SIRAUT SIRAH [2]
"Sekarang giliranmu"
****
Malam itu, mereka tertidur dengan rasa penasaran. Apakah nomor tersebut hanya kebetulan atau sesuatu lainnya? Tapi, jika dipikir-pikir bisa jadi itu hanya sebuah pesan kesasar dari seseorang. Richa kembali memastikan hal itu saat pagi hari. Gadis itu menelpon kenomor tersebut. Seperti dugaannya nomor itu tak bisa dihubungi. Pagi itu dia memilih melupakan hal tersebut dengan mandi lebih awal dari biasanya.
***
Richa dan Mega berangkat setelah sarapan pagi bersama Wulan. Mereka berdua sedikit tergesa-gesa karena hari ini adalah piket kelas untuk Richa.
"Hei!" Gadis dengan rambut sebahu itu meneriaki Richa yang mulai masuk gerbang sekolah sambil sedikit berlari kecil. Lesung pipinya membuat wajahnya yang bulat terlihat lebih manis.
"Eh, Ratih, ngagetin aja!" pekik Richa walau dirinya tak benar-benar kaget.
"Aku duluan ya, soalnya mau ketemu pak Anas perihal ulangan kemarin." Mega memperbaiki letak kacamatanya dan berlari tanpa memedulikan Ratih yang ingin mengucapkan sesuatu padanya. Mereka memang kurang cocok akhir-akhir ini. Richa hanya mengangguk menanggapinya. Bukannya Richa malas mempertanyakan sikap Mega pada Ratih atau sebaliknya. Dalam pikirannya cuma satu, jika Mega ataupun Ratih ingin bercerita mereka pasti akan memberitahunya. Setidaknya mereka perlu waktu.
"Eh, aku dengar dari bokapmu, akan ada pengumuman libur hari ini," ujar Ratih sambil menyamakan langkahnya dengan Richa. Mereka berjalan berdampingan menuju kelas. Ayah Ratih adalah salah satu guru biologi di sekolah ini.
"Libur?" Richa mengernyitkan dahinya.
"Iya, libur. Katanya bakal ada sedikit pembangunan di sekolah," ucap Ratih diselingi wajah kebingungan. Sebenarnya dia juga merasa heran.
"Dilihat dari sisi manapun. Sekolah ini tak perlu pembangunan." Richa menatap ke sekitar halaman sekolah. Terlihat masih sedikit siswa yang datang. Coba saja Richa tak piket hari ini. Mungkin dia masih duduk di meja makan rumahnya sekarang.
"Aku juga mikir seperti itu."
"Kamu nggak salah dengar kan?" tanya Richa.
"Nggaklah, bokapku yang bilang langsung ke aku," jawab Ratih dengan yakin.
Baru saja mereka ingin menaiki tangga ke lantai dua. Laki-laki dengan tubuh kurus juga kulitnya yang pucat berteriak memanggil nama Ratih.
"Untung aja kalian datang tepat waktu." Heru, berhenti dihadapan Ratih sambil mengatur ritme napasnya.
"Emang kenapa?" tanya Ratih, matanya beralih menatap wajah Heru.
"Entar aku ceritain di kelas," jawab Heru membuat Ratih penasaran.
"Jika itu bersifat rahasia diantara kalian aku bisa pergi kok," ucap Richa diselingi senyum tipis.
"Bukan!" teriak Heru tanpa sadar membuat Ratih dan Richa saling bertatapan. "Ayo ke kelas." Heru bergumam dan menarik tangan kedua gadis tersebut. Tak ada penolakan sama sekali.
Sesampainya di kelas Heru memerhatikan sekitar. Juga menatap cctv kelas yang belum menyala. Mereka bertiga memang mendapatkan hari piket bersamaan.
"Kamu kenapa sih!" cetuh Ratih yang melihat tingkah laku Heru yang aneh.
"Jelasin yang kamu mau jelasin. Jangan buang-buang waktu. Ini kan waktu piket kita," jelas Richa yang sebenarnya juga sudah tak sabar. Heru melambaikan tangannya agar mereka sedikit mendekat.
"Tahu tidak? Kalau keluarga Bu Andini sekarang udah pindah dari kota ini," bisik Heru.
"Kita tak boleh membicarakan ini!" tolak Ratih, "Berhentilah membahas hal seperti itu!" lanjutnya.
Richa menatap aneh ke Ratih. "Hei! Kecilkan suaramu." Richa baru saja melihat seseorang melewati pintu kelasnya. Bagaimanapun Richa juga takut jika seseorang mendengar ucapan tadi.
"Jangan ada pembahasan itu lagi, jika di sekolah," usul Ratih dengan muka kesalnya membuat Richa menatapnya.
"Bukankah itu sedikit berlebihan?" batin Richa.
"CCTV kelas mulai aktif." Heru menunjuk cctv yang berada di sudut tepat di atas meja guru berada. Mereka segera bubar dan membersihkan kelas. Dua siswa lainnya yang juga piket hari ini baru tiba setelah mereka menyapu dan mengepel lantai.
***
Richa menatap sekeliling kelas. Memerhatikan bangku yang telah di isi oleh pemiliknya masing-masing. Tapi, guru yang mengajar hari ini belum juga masuk. Tak ada teman sebangku di kelas ini sebab satu bangku hanya untuk satu siswa saja. Mereka sibuk pada kegiatannya masing-masing. Ada yang menatap wajahnya di cermin, menulis, membaca, dan ada juga yang yang menyatukan bangku mereka hanya untuk bergosip ria.
Richa menoleh pada laki-laki berambut gelap di sudut kelas. Laki-laki itu sedang sibuk membaca buku dan mengenakan earphone di telinganya. Dia adalah Adrian Purnama, merupakan ketua kelas di kelas ini. Richa melangkah mendekati Adrian yang bahkan tak menyadari kalau Richa tepat berdiri di sebelahnya. Sedikit menimbang-nimbang, pasalnya Richa tidak terlalu akrab dengan Adrian. Hanya karena Adrian ketua dan Richa bendahara membuat mereka kadang mengobrol seadanya.
"Adrian!" Richa menepuk pundak laki-laki tersebut. Sang empunya hanya menatap Richa dengan santai dan menaikkan sebelah alisnya. Adrian melepaskan earphone-nya.
"Bu Asti kok belum masuk?" tanya Richa. Jemari lentiknya bergerak memutar-mutar dasinya.
"Sebentar, biar aku pergi cari tahu dulu," jawab Adrian yang langsung berdiri dan pergi meninggalkan kelas setelah memberi tahu siswa lainnya untuk tetap di kelas dan jangan keluyuran.
Richa kembali ke tempat duduknya. Tapi, sepertinya dia sedikit gelisah. Padahal dia baru saja ingin mengajak Mega yang sedari tadi memerhatikan ponselnya itu untuk bercerita. Richa berlari keluar untuk segera ke toilet. Dia sudah tak tahan. Untung saja toilet itu tak jauh dari kelasnya.
Setelah dari toilet dia melihat Bu Asti tengah berjalan di koridor sekolah. Richa ingin memanggilnya, tapi dia pikir itu tak akan sopan jika memanggil seseorang dari jauh bukan mendekatinya apalagi itu seorang guru. Richa berjalan mengikuti Bu Asti, langkah cepatnya sedikit dia pelankan. Richa takut kalau suara sepatunya mengganggu siswa lain yang sedang belajar. Asti menuruni tangga. Semakin dekat dengan Asti, Richa baru menyadari kalau lengan guru tersebut terluka. Tapi, langkah Asti bukan ke ruang UKS tapi malah menuju gudang sekolah? Di mana tempat gudang tersebut berdampingan dengan daerah terlarang di sekolah ini, yaitu belakang sekolah.
Richa tak melihat wajah Asti. Tapi, Richa sadar kalau perempuan berumur 30 tahun itu sedang menangis. Mungkin menahan perih di lengannya atau hal lainnya. Richa yang ingin bersuara sedari tadi hanya tercekat. Dia seperti kesusahan membuka mulutnya.
Asti memasuki gudang tersebut. Tanpa Richa sadari kakinya juga ikut melangkah masuk. Gelap. Itu yang pertama kali Richa pikirkan. Soalnya lampu yang dipasang tidak terlalu terang dan ventilasi ruangan juga tak ada membuat ruangan ini pengap.
"Bu? Bu Asti?" panggil Richa setelah beberapa saat dia terdiam sambil menghindari beberapa sarang laba-laba yang mengganggu. Tak ada yang menyahut sama sekali. Asti yang tadi di ikuti kini seperti lenyap setelah masuk ke gudang sekolah.
'Brukk!'
Sebuah buku jatuh dari atas lemari membuat Richa terkejut hingga kakinya terkena sudut bangku rusak di gudang.
Sedikit meringis menahan perih. Richa berdiri dan tiba-tiba dia merasa ingin muntah.
"Aku kenapa?" Richa bermonolog. Gadis itu merasa tak enak badan. Langkah kakinya terhenti ketika ujung sepatunya menendang buku tersebut. Niat hati ingin mengabaikannya tapi Richa menunduk dan berniat membawa buku itu keluar dari gudang. Matanya terasa perih.
Richa tak bisa membaca jelas buku itu. Namun, setelah dia keluar dan mendapatkan cukup cahaya Richa memerhatikan buku tersebut. Seharusnya buku ini berdebu. Tapi, tak ada debu yang menempel pada buku tersebut.
"Aneh," Richa membatin.
'SIRAUT SIRAH'
Tertulis disampulnya dengan tinta merah kegelapan. Lalu di atasnya ada sebuah kertas dengan tulisan tangan.
"Sekarang giliranmu"
Selang beberapa detik Richa terjatuh dan perlahan-lahan tak sadarkan diri.
*****
Yuhuuuu
Update wkwkw
Setelah sekian purnama baru update (alay) wkwkw
Selamat menikmati
Vote
Coment
Kritik
Saran
Penulis terima dengan baik.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top