Idah Hati

'Dik, izinkan aku menebus dengan penuh tanggung jawab atas pernikahan kita selama ini. Ada temanku, namanya Fauzan. Keturunan Arab, tinggalnya di Ampel. Mau nggak, kamu taaruf sama dia?'

Pesan itu datang di hari ke-180 setelah pernikahan Mas Byan dengan Mbak Lowee. Dua bulan setelahnya, aku memilih mundur dari hubungan pelik ini. Sejak Mas Byan menelepon, menyampaikan keinginannya menikahi Mbak Lowee, di situ aku menyadari pada akhirnya harus merelakannya kembali ke masa lalu.

Pesan yang bernada sama dengan kalimat dan konten berbeda baru saja masuk di ponselku. Nalini yang fokus pada kemudi, memutar radio sebagai pengisi kebisuan kami. Katanya, ngobrol sambil mengemudi kerap membuat rusak konsentrasi. Lebih baik sambil mendengarkan informasi terbaru melalui siaran radio.

"Jangan radio, deh. Carikan USB di situ, Nis. Kita perbanyak mendengarkan muratal," katanya sambil menunjuk dasbor di depanku yang duduk di kursi samping kemudi. Ada dua USB, kuambil salah satunya. Begitu disambungkan, lagu Armada muncul pertama kali. Lirik lagu Asal Kau Bahagia mengalun. Nalini hendak protes dengan gerak tangan yang ingin mengganti lagu. Tapi dengan lekas kutahan. Lagu ini punya kenangan tersendiri.

Dulu, ketika menulis catatan yang diminta Dedek Wardah, lagu ini senantiasa menemani. Liriknya mewakili perasaanku. Aku punya ragamu, tapi tidak hatimu. Aku yang dipinang, dia yang kau kenang.

"Piye, toh? Jare mau melupakan masa lalu? Kenapa justru menahannya dengan lagu?" Lini tahu aku tengah bernostalgia dengan perasaan hancur itu.

"Mas Byan kirim pesan. Mau bawa laki-laki yang mau ditaarufin nanti malam."

"Bagus itu. Sekalian ketemuan di kajian Ustaz Sultan nanti."

Nalini tidak tahu dulu aku pernah ditawari taaruf serupa oleh Mas Byan. Kala itu belum genap sebulan kami bercerai, namanya Fauzan. Sebagaimana pesannya, dia keturunan Arab yang entah dikenal di mana oleh Mas Byan. Aku membalas pesannya dengan singkat, "Aku masih dalam masa idah, Mas."

Kemudian Mas Byan membalas dengan mengirim gambar bertuliskan ayat 49 dari Surat Al-Ahzab. Aku baca artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya, maka berilah mereka mutah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.

"Kamu tidak wajib idah, Dik. Jadi, menikahlah dan hidup bahagia,"pesannya setelah itu.

Tapi aku butuh idah untuk perasaanku, Mas. Aku harus bisa menetralkan semua keadaan ini, jadi jangan paksa berpindah hati begitu saja. Aku tidak mau menjalani kehidupan rumah tangga yang sama. Menjadi istri orang lain dengan perasaan yang masih tertuju padamu. Tidak sanggup jika harus berzina sepanjang waktu. Biarkan semuanya hilang terlebih dahulu. Soal tanggung jawabmu sudah selesai sejak kata talak kita sepakati. Kini biarkan aku menangis dengan suara diredam bantal, sebab tidak ingin Umi dan Abah mendengar laungan kesakitan anaknya. Mereka akan merasa gagal dalam membahagiakan putrinya setelah menyetujui pernikahan kita jika sampai tahu aku menangis kehilangan. Biarlah kebodohan ini aku saja yang menanggung. Karena luka ini aku perbuat sendiri. Rasanya sudah tidak bisa melukai mereka lebih jauh lagi. Mas tahu sendiri bukan, bagaimana Umi dan Abah yang paling menjaga soal martabat keluarga. Beban menjadi saudara kandung dari kiai besar itu membuat kita menjadi sorotan. Tentang ini, aku tidak perlu bercerita lagi, kan, Mas? Kurasa Mas Byan yang paling mengerti.

Itu paragraf dalam Catatan Istri Pertama, tulisan tempat menjujuri perasaanku terhadap Mas Byan selain pada Nalini, pengakuan yang bahkan kusampaikan melalui tulisan demi kepentingan Dedek Wardah.

"Nis, kata Dedek Wardah tulisanmu paling jujur dan murni, bahkan katanya dia nggak sanggup mengoreksi sedikit pun. Makanya kamu diminta merevisi berulang kali." Nalini menoleh ke arahku. Dari sorot matanya sudah tergambar jelas rasa penasarannya. "Memangnya apa saja yang kamu tulis di sana?"

"Banyak, Lin."

"Boleh, dong, aku jadi first reader-nya."

"Lihat nanti!"

Aku yakin, di balik cadarnya Nalini tengah manyun.

Dedek Wardah memang tidak mengoreksi sendiri, tapi muak aku dengan komentarnya yang meminta eksplorasi lagi soal ini dan itu. Seperti soal hari pernikahan Mas Byan dengan Mbak Lowee, si cerewet itu menguras kenangan yang awalnya ingin kujadikan pusaka dalam hati. Musium segala rasa; cinta, luka, duka, suka, asmara sunyi, dan entah apa lagi.

"Kak, coba deh, itu yang soal Bang Byan menikahi Lowee di Jakarta ditulis. Dedek penasaran gimana perasaan Kakak di rumah?" Pesan darinya kala itu. Kalau saja di dunia ini Allah membolehkan iri, tentu Dedek Wardah orang yang paling membuatku iri. Bagaimana Allah menciptakan makhluk itu dengan keriangan sempurna?

Setiap manusia pasti punya masalahnya sendiri, tapi jarang aku menemukan orang seperti Dedek Wardah yang masih saja riang dalam keadaan apa pun.

"Dek, ajari aku tersenyum bahkan terbahak-bahak kayak kamu, dong!" Alih-alih membalas pesannya yang tadi, aku justru membalas pesan berupa emotikon tawanya. Bagiku, emotikon itu diciptakan sebagai replika ekspresi penulis saat membalas pesan tertentu.

"Umm... apa, yah. Kunci hidup bahagia yang Dedek tahu itu cuma satu."

"Apa itu, Dek?"

"Ya, jangan sedih. Kalau sedih gagal bahagia berarti."

Pertama kalinya aku terbahak-bahak setelah perceraian adalah kala itu. Dedek Wardahlah sumbernya.

"Alhamdulillah, sudah sampai kita!" Suara Lini mengalihkan pikiranku tentang Dedek Wardah. Baru sadar, Lini memarkirkan mobil di halaman Masjid Jami Malang yang berada di sebelah barat Alun-Alun Kota Malang.

Terlihat beberapa akhwat bercadar seperti Nalini hilir mudik. Berkejaran seperti sedang memburu sesuatu. Padahal waktu salat Zuhur masih kurang dua jam lagi.

"Ukh, afwan. Ini ada apa, yah? Kok, semua akhwat sibuk?"

"Kajian Islam bersama Ustaz Sultan dimajukan. Yang tadinya habis magrib, diubah jadi bakda zuhur."

"Kenapa?"

"Ustazah Nalini?" Perempuan bercadar yang posturnya lebih besar dan tinggi dari aku dan Nalini belum sempat menjawab, perempuan bercadar lainnya bergabung delam majlis empat orang di halaman masjid. Perawakannya tidak jauh beda dengan kami—aku dan Nalini, mengenakan abaya hitam dengan jilbab dan cadar yang serba hitam, salah satu tanganya menenteng plastik.

"Eh, Salma? Apa kabar?"—Nalini menoleh kepada perempuan bercadar sebelumnya yang menjadi sumber informasi—"Syukron ya, Ukh. Monggo dilanjutkan."

Setelah berpamitan, dia undur dan bergabung dengan beberapa akhwat lainnya.

"Alhamdulillah, baik. Ini yang jenengan bilang kemarin?" Perempuan yang Nalini panggil Salma menunjukku.

"Enjeh. Kenalkan, namanya Nisa." Nalini setengah menyeret lenganku agar berdiri sejajar dengannya. Tidak berdiam diri di belakang seperti yang kulakukan sejak tadi.

"Nis, ini Salma. Lulusan terbaik di Pesantren Alfutrat Al-Salimah." Nalini mengatakan itu penuh bangga dan sanjungan.

"Ustazah ini berlebihan." Salma mengulurkan tangan kemudian memelukku sebagaimana teman yang sudah kenal lama. "Mabruk, Ukh. Selamat bergabung dengan kami. Ini saya bawakan beberapa abaya, khimar, dan niqab."

Ada haru saat mendapatkan sambutan hangat dari pendahulu dalam perihal cadar. Hijrah ini semakin mantap ingin kujalani.

***

Salat Zuhur berjamaah usai sepuluh menit yang lalu. Beberapa akhwat sudah berkumpul di bagian depan, empat meter di belakang mihrab.

Masjid ini kerap dikunjungi wisatawan. Mungkin karena terbilang tua, sebab menurut prasasti masjid ini didirikan pada tahun 1890 Masehi, dan selesai pada tahap pembangunan kedua di bulan September 1903. Mungkin juga karena ingin melihat elaborasi arsitektur Arab dan Jawa yang melekat pada atap tajug tumpang dua dan kubahnya. Yang paling unik, mereka berwisata ke masjid ini hanya ingin meminum langsung air dari Sumur Artesis. Konon, airnya mengalir tanpa dipompa.

Bukannya tidak memercayai keajaiban Allah, tapi aku enggan mengkramatkan benda yang kadang melebihi keyakinan kepada Allah.

Aku duduk bersandar di salah satu sokoguru kayu jati yang menyangga atap. Mengamati kaligrafi yang menghiasi pinggiran langit-langit.

"Kenapa kajian Ustaz Sultan dimajukan?" Nalini bertanya pada Salma yang duduk tidak berjauhan denganku. Mereka masih melipat mukenanya.

"Katanya ada acara pribadi bakda Magrib, Ustazah. Panitia tadi dihubungi secara langsung."

"Oh, semoga saja semua lancar."

Amin. Diam-diam aku mengamini doa Nalini meski menjadi pendengar dalam obrolan mereka.

"Beliau juga sudah di sini. Tadi yang mengimami beliau."

Baru saja aku tertarik terlibat dalam obrolan mereka, beberapa akhwat sudah mengomando untuk senyapkan suara setelah seorang laki-laki berjanggut duduk di kursi dengan meja kayu kecil yang disediakan panitia.

Setelah kacamata minusnya dibuka, tampaklah mata yang selalu membayangi mimpiku beberapa tahun silam. Mata bersorot tajam, ditumpangi alis lebat di wajah cokelat tuanya.

"Lin, siapa nama ustaz itu?" tanyaku tentu sambil berbisik di telinga Nalini.

"Ustaz Sultan, Ali Sultan."

Bodoh! Aku dulu mengidamkannya tanpa tahu nama lengkapnya. Pantas saja doa-doaku tidak sampai pada alamat yang dituju. Atau mungkin karena ada ragu?

"Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh."

Suara itu menggema, kemudian menggetarkan sesuatu dalam diri. Seperti dulu, suara baritonnya terdengar berkarisma dan menggetarkan hati. Suaranya saja cukup berwibawa, apalagi perawakannya.

Salam jawaban dari hadirin tidak turut meredam resonansi yang berlaku padaku. Tiba-tiba tangan terasa dingin, berkeringat di ruangan sejuk ini. Aku gugup. Entah apa yang membuatnya begitu. Kehadirannya? Atau ketidaksanggupan menolaknya nanti?

Aku bingung dengan diri sendiri. Dan saat bingung seperti ini, kenangan waktu itu menyeruak. Mengalahkan suara Ustaz Ali yang menerangkan adab bersosial sesuai ajaran Islam.

Kenangan itu saat Mas Byan menikahi Mbak Lowee. Peenikahan yang katanya sederhana, tapi justru membuatku merana. Jangan tanya bagaimana keadaanku setelah tahu Mas Byan mengucap akad sah di Jakarta sana. Menangis itu pasti, yang lebih mengerikan adalah bisikan-bisikan setan yang menghampiri.

Mereka berkata, "Telepon saja biar mereka tidak keenakan bermalam pengantin."

Yang lain menyahuti, "Iya, masa kamu yang istri pertama saja nggak disentuh, malah istri keduanya yang dapetin keperjakaannya." Semua menghasutku sampai ada yang bilang, "Tidak adil, bukan? Kamu juga istri, kamu juga punya hak disetubuhi. Ayo, buruan telepon dia, jangan sampai mereka gol."

Berat! Meski aku mencoba menghilangkan bisikan-bisikan itu dengan wudu dan salat malam, tetap akhirnya mengirimi Mas Byan pesan sebagai ungkapan perasaanku.

Selamat menempuh hidup baru, Suamiku. Akhirnya cintamu sampai juga ke pelabuhannya. Aku bahagia. Kira-kira begitu yang kutulis dulu.

Kamu percaya aku bahagia, Mas? Itu hanya tipuan semata, bahasa tulisan kerap berbeda dengan kenyataan. Mungkin ketika membacanya kamu tersenyum, tapi aku yang menulisnya di kamar kita dengan senggukan dan air mata yang tak lelah mengaliri pipi.

Menyerahkannya pada masa lalu tidak lantas menyelamakan aku di masa depan. Aku terperangkap dalam perasaan memilikinya, mencintai, dan merindui sepanjang jantung berdetak. Bahkan sarak tidak jua menyirnakan perasaan itu.

Berkelindan dengan semu, dan aku hidup baik-baik secara palsu.

"Lin, aku pengin mole." Bukan ke rumah, tapi ke pangkuan Umi. Bagi anak, pangkuan ibu adalah rumah ternyamannya. Aku rindu bau sewek Umi. Ingin menangis di pangkuannya sampai lega.

"Sek talah, iki sek durung mari. Ustaz Ali juga masih ceramah." Lini tidak tahu, justru karena Ustaz Alilah yang membuatku ingin pulang segera.

"Aku ngerasa kurang enak badan, Lin."

Pancaran mata Lini menaruh prihatin. Tangannya serta merta meraba kening yang dilapisi cadar. Tentu tidak ada kenaikan suhu. Untungnya dia menemukan tanganku yang dingin, bergetar, dan berkeringat.

"Loh, kamu kenapa, Nis?" Suara Lini jelas menggambarkan kekhawatiran.

"Koyoke aku kudu mole sek. Turuan. Mungkin nanti cepat pulih."

Lini tidak banyak bicara lagi. Dengan sigap dia menuntunku ke bagian belakang majlis, kemudian keluar masjid. Di pelataran sanalah seorang laki-laki berbaju koko putih dengan celana chino krem sedang mengamati arlojinya.

"Gus Byan?" Nalini menyapa lebih dulu. Padahal sudah tahu dia orang yang paling kuhindari. Entah kehadirannya, entah bayangannya. Tapi selalu gagal.

"Nalini? Sama Nisa?" Seperti tercengang Mas Byan menemukan kami keluar dari masjid ini. "Kalian ikut kajian Ustaz Ali?"

"Enjeh, Gus." Masih santun Nalini menjawab pertanyaan mantan suamiku itu. Ah, seandainya bisa menyebutnya 'suamiku' saja tanpa 'mantan'.

"Kalau begitu jangan pulang dulu. Sekalian ketemu beliau. Mau kan, Lin, temani Nisa ketemu Ustaz Ali?"

"Tapi Nisa kurang enak badan, Gus."

Bagus, Lin. Kamu harus memprioritaskan teman.

"Kamu sakit, Nis?" Mas Byan yang kulihat sekarang seperti Mas Byan sebelum menjadi suami. Perhatian layaknya kakak kepada adik. Layaknya teman. Tak ada canggung seperti yang kualami.

Ternyata begini perbedaan sikap orang ketika bertemu mantan. Jika pernah terikat rasa, canggung menguasa. Bila tidak, seperti halnya Mas Byan, semua dianggap biasa saja. Cintaku benar-benar tidak memiliki rumah untuk pulang pada hatinya.

"Sebenarnya, Ustaz Ali mau ketemu kamu di luar rumah. Tapi, kurasa sebaiknya di rumahmu, biar sekalian kenalan sama Bude dan Pakde." Perkataannya seolah-olah aku akan menerima taaruf yang ditawarkan. "Karena kebetulan kamu di sini, sebaiknya ketemu dulu sama Ustaz Ali."

"Ngapunten, Gus. Memangnya ada apa Nisa sama Ustaz Sultan?"

"Ini loh, Lin. Ustaz Ali mau taaruf sama Nisa."

Aku bungkam. Bukan karena tak ingin, aku sibuk dengan kecamuk hati. Biarkan Mas Byan membeberkan rencananya itu terhadap Nalini, dan biarkan Lini menanggapinya dengan penuh keterkejutan sekaligus kekaguman.

Teman yang baru saja hijrah mengikutinya, ternyata mau taaruf dengan Ustaz Ali yang dikenal beriwibawa juga berkarisma. Bahkan sering mengisi majlis-majlis kajian di beberapa kota. Seperti saat ini, Malang menjadi tujuannya.

Entah kenapa aku jadi ingin tahu, selama ini Ustaz Ali dan Mbak Nin tinggal di mana? Karena setahuku Ustaz Ali orang Jakarta yang kemudian mengabdi di Pesantren Qolamuz Zaman—pesantren yang diasuh Buya—setelah menyelesaikan pendidikan di Gontor. Karena kepiawaiannya mendidik santri, mengolah peraturan pesantren, juga kontribusi lainnya, Buya menahan Ustaz Ali agar menjadi guru tetap di Pesantren Qolamuz Zaman sampai menyelesaikan sarjananya di salah satu universitas Malang.

Terlalu sedikit yang kutahu tentangnya.

"Kalau gitu kulo ikut, Gus, temani Nisa ketemu Ustaz Sultan. Tapi kayaknya mau cari makan dulu, sepertinya Nisa ndak sarapan tadi, makanya gemetaran dan berkeringat dingin."

Lini sudah terjebak, ikut juga menjebakku.

Setelah berpamitan, Lini menuntunku dengan pegangan erat. Seperti takut kehilangan atau ketinggalan.

"Kuwi iki, lapo ndak cerito kalau mau ditaarufkan sama Ustaz Sultan?"

Aku saja tidak tahu nama panjangnya Ali Sultan. Kalau tahu, aku sudah menolak sedari tadi ke kajian ini.

"Ustaz Sultan itu idaman loh, Nis. Kalau sudah mengisi kajian tentang rumah tangga, beliau sering menyanjung istrinya," cerita Nalini sembari menyelempangkan sabuk pengaman. "Sayangnya, umur istrinya ndak panjang. Sedih jadinya."

"Sudah kenal lama, Lin, sama Ustaz Ali?"

"Bukan kenal langsung, sih. Tapi ini sudah kelima kalinya ngisi undangan dari komunitas niqobers Malang. Seringnya aku lihat Instagramnya. Banyak pesan moral yang disampaikan dengan gaya milenial. Kata teman-teman di komunitas begitu." Nilini menjelaskan sambil memutar kemudi keluar dari halaman Masjid.

"Sudah berapa lama istrinya meninggal, Lin?"

"Kayaknya belum sampai sebulan, sih. Tadinya ragu kita mau undang beliau, tapi beliau menyanggupi seminggu yang lalu. Yah, siapa yang ndak sedih ditinggal orang tercinta? Makanya ini luar biasa kalau Ustaz Sultan sudah mau menikah lagi. Artinya dia tidak terkekang dalam kesedihannya."

Kalau saja orang lain, pasti melihat itu dari sudut pandang kebanyakan masyarakat. Laki-laki yang baru saja ditinggal istrinya kemudian mencari perempuan lain untuk dinikahi, tentu dianggap tidak baik. Memikirkan nafsu semata di saat tanah kuburan istrinya masih basah.

Beda dengan Nalini yang menganggap itu upaya luar biasa untuk keluar dari kesedihan.

"Karena dalam Islam itu, bersedih atau berduka kepanjangan karena ditinggal wafat seseorang yang dicintai ndak boleh. Bahkan, Umar bin Khattab yang berduka berlebihan karena wafatnya Rasulullah, Abu Bakar menegurnya dengan Surat Ali Imran ayat 144."

Perkataan Nalini mengingatkan aku tentang Mbak Lowee setelah ditinggal Mas Roshan dulu.

====================

Minggu 15 September 2019
Tigaraksa Tangerang

Ini benar-benar pelanggaran. Janji setiap Kamis unggahnya, ternyata melipir.

Selamat menunggu unggahan berikutnya.

Wardah T.
FB: Wardah Toyibah
IG: wardahfull

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top