10. Ini Masalah Keluarga
Halo ✧٩(•́⌄•́๑)و ✧
Sebelum mulai, aku mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para pembaca yang sudah mengikuti hingga bab ini ٩( 'ω' )و semoga kalian selalu sehat dan bahagia. Aamiin.
Jangan lupa untuk menekan tombol vote. Selamat membaca ʕ•̫͡•ʔ♡ʕ•̫͡•ʔ
***
Elio.
Stela menatap bukunya, merasa bahwa sesi wawancara ini adalah yang terbaik dalam hidupnya. "Karena Penulis Eli ada di sini. Apa itu artinya Anda berhasil memindahkan kutukannya?"
Elio tersenyum. Ia meletakkan dua cangkir bekas teh ke bak cuci, suara kaca yang berbenturan terdengar. Bercampur dengan bunyi air keran. "Berhasil."
"Berarti kutukan siren itu masih berlanjut?"
Elio tertawa. "Tidak. Tidak lagi."
Aku dan Selene sama-sama anak tunggal. Selene, dia tiga tahun lebih tua dariku. Saat aku pindah ke rumahnya, dia sudah kelas tiga SMP. Saat itulah aku tahu, daripada main sosmed, dia lebih suka memperbaiki barang di rumah. Ada yang benar-benar diperbaiki, ada yang asal jadi alias makin rusak. Daripada jalan-jalan ke mall, lebih suka olahraga. Orang mancing ikan, dia mancing keributan.
Saat ayah dan ibu meninggal, beberapa anak seusiaku yang suka mengganggu, tetapi sedikit takut karena ayah adalah polisi kota mulai bertingkah. Aku tidak pernah bilang paman dan bibi.
Hari itu Selene melihatku pulang, bau got dengan seragam yang menghitam, dan sampah daun busuk di kepala. Wajahnya langsung semerah tomat, dia menyeretku kembali ke sekolah, dan memintaku menunjuk siapa yang sudah melakukannya. Wah, aku lebih takut dengan Selene, daripada guru-guru, orang tua murid, bahkan anak-anak yang mendorongku ke selokan, pada saat itu. Saat ditanya demikian, spontan saja aku mengelilingi sekolah mencari pelaku, diikuti remaja tanggung yang seperti banteng. Begitu ketemu dengan ketiga pelaku, Selene memberikan ponselnya pada mereka dan menyuruh mereka menelepon orang tua masing-masing. Ada satu yang menolak, dia diseret ke selokan dan didorong. Lalu Selene berteriak, "Lapor orang tuamu sana! Sekalian saya mau ketemu!"
Ujung dari masalah itu adalah ketiga anak nakal kapok, aku dan Selene juga kapok karena buat perkara di sekolah tanpa sepengetahuan paman dan bibi. Haha. Selene dihukum enggak boleh pakai motor paman selama sebulan, aku enggak boleh pakai komputernya bibi. Karena sama-sama dihukum, kami banyak menghabiskan waktu bersama untuk menghibur diri. Selene mengajakku olahraga setiap hari, dia juga mengajariku cara melawan para pengganggu, dan sedikit bela diri. Selene suka bertingkah seperti bos, entah sifatnya itu turunan siapa. Terlepas dari kelakuannya yang unik, Selene punya satu kelebihan yang bisa dibilang ... yah, aku suka dan tidak suka.
Dia punya insting yang kuat. Ini udah terbukti sejak kejadian didorong ke selokan itu. Alih-alih bertanya, aku jatuh di mana atau kenapa. Dia langsung tahu, bahwa ada yang mendorongku.
Selene orang terakhir yang ingin kupertemukan dengan Matthea.
"Lagi di rumah temen," jawabku kalem. Berusaha santai, padahal mulut pahit banget dan tangan udah berkeringat.
Selene berseru, "Emangnya kamu punya temen?" Rasanya kayak ditusuk. "Enggak usah bohong. Pulang kamu sekarang!"
"Ada, lho. Namanya Lynn." Pada saat itu, nama Lynn belum bisa dipakai jadi kode ajaib untuk main sampai malam. Jadi Selene bersikeras bahwa aku bohong, memang benar, sih. Cuma kan enggak mungkin jujur. "Sel, jangan teriak-teriak dong, kasihan tetanggaku."
Dia makin ngegas ngomelnya. Matthea menyentuh tanganku.
Itu siapa?
Aku spontan mendesis keras-keras sambil menjepit mulut Matthea, seolah suaranya akan kedengeran sama Selene. Benar-benar lupa, kalau hanya aku yang mendengar bahasanya dalam kepala. Gara-gara itu, Selene makin curiga.
"Astaga! Kamu nyuruh diam siapa itu, hah?"
"Enggak. Enggak ada. Ah! Sakit!" Matthea menepis tanganku keras-keras, bibirnya manyun karena dijepit.
"KENAPA KAMU MENDESAH—"
"SIAPA YANG MENDESAH?" Aku ikutan ngegas.
Suara Selene berubah kalem. "Pulang kamu sekarang."
"Oke, Bos."
Telepon dimatikan.
Aku membuang napas panjang, jantung berdetak tidak wajar. Seperti habis ditagih hutang sama tukang santet. Kumasukkan ponsel ke dalam tas dan menatap Matthea. "Kamu tunggu di sini dulu, ya."
Matthea menaikkan alis. Aku mengulangi ucapan tiga kali, dia mengernyit.
"Kakakku ada di rumah. Enggak ... kamu enggak bisa ketemu dia."
Matthea masih mengernyit. Kalau kuterka, dia seperti bilang, 'kamu aja tadi kukenalin sama temenku. Terus sekarang aku enggak boleh ketemu temen kamu? Kakak apa, ya? Lupa.' Aku merasa ahli baca ekspresi wajah.
Setelah sesi penjelasan singkat selama tiga menit. Matthea setuju untuk menunggu, sementara aku pulang. Setor muka ke Selene, terus usir dia sehalus mungkin. Oke, rencananya bagus. Harusnya mulus, tetapi sampai rumah, Selene langsung bilang, "Masuk kamu ke dalam mobil."
Aku menatap sedan silvernya sebentar. "Ma-mau ke mana?"
"Temenin aku makan. Laper. Enggak hapal daerah sini."
"Jam segini mana ada yang buka. Makan di dalem aja. Aku yang mas—"
"Enggak. Kita jangan makan di sinilah kalau enggak ada yang buka, cari."
"Astaga, pinggir kota letaknya tiga jam. Kamu enggak capek?"
"Kita ngebut. Cepet, masuk mobil!"
Aku sedang malas berdebat, jadi aku menurut sambil berdoa untuk keselamatan kami. Selene membuka jendela supir dan penumpang di sebelahnya, ia memacu mobil seolah sedang ikutan casting film Fast to Furious. Enggak sampai dua jam, kami sampai di satu-satunya rumah makan yang masih buka. Selagi aku pesan makanan langsung ke meja kasir, Selene mengambil tiga botol minuman keras dan memilih tempat duduk. Ia membuka tutup botol dengan menekan tepi tutup dengan pinggir meja, meminumnya, lalu meletakkan botol minumannya dengan keras.
"Rumah kamu jauh banget, buset! Pantatku sampai kram."
Wah, ini kode kalau dia mau nginep.
Aku cekikikan enggak jelas, pikiranku langsung bingung harus gimana. "Hehe, iya."
"Balesannya, 'hehe, iya' doang. Kayak nge-chat."
"Hehe, iy—eh, enggak!" Aku menggeleng. "Sel ngapain ke sini? Kok enggak bilang-bilang?"
Perempuan berambut pendek di depanku mengernyitkan hidung. Seolah aku baru saja bilang, 'aku suka makan kecoak, lho, Sel.'
"Emangnya aku harus ngabarin dulu, ya? Buat main ke sini."
"Iya?"
"Kamu juga enggak ngabarin apa-apa pas tiba-tiba tinggal di rumahku."
"Iy-iya juga, sih."
Selene bertopang dagu, matanya menyipit, tangannya yang lain meraih botol minuman keras. "Kamu enggak mau diganggu pas lagi pacaran, ya?"
Aku menggeleng cepat-cepat. "Enggak, bukan gitu. Kalau kamu ngabarin dulu, kan bisa kusiapin makanan sama beresin kamar tamu dulu."
Wow, Elio. Makin pinter, ya, ngelesnya.
Selene manggut-manggut, antara percaya beneran sama pura-pura percaya. Terserah, deh. "Terus tadi ke mana? Kamu enggak ke rumah temen, kan?" Ia melirik tas basket merahku, tas ini pemberian Selene dulu. "Habis main basket, emang bisa? Kamu main kelereng aja remedi."
Selene kalau mood-nya kurang bagus, suka dengan sengaja menyenggol kelemahan. Aku bisa main basket dan kelereng.
Bisa kalah.
"Enggak. Tadi beneran ke rumah temen. Rencananya mau nginep sambil ngerjain tugas. Terus Sel nelfon."
"Cewek?"
"Cowok. Namanya Lynn."
Maaf banget Lynn.
Selene bergumam, menenggak minumannya lagi. Ia menatapku dalam-dalam, lalu berkata, "Kamu pulang aja, yuk, Piyik. Papa sakit."
Badanku langsung lemas, dadaku memberat. "Paman sakit?"
Hai ☆(*^o^)乂(^-^*)☆
Bagaimana tanggapannya tentang bab ini?
Pendapat kalian tentang Selene?
Kira-kira Elio milih pulang atau jagain Matthea, nih? (=ↀωↀ=)✧
Terima kasih sudah membaca. Jika suka cerita ini, ajak teman kalian untuk ikutan baca ୧ʕ•̀ᴥ•́ʔ୨
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top