11. Jangan Memeluk Gadis Asing di Depan Kakakmu
Halo! Selamat membaca ୧ʕ•̀ᴥ•́ʔ୨
Jangan lupa beri vote.
☆(*^o^)乂(^-^*)☆
Selamat membaca.
***
Elio.
Selene menghabiskan minumannya dan mendesah lega keras-keras. Paman dan bibi tidak suka kalau kami minum, apalagi sampai mabuk. Selene sama sekali tidak acuh. Menurutnya, ia sudah tidak perlu diatur-atur seperti anak kecil, seperti anak ayam-aku-dan setelah banyak perdebatan, Selene angkat kaki dari rumah. Menyewa sebuah kamar apartemen kecil dan bekerja di bengkel mobil. Mobil yang terparkir di luar, pasti dipinjam dari bosnya atau pelanggan tetap. Setelah keluar dari rumah, Selene juga berhenti kuliah. Dia gadis yang cerdas, jadi aku tidak akan merisaukan hidupnya tanpa pendidikan formal. Dia punya banyak kemampuan untuk menyokong hidup dan tidak perlu khawatir harus makan apa besok. Selene pernah bilang begini: "Di sekolah, kamu belajar baru ujian. Dalam hidup, kamu diberi ujian lalu belajar."
"Mama bilang, Papa pingsan pas lagi perbaiki bak cuci," katanya sambil membuka tutup botol kedua. "Aku tanya, kenapa Papa enggak suruh Piyik buat memperbaiki ledingnya? Mama bilang, kamu udah enggak tinggal di rumah. Sisanya, seperti yang kamu lihat sekarang." Dia menyesap minumannya selagi aku diam, merasa bersalah karena meninggalkan paman dan bibi.
"Enggak usah lesu gitu. Buat apa kamu merasa bersalah?" Selene menunjuk wajahku. "Kamu enggak perlu minta maaf. Kamu perbaiki ledingnya, aku pijetin Papa. Selesai. Aku anter kamu balik ke sini."
Mac n Chesse kami datang.
Aku masih diam. Tentu aku akan pulang, hal yang mengganggu adalah Matthea. Kalau aku pulang, dia bagaimana? Makannya dia gimana? Kami baru kenalan dua hari, terlalu singkat untuk membiarkannya di rumahku tanpa pengawasan. Aku percaya Matthea tidak akan mencuri, tetapi aku sangsi dia bisa bertahan hidup tanpaku-secara harfiah-dia belum lancar bahasa manusia dan berjalan. Bisa sedikit membaca, tidak mengerti internet, dan tidak bisa memasak. Dia bayi ukuran besar.
Kusedot Pepsi-ku sampai bersuara nyaring.
"Kenapa kamu enggak bilang, kalau pergi dari rumah?" tanya Selene sambil memasukkan sesuap makaroni.
Aku menaikkan alis. "Sel mau menahanku?"
Selene menggeleng. "Enggak," bantahnya "Cuma penasaran."
"Karena kamu bakalan marah?" tebakku asal.
"Bukan itu masalahnya," Selene mengernyit dalam-dalam dan meletakkan botolnya. "Aku tidak keberatan kalau kamu mau keluar rumah. Mau ke Bulan atau Mars juga terserah. Itu urusan kamu, kamu udah dewasa. Aku keberatan, karena kamu enggak cerita." Dia menatapku dengan mata yang memerah.
"Dari dulu, dari kita kecil. Kamu selalu menyembunyikan banyak hal. Apa aku harus bongkar-bongkar komputer Mama dulu, buat tahu kalau kamu ternyata penulis? Apa aku harus marah-marah di sekolah dulu, buat tahu kalau kamu diganggu? Apa harus Mama yang ngasih tahu, kalau kamu sebenarnya udah enggak betah tinggal sama kami?"
Aku tersentak. "Enggak gitu, Sel."
"Setelah Om sama Tante meninggal," Selene menarik napas, "kamu, Elio, adalah bagian dari keluarga kami. Kamu, Elio, bukan lagi saudara sepupuku. Kamu saudara kandung. Papa dan Mama adalah orang tua kamu. Sesusah itu buat sekadar bilang, 'Sel, aku pamit, ya. Urus kamar kamu sendiri. Sering-sering pulang buat jenguk Paman sama Bibi. Aku mau tinggal di rumah lama, bye.' Apa susah? Dari kita kecil, aku selalu cerita sama kamu. Aku cerita pengen punya bengkel, aku cerita berapa uang yang kuhabiskan buat bikin tato yang sampai sekarang Papa sama Mama enggak tahu. Aku cerita, di mana aku tinggal, biar kamu bisa main ke sana atau ngasih tahu Papa sama Mama jika ada sesuatu. Aku kasih tahu kantorku di mana, supaya kamu bisa bawa motor kamu-kalau udah punya-buat diperbaiki di sana. Gratis."
Aku bergeming.
"Aku ceritain semuanya ke kamu, Elio. Semua." mata Selene bergerak liar. Menatap meja makan kami, menatapku, menatap minuman di tangannya. Tubuhnya bergoyang pelan. "Tapi, aku merasa enggak tahu apa-apa soal kamu. Kamu sembunyikan semuanya. Simpan rapat-rapat buat diri kamu sendiri." Selene menghabiskan minumannya dan membuka botol ketiga.
Aku mengusap tengkuk dan menduduk. "Maaf," bisikku.
Aku bukan seseorang yang pandai berekspresi. Kalau ada apa-apa, semuanya kusalurkan dalam tulisan. Lalu, seringnya menyadari beberapa hal secara terlambat. Seperti, sadar bahwa aku kesepian dan yatim-piatu. Beberapa bulan setelah pemakaman. Sadar, bahwa ada sekelompok anak yang tidak menyukaiku hanya karena aku canggung dan penggugup, setelah mereka menceburkanku ke selokan. Sadar, bahwa aku menyakiti Selene selama ini. Baru sekarang.
Saat itu juga aku menyadari, bahwa aku sedang menyembunyikan sesuatu yang benar-benar tidak bisa kuceritakan padanya. Apa aku merasa bersalah? Hingga kini. Menyesal? Tidak.
"Kurasa, laki-laki memang punya banyak rahasia," elakku sambil tersenyum kecil. Aku tidak terbiasa membuka diri. Kalau pribadi seseorang diibaratkan sebagai sebuah gembok yang tertutup, maka aku belum menemukan mata kunci yang tepat.
Obrolan tidak berlanjut. Selene mabuk berat, botol ketiganya kosong. Setelah membayar, aku membopong tubuhnya ke bangku samping supir dan mengemudi pulang. Kami tiba di rumah dini hari, usai menggedong Selene ke kamar tamu dan membuka pintu kamar mandi supaya dia gampang kalau mau muntah. Aku beranjak ke kamar dan tertidur.
Seratus persen lupa pada Matthea yang masih menungguku di pantai. Aku bersumpah, merasakan sesuatu yang ganjil. Namun, tidak bisa mengingatnya sampai terbawa lelap.
Itulah awal efek kutukannya terasa.
Keping demi keping ingatan, kian sulit untuk dipertahankan.
Aku selalu bangun awal. Biasanya yang pertama kulihat adalah ponsel untuk memastikan jam dan mematikan alarm yang terlambat bangun. Namun, yang kulihat pagi ini adalah wajah yang sesaat terasa begitu asing ... lalu menjadi familier.
"Matthea?" Aku terbelalak dan refleks memundurkan tubuh untuk melihat wajahnya dengan lebih jelas. Keping ingatanku muncul, rasa kehilangan ganjil yang semalam tertutup. Seperti meletakkan puzzle di posisi yang tepat. Aku menatap gadis cantik berkulit cokelat di hadapanku dengan perasaan bersalah yang tidak tertebus. "Matthea, maafkan aku."
Matthea tidak menjawab. Ia berdiri dari duduknya, ikut menaiki kasur, dan memelukku. Tubuhnya bergetar, napasnya putus-putus. Dia menangis.
Aku tidak tahu bagaimana cara menghibur atau membuatnya diam. Berkata, "Berhenti menangis. Aku minta maaf." Tidak terasa etis. Malahan, aku pantas ditampar.
Tangisan Matthea aneh, karena alih-alih air mata. Matthea mengeluarkan butiran mutiara putih dan hitam. Awalnya memang berbentuk seperti air, tetapi saat menuruni pipinya, cairan itu memadat dan berubah bentuk. Aku sudah terlalu kaget untuk sekadar kaget lagi dengan semua hal ke-siren-an ini. Justru merasa bersalah, karena jumlah mutiaranya kian meningkat.
Matthea menyentuh tanganku.
Seseorang mengikutiku.
Selene muncul depan pintu, berantakan, dan tercengang. "Siapa cewek ini?"
Bagaimana tanggapannya terhadap bab ini? Sedikit spoiler, bab depan akan dibawa dari POV Matthea.
Sampai jumpa. (=ↀωↀ=)✧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top