Jendela Kututup, Pintu Kau Ketuk
"Bude, Nisa di mana? Nang jero?"
Waktu itu Mas Byan beranjangsana ke rumah. Biasanya datang mengucapkan salam, tapi hari itu tanpa salam, melainkan pertanyaan tentang keberadaanku yang kebetulan di kamar. Tak ada jawaban dari Umi. Tiba-tiba badannya kutemukan menyeruak dan duduk di dipan.
Itu bukan kebiasaan Mas Byan. Menerobos ke kamar gadis, apalagi tanpa bertanya diizinkan atau tidak. Aku gelagapan dan terkejut karena kebetulan tidak mengenakan hijab. Tetapi wajahnya yang memerah menahan marah, membuatku lebih mementingkan dia daripada menutupi rambut ikal yang menggulung tidak keruan.
"Ada apa, Mas?" tanyaku hati-hati sambil duduk di lantai dan mendongak memperhatikan gerak-geriknya.
"Aku kalah, Nis," katanya.
"Kalah apa?"
"Kalah cepat, kalah ambek masa lalu."
"Maksudnya?"
"Ummah nggak ngizini aku melamar Lowee." Saat mengatakan itu, aku tahu dia sedang bersusah payah untuk tidak menangis. Suara parau terdengar jelas, walau matanya tidak meneteskan air.
"Kenapa? Karena dia nggak berhijab?" Ini hanya praduga.
"Bukan. Tapi karena Mas Roshan." Kontan pernyataannya membuatku tergelak.
"Memangnya masih berlaku, yah, adik ndak boleh melangkahi kakak?" Spekulasiku saat itu tentang Mas Byan yang dilarang mendahului Mas Roshan sebagai anak sulung.
"Bukan juga, Nis."
"Terus?"
"Karena dua hari lalu, Mas Roshan mengirim foto ke Buya. Foto perempuan yang mau dipersuntingnya. Kamu tahu, kan, gimana senangnya Ummah begitu tahu Mas Roshan menyampaikan kemauannya langsung pada Buya tanpa perantara? Emas permata lewat, Nis. Dan aku telat mengajukan keinginan."
Seperti pendongeng, Mas Byan bercerita bagaimana mendekati Ummah yang baru selesai salat Isya dan Buya sedang ada undangan pengajian. Bermodalkan foto yang diambil dari akun Facebook Mbak Lowee, dia menyampaikan niat memperistri perempuan bermata sipit itu. Siapa nyana foto yang sama sudah masuk lebih dulu ke Buya dan Ummah.
"Terus Ummah bilang, 'By, Ummah tahu kamu karena Ummah ini embokmu. Kamu bisa, Nak, mencari perempuan lain selain Nak Lowee. Ben nggak tukaran karo dulur, kamu ngalah. Lupakan Nak Lowee dan terimalah dia sebagai kakak iparmu.' Aku sempat tanya kenapa Ummah lebih setuju dengan Mas Roshan yang menikahi Lowee ketimbang aku yang anaknya sendiri?" Dari nada dan gerak tangannya, aku tahu Mas Byan merasa semua ini tidak adil.
"Terus, apa kata Bibi?"
"Ummah bilang, 'Beri kesempatan buat Ummah, By. Kesempatan Ummah memperbaiki masa lalu. Paling tidak, bisa memulangkan seorang anak kepada bapaknya. Buya meski terlihat tenang sebenarnya dia kesepian. Roshan itu anaknya, meski dia berusaha tidak membeda-bedakan di antara kalian, Roshan anak kesayangannya. Anak yang paling ditunggu kedatangannya.' Dari situ aku paham, Nis. Meski aku datang lebih dulu buat mengajukan lamaran yang sama, aku tetap harus mundur jika itu untuk Mas Roshan. Semua karena rasa bersalah Ummah terhadap Mas Roshan."
Aku paham soal ini. Ummah sudah lama menyimpan rasa bersalah itu, yang apik dikemas dengan senyum dan keibuannya. Bahkan, setelah Mas Roshan menikah dengan Mbak Lowee, kemudian sikap Mas Roshan hangat kembali, Ummah masih menyebut namanya di urutan pertama pada doanya. Bukan Mas Byan, Zulfa atau Zein yang anaknya sendiri, tapi Mas Roshan yang mereka bilang anak tiri.
Kalau mereka mudik, perhatian Ummah selalu berpusat kepada Mas Roshan dan keluarga kecilnya. Terutama setelah Zidan lahir.
Aku menenangkan dengan menepuk-nepuk pelan punggung tangannya. Mas Byan terlihat cukup kacau saat itu, belum lagi harus belajar menahan diri untuk tidak menghubungi Mbak Lowee. Mungkin satu mingguan dia menyimpan ponsel dalam keadaan offline di laci kamarku.
"Aku butuh menghilang, setidaknya aku nggak menyakiti dia," katanya. Aku maklum, karena aku saksi dari kesungguhannya terhadap Mbak Lowee.
Jika dulu aku tahu mengenai Majnun yang menggila karena Laila lewat buku dan cerita, saat itu aku melihat Majnun dengan kisahnya ada dalam dirinya.
Seminggu kemudian Mas Byan datang lagi, penampakannya tidak lebih baik. Masih semrawut dan kacau. Hebatnya, penampakan itu hanya bisa dimunculkan di depanku. Sedang di depan orang lain, dia pintar menguasai diri. Mungkin, kebiasaan melihatnya begitu turut memengaruhi, sehingga aku pandai mengelabui.
"Hari ini Mas Roshan mau ngelamar Lowee," katanya di sore itu. Sore yang sangat menegangkan, karena bagaimanapun Mbak Lowee akan mencarinya. Sedang Mas Byan tidak berani muncul di antara kisah mereka―Mas Roshan dan Mbak Lowee―sebagai seseorang yang akan menjadi batu sandungan. Begitu yang dikatakan, karena keduanya orang-orang terkasih Mas Byan, keduanya orang-orang yang paling dia ingini, entah bahagianya, entah kehadirannya. Yang jelas sepupuku itu bilang tidak mempunyai pilihan selain menghilang.
Masih ingatkah tentang hari itu, Mas?
"Mas Byan nggak mau menghubungi dia?" tanyaku memastikan.
Yang kutanya hanya menggeleng pelan. Padahal di tangannya ponsel itu sudah beberapa kali berdenting, yang kuyakini itu pesan dari Mbak Lowee.
"Biar nanti saja dia tahu siapa aku, dan siapa Mas Roshan. Sekarang, biar dia menganggapku angin lewat saja,"—dia menutup mukanya dengan kedua tangan—"meski sebentar semoga sempat membuatnya nyaman," lanjutnya dalam lirih.
Pernyataan itu harapan. Dan aku tidak tahu apa yang sedang berlaku, selain caranya mendiamkan Mbak Lowee. Padahal, menurutku berterus terang mungkin akan memudahkan segalanya. Bisa saja Mbak Lowee marah, bisa juga Mas Roshan menggagalkan pinangannya, dan bisa saja dia yang akhirnya bersanding dengan Mbak Lowee. Tapi, Mas Byan ya tetap Mas Byan. Tetap anak Ummah yang ingin sekali melihat perempuan nomor satunya bahagia, paling tidak merasa lebih lega dengan kembalinya Mas Roshan ke rumah.
Cuma, pesan-pesan itu yang mengusikku, pesan masuk ke ponsel yang disimpan di laci meja kamar. Sampai pada satu malam aku dilanda rasa penasaran. Maka, kuintip apa saja pesan yang Mbak Lowee kirimkan.
Benar. Mas Roshan sudah mengatakan maksudnya, dan Mbak Lowee menginginkan respons Mas Byan. Tepatnya kepastian dari Mas Byan yang kuduga akan menjadi pertimbangan antara menerima atau menolak lamaran Mas Roshan.
Sayang, lelaki yang kemudian hari menjadi suamiku itu kadung ingin menghilang. Dan aku telanjur membuka tanpa bisa memberi jawaban.
Maafkan aku ya, Mas. Karena takut ketahuan, akhirnya memilih mereset ponselmu, lalu semua data itu lenyap. Sekali lagi maaf, termasuk atas kebohonganku yang mengatakan sempat dimainkan oleh anaknya Mas Fadli, Rayhan.
***
"Umi mau ke mana?" Kulihat Umi berjalan ke arah dapur ketika aku membuntuti Mas Byan ke arah ruang tamu.
"Mau bikin minuman buat Byan."
"Nggak usah, Bude. Nggak usah repot-repot. Kalau haus nanti kulo ambil sendiri." Mas Byan memang tidak pernah mengubah panggilan meski menjadi suamiku. Katanya kadung nyaman memanggil Umi dengan sebutan 'bude'.
Aku menghampiri Umi dan meraih tangannya lalu berbisik, "Umi ikut ke depan. Kita bukan mahram lagi untuk bicara berdua saja."
Perempuan yang melahirkanku itu seperti tersadar akan sesuatu. Kemudian menurut dengan ajakanku setelah menghela napas berat. Seberat aku yang memanggul kenangan di saat ingin melupakan. Kemudian orang dari masa lalu itu muncul di depan mata, melangkah penuh wibawa, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
"Masih ngajar les, Nis?" bukanya setelah kami bertiga duduk di sofa. Mas Byan di sofa tunggal, aku dan Umi di sofa panjang.
"Masih, Mas."
"Berapa anak sudah?"
"Menyusut sekarang. Tinggal lima orang. Ada beberapa yang berhenti di tengah jalan, yang lain orang tuanya yang menghentikan."
Sejak lepas nikah dari Mas Byan, tetangga sekitar memintaku mengajari anaknya. Apalagi masyarakat sini masih menganggapku bagian keluarga dalem—keluarga kiai. Entah kenapa, belakangan banyak ibu-ibu dari muridku menjaga jarak. Padahal selama mengajar, tidak pernah aku melakukan kekerasan terhadap anak yang rata-rata masih sekolah dasar itu.
Orang menyebutku guru ngaji panggilan, karena mengajar membaca Alquran dan menerangkan beberapa hukum fiqih. Kadang selain anak, ada beberapa orang tua yang minta diajari.
"Kenapa menyusut?"
"Emboh, Mas."
"Biasa, By. Ada desas-desus tidak enak." Umi menyahut dengan pandangan kosong. Kupegang pahanya, mengode tidak menerangkan apa-apa terhadap Mas Byan.
"Desas-desus nopo, De?"
"Yah, biasa. Masyarakat kita belum terbuka terhadap janda. Stereotip itu masih melekat, janda koyok ancaman bagi rumah tangga mereka."
Mas Byan berwajah sendu. Tatapannya yang beralih padaku, tak dapat diartikan apa yang sedang berlaku. Apakah cerita Umi mengganggunya?
"De, kulo buat kopi, enjeh?"
"Oh, kepingin kopi? Biar Bude yang buatkan. Kamu duduk saja di sini."
Umi segera beranjak dari duduk, dan lekas berlalu. Seperti mengerti Mas Byan tengah mempolitisasi kopi. Seolah-olah minta izin, dan tahu apa reaksi Umi. Sehingga dengan begitu dia leluasa bicara denganku.
"Aku minta maaf, Nis."
Buat apa?
"Karena aku, kamu harus mengalami ini semua. Pasti berat."
Aku menunduk, tak menyangkal semuanya.
"Desas-desus itu sampai ke telinga Ummah. Beliau menangisimu saban waktu."
Aku mendongak. Mencari kebenaran kabar itu lewat kontur muka rupawannya. Ummah, perempuan yang menanggung banyak luka.
"Kamu tahu sendiri gimana Ummah."
"Sampaikan salamku ke Ummah, Mas. Maaf belum bisa sambang," kataku berharap kalimat ini sungguh-sungguh disampaikan dan menjadi pelipur laranya.
"Ummah yang ngutus aku ke sini, Nis. Katanya, kalau aku yang ngomong pasti didengerin."
"Soal apa, Mas?"
"Soal apa yang disampaikan Buya wingi."
Ya Allah, lagi-lagi soal jodoh, soal menikah. Tidak bisakah aku memilih hidup sendiri? Toh, ini bukan pertama kalinya aku single. Dulu sebelum menikah, aku sendiri. Lalu apa bedanya?
"Ustaz Ali datang ke rumah." Mas Byan terdengar bicara asal. Tadi membahas Ummah, kemudian Buya, sekarang Ustaz Ali. Untuk apa mengalihkan pembicaraan dengan menyebut nama orang yang sudah lama kulupakan. Cinta pertamaku yang tak kesampaian, kemudian dia sebut itu cintaku dalam kesendirian. Sebab, Ustaz Ali yang sering kutemukan di dalem itu berhasil menumbuhkan perasaan beda di hati, menyanjungnya dalam doa: semoga kelak bisa berjodoh dengannya.
Ternyata Allah segera menghentikan khayalan itu melalui Buya yang menjodohkannya dengan abdi dalem. Nindya namanya, santri memanggilnya 'Ustazah Dya', aku memanggilnya Mbak Nin.
"Ola opo cerito Ustaz Ali? Sudah ndak lagi menghibur kabar berita tentangnya."
Mas Byan memang satu-satunya orang yang kuberi tahu tentang perasaan yang mengembang pada laki-laki bergaris wajah Arab itu. Dulu dia bertandang ke sini dengan membawa cerita teranyar dari ustaz yang paling dipercaya Buya. Waktu itu masa-masa Mas Byan kasmaran sama Mbak Lowee. Kami memang dekat sejak kecil, dan aku jadi teman perempuan yang aman kata Mas Byan.
Jika ketahuan berteman dekat dengan perempuan tanpa ikatan darah, dikhawatirkan tidak menjadi uswah bagi santri-santrinya. Padahal dia sendiri dosen salah satu universitas di Malang. Tidak banyak kontribusi terhadap pesantren selaiknya Zein.
Ustaz Ali menikah tidak lama setelah Mas Roshan menikahi Mbak Lowee. Pada saat itu aku menertawakan kisah cinta kami. "Mas, kita ini dua orang yang ditelantarin cinta. Bedanya kamu terluka, kalau aku hanya putus harapan," kataku padanya waktu itu.
"Dia minta Buya carikan perempuan yang mau di—"
"Poligami? Kenapa, sih, laki-laki mengagungkan poligami?"
Mas Byan berdeham dua kali, kemudian jadi batuk, membuatku mengambil air kemasan yang disediakan di meja. Mungkin itu refleksi dari ketersinggungannya, sebab aku mengungkit soal poligami.
"Kamu segitu sensitifnya ya, Nis, terhadap poligami?"
"Bukan gitu. Kalau satu saja belum jadi suami yang benar, kenapa harus dua?"
"Berarti kamu juga beranggapan begitu ke aku dulu?"
"Beda ceritalah, Mas. Ah, sudahlah. Jangan bahas yang sudah berlalu."
Diam. Kami sama-sama terkunci. Tidak membiarkan satu kata pun lolos. Yang ada hanya rikuh oleh mata selidik Mas Byan dan itu membuatku tak nyaman. Padahal, aku tak bermaksud menyinggungnya, apalagi mengulang kejadian lalu. Menenangkan kenangannya saja aku masih terseok-seok.
Jadi ingat kata Nalini saat aku mengungkit soal masa lalu. "Kamu itu terlalu membesarkan masa lalu seperti anak sendiri. Dieman-eman, dielem-elem, koyok bakal dadi masa depan lagi."
"Nis...."
"Hmmm."
"Aku minta maaf. Nggak tahu harus bilang apa lagi. Seandainya saja ada kata yang lebih dalam daripada maaf."
"Wes talah, Mas. Wes jadi masa lalu. Kita benahi masa depan. Mas karo Mbak Lowee, saya karo awak dewe."
Kulihat laki-laki yang duduk agak membungkuk itu mengangguk-angguk. Terakhir kudengar helaan napasnya yang sedikit berat, tapi sepertinya melegakan.
"Istrinya Ustaz Ali meninggal, dia tengah membesarkan anak seusia Zidan. Sekarang dia ingin membina keluarga baru, butuh ibu untuk anaknya. Makanya datang ke rumah minta Buya carikan perempuan."
Mas Byan menjelaskan panjang lebar sebelum kupotong seperti tadi.
"Terus?" Aku tahu yang dimaksud. Buya mau menjodohkan Mas Ali denganku. Seperti mereka dulu memutuskan agar Mas Byan menikahiku dengan alasan satu-satunya perempuan yang terlihat dekat dengannya hanya aku. Sudah. Padahal Ummah tahu, Mas Byan menginginkan Mbak Lowee. Tapi kepiawaian Mas Byan menyembunyikan luka, mereka mengira kami ada apa-apa. Hubungan selain terikat darah.
"Ya, mau nggak kamu—"
"Nikah sama Ustaz Ali?" Mas Byan menganggung agak ragu. Mungkin ragu karena menyadari bagaimana reaksiku selanjutnya. "Sampean minta saya mengulang pernikahan yang sama? Seperti yang pernah kita lakuin?"
"Beda, Nis. Kamu pernah punya perasaan sama Ustaz Ali. Akan mudah menumbuhkannya kembali. Beda dengan kita yang memang sejak awal hanya saudara. Tidak lebih."
Kenapa ada nyeri di ulu hati? Mendengar kata-kata Mas Byan barusan, seperti ada silet yang menguliti hati. Perih. Dia benar-benar tidak menyadari betapa perasaanku bermekaran di sana. Bahkan, hari ini saja aku belum sanggup membuat layu.
"Terima kasih, Mas, sudah peduli dengan kehidupan saya. Tapi saya sudah bukan anak-anak lagi. Sudah bisa mengurus diri sendiri. Sampean ndak usah repot-repot."
"Ini permintaan Ummah, Nis. Bukan kehendakku, bukan kehendak Buya. Ummah. Ummah yang pengin kamu bahagia. Tolong pertimbangkan demi Ummah."
Haruskah aku menikah karena mempertimbangkan perasaan orang lain? Lalu siapa yang akan mempertimbangkan perasaanku? Ustaz Ali memang pernah kusuka, menyukainya kembali tentu bisa. Tapi, mereka tidak pernah bertanya, apakah Ustaz Ali mau mencintaiku? Paling tidak belajar mencintai. Kenapa dalam keluarga dalem tidak pernah menyebut cinta sebagai pertimbangan? Melainkan muruah saja yang dijaga.
"Seenggaknya ketemuan dulu ya, Nis. Kenalan. Kamu kan, meski suka ke dia belum kenalan dulu."
"Ndak punya waktu saya, Mas."
"Nggak harus sekarang, Nis. Kapan-kapan. Aku yang temani."
Harus mencari alasan apa lagi? Mas Byan terlalu kekeh terhadap rencananya.
"Ya sudah, aku pamit. Bude mana?"
"Sebentar." Aku menyusul Umi yang ada di dapur. Terlalu lama untuk membuat kopi, pasti ada hal lain yang dilakukan demi memberi waktu luang kami bicara berdua saja. Dan dugaanku benar, Umi kutemukan tengah rikuh di balik dinding sebelah pintu dapur. Sedang panci di atas kompor mengepulkan banyak asap.
"Umi iki. Banyune gosong."
"Astagfirullah. Umi lali."
"Lali opo keasyikan ngerunguno obrolan orang?"
Umi tidak menyahut, hanya memukul lengan atasku. Seolah-olah menegur tidak boleh bicara selancang itu terhadap orang tua.
"Maaf, By. Aku lupa belum beli gula."
"Boten nopo-nopo, Bude. Kulo ajeng wangsul, sampun awan." Kulirik jam tua di dinding, hampir pukul sembilan. Ternyata cukup lama Mas Byan di sini.
"Kapan-kapan ajak Nak Lowee ke sini, By. Main-main." Pasti itu basa-basi Umi. Pasalnya, dulu Umi yang paling menentang aku dipoligami. Memang keluarga dalem tidak tahu bagaimana aku dimarahi mati-matian agar menolak dipoligami. Aku harap kalimat permintaannya tadi sebagai bentuk penerimaan terhadap apa yang terjadi.
Umi mengiringi Mas Byan ke pintu depan, aku berjalan beberapa langkah di belakang mereka. Ketika pintu di buka, kudapati sosok Lini baru menyelesaikan pembicaraan dengan ibu salah satu muridku.
"Kulo pamit enjeh, De. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam." Kami menjawab serentak dan menyambut Lini yang berselisih jalan dengan Mas Byan.
"Assalamualaikum, Mi."
"Eh, Lini. Waalaikumussalam. Sehat?"
"Alhamdulillah, Mi. Umi gimana kabarnya?"
"Alhamdulillah, sehat. Umi tinggal ke dapur dulu, yah."
"Monggo, Mi."
Obrolan mereka mengisi pendengaranku yang masih memperhatikan Mas Byan masuk ke mobilnya, kemudian berlalu dan menghilang ditelan jarak.
"Goddhul bashor, Ukhti! Sudah bukan mahram lagi. Gimana mau hijrah, kalau disambangi terus," celetuk Nalini sembari menghalangi pandanganku.
"Tumben pagian. Anakmu siapa yang tungguin di TK?"
"Abinya. Kebetulan hari ini pesantren lagi masa tenang pra ujian."
Aku mengangguk menanggapi perkataan Lini, lalu mengajaknya masuk. Postur tubuh Lini tidak jauh beda denganku, tidak begitu tinggi. Sepertinya tidak sampai 160 senti. Bagusnya, meski sudah melahirkan tiga kali, tidak ada perubahan berarti pada tubuhnya. Masih langsing seperti zaman sekolah dulu. Masih kencang seperti belianya.
"Aku dikirimi pesan sama Dedek Wardah, jare kamu sudah menyelesaikan Catatan Istri Pertama, yah?"
"Sudah. Baru semalam aku kirim ke dia."
"Boleh aku baca?"
"Emmm... gimana, yah."
"Bolehlah. Ojok medit karo konco."
"Lihat entar."
Aku tinggalkan Nalini di ruang tamu setelah berpamitan mengganti baju. Sudah gerah sejak tadi pakai mukena. Sejenak kusempatkan menatap gambaran diri pada cermin. Wajah itu sudah tertutup sebagian besarnya, seharusnya aku sudah menutup sebagian besar dari perasaan terhadap laki-laki yang baru saja meninggalkan rumah. Tapi pernyataan Mas Byan tadi sangat membekas di telinga, melukai hati, menyesakkan dada.
Cintaku benar-benar tidak terlihat di matanya. Termasuk melepaskan dia kepada perempuan dambaannya, tidak tampak baginya. Berarti selama ini aku pengisi kekosongan semata.
"Sepertinya mulai hari ini aku kudu lebih banyak mendengarkan petuah duo bawel itu. Dedek Wardah dan Nalini."
Masih sempat menatap diri dengan abaya cokelat semalam, serta cadar hitam Nalini yang menjadi satu-satunya niqob yang bisa kukenakan. Waktunya memperbarui hati, diri, dan iman kepada Ilahi.
"Yuk, Lin!" Kulihat Nalini terlibat obrolan serius dengan Umi. Bahkan mereka bicara dengan suara rendah, seperti tak ingin aku mencuri dengar.
"Hari ini kita ketemu dengan komunitas niqobers, yah. Teman-teman di niqobers ada yang menyumbangkan beberapa abaya dan cadar buat kamu. Semoga cocok."
"Aku ikut bimbinganmu, Lin." Senang rasanya memulai sesuatu yang baru meski terselip rasa gugup. "Nisa pamit, Mi. Doakan Nisa."
"Pasti, Nak. Seng istikamah ya, salihah, ben Allah buka pintu jodohnya."
"Umi... Nisa lebih mendamba rida-Nya."
Umi tersenyum sebelum menjimbit wajahku, kemudian mencium kedua pipi dan diakhiri mencium kening. Matanya terlihat sembap.
"Umi titip Nisa ya, Lin. Bimbingo!"
"Insyaallah, Mi. Kami pamit enjeh, assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
"Siap?" tanya Lini saat Kami sudah berada di mobilnya. Seperti biasa, Nalini lebih sering mengendarai sendiri Jazz suaminya jika untuk keperluannya sendiri. Katanya, tidak ingin merepotkan suami. Dan suaminya yang super pengertian itu tidak mengekang Nalini. Pasangan serasi. Aku mengidamkan pasangan yang bisa saling mengerti seperti mereka.
Kutarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskan dengan sekali entak. Berharap dengan begitu enyah sudah belengu-belenggu. "Siap, bismillah!"
Nalini tersenyum sebelum menancap gas setelah mengatur persneling. Deru mobil itu semoga menjadi hitungan ibadah menjemput rida-Nya. Lalu ada satu notifikasi di ponsel yang kusimpan dalam tas ransel berisi mukena, dompet, dan Alquran kecil.
Nanti malam insyaallah aku sama Ustaz Ali main ke rumahmu, Nis. Barusan beliau telepon mau ke rumah sore nanti. Tolong jangan menghindar seperti terakhir kali aku kenalkan ke Fauzan.
Pengirimnya Mas Byan.
Duh, Gusti....
===================
Tolong, aku melanggar perjanjian dengan Nisa. Masih Rabu malah unggah part baru. Ini gara-gara cewek yang godain Bang Byan terus-menerus. Hiksss....
Wardah T.
FB: Wardah Toyibah
IG: wardahfull
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top