12. Penguntitku Itu Sudah Gila!
Halo! o( =•ω•= )m
Semoga sehat selalu ヾ(〃^∇^)ノ♪
Jangan lupa menekan tombol vote sebelum mulai membaca.
Terima kasih. Happy reading (/^▽^)/
***
Matthea.
Menjelang fajar tadi, saat semburat jinggamenampakkan diri di cakrawala dan udara semakin menggigit. Aku memutuskan pergi meninggalkan pantai.
Telapak kaki dan lututku sakit luar biasa. Setiap langkah terasa perih seperti luka baru terkena air. Aku memakai sandal yang dipinjamkan Elio, katanya itu digunakan supaya kaki tidak terluka. Namun, benda tipis ini tidak membantu sama sekali. Setiap kali berjalan, sakitnya tidak tertahankan. Mungkin karena belum terbiasa. Aku berusaha jalan perlahan, memegangi tangan Elio keras-keras semalam sebagai pelampiasan. Namun, pedih yang mengganggu ini tidak kunjung hilang. Pikiranku hanya satu, aku harus pulang sebelum matahari semakin tinggi. Aku tidak ingin mengering di jalan. Lebih-lebih, ada seseorang yang memperhatikanku.
Walau tidak kulihat langsung. Aku bisa menyadari tatapannya. Dia berdiri jauh, bersembunyi di balik bayang-bayang dan sudah ada di sana sejak aku dan Elio tiba di pantai semalam. Kukira dia mengawasi Elio. Namun, sosok berambut panjang ini mengawasiku. Tidak bergeser sedikit pun selama aku di pantai. Dia membuatku jauh lebih ngeri daripada apa pun.
Selama perjalanan pulang, aku tidak tahu apakah masih diikuti atau tidak. Pikiranku terfokus pada cepat sampai rumah sehingga tidak perlu berjalan. Rasa sakit ini membuat sekujur tubuhku bergetar dan kepalaku sakit. Setibanya di rumah, aku berjalan ke kamar terdekat. Kamar Elio dan bersimpuh. Demi Udang! Sakit sekali. Perihnya membakar, jauh lebih menyakitkan daripada saat kekurangan air. Saat kupikir akan pingsan karena sakit dan lelah. Elio terbangun. Aku tidak bisa menahan sakitku dan menangis sambil memeluknya. Berharap perih ini pergi.
Elio tidak berkata apa pun, dia menepuk-nepuk kepalaku sambil berkata, "Cup-cup," pelan.
"Siapa cewek ini?"
"Anak ... tetangga." Elio bersuara, ia memeluk kepalaku. Membuatku tidak bisa berbalik untuk melihat siapa yang bicara. "Ini anak tetangga ... namanya Matthea."
Ada kegugupan dalam suara Elio. Aku penasaran, kenapa dia berbicara seperti ini. Saat kuintip dari celah lengan, wajahnya pun kelihatan kaku sekali.
"Ok-e," balas suara perempuan, diikuti bunyi langkah kaki yang menjauh.
Elio membuang napas panjang, seolah dia menahannya sejak tadi. Dia mengangkat wajahku dan berkata, "Matthea, maaf."
Aku juga minta maaf.
"Untuk apa?"
Kutukannya.
"Oh." Dia manggut-manggut dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Orang yang ikutin kamu itu," bisiknya. " Apa dia menyakitimu?"
Enggak. Cuma ... memperhatikan dari jauh.
Elio manggut-manggut lagi. Dia menjilat dan mengingit bibir bawah. Elio selalu kelihatan gelisah. Aku penasaran, apa yang dipikirkannya sampai tidak pernah kelihatan tenang.
Ada yang mau kamu bilang?
"Ada." Dia mengangguk. "Pertama, cewek tadi kakakku. Kedua, dia mengajakku pergi."
Aku mengubah posisi menjadi duduk dan menatap Elio bingung.
Ke mana? Aku ikut?
"Aku bakalan pulang ke kota." Elio menggeleng, suaranya terdengar menyesal. "Kamu enggak bisa ikut."
"Perginya enggak lama." Dia menatapku penuh janji. "Paling sehari atau dua hari. Aku bakal masak sarapan dan makan siang untuk hari berangkatnya, nanti makan malam sama makanan buat hari esok bakal diantar sama ... sama ... Lynn."
Aku tidak begitu paham sama kalimat-kalimat panjang Elio. Aku dengar dia bilang soal pergi lama, sehari, makanan, dan Lynn. Elio kemudian menjelaskan lebih pelan sambil menulis di sebuah kertas. Dia memberitahu, bahwa akan membayar seseorang bernama Lynn ini untuk mengantarkanku makanan pada jam-jam tertentu. Elio mengambil jam dinding di rumahnya dan menandai pukul setengah tujuh, setengah dua belas, dan setengah delapan. Dia juga bilang, itu urutan sarapan, makan siang, dan makan malam. Mengatakan bahwa aku tidak perlu bertemu dengan Lynn. Dia akan menyuruh tukang antar makanan ini meletakkan keperluannya di pintu depan dan pergi. Aku bisa mengambil makanan setelahnya.
"Ini." Elio membentuk sebuah lingkaran di atas kertas bertuliskan DENAH. "Ini kamar mandi yang baknya besar. Kalau kamu merasa butuh berendam. Hidupin kerannya, tunggu sampai setengah penuh. Nanti kuajari cara menghidupkan dan mematikan keran. Oke?"
Aku mengangguk.
"Ini dapur. Jangan ke sini! Ini ruang makan. Kamu makan di sini. Ini kamar kamu, kamar aku, kamar kosong, kamar kosong, kamar Selene. Kamu cukup ke kamar kamu aja. Ini pintu depan, tempat ambil makanan pas Lynn pergi. Oke?"
Aku mengangguk.
"Paham?"
Enggak terlalu. Ini tadi apa?
Dia ulang menjelaskan.
Elio juga menandai beberapa bagian dalam kamus. Kosakata yang harus kumengerti. Lalu selagi dia izin membuat sarapan, Elio menyuruhku bernyanyi Lagu Kutukan.
"Pelan-pelan saja nyanyinya. Kamu nyanyi ke arah sini." Dia menunjuk benda pipih bernama gawai. "Ini lagi mode rekam suara. Kamu nyanyi, ya. Nanti lagunya kuhapalin. Jangan sampai salah lagi."
Aku mengangguk, Elio berjalan keluar.
Jadi dia sudah memutuskan untuk melakukannya, ya? Baguslah.
Lagu ini adalah satu-satunya ingatan yang ada bersama dengan intruksi memindahkan kutukan, saat memoriku yang lain tersapu bersih seperti tulisan di atas pasir pantai. Di luar dugaan, aku justru menyanyikannya dengan salah. Padahal barisan lirik dan nada ini sudah seperti darah dalam tubuhku. Bahkan aku sering menyanyikannya tanpa sadar. Kupejamkan mata, memfokuskan seluruh jiwaku pada satu lagu ini. Bernyanyi sebaik mungkin, seolah aku akan mati jika hasilnya tidak bagus.
Aku tidak merasa menyanyikan lirik yang salah. Saat mengutuk Elio maupun di depan Fee. Apa ada faktor lain?
Sekelebat wajah sosok yang mengikutiku muncul. Aku membuka mata dengan dada berdentum gelisah. Jariku bergetar pelan.
Apa yang dia inginkan dariku?
"Lynn setuju buat antar makanan di jam-jam yang udah kusebutin." Elio menggenggam kedua bahuku erat-erat. "Pokoknya jangan ke mana-mana, ya. Aku nanti bakal suruh Lynn buat ngecek kondisi rumah sesekali."
Aku mengangguk.
Kami berdiri di depan pagar rumah, samping benda besar bernama mobil yang menderu-deru seperti bernapas. Di dalamnya, ada Selene.
"Jaga diri kamu Matthea." Elio menurunkan tangannya, menatapku dengan pandangan tidak tega dan mengangguk. Mungkin meyakinkan dirinya sendiri, lantas berjalan memasuki pintu di sebelah Selene.
Selene berbicara padanya, Elio membalas sambil memasang penyumbat kuping yang terhubung ke gawainya. Ia menatapku dari dalam mobil, lalu melambaikan tangan. Selene juga ikut-ikutan sambil berseru, "Dah, 'Anak Tetangga!'"
Setelah mereka tidak lagi terlihat. Udara di sekitarku berubah dingin, mengingatkanku pada suhu lautan. Dadaku menyempit dan perutku mual. Aku mengeratkan kepalan saat seseorang berdiri di sebelahku, begitu dekat sampai bisa kudengar detak jantungnya.
Dia yang mengikutiku. Seorang pria berkulit sepucat patung Istana Laut. Rambutnya sehitam mata ikan, lurus, panjang, licin, dan terlihat basah. Tubuhnya menjulang, hingga tinggiku hanya sedada. Suaranya semerdu alunan biola ketika dia berkata, "Kembalilah ke laut ...."
Kata terakhirnya membuatku semakin mual.
"... Putri."
Eyyy, halo!
Matthea kamu kenapa, Nak?
Menepi dulu dari kerumitan Matthea dan Elio. Bab berikutnya kupersembahkan untuk anak tamvanku yang baru sebentar muncul, tapi namanya udah jadi penolong bagi Elio berkali-kali. Yak, Lynn.
Kamu baru muncul bentar, udah dibuat repot sama Elio. Maaf ya, Lynn.
Sampai jumpa besok (๑•̀ㅂ•́)و✧
Terima kasih sudah membaca.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top