SIRAUT SIRAH [7]

Sembunyi hanya akan membuatmu tertangkap lebih mudah

***

Richa terbangun lebih awal dari semuanya. Gadis itu punya banyak sekali pertanyaan yang berseliweran di otaknya meminta penjelasan. Richa merasa kalau kejadian ini terlalu cepat mengambil alih. Hanya karena buku Richa begitu khawatir.

Richa terduduk di pinggir ranjang kemudian menunduk mengambil buku itu di bawah ranjang. Tapi tak ada. Richa turun dari ranjang dan memastikan sekali lagi keberadaan buku itu. Tapi buku itu benar-benar tak ada. Saat menoleh ke atas ranjang Richa terkejut membuat badannya sedikit menjauh.

"Bagaimana bisa?" tanya Richa yang melihat buku itu berada di atas ranjangnya. Gadis itu ingat betul kalau dia tak pernah memindahkan buku itu semalam. Apa itu Mega atau Ratih? Entahlah. Richa membangunkan kedua gadis itu dengan sedikit mengguncang bahu mereka. Mega menguap dan segera menggosok pelan matanya begitu pula dengan Ratih.

"Cepat sekali kau terbangun," ucap Mega dengan suara yang sedikit serak. Ratih terdiam mengumpulkan kesadarannya.

Richa menatap Mega dan Ratih bergantian. Richa berpikir apakah cuma dia yang merasa khawatir. Padahal gadis itu tau kalau kejadian semalam membahas soal kematian yang bisa saja terjadi pada mereka. Richa menghela napas. Tiba-tiba mereka dikagetkan dengan suara pintu yang diketuk kemudian disusul oleh suara pria.

"Iya bentar, Om," teriak Ratih lalu berdiri membukakan pintu.

Melihat Rama membuat Richa menunduk. Rasanya benar-benar tak enak, tinggal dengan orang baru dan sudah menyebabkan masalah. Buku itu masih berada di tangan Richa. Mega melirik Richa sebentar, lalu mendekat dan memeluk pundak Richa.

"Tenanglah," kata Mega dan Richa hanya mengangguk dan tersenyum.

Rama dan Ratih keluar dari kamar dan membicarakan sesuatu. Setelah beberapa menit Ratih kembali masuk dan mengajak Richa dan Mega untuk ke kamar mandi dan segera mencari makan di warung dekat sini. Richa masih juga belum paham mengapa mereka setenang ini? Richa menaruh buku itu kembali ke dalam tasnya.

Setelah membasuh wajah mereka segera keluar dari rumah. Cuaca yang cerah sedikit tertutup oleh embun pagi membuat pandangan mereka sedikit terbatasi. Jalanan sedikit berkerikil membuat beberapa batu kecil masuk ke atas sandal. Richa menengok ke belakang. Di sana ada Heru, Adrian, dan juga Toni yang ternyata mengikuti mereka pergi.

"Ratih, aku masih bingung tentang semalam," ucap Richa yang maju untuk menyamakan langkah kakinya.

"Hussst! Jangan bahas itu di sini jika kamu tidak ingin dapat masalah," jawab Ratih yang menatap tajam ke Richa.

"Kami masih bingung, aku pun tak tahu apa yang akan kita lakukan nanti," lanjut Mega yang ikut menatap Ratih. Entah kenapa dari tatapan mereka seoalah memberi isyarat.

"Kita akan bahas setelah makan." Ratih kemudian berbelok ke sebuah warung makan yang tak terlalu besar. Begitu asri dan banyak bunga berjejer di sekeliling warungnya.

Para laki-laki yang tadi mengekor juga segera masuk dan memilih tempat berbeda dari mereka bertiga. Ratih kemudian memesan tiga bubur ayam dan membawa mereka duduk di sudut warung. Lagi-lagi tak ada kursi, mereka semua lesehan diatas tikar dari anyaman rotan.

Richa melirik para laki-laki yang duduk begitu jauh dari mereka.

"Kenapa kita tak duduk bersama?" tanya Mega seoalah mewakili pertanyaan yang sama yang dipikirkan Richa sejenak. Ratih melambaikan tangan ke Richa dan Mega agar mendekat padanya.

"Di warung ini tidak mengijinkan laki-laki dan perempuan duduk bersama," bisik Ratih.

"Kenapa?" tanya Richa.

"Aku pun tak tahu, kata Omku itu sudah aturan turun temurun dari warung ini," jawab Ratih membuat kedua gadis itu menatap melihat ornamen dinding yang ternyata memang barang antik. Bahkan mereka berdua baru kali ini melihat benda-benda itu.

Kemudian bubur pun datang dibawa oleh perempuan paruh baya dengan senyum yang keibuan, sangat ramah. Mempersilahkan kami makan. Saat sedang makan ada seorang pelanggan yang masuk ke dalam. Seorang nenek tua dengan pakaian lusuh dan juga sarung yang mengikat di pinggangnya. Nenek itu berjalan setengah bungkuk sambil membawa barang kayu jati yang sudah dipoles sehingga menjadi tongkat sebagai tumpuan. Richa hanya melirik nenek itu.

Tak disangka nenek itu datang mendekati mereka lalu duduk di samping mereka. Mereka bertiga hanya tersenyum kikuk. Tercium aroma melati yang begitu menyengat. Richa ingin menutup hidungnya tapi itu akan terlihat tak sopan sama sekali.

"Kau," tunjuk nenek itu pada Richa dan berkata,"sebaiknya kau cepat tersadar."

Nenek itu kembali berdiri dengan pelan dan menuju pemilik warung. Richa yang mendengar itu membuat dirinya semakin tenggelam dalam kebingungan. Otaknya berpikir keras untuk segera menghentikan hal ini.

Mereka bertiga kemudian makan dalam diam. Sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Setelah mereka makan Ratih berdiri dan menuju ke pemilik warung yang mengantarkan mereka tadi makanan. Nenek yang tadi itu masih di sana menatap tajam ke arah Ratih dan segera keluar dari warung. Ratih hanya menanggapinya dengan biasa, pasalnya Ratih tahu kalau nenek yang barusan tadi disebut gila di kampung itu.

"Ayo kembali, aku sudah membayarnya," ujar Ratih.

"Kami bawa uang kok," ucap Richa dan Mega mengangguk.

"Gampang, kalian bisa ganti nanti dan sekarang yang penting kita langsung ke rumah dulu. Untuk bersiap berangkat kemah hari ini," jelas Ratih yang segera menarik syal yang dia kenakan ke atas pundaknya. Memang kampung ini terasa sangat dingin seperti sedang hujan saja.

Setelah mereka keluar darah warung itu, Richa mendekat ke arah Ratih.

"Kamu tahu nggak? Maksud dari nenek tadi itu?" tanya Richa.

"Jangan terlalu kamu pikirkan kata om ku dia kurang waras," cetus Ratih yang menarik tangan kedua gadis itu untuk segera tiba di rumah.

"Kok bisa?" Kini Mega ikut bertanya.

"Nenek itu adalah dukun dulu, tapi setelah cucunya mati dia jadi seperti itu," jelas Ratih membuat Mega ber'oh' ria.

Richa menoleh ke belakang, tapi belum ada para laki-laki di sana. Entah apa yang mereka obrolkan.

Saat tiba di rumah, Rama telah duduk di ruang tamu bersama Supono sambil meminum kopi. Mereka segera duduk dan Supono langsung keluar dengan alasan ingin mencuci mobil.

"Kita tunggu Adrian, Toni, dan Heru dulu," ucap Rama setelah meneguk kopi hangat itu hingga menyisakan ampasnya saja.

Tak terlalu lama akhirnya mereka yang ditunggu datang dan langsung ikut duduk.

"Jadi, kalian akan berangkat siang nanti. Heru dan Adrian kalian ingat kan apa yang saya suruh bawa?" tanya Rama.

Adrian dan Heru hanya mengangguk. Membuat daftar hal yang tak Richa tahu semakin bertambah. Gadis itu menggaruk kepalanya.

"Jadi ini adalah sebuah permainan kutukan. Jadi kalian harus mengikuti apa yang ada dibuku. Mengapa kalian tetap harus berkemah? Karena permainan ini tak boleh dilakukan di kampung ini," jelas Rama.

"Bukankah ini terdengar aneh? Kami yang niat ingin liburan sekarang malah menjadi sebuah teka-teki, aku benar-benar tak mengerti," protes Richa.

"Itu semua karena buku itu, kalian ingin mati?"

Semua menggelengkan kepala. Richa menghela napas.

"Walaupun kalian sembunyi itu akan membuatmu tertangkap lebih mudah," jelas Rama.

Richa menunduk berusaha menyambungkan semua kejadian di otaknya. Bagai benang kusut Richa tak bisa menemukan sebuah ujung kejadian ini.

"Bersiaplah," ucap Rama yang kemudian berdiri meninggalkan mereka semua.

***

Next chapter guys
Vote and coment



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top