SIRAUT SIRAH [3]

"Setetes darah untuk membuka"

***

Suara bel sekolah membuat Richa terbangun. Beberapa detik tatapannya kosong. Gadis itu mengumpulkan kesadarannya. Lalu, matanya membulat sempurna setelah dia tersadar bahwa dia sedang di kelas dan yang lebih mengherankan kelasnya sudah hampir kosong. Pikirannya berkecamuk. Gadis itu kebingungan. Beberapa kali dia mengecek keadaannya. Tapi tak ada yang aneh di tubuhnya.

"Kamu kenapa Ric?" tanya Mega. Richa malah memutar kembali memori ingatannya.

"Siapa yang bawa aku ke sini?" Bukannya menjawab Richa malah kembali bertanya. Mega mengerutkan dahi. Sahabatnya tersebut itu juga merasa bingung melihat tingkah Richa.

"Lah, kamu kan emang di kelas dari tadi," jelas Mega membuat Richa menatap tak percaya.

"Aku di gudang sekolah tadi!" Richa sedikit meninggikan suaranya. Syukur saja semua siswa sudah keluar dari kelas menyisakan mereka berdua.

"Loh mimpi kali! Orang jelas-jelas kamu tidur selama bu Asti ngasih pengumuman," ucap Mega diselingi sedikit tawa.

"Bu Asti?" Richa menggaruk frustasi kepalanya.

"Apa benar aku bermimpi?" batin Richa.

"Iya, kamu nggak aku bangunin karena badanmu kerasa hangat. Terus Bu Asti bilang biarkan saja." Mega mengambil ranselnya. "Pulang yuk!" ajak Mega.

Richa hanya mengikut saat tangan Mega menariknya. Tak lupa pula dia mengambil ranselnya. Sepanjang perjalanan Richa hanya diam. Tapi pikiran di dalam otaknya tidak bisa diam. Bagaimana bisa mimpi terasa begitu nyata?

Hari ini mereka tak jalan kaki Richa dan Mega dijemput menggunakan mobil. Tentu saja itu mobil ayah Mega. Gadis berkaca mata, itu awalnya senang saat dijemput dengan mobil karena Mega berpikir itu ayahnya dan ternyata dia dijemput supir ayahnya. Mega kelihatan cemberut sedangkan Richa hanya tersenyum kikuk saat supir itu tersenyum padanya. Kulit supir itu terlihat pucat dari biasanya. Keringat dingin mengalir dipelipisnya.

"Apa om sedang sakit?" tanya Richa yang memerhatikan kalau supir itu gemetaran. Kini mereka berdua sudah berada di dalam mobil.

"Nggak kok Neng," jawab supir itu dengan singkat. Tapi dari spion mobil Richa melihat ketakutan di wajah Leman, supir tersebut.

Richa yang tak ambil pusing segera beralih  menatap Mega yang masih memandang ke luar melalui kaca mobil  saat kendaraan itu mulai berjalan.

"Ayahmu mungkin sedang menunggumu di rumah." Seperti tahu apa yang dipikirkan Mega, Richa mencoba menenangkan sahabatnya itu yang sudah terjalin 3 tahun lamanya. Mega hanya mengangguk.

Richa menunduk memeriksa kakinya. Dia baru ingat dia sempat tersandung. Jika benar itu nyata maka akan ada sedikit memar dan lecet di kakinya tapi jika itu mimpi Richa benar-benar akan merasa aneh. Nihil, Richa tak menemukan apa-apa di kakinya. Membuat bernapas pasrah.

"Bagaimana bisa?" gumam Richa.

***

Mobil berhenti di depan rumah Richa tapi entah kenapa Mega juga ikut keluar.

"Bilang pada ayahku, kalau aku akan menginap selama libur sekolah di rumah Richa." Mega langsung meninggalkan Leman yang mau mengucapkan sepatah kata tapi tak jadi. Lagi-lagi Richa tersenyum kikuk menatap wajah Leman, supir teresebut. Akhirnya Richa hanya mengekor di belakang Mega setelah mengucapkan terima kasih pada Leman..

"Eh, emangnya kita libur?" tanya Richa.

"Aku belum ngomong ya tadi?" Mega langsung duduk di kursi depan rumah. Richa mengangguk.

"Oh iya kita libur dua Minggu kata Bu Asti tadi," jelas Richa. "Tapi, ngomong-ngomong ibu ke mana, ya?" Mega menatap pintu rumah Richa, menanyakan Wulan yang biasa langsung membuka pintu untuk anaknya.

"Oh iya! Ibu! Ibu!" panggil Richa sedikit teriak tapi tak ada balasan sama sekali. Richa merogoh saku tasnya. Mengambil ponselnya yang memang sengaja dia non aktifkan sejak di sekolah tadi.

Ponselnya menyala, beberapa pesan mulai masuk. Salah satunya pesan Wulan yang menyatakan kalau dia sedang pergi keluar kota karena urusan mendadak. Richa paham dan mengerti dengan situasi ini. Pasalnya ini bukan pertama kali Richa ditinggal pergi kerja oleh ibunya. Setiap kali Richa bertanya pekerjaan apa yang ibunya kerjakan ibunya selalu mengalihkan pembicaraan. Tapi, Richa tetap berpikir positif. Dia harus mengerti kalau menjadi orangtua tunggal seperti Wulan itu tak mudah.

Richa menuju pot bunga yang berada dekat dari tiang rumahnya. Gadis itu sudah tahu jika ibunya pergi pasti dia meninggalkan kunci di tempat tersebut.

"Ibu, nggak ada?" Mega berdiri dari duduknya.

"Iya, seperti biasa," jawab Richa.

"Aku emng nggak salah kalau mau nginap di sini, haha," terang Mega.

"Tapi...,"

"Nggak usah tapi-tapian. Yuk masuk aku bantu masak," ajak Mega.

Mereka pun segera masuk ke dalam rumah. Mega yang baru saja ingin naik ke kamar Richa mendapat telepon dari ayahnya. Mega menatap Richa, gadis itu menyuruh Richa untuk berbicara. Tapi, Richa menolaknya. Dengan wajah terpaksa Mega mengangkat telepon ayahnya dan kemudian menjauh dari Richa.

Dengan langkah malas Richa menuju kamarnya. Segera melepas pakaian sekolahnya. Dia menatap dirinya dicermin.   Gadis itu meneliti setiap lekukan wajahnya. Dengan mengenakan kaos dan celana longgar Richa ingin membasuh wajahnya. Dibukanya ransel sekolah untuk mengambil pencuci mukanya. Namun, jemarinya menyentuh sesuatu di dalam tas. Sedikit membuatnya terkejut. Diperhatikannya baik-baik benda tersebut.

"Buku," gumam Richa. Tapi yang membuatnya semakin bingung buku tersebut persis dengan buku yang ditemukan di gudang.

"Jadi aku nggak mimpi? Tapi, bagaimana bisa Mega bilang kalau gue bermimpi?" Richa mengambil buku tersebut, berdiri dan ingin menemui Mega. Begitu pas dengan Mega yang sudah berdiri di dekat pintu kamarnya.

"Aku nggak mimpi!" ujar Richa menatap serius wajah Mega yang terlihat kebingungan.

"Maksudnya?" tanya Mega yang mendekat ke arah Richa.

"Aku nemuin buku ini di gudang pas di sekolah," jelas Richa.  Bukunya dia angkat ke atas untuk menunjukkan pada Mega.

"Aku nggak paham. Tapi mungkin saja buku itu memang sudah ada di dalam tasmu." Mega mengambil buku itu dari tangan Richa. Memperhatikannya dengan seksama. "Ini buku yang aneh," ujar Mega.

Richa semakin bingung. Mengapa pikirannya berkecamuk. Bukankah hal ini terlalu ajaib untuk terjadi di jaman sekarang? Richa masih mengingat-ngingat kejadian yang baru dialaminya di sekolah tapi dia tak menemukan jawaban. Terakhir dia hanya terjatuh pingsan. Begitu pikir gadis tersebut.

"Udah gih mandi dulu," suruh Mega yang melihat Richa berdiri mematung. "Tapi, bukunya kok susah di buka?" tanya Mega yang sedari tadi berusaha membuka buku tersebut. Richa mengambil kembali buku itu dan melakukan hal yang sama dan benar saja buku ini sulit dia buka.

Semakin Richa tarik kuat semakin buku itu merekat seperti ada lem ditiap lembarnya.

"Mending kamu buang aja tuh buku," usul Mega yang sebenarnya sedikit ngeri melihat tampilan sampul buku itu.

"Tapi bisa jadi jika buku ini punya jawaban atas semuanya," jelas Richa mengada-ngada.

"Aku nggak yakin. Mungkin buku itu cuman buku yang sengaja di taruh di dalam tasmu." Mega membetulkan letak kacamatanya yang sedikit turun.

"Bagaimana bisa?" tanya Richa. Sebuah pertanyaan yang tidak bisa terjawab kan oleh mereka berdua. Mega mengangkat kedua bahunya sebagai tanda bahwa dia juga benar-benar kebingungan.

Richa membolak-balikkan buku tersebut. Setelah beberapa kali dia baru sadar di bawah buku tersebut tertulis beberapa kata.

"Setetes darah untuk membuka"

Richa mengerutkan dahi.

"Apa ini?" tanya Richa.

***

See you to next chapter
Love you

Abdi Tunggal

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top