SIRAUT SIRAH [12]
"Aku menunggumu"
***
Adrian bercerita tentang bagaimana dia merasa kalau hal ini ada hubungannya dengan sekolah. Sebuah konspirasi yang membuat Richa semakin tenggelam dalam kebingungan. Mereka berdua berjalan menyusuri hutan. Baju mereka yang lusuh menguatkan aroma tak sedap. Sudah dua hari mereka tak bisa mengganti bajunya.
"Sebaiknya kita kembali ke tenda kita," saran Adrian.
"Tapi kau dan aku tak tahu jalan kembali," jelas Richa.
Adrian membenarkan hal tersebut. Tapi apa salahnya kalau dia mencoba saat ini. Rasa gatal menyerang tubuh Richa membuat gadis itu sangat tidak nyaman. Rambutnya begitu kusut dan juga kulitnya terasa begitu kasar.
Mereka berdua terus berjalan walau tubuh mereka semakin lemas saja. Matahari tak terlalu menembus di hutan ini membuat mereka masih bersyukur dengan keadaannya saat ini. Meski Richa merasakan sekujur tubuhnya sakit.
Tanpa disadari sosok semalam mengikutinya di belakang. Bulu kuduk Richa meremang namun belum sempat dia berbalik sebuah balok kayu menghantamnya secara brutal dari belakang.
Tak sempat bersuara Richa langsung terjatuh di tanah dengan kepala membiru dan lebam. Sedangkan Adrian tak menyadari hal itu, laki-laki terus saja berjalan di depan tanpa menoleh ke belakang.
Richa ingin bersuara tapi merasa bernapas pun susah jadi gadis itu mengurungkannya. Matanya yang menutup pelan masih melihat siluet sosok itu yang menariknya dengan kasar. Tanpa memedulikan kulit Richa yang teriris dan tertusuk rumput dan ranting. Pegangan tangan dari sosok itu sangatlah kuat.
Gadis itu tak sepenuhnya pingsan. Buktinya dia masih bisa merasakan tubuhnya dilempar dengan kasar ke atas tanah. Samar-samar Richa mendengar suara sosok itu. Seperti membaca mantra, Pasalnya Richa tak mengerti apa yang diucapkan sosok itu. Namun, lagi-lagi suara itu terdengar sangat sama. Sangat percis membuat Richa yang masih memejamkan matanya mengeluarkan air mata.
Srett!
Pisau daging itu mengiris lengan Richa. Gadis itu menjerit di dalam hatinya. Richa berusaha menahannya namun semuanya terlalu sakit untuk ditanggung sendirian.
"Aku menunggumu," ucap sosok itu.
Sepersekian detik Richa memikirkan orang yang disayanginya seperti ibunya dan juga ayahnya. Gadis itu menyadari kalau ajalnya mungkin tak akan lama lagi. Mungkin dia akan segera bertemu dengan ayahnya. Tapi di manakah Adrian pergi? Pertanyaan itu membuat Richa merasa lebih aneh.
Bagaimana bisa Adrian membuat konspirasi kejadian ini dengan menyangkut-pautkan sekolahnya. Padahal Richa belum pernah bercerita sama sekali tentang bagaimana dia menemukan buku itu pada Adrian.
Richa menarik napas dan perlahan-lahan gadis itu pun pingsan dengan darah segar yang menggenang di bahunya.
***
Seorang pria datang menghampiri sosok berjubah itu dengan senyum yang lebar.
"Kau memang hebat!" ucap pria itu. Dia adalah Rama. Salah satu orang yang membantu hal ini menjadi lancar.
Sosok itu membuka tudungnya dan tersenyum.
"Apakah Toni sudah kau singkirkan?" tanya sosok itu.
"Tentu saja, anakku yang bodoh itu hanya sebagai pancingan saja," jelas Rama tanpa ada rasa kasihan sama sekali. Seoalah-olah membunuh adalah hal yang biasa dia lakukan.
"Kita apakan anak ini?" tanya Rama sambil menendang wajah Richa.
"Kita tunggu dia tersadar," jawab sosok itu sambil mengibaskan rambutnya ke belakang.
Tanpa mereka sadari, Richa telah tersadar beberapa menit yang lalu dan mendengar semua hal yang mereka bicarakan. Richa ingin sekali bangun dan menampar wajah pria bernama Rama itu. Bagaimana bisa dia membuat permainan gila seperti ini. Richa berusaha menahan air matanya agar tak keluar. Gadis itu menunggu saat di mana mereka lengah nantinya. Tubuhnya seperti kekurangan energi saat ini. Gadis itu sadar kalau kakinya terikat di salah satu pohon besar di tempat itu.
Richa benar-benar tak percaya apa yang dia ketahui saat ini. Mega, Heru, Ratih, dan Toni telah tiada. Apa sekarang giliran dirinya? Ke mana Adrian pergi.
Richa berusaha menajamkan pendengarannya. Dia menunggu mereka pergi dari sini. Sesekali Richa membuka mata untuk memastikan hal tersebut.
Waktu terus berlalu membuat punggung Richa terasa sakit dan kedinginan. Cuaca tiba-tiba saja mendung. Hal yang ditunggu-tunggu Richa akhirnya terjadi setelah melihat mereka pergi dari tempat ini. Richa segera bergerak namun dia lupa kalau lengannya yang tadi terluka. Alhasil gadis itu menahan perih dnegan mengigit bibir bawahnya hingga terluka agar dia tak berteriak. Darah kembali merembes. Richa segera menyobek bajunya untuk menutup lukanya. Wajahnya yang bengkak dan membiru membuatnya terlihat aneh. Bahkan penglihatannya begitu terganggu karena lebam itu.
Ternyata yang mengikat di kakinya itu bukan tali melainkan rantai besi yang kecil. Dengan sekuat tenaga Richa berusah memutus rantai itu. Tenaganya sepertinya tak kuat. Gadis itu menggeram setelah beberapa kali mencobanya. Tak berhenti disitu Richa mengambil batu dan mulai menumbuk rantai itu. Dia juga meletakkan batu di bawah rantai itu. Sehingga bsuara khas tercipta, mungkin jika terdengar membuat gigi merasa ngilu. Sambil sesekali kepalanya menoleh kanan kiri untuk memastikan mereka belum kembali.
"Ya Tuhan! Tolong aku," doa Richa sambil berusaha. Air matanya terus mengalir. Kepalanya yang bengkak mulai terasa berdenyut. Gadis itu mengeluarkan tenaganya yang masih tersisa.
Tuhan mengabulkan doanya, rantai itu putus namun mereka juga telah kembali membawa seseorang lain di dalam karung.
"Kau mau ke mana!?" teriak sosok itu yang segera mendekat. Dengan tekad dan keberanian yang ada, Richa berdiri dan langsung berlari dari sana. Gadis itu tak tahu tujuannya harus ke mana. Yang dia tahu dia harus menyelamatkan diri. Lagi-lagi Richa berlari ke dalam hutan meski beberapa kali dia harus terjatuh dan mendapat luka baru. Namun ada yang aneh saat Richa menoleh ke belakang tak ada seseorang pun yang mengikutinya seperti dugaan gadis itu. Tapi Richa tak memedulikan, semakin jauh dari sana maka semakin aman baginya.
Richa ingin pulang, hanya itu yang dia mau. Gadis itu berpikir andai saja dia bisa memutar waktu dia tak akan ke sini dan mengikuti semua omong kosong Rama. Terdapat banyak luka ditelapak kaki Richa. Gadis tak menggunakan alas kaki sekarang membuat dia haru menahan perih saat dia menginjak genangan air.
"Tunggu dulu, kenapa ada genangan air di sini?" pikir Richa yang memberhentikan langkahnya. Langit semakin mendung. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan.
Richa segera menyusuri hutan ini, sebelum malam menelannya dalam kegelapan dia harus mencari tempat di mana dia bisa beristirahat sejenak. Sekujur tubuhnya seperti tertusuk duri. Luka di lengannya semakin terasa sakit.
Angin bertiup kencang disertai gemuruh suara langit seolah menunjukkan kemarahannya. Bagai gayung bersambut, Richa menemukan sebuah goa kecil yang tak jauh dari hadapannya. Tanpa ragu dia segera masuk ke bibir gua dan terduduk di sana.
***
Lets to vote
3 bab menuju epilog
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top