Sultan Ali
Pesan dari Ustaz Ali kubiarkan terbaca tanpa membalas, kemudian membuka laptop. Sesuai pesan Dedek Wardah, aku penasaran bagaimana rupa wajah dari tulisanku yang mau dibukukan.
Setelah berhasil mengunduh dari email yang dikirim Dedek Wardah, tampak gambar berlatar putih dengan tulisan 'Catatan Istri Pertama', di sampingnya terdapat pena bulu angsa. Sepi dan tampak menyedihkan sekali. Tapi tidak menurut Dedek.
"Ini bagus, Kak. Berfilosofi. Dasar putih dengan satu pena. Persis Kak Nisa."
"Persis di mananya, Dek?" Aku mendebatnya lewat pesan WhatsApp.
"Putih itu simbol kesucian, dan pena simbol sejarah. Kak Nisa itu suci tapi punya sejarah yang perlu pembaca tahu apa yang Kakak rasakan."
Sungguh, anak ini harus kuakui jago dalam merayu. Mungkin dia memang cerdas, bahkan nasib yang sekian waktu kutangisi, justru darinya bisa kutertawakan.
"Hahaha. Bisa-bisaannya kamu itu, Dek. Selain itu nggak ada opsi lain?"
"Ada, Kak." Dia membalas dengan cepat. Bahkan di bawah nama kontak yang kuberi nama Dedek Cantik terdapat keterangan mengetik....
"Setangkai bunga dengan masih berlatar belakang warna putih. Cocok, kan? Janda kembang." Serentetan kalimat itu muncul di ruang percakapan kami dalam menit yang sama. Entah bagaimana Allah begitu memberinya kelebihan, bahkan dalam mengetik pun, dia sangat cepat. Cerdas dan tangkas.
"Ya sudah, yang pertama saja, Dek. Kok, rasanya gimana gitu, yah, kalau filosofinya merujuk ke janda kembang. Ini, kan, yang kamu mau soal catatanku. Cocok yang pertama, deh."
"Sip, Kak. Yang semangat ya, Kak. Dedek padamu."
Setelah percakapan lintas online itu kututup, bayang-bayang masa lampau berpantulan lagi. Jauh sebelum perdebatan tadi, Dedek Wardah sudah menghubungi, memintaku menulis curhatan yang selama ini aku endapkan. Katanya, ini cara menerapi diri. Dan entah kenapa aku justru merasa meratapi daripada menerapi. Yang lebih mengenaskan lagi, deritaku dia jadikan komersial.
Dedek Wardah sangat baik, memikirkan banyaknya pembaca yang perlu tahu mengenai sejarahku, tapi lupa tentang bagaimana aku harus bersusah payah menekan rindu dengan segala perasaan kacau di dalam sana. Memangnya apa yang akan aku dapatkan?
Seperti saat itu, saat sebelum aku mengambil bolpoin, beberapa carik kertas sudah teronggok di bawah meja. Bukan karena aku sudah menulis sekian banyak dan salah kata, melainkan kertas-kertas itu kadung basah oleh air mata. Sebab, menulis curhatan yang sudah lama aku coba endapkan sama saja meminta memompa air dari mata tanpa berkesudahan. Kesal sebenarnya, saat aku berusah payah menghentikan tangis, Dedek Wardah justru menjual lukaku.
Dan sungguh, sedikit pun aku tidak marah pada anak itu. Mungkin karena keriangannya menjadi pelengkap di sisa derita yang kupikul.
"Nis...." Umi masuk kamar dengan nampan berisi sepiring nasi berikut gelas berisi air mineral. "Mangan, yo!" (Makan, ya)
"Umi, Nisa bisa makan ke dapur. Ndak perlu repot-repot." Aku mengalihkan pandangan pada Umi yang meletakkan nampan di meja yang memangku laptop.
Kulihat senyum Umi mengembang, tapi gagal menyembunyikan sendunya.
"Piye komunitase?" (Gimana komunitasnya)
Aku sengaja tersenyum lebar, agar bisa menulari kebahagiaan kepada Umi. "Alhamdulillah, akhwatnya baik-baik. Itu Nisa dikasih beberapa abaya sama cadar."
Aku menunjuk bungkusan di samping dipan. Umi menarik kursi di sebelah kursiku. Duduk berhadapan dan meraih tanganku.
"Ndak usah ngajar lagi, ya," katanya pelan setelah mengenbuskan napas berat. Menyiratkan pinta penuh harap.
"Kenapa, Mi?" Pasti ini karena kedatangan Bu Sukma dan temannya tadi.
"Ndak usah saja. Kalau mau kerja nanti Umi bukakan toko sembako. Atau tanya lowongan mengajar di pesantren tempat Lini."
"Ada apa, Mi? Karena kabar tentang Bu Silvi?"
Umi tidak lagi menatapku, dia sembunyikan wajah di bawah tunduk. Tapi Umi tidak berhasil menyembunyikan sedihnya, pundaknya berguncang hebat, membuat mataku memanas.
"Umi jangan nangis!" pintaku dengan suara parau.
"Abahmu belum tahu, Nduk. Dan jangan sampai tahu," katanya di antara sedu-sedannya. "Kuwi fokus saja sama komunitas barumu."
"Nisa?" Baru saja Umi sebut, Abah sudah berdiri di pintu kamar. Memanggilku dengan kode tangan agar mengikutinya. Umi buru-buru berpaling, tidak menampakkan muka sembabnya. Untungnya Abah pergi setelah memberi kode.
"Kalau Abah tanya soal les, bilang kamu ndak mau mengajar lagi. Soale kegiatan di komunitas padat." Umi terlihat khawatir, mungkin karena sudah paham betul karakter Abah. Soal bagaimana menjaga martabat agar tidak memalukan adiknya yang menjadi kiai besar dan disegani. "Eh, jangan. Bilang saja apa adanya. Murid-muridnya berhenti semua."
Oh, berarti Umi melarangku mengajar lagi karena orang tua murid menghentikan les privat.
Berbekal pesan Umi, aku menyusul Abah dengan menata jawaban untuk beberapa kemungkinan. Bukan untuk mengarang seperti kepandaian Dedek Wardah, tapi agar lebih meyakinkan. Sebab, duduk di depan Abah dalam kondisi dan suasana seperti sidang, sudah tentu membuat gugup. Dan, gugup kerap menyamarkan jawaban saklek menjadi jawaban ambigu.
"Longgowo!" (Duduklah!)
"Wonten nopo, Bah?" (Ada apa, Bah?)
"Kamu kenapa nggak bilang, Nduk?" Pertanyaan Abah sukses menarik semua saraf-sarafku, menjadi tegang dan kaku. Apalagi Abah menjeda pertanyaannya dengan meminum kopi buatan Umi yang tersedia di meja. "Sampai Byan yang telepon Abah, bilang kalau kalian sudah ketemu dalam forum taaruf tadi siang."
Akhirnya napas yang terbelenggu kaget kini lolos dari hidungku. Meredam bunyi jantung yang serupa pantulan bola pingpong. Ternyata Abah membahas tentang Ustaz Ali.
"Ketemunya ndak sengaja, Bah. Tadi pas Nisa ikutan acara komunitas bareng Lini di Masjid Jami Malang."
"Gimana orangnya?
Tampan, Bah. Masih seperti dulu, bedanya sekarang jauh lebih matang, maka lebih berwibawalah dia, tapi....
"Kuwi seneng?" (Kamu suka?)
"Ndak, Bah."
"Jangan langsung memastikan. Kamu belum mengenalnya, nanti kalau sudah kenal bisa saja saling suka." Aku sudah mengenali Mas Byan, begitu sebaliknya, tapi hanya aku yang menyukainya, Bah. Tidak ada saling di antara kami. "Nanti malam Abah istikharahkan. Ngenteni kuwi setuju mengkok nggak nikah-nikah." (menunggu kamu setuju, nanti nggak nikah-nikah)
Aku lesu mendengar keputusan sepihak seperti ini. Siang tadi sudah aku katakan belum siap menikah dalam forum taaruf, kenapa sekarang malah Abah yang mengambil keputusan berlawanan?
"Maksud Nisa, Nisa ndak suka acara taaruf-taarufan begitu. Nisa mau ikhtiar sendiri soal pasangan."
"Loh, ini ikhtiar juga, toh? Memang ini ikhtiar siapa kalau bukan Nisa?" Suara Abah membungkamku, bukan tak mampu mendebatnya, cuma nada tinggi satu oktaf dari biasanya berupa pertanda Abah tak memberi peluang debat. "Kamu sudah dewasa, Nduk. Bukan waktunya memikirkan diri sendiri, pikirkan kami." Suara Abah kembali rendah. Bicaranya seperti mengiba.
"Kami ini sudah tua, sudah asar ibarat waktu, sebentar lagi jasad ini menyatu dengan tanah. Kamu nggak memikirkan bagaimana ruh kami menghadapi pertanyaan malaikat tentang tanggung jawab kami atasmu? Kami malu membiarkanmu terkurung dalam status ini, padahal yang datang meminangmu bukan sekali dua kali, tapi kamu tolak semua."
Aku menunduk. Memang harus diakui, betapa egoisnya diri ini yang mementingkan perasaan sendiri bukan orang lain.
"Kalau kamu cari orang kayak Byan, selamanya nggak bakal ketemu. Byan itu Allah ciiptakan hanya satu, anaknya Buyamu, mantan suamimu. Nggak ada yang lain sekalipun mirip fisik."
Petuah Abah menampar, menjatuhkan bulir-bulir bening dari mata yang terasa sekali nanar.
"Nisa bukan cari yang kayak Mas Byan, Bah. Nisa cuma ingin menikah dengan orang yang mencintai Nisa, dan Nisa mencintainya."
"Nggak nemu, Nduk, kalau kamu menutup diri seperti ini. Cobalah yang kali ini kamu lihat lebih dekat, siapa tahu itu memang jodohmu."
Aku diam. Tak ingin membantah Abah lebih banyak lagi. Meski tidak mengiakan, Abah akan lebih tenang.
"Abah nggak mau maksa, Nduk," kata Abah setelah menyeruput kembali kopi hitamnya. "Kalau nanti kamu nggak bisa seneng karo Ustaz Ali, nggak opo-opo nggak diteruskan. Abah juga nggak mau kamu mengalami kedua kalinya."
Kedua kalinya yang Abah maksud mungkin kehidupan pernikahan seperti yang kualami bersama Mas Byan, atau bisa saja menjanda dua kali yang Abah maksudkan. Sejujurnya, aku begini lebih tidak ingin daripada siapa pun yang iba melihat nasibku. Pernah menikah dengan orang yang tidak mencintai, kemudian status janda menjadi ancaman perempuan sekitar.
"Yo wes, turu!" perintah Abah setelah melihat diam putrinya. Aku beranjak dari duduk ketika suara Abah tetdengar kembali, "Sementara kurangi bergaul dengan tetangga sekitar. Bukan memutus silaturahmi, tapi dengan begini akan menjauhkan prasangka-prasangka tidak baik."
Abah pasti tahu, dari ketenangannya sudah menggambarkan segala.
"Enggeh, Bah." (Iya, Bah)
Kupikir setelah meninggalkan Masjid Jami Malang tadi berarti mengusaikan segala persoalan tentang taaruf. Ternyata masih ada serentetan persoalan yang menyita perhatian. Hampir habis rasanya tenagaku menghadapi kenyataan yang megores-gores diri.
Umi sudah tidak ada di kamar, meninggalkan sepiring nasi berlauk sate ditutupi piring kosong. Mungkin Umi khawatir ada hewan menyentuh makanan yang dipersiapkan khusus untuk anaknya. Kulihat ponsel, ingin membuka media sosial atau sekadar komentar dan memberi reaksi pada unggahan teman-teman. Sayangnya notifikasi yang masuk sejak tiga puluh menit lalu mengalihkanku dari niat semula.
"Saya ada salah sama antum ya, Ning? Kok, pesan saya nggak dibalas?" Itu pesan yang tampil di layar kunci, setelah membuka aplikasi WhatsApp, kulihat di bawah nomor baru masih bertuliskan online.
Masih sama, kutinggalkan pesan itu tanpa balasan. Kemudian menulis status di Facebook.
Allahumma sahhil umurana. (Ya Allah mudahkan segala urusan kami)
Tidak ada niat apa pun, hanya ingin menulis kalimat itu. Masalah persepsi, aku serahkan sepenuh dan seleluasanya teman-teman di Facebook.
"Saya minta maaf, kalau ternyata saya mengganggu waktu Ning Nisa. Assalamualaikum." Pesan ini masih dikirim oleh nomor yang sama. Nomor orang yang mengaku dirinya Ustaz Ali, dan sepertinya benar.
"Menjawab salam itu wajib loh, Ning."
Aku membayangkan Ustaz Ali berbicara di depanku tanpa tanggapan sampai kehabisan bahan obrolan. Ternyata membayangkannya begitu membuatku tersenyum sendiri. Lucu.
"Waalaikumussalam."
"Alhamdulillah, antum masih berkenan menjawab salam saya."
Aku pikir dengan menjawab salamnya akan menutup percakapan daring ini, ternyata masih mendatangkan pesan lagi.
"Katanya mau undur diri?"
"Kapan saya bilang begitu?"
"Di atas tadi."
"Coba dibaca lagi." Seperti dikemudi, tanganku dengan cepat menggulir ke awal percakapan tadi, dan aku menemukam malu besar. Ternyata anggapanku saja dia mengundurkan diri setelah mengucapkan salam, padahal tidak ada kata pamit di sana.
"Nggak ada, kan?"
Aku tidak membalas. Sudah kadung malu. Biarkan saja dia menertawakan, yang penting bukan depan mata.
"Saya, kan, cuma mengucapkan salam. Karena salam pertama nggak antum jawab."
Kubiarkan pesan itu terbaca lagi. Tidak berapa lama dia meninggalkan aplikasi WhatsApp. Sebab tampak tulisan terakhir dilihat hari ini pukul 22.03.
Ingin sekali mengirim pesan kepada Nalini, mencurahkan gelisah dan gundah juga kesal sehari ini. Atau membahas apa saja yang sekiranya meringankan penat. Tapi keadaannya tidak memungkinkan, Nalini sedang di rumah sakit. Karena keguguran yang dialaminya dia harus melakukan kuret.
Ponselku menandakan notifikasi lagi, di bilah atas terdapat keterangan Sultan Ali memberi reaksi pada status Anda. Ah, rupanya dia meninggalkan WhatsApp cuma untuk memberi reaksi super pada statusku. Seperti remaja saja kelakuannya. Padahal sudah bapak-bapak.
Dari Facebook Ustaz Ali beralih ke WhatsApp lagi, dan mengirimiku gambar berisi kutipan hadis Rasulullah.
اللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً
Artinya: Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali yang Engkau buat mudah. Dan Engkau menjadikan kesedihan (kesulitan), jika Engkau kehendaki pasti akan menjadi mudah.
"Semoga Allah mudahkan segala urusan antum."
Aku semakin geli dibuatnya. Sekalipun ingin menaklukkanku dengan perhatian, kurasa ini agak berlebihan. Agak ganjil. Coba saja Mas Byan mengirimi pesan seperti itu, mungkin segala kesulitan ini terasa mudah.
Astagfirullah! Aku sudah lupa diri, mengharapkan laki-laki yang jelas sudah tak kumiliki.
***
Pagi ini cerah, beriringan dengan harap dan doa semoga segalanya berjalan dengan baik-baik saja. Jadwal mengajar sudah disunat habis karena murid-muridku menjadi korban kecemburan ibu mereka, tinggal Fachri seorang yang Bu Sukma siap antar ke sini. Kata Umi, semalam sudah dibicarakan. Karena Umi ingin meminimalkan pergerakanku di sekitar rumah.
Berdosa rasanya sudah membuat Umi risau setiap saat. Dulu awal perceraian, Umi yang paling kentara terpukulnya. Secara fisik baik, kalau secara psikis aku yakin Abah dan Umi mengemban rasa malu yang besar. Mempunyai anak perempuan yang sudah janda, tapi masih gadis, dan bagaimanapun janda tidak akan pernah setara dengan gadis. Percayalah, karena kita hidup di lingkungan yang sangat praktis. Praktis menilai segalanya dari subyektif secara akumulatif. Umi yang super cerewet itu menjadi lebih banyak diam, jarang keluar rumah. Paling-paling kalau ditelepon Ummah untuk bantu-bantu jika ada kegiatan.
Umi begitu, mungkin sedang mengekspresikan kemarahannya. Sempat Umi mau mendatangi Mas Byan di Jakarta ketika baru-baru menikahi Mbak Lowee. Dia tidak terima anaknya ditinggalkan begitu saja. Padahal aku tak apa, setidaknya berusaha tidak apa-apa. Aku yang menahannya agar tidak menyusul yang akibatnya sudah pasti Umi mengata-ngatai Mbak Lowee.
Umi bukanlah perempuan dari kalangan santri atau keluarga agamais. Kami menjadi keluarga kiai karena Buya, adik dari Abah, menjadi kiai setelah menikah dengan Ummah dan mewarisi pesantren Qolamuz Zaman. Jadi, soal akhlak mungkin kami jauh dari terpuji. Karenanya pada saat itu aku melarang ide Umi pergi ke Jakarta.
Setelah mengatakan perihal perceraian yang kupilih, Umi sangat marah. Tapi bukan lagi ke Mas Byan, juga tidak ke Mbak Lowee. Umi marah pada diri sendiri. Aku masih ingat betul bagaimana Umi memukuli dadanya, merasa semua kesalahan bersumber darinya.
"Embok macam apa aku iki. Kok, nganterin anak dewe ke neraka," kata Umi dulu di kamarku. Aku berusaha memeluk tubuhnya yang meronta. Aku tahu dia sangat menyesali. Tetapi, mau gimana lagi? (Ibu seperti apa aku ini. Kok, mengantarkan anak sendiri ke neraka)
"Coba biyen aku ndak marani Ummahmu, nasibmu yo ndak bakal ngini. Duh, Gusti... parengi sepuro, kulo keakehan duso." (Coba dulu aku nggak mendatangi Ummahmu, nasibmu nggak bakal begini. Duh, Gusti... berilah ampunan, saya kebanyakan dosa.)
"Sudah, Mi. Nisa ndak opo-opo. Nisa nggak mati ini, jangan ditangisi kayak gitu. Rasane Nisa niki sudah ndak hidup kalau Umi terus begini."
Sejak itu Umi lebih banyak diam, sepertinya untuk menasihatiku pun takut salah lagi. Takut membuatku menderita lagi. Jadi, rumah lebih terasa sepi.
Alhamdulillah, setelah waktu-waktu berlalu, beberapa bulan belakangan Umi mulai legowo. Menerima kenyataan ini meski pahit. Ternyata pahitnya kenyataan bukan pada saat aku resmi diceraikan, tapi saat ini. Saat tetangga meresahkan keberadaanku yang tak kunjung bersuami. Tidak tahukah, aku tengah menata hati.
Mengubah status memang mudah, cukup ketuk palu kemudian tanda tangan sudah. Menjalani siswa waktu inilah yang susah, pandangan sinis dan prasangka buruk memutar arah, menjadikan diri ini satu-satunya orang bersalah.
Kulihat WhatsApp Nalini sedang online.
"Gimana, Lin, keadaannya?" Pesanku langsung terbaca, tapi Nalini mendiamkan. Tak menamppak ingin membalas meski sedang online. "APa perkembangan terbarunya, Lin?" Pesan kedua masih tanpa jawaban meski sama-sama bercentang biru.
Nalini sepertinya benar-benar tidak baik.
===========
Malam Kamis, 25 September 2019
Tigaraksa dalam pangkuan laki-laki.
Tulisan ini diselesaikan buru-buru tanpa suntingan. Karena si Eyang Asiten tengah menunggu.
Wardah T.
FB: Wardah Toyibah
IG: wardahfull
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top