampilan tadi, apa dia enggak gerah?

Dia menyerahkan tasku. Kering.

Aneh.

"Hujannya masih?" tanyaku sambil menyentuh bagian-bagian lain tas itu. Semuanya kering, seperti tidak pernah basah.

Casper menjauh. Ujung spreinya menyapu lantai seperti gaun putri yang kepanjangan. "Sedikit."

Aku membuntutinya sampai ujung lorong. Lalu suara yang amat familiar berseru dari luar rumah.

"Matthea! Tolong, ambilkan handuk."

Entah dirasuki hantu apa. Si Casper berlari ke depan. Ia bahkan membiarkan spreinya terlepas, tergeletak berantakan di lantai. Sekilas kulihat punggung mungil ditutupi rambut hitam dengan terusan merah strawberi berlari keluar sambil teriak, "Elio!"

"Eh, awas! Basah! Basah!" Elio menjerit-jerit. "Awas kena airnya! Nanti kamu berubah!"

Aku mengernyit, merasa aneh dengan ucapannya. Kuikuti langkah gadis tadi. Suara keduanya terdengar sampai dalam.

"Aku sudah belajar. Susah. Tapi, uhhh ... aku belajar dengan cepat."

"Senang dengar kamu bisa bicara." Elio tertawa kecil.

Oke. Itu ucapan yang agak aneh.

"Oh, iya. Ada seseorang di dalam." Cewek yang dipanggil Matthea tadi menoleh ke belakang. Tepat saat aku memunculkan kepala.

Elio berdiri di halaman. Dengan jas hujan plastik warna kuning, sepatu bot senada, dan payung ungu. Dia kelihatan seperti seseorang yang alergi hujan.

Tidak mau terkena air.

"L-Lynn," sapanya dengan senyum gugup yang kentara.

"Hei, El."

Halo, bagaimana tanggapannya tentang bab ini? ╭(●`∀'●)╯╰(●'◡'●)╮
Bab depan akan kembali dari sudut pandang Elio, ya. Aku kangen sama dia.

Sampai jumpa besok (/^▽^)/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top