SIRAUT SIRAH [9]

Kita akan lenyap satu persatu?

***

Malam semakin larut, mereka tampak sangat lelah mecari Mega. Dia setiap bibir danau. Bahkan perahu yang mereka lihat tadi digunakannya untuk mencari Mega ke tengah danau. Richa merasa begitu terpuruk. Kejadian ini benar-benar tak terduga sama sekali. Tubuh Richa melemas membuat dia harus terduduk di atas tanah dalam keadaan basah. Matanya sedikit bengkak. Rasa dingin tak lagi dia pedulikan meski bibirnya beberapa kali bergetar. Semua pun ikut duduk di dekat Richa. Menatap danau itu dengan tanda tanya besar di kepala mereka.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Heru sambil memeluk tubuhnya. Heru adalah laki-laki yang rentan dengan penyakit sehingga dia sudah terbatuk beberapa kali karena terserang flu.

"Aku tidak mengerti permainan apa yang dikatakan Om Rama pada kita," jelas Richa menatap Heru dan Ratih secara bergantian.

"Di mana buku itu?" tanya Ratih sedangkan Adrian dan Toni hanya memerhatikan mereka.

"Aku tak tahu," jawab Richa dengan datar dan beberapa menit tersadar ponsel di dalam sakunya telah basah dan rusak.

"Bagaimana kau tak tahu! Kau yang memegang bukunya!" ucap Ratih sedikit menaikkan nada bicaranya.

"Hanya karena buku bodoh itu sekarang Mega telah hilang!" balas Richa membuat Toni maju untuk memutus tatapan tajam yang dilayangkan Ratih dan Richa, satu sama lain.

"Sudahlah! Buku itu ada bersamaku," ucap Toni membuat Richa menatap ke arahnya.

"Aku telah membuang buku itu bagaimana kau menemukannya?" tanya Richa yang membuat Ratih semakin kesal karena tingkah Richa itu.

"Aku menemukannya kembali di tengah danau bersama Adrian," jelas Toni.

"Bagaimana pun buku itu mempunyai jawaban, kita tak tahu Mega masih hidup atau pun tidak," sambung Adrian.

Mendengar itu membuat Richa menunduk dalam. Dia tahu betul kalau Mega tak tahu berenang. Richa berdoa semoga Mega masih hidup. Meski menatap kenyataan di mana mereka mencari Mega ke seluruh penjuru tapi tak ditemukan.

Suara burung hantu seakan bersahut-sahutan. Suatra itu menambah kesan menyeramkan pada hutan ini.

Srekk

Suara itu berhasil membuat mereka kembali menoleh ke arah belakang lalu menatap satu sama lain. Bagai Dejavu, takut terjadi sesuatu, mereka akhirnya berpegangan tangan dengan erat. Ratih dan Richa yang tadinya bertengkar kini terlihat menyalurkan rasa takut mereka melalui genggaman tangan mereka yang semakin lama semakin erat. Toni, Adrian, Ratih, Richa, dan Heru begitulah urutan mereka saat ini.

"Siapa itu?" tanya Toni sambil menyorot lampu senternya ke sumber suara. Toni melepaskan genggaman Adrian dan maju dengan berani. Heru memegang kuat tangan Richa.

Tiba-tiba Richa merasakan tubuh Heru mendingin. Dengan tatapan aneh Heru menatap Richa, memiringkan kepalanya dan tersenyum lebar.

"Heru! Sadar!" teriak Richa membuat perhatian kembali pada gadis itu.

Dan tanpa terduga sesuatu baru saja melintas begitu cepat memotong leher Heru sehingga darah segar keluar dari batang leher yang sudah tanpa kepala itu.

Richa dan Ratih berteriak sekuat tenaga. Darahnya begitu banyak hingga baju kerja dan wajah terkena darah tersebut. Richa melepas kasar genggaman Heru yang telah melemah. Dan mereka semua berlari memasuki hutan yang gelap tanpa tahu kemana harus melangkah.

Napas Richa semakin menderu, begitu sesak hingga rasanya sulit bernapas. Ratih berada bersamanya. Sedangkan Toni dan Adrian entah ke mana. Mereka berpisah.

Waktu mulai dini hari. Mereka belum semalaman di hutan ini tapi suddah ada kejadian yang begitu mengenaskan menimpa mereka. Richa tak dapat melihat jelas sosok apa yang membuat leher Heru terpotong.

Kedua gadis itu terus berlari menembus tanaman liar yang begitu banyak. Dalam pikiran mereka hanya satu mereka harus segera keluar dari sini. Luka goresan dikl kulit mereka tak lagi dirasakan. Rati terus saja menangis begitupun dengan Richa.

Mereka meninggalkan semua makanan dan minuman mereka.

Di tempat lain Toni dan Adrian berlari sambil terus mencari keberadaan Richa dan Ratih. Senter yang dipakaikan pun rusak. Membuat mata mereka sekarang tak berfungsi optimal. Hutan ini menutup akses cahaya yang mungkin saja bisa datang dari langit yang sekarang mulai mendekati pagi.

"Di mana mereka?" tanya Adrian.

"Aku tak tahu," jawab Toni sambil melepaskan lintah yang melekat di betisnya.

***

Pagi telah tiba sehingga Richa dan Ratih sedikit lebih tenang. Mereka berdua terduduk di sebuah batu besar berbentuk pipih. Kedua gadis itu masih saja menangis dalam ketakutan.

"Aku menyesal pergi ke sini!" keluh Ratih sambil menatap ke atas.

"Aku berharap ini bukan kenyataan," ucap Richa sambil menutup matanya dengan kedua telapak tangannya.

Ratih memerhatikan baju mereka yang penuh dnegan darah kering dan berbau amis. Ratih begitu terpukul melihat Heru dalam keadaan itu semalam.

"Kita harus pulang!" putus Ratih yang berdiri namun kembali terduduk karena merasa pusing.

"Kau benar, tapi kita berdua pun tak tahu kita di mana?" Richa memerhatikan sekelilingnya.

"Buku itu!" tunjuk Ratih di bawah kaki Richa.

"Bagaimana bisa buku itu bisa berada di sini?" Richa menendang buku itu.

"Untuk keluar dari sini sepertinya kita harus membawa buku itu," jelas Ratih," lagi pula kata Om Rama jika permainan selesai kita bisa meminta sesuatu," lanjutnya.

"Itu semakin tak masuk akal." Richa memegang perutnya yang mulai merasa kelaparan.

Ratih mengambil buku itu dan segera membukanya namun kembali menutupnya dengan cepat karena terkejut.

"Ada apa Ratih?"

"Kita akan lenyap satu persatu," tukas Ratih.

"Hah?"

"Kita harus cari kak Toni dan Adrian dulu," ajak Ratih yang kembali berdiri dan mencoba mengabaikan rasa pusingnya tadi.

"Apa kita akan mati juga?" ucap Richa menatap serius wajah Ratih.

"Kita pasti bisa." Ratih menarik tangan Richa untuk berdiri dan segera pergi dari tempat itu.

Kedua gadis itu berteriak memanggil nama Toni dan Adrian. Buku itu dibawa oleh Ratih. Mereka terus menyusuri hutan setidaknya mereka bisa menemukan sumber air.

Mereka terus berjalan tanpa arah tapi entah kenapa mereka seperti berputar-putar saja.

"Apa yang terjadi?" keluh Richa yang untuk ke sekian kalinya melihat batu yang mereka duduki beberapa menit sebelumnya.

Ratih menangis, gadis itu tak tahu lagi bagaimana harus bertindak. Richa kembali duduk di atas batu itu. Haus dan lapar mereka rasakan. Tak ada makanan sama sekali. Membuat kedua gadis itu pasrah dengan keadaan.

Tiba-tiba terdengar suara yang memanggil nama mereka berdua.

"Apakah kau mendengar itu Ratih?"

"Iya, itu seperti suara Adrian." Ratih tersenyum.

"Adrian!" teriak Richa kemudian Ratih melakukan hal yang sama. Hingga dari kejauhan Adrian berlari ke arah mereka. Secara refleks laki-laki itu memeluk Richa dan Ratih secara bergantian.

Ratih menoleh ke belakang Adrian.

"Di mana Kak Toni?" tanya Ratih sedangkan Adrian tertunduk frustasi sambil meremas kuat rambutnya. Dan untuk pertama kali Richa dan Ratih menyaksikan Adrian menangis.

***

Next guyssss
Vote and coment

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top