Pingitan
"Nisa pakai gamis sajalah, Mi," kataku pada Umi yang membawakan katalog beragam busana pengantin muslimah. Sejak kedatangan keluarga Ustaz Ali kemarin, dan tanggal pernikahan ditentukan, keluargaku hilir mudik mengurusi persiapan pernikahan.
Mereka memilih hari pernikahan pada awal bulan Rabiul Tsani. Entahlah, katanya tidak baik menunda pernikahan terlalu lama, apalagi status kami yang janda-duda sudah menjadi bukti siap menikah lahir dan batin.
Halah, lahir dan batin. Siapa yang tahu soal batinku? Siapa yang bisa mengerti perasaanku? Bahkan orang yang mereka sebut calon suamiku itu sampai saat ini tidak pernah menghubungiku. Tidak seagresif dulu waktu taaruf. Bahkan terlalu pasif.
"Nis!"
"Eh, iya, Mi." Aku gelagapan saat tangan Umi menepuk paha.
"Iki yang dijak ngomong pikirane nang endi-endi." (Ini yang diajak bicara pikirannya ke mana-mana)
Aku tersenyum menanggapi omelan Umi barusan. "Kan, Nisa bilangnya mau pakai gamis saja, Mi."
"Iki, mangkane ngerunguno omongane wong tuo. Ini permintaan Ummah. Ummah yang sengaja pilihkan katalog busana muslimah ini. Katanya, model-modelnya cocok buat yang pakai cadar."
Aku menghela napas mendengar Ummah disebut dan jadi biang dari semua ini.
"Sebenarnya Nisa ini anak Umi apa anak Ummah? Jelas anak Umi dan Abah, kan? Wajah Nisa saja mirip Umi. Kenapa Ummah yang repot sama pernikahan Nisa? Gedung yang pilih Ummah, WO yang nentuin Ummah, sekarang baju pengantin. Ya, meski semua melalui persetujuan Nisa. Sebenarnya Nisa ini mau menikah sama Ustaz Ali atau sama anak Ummah?"
Umi tersentak sejurus kemudian meletakkan majalah katalog tadi sedikit keras di kasur, di samping tempat aku duduk. Mungkin kalau ada nyamuk di sana, sudah mati dibuatnya. Tanpa kata-kata lagi Umi beranjak menuju pintu kamar. Dari gelagatnya aku tahu dia marah. Dan sebelum keluar dari kamar, Umi menoleh.
"Sikapmu kalau terus-terusan begitu laki-laki dari surga pun enggan menikah denganmu. Bukan cuma Ustaz Ali." Sinar mata menyalang itu seperti merobek hatiku. Kemurkaannya sangat kentara dari gurat-gurat merah di wajah tua nan lesu itu. "Ingat, Nis, Byan bukan satu-satunya laki-laki yang bisa kamu cintai. Ada banyak kesempatan dan waktu untuk mengubah perasaanmu. Tapi itu tergantung kamu mau apa ndak. Umi capek."
Pintu itu menghilangkan punggung yang mulai melengkung ke depan. Bagai tangkai bunga layu. Umi pergi setelah menggelegarkan petir amarahnya. Sangat jarang Umi berkata sedemikian kerasnya, dan baru kali ini aku merasa disalahkan. Dulu, waktu memilih meninggalkan Mas Byan, tidak pernah Umi atau Abah menyalahkan aku. Mereka lebih menyalahkan diri sendiri karena merasa gagal. Tapi kali ini beda. Jelas Umi menyalahkan aku.
Dan barusan, Umi bilang laki-laki dari surga enggan menikahiku? Begitu burukkah sikapku ini? Begitu burukkah bagi orang yang mendamba cinta?
Pertanyaan itu mengiris hati, melukai diri dengan air mata sebagai darah. Entah apa yang kutangisi. Di sini yang kurasa sepi. Tak ada yang memihakku, tak ada yang sekubu denganku, tak satu pun. Bahkan sampul katalog itu terasa dingin, seolah-olah ikut enggan denganku.
Kubuka lembarannya, ada model berpose dengan busana muslimah warna merah muda pastel. Senyumnya merekah. Seperti ingin mencerminkan perempuan yang memakai busana itu di hari pernikahan, hidupnya akan bahagia.
Mungkinkah busana pernikahan mempunyai efek demikian pada kehidupan?
***
Amarah Umi kemarin ternyata genjatan senjata. Buktinya sejak itu di rumah ini terjadi perang dingin. Aku melawan Umi, dan Abah yang tak memihak siapa-siapa kentara lebih condong pada Umi. Bicara padaku seperlunya, kadang menjadi mulut kedua Umi ketika harus menyampaikan sesuatu kepadaku.
Untunglah siang ini suasana rumah tertolong dengan kehadiran pasukan Mas Fadli. Mbak Een, istri Mas Fadli menampakkan wajah semringah begitu bertemu aku. Di kamar dia mengungkapkan kebahagiaannya bisa melihatku membangun rumah tangga baru dan melupakan masa lalu. Nyatanya aku diseret terus menerus ke masa lalu
"Kata Umi kamu lagi pilih gaun pengantin? Yang mana?" tanyanya.
Sebenarnya malas membicarakan serba-serbi pernikahan, tapi karena euforia Mbak Een, aku tetap menampakkan seolah-olah senang dengan obrolan ini.
"Baru lihat satu ini, Mbak. Bingung akunya." Kuangsurkan gambar terakhir yang kulihat di katalog kemarin. Selain karena pose modelnya, aku memang tidak melihat-lihat lebih banyak model lagi.
"Ini manis, Nis. Nanti Mbak buatkan jilbab, veil, dan cadarnya. Biar sesuai sama gaya pakaian sehari-hari kamu. Jadi, di pelaminan kamu betah berlama-lama. Karena nyaman." Mbak Een memaparkan ide-idenya. "Sekalian buat promosi brand Mbak." Matanya mengerling. "Kamu ada request model gitu, Nis?"
Mbak Een memang setahun ini merintis bisnis online dengan produk utamanya jilbab.
Berbincang-bincang dengan Mbak Een yang selalu tampak semangat seperti ini, memberiku energi berbeda. Aku ikut terhanyut dan turut bergairah merencanakan pernikahan itu.
"Mbak setuju sama gaun yang ini?" tanyaku memastikan pendapat Mbak Een tentang busana muslimah simpel merah muda pastel di katalog. Bagian atasnya berbahan sejenis satin dengan tile berbunga timbul di beberapa bagian. Seperti bagian depan yang membentuk segitiga terbalik sampai bagian perut atas, dan di ujung lengan. Ke bawahnya melebar dengan lapisan tile polos.
"Kalau kamu?"
"Aku sih, suka, Mbak. Soalnya ndak terlalu mewah juga ndak terlalu menjuntai ke lantai."
"Memangnya kenapa kalau menjuntai?"
Aku mengangkat bahu sambil tersenyum. "Aku ndak suka, sih. Aku ndak mau masuk orang-orang fachur yang disebutkan dalam Surat Alluqman ayat delapan belas." ¹)
Menurut tafsir—dan aku lupa baca tafsir siapa—ayat tersebut menjelaskan nasihat Luqman terhadap anaknya agar tidak bersikap sombong, karena Allah tidak menyukai orang yang sombong dan berbangga diri terhadap harta. Dan pakaian bagus ini bagian dari harta.
Aku hanya hati-hati, agar tidak punya perasaan bangga saat memakainya nanti di acara pernikahan. Tak ingin dibenci Allah.
"Duh, yang calon istri ustaz, langsung deh keluar ayatnya," ledek Mbak Een kemudian yang kutanggapi dengan senyum sewajarnya. "Padahal tadinya mau kubuatkan veil menjuntai ke lantai. Kalau itu alasannya, ya nggak jadi, deh." Mbak Een tersenyum simpul.
"Oh iya, Mbak. Nanti buatkan jilbab yang menutup bagian potongan ini, ya. Biar nggak kelihatan bentuk tubuhku." Aku menunjuk busana yang jadi pilihan aku dan Mbak Een di katalog. Busana itu pinya potongan di bagian perut atas. "Dan, kalau bisa cadarnya bandana. Rasanya percuma bercadar kalau dahi lebarnya tampak kayak ladang."
Perkataanku disambut ledakan tawa Mbak Een. Mungkin karena aku terlalu lama tidak ngobrol seperti ini dengan seseorang, makanya hidupku terasa suram sekali.
"Ngomongin apa, sih, sampai ketawanya gitu? Kedengeran keluar, loh." Mas Fadli menginterupsi tawa Mbak Een dari ambang pintu.
"Rahasia perempuan, dong," sahut Mbak Een.
"Ma, itu anak-anak kayaknya mau makan. Diladenin dulu sana." Tidak menunggu perintah kedua, Mbak Een beranjak setelah tahu kalau kedua anaknya sedang bermain sama Abah, sedang si bungsu lagi sama Umi. Tinggallah Mas Fadli di kamar, duduk di kursi menggantikan Mbak Een.
"Ada apa, Nis?" tanyanya setelah Mbak Een menutup pintu kamarku. "Umi sampai telepon Mas sambil nangis."
Jadi, kedatangan Mas Fadli karena aduan Umi. Kukira karena pedulinya terhadapku dan pernikahan ini.
"Kami tahu, Umi itu sebenarnya yang paling marah sama Byan begitu tahu hidupmu disia-siakan. Tapi karena kamu, dia belajar memaafkan. Mungkin dengan begini Allah paringi kamu kehidupan lebih membahagiakan di masa akan datang. Sekarang kamu kayak maunya Byan tok, nggak mau sama yang lain. Di mana akal sehatmu?"
Aku menunduk. Menekuri ubin sambil memasang telinga baik-baik, mendengarkan ceramah panjang Mas Fadli.
"Sekarang maumu apa?" Ditanya begitu justru air mataku yang jatuh.
Boleh aku bicara soal mauku, Mas?
"Menurut Mas, Ustaz Ali pasti akan beda sama Mas Byan? Bakal bisa suka sama Nisa? Kalau ternyata ndak, berarti aku menikah dua kali dengan keadaan yang serupa, Mas."
Kulihat kakak sulungku itu mengembuskan napas sebelum berkata, "Lalu apa gunanya aku sebagai kakak laki-laki, Nis? Dulu aku nggak hajar Byan karena nggak mau hubungan Abah sama Buya renggang. Kalau sekarang, Ustaz Ali nggak ada hubungan darah sama kita. Kalau macam-macam sama kamu, aku hajar habis-habisan. Nggak masalah masuk penjara."
"Makasih, Mas." Terima kasih sudah menghiburku dengan kata-kata itu. Setidaknya aku merasa punya tempat pulang kalau ternyata gagal lagi.
"Cuma aku minta, jangan bikin Umi sedih. Umi itu kadung bahagia sama pernikahan kamu, Nis."
Aku mengangguk. Memang salahku kemarin mengutarakan kekesalan terhadap Ummah di depan Umi. Bukan apa, aku tahu Ummah merasa bersalah. Tapi tidak harus begitu untuk menebus rasa bersalahnya. Karena aku pribadi tidak pernah menyalahkan Ummah atas nasib yang begini.
"Ya sudah, keluar sana. Ada Lowee di depan."
Aku terperanjat mendengar nama Mbak Lowee disebut dan informasi keberadaannya di rumah ini. Untuk apa? Bahkan pertemuan waktu lamaran kemarin masih terasa canggungnya sampai sekarang.
Malam itu aku memeluknya dan tanpa sadar meneteskan air mata. Seperti mengulang kejadian terakhir saat aku sengaja ke Jakarta selama sehari untuk menemuinya. Mengatakan fakta hubungan aku dengan Mas Byan selama dua tahun itu.
Mbak Lowee yang sekarang berhijab masih sama seperti Mbak Lowee yang dulu. Memperlakukanku sebagaimana adik. Di malam lamaran, dia bahkan duduk di sampingku. Mendampingi perkenalan dengan calon mertua. Usai lamaran itulah aku tahu, ternyata Mbak Lowee sedang mengandung empat bulan. Alangkah bahagianya pernikahan mereka.
"
Semoga kamu bahagia, Nis," katanya berbisik di telingaku saat acara utama selesai, dan tinggal acara pengakraban. Kemudian tersenyum hangat sambil meremas tanganku. Kami duduk di beranda, bersama calon mertua dan Umi juga Ummah. Dari matanya aku merasakan ketulusan yang kemudian menggetarkan hati.
Bisakah kita saling berbahagia dengan kehidupan masing-masing, Mbak? Saling berdamai dengan masa lalu.
"Mbak juga. Mbak harus lebih bahagia," kataku menyulih ungkapannya. Ingin membagi, kalau aku juga peduli.
Perempuan itu mengangguk anggun dengan senyum yang kian mempercantik wajah orientalnya. Senyum itulah yang menjadikan Mas Byan tawanan bertahun-tahun. Senyum yang cuma dimiliki Mbak Lowee seorang.
"Atau aku suruh Lowee ke sini saja, Nis?" Suara Mas Fadli mengalihkanku dari lamunan. Mas Fadli bertanya begitu mungkin karena lama menunggu responsku.
"Ndak usah, Mas. Aku metu wae."
***
D
i ruang tamu aku menemukan Mbak Lowee duduk ditemani seorang perempuan lain. Ada Umi dan Mbak Een yang duduk dilantai sambil menyuapi si bungsu.
"Iya, Mbak...." Aku berusaha biasa, tidak canggung seperti malam itu.
"Ini, Nis. Ummah minta aku antar orang butik yang mau ambil ukuran kamu. Nggak apa-apa, kan?"
Aku tersenyum mendengar pertanyaan terakhir Mbak Lowee. Memangnya salah kalau dia mengantar orang buat kebutuhanku?
"Ndak apa-apa, Mbak. Tapi sebenarnya ndak usah repot-repot ke sini, kan Nisa bisa datangi butiknya."
"Duh, kamu... kayak nggak tahu Ummah saja. Katanya pamali calon pengantin keluar-keluar. Harus dipingit."
Senyumku mengembang jadi tawa mendengar penuturan Mbak Lowee. Hari rasanya semua terasa ringan. Ngobrol sama Mbak Een dan bertemu dengan Mbak Lowee seperti ini menimbulkan sensasi beda. Memperkuat hipotesisku tadi, kalau saja aku lebih banyak ngobrol seperti ini dengan orang-orang seperti Mbak Lowee dan Mbak Een, mungkin hari-hariku lebih ceria.
"Ngukurnya di kamar saja ya, Mbak."
"Boleh, Nis."
Dan Umi menunjukkan wajah perdamaian saat melihatku berinteraksi dengan baik sama Mbak Lowee. Mungkin lega tidak menemukanku seperti bermusuhan dengan istri baru mantan suaminya.
Di kamar Mbak Lowee jadi bagian menulis keterangan si tukang ukur. Darinya aku tahu ternyata Ustaz Ali yang meminta Ummah mengurus semua kepentingan pernikahan. Karena ibunya selain tidak tahu Malang, tidak bisa bepergian. Karena Gabriel—nama anak Ustaz Ali dan Mbak Nin—tidak bisa berjauhan sama neneknya.
"Memang Ustaz Ali nggak kasih tahu kamu, Nis?"
Aku menggeleng sebagai jawaban Mbak Lowee. Aku kira dia jauh lebih tidak peduli dengan pernikahan ini. Seperti menikah buat melengkapi kartu keluarganya saja. Bukankah yang seperti itu banyak terjadi?
"Terakhir ngobrol sudah lama, Mbak. Pas waktu dia tanya jawabanku atas pinangannya. Itu saja."
"Wah, kalian ini. Masa calon pengantin nggak saling pendekatan?"
Aku tersenyum sangsi.
"Berarti kamu juga belum pendekatan sama Gabriel, dong?"
Lagi-lagi aku menggeleng. Entah nanti aku akan jadi ibu pengganti seperti apa. Aku saja baru tahu namanya waktu malam lamaran. Ustaz Ali tidak benar-benar membawaku masuk dalam kehidupannya. Inilah yang semakin mengendurkan keinginanku menikah dengannya.
"Gabril itu nggak mau ngobrol sama orang selain sama nenek dan abinya. Padahal tadinya periang anak itu. Tapi sejak uminya meninggal, Gabriel jadi menutup diri."
Deg!
Belum apa-apa aku sudah merasa takut menghadapi masa akan datang. Bagaimana bisa menaklukkan Gabriel kalau aku sendiri tidak bisa menaklukkan masalah pribadi?
1) وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Artinya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (Alluqman ayat 18)
==========================
Ye... Nisa lagi rajin. Tepuk tangan dulu, dong. 😂🤣
Btw, selamat membaca. Selamat menyambut hari-hari jelang nikahnya Nisa. 🤣😂
Tigaraksa, 27 November 2019
Dipublikasikan setelah bikin bubur gosong, saking khusyuknya sama Nisa.
Wardah T.
Facebook: Wardah Toyibah
IG/Twitter: @wardahfull
WhatsApp: 087880117791 (ya kalik ada yang mau chat aku duluan. Hahaha. Sambung silaturahmi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top