Romance - 3 (BARU)

Update❤️❤️❤️

Di dalam etalase tersedia dua oreo cheese cake. Sudah ada dua orang menargetkan sejak tadi. Mata mereka berbinar-binar menatap dua oreo cheese cake itu. Mereka ingin segera memesan dan melahap, tapi sang pelayan masih sibuk mengurus kasir karena pelayan lainnya sedang ke dalam dapur.

Manis menjadi salah satu yang sudah menjampi-jampi cake itu agar jadi miliknya. Mata sudah mengunci oreo cheese cake dalam penglihatan. Begitu melihat pelayan lain muncul, secepat kilat Manis berucap dengan keras. "Mbak, saya mau oreo cheese cake-nya dua."

Bersamaan dengan ucapannya, ada suara lain mengucapkan kalimat yang kurang lebih sama, bedanya suara lebih kecil. Manis menoleh ke samping, menurunkan pandangan saat menemukan gadis kecil mendongak ketika mereka bertatapan.

"Kamu nggak bisa pesan. Aku udah beli duluan," ucap Manis tersenyum penuh kemenangan.

"Maaf, ya, Dek. Tadi Kakak ini udah bilang duluan," kata pelayan itu, yang segera mengambilkan dua oreo cheese cake dari dalam etalase dan memasukkan ke dalam box.

Mata gadis itu berkaca-kaca. Kepalanya menunduk sedih.

"Rasain nggak dapat." Manis meledek gadis kecil itu sambil menjulurkan lidah bak bocah yang tidak mau kalah saing.

Manis segera beralih ke kasir. Dia tersenyum lebar. Tiba-tiba senyumnya meredup saat melihat gadis kecil itu masih berdiri di tempat yang sama dan tampak akan menangis. Berhubung Manis tidak suka anak kecil jadi akan mengabaikan saja dan membayar secepat mungkin terus pulang supaya tidak terlambat menghadiri acara malam ini.

Saat tas tote berisi pesanan sudah berada di tangan, Manis melihat seorang laki-laki memakai topi datang menghampiri gadis kecil itu. Laki-laki itu berjongkok untuk menyamai tinggi gadis itu. Kebetulan jarak mereka tidak terlalu jauh, paling hanya tiga langkah, jadi Manis bisa mendengar percakapan. Manis mundur agar pengunjung yang ingin membayar tidak terganggu dengan kehadirannya. Kini, Manis berdiri di belakang laki-laki itu hanya berjarak tiga langkah.

"Nggak jadi beli kue? Oja mau yang mana?" tanya laki-laki itu pada putrinya.

"Kuenya dibeli orang, Pa. Oja kehabisan. Oja mau itu, soalnya kalo makan yang lain, Oja nggak suka," jawab gadis itu mengadu.

"Ya udah, kita beli di toko lain, ya? Mau?"

"Di sini oreo cheese cake-nya paling enak, Pa."

"Nanti kita cari yang lebih enak dari sini. Oke?"

Gadis itu mengangguk dengan terpaksa.

Manis mendengar percakapan sambil mengamati reaksi gadis itu. Tiba-tiba Manis kasihan mendengar suara gadis itu. Namun, dia juga suka dengan oreo cheese cake toko ini. Seperti kata anak itu, kuenya enak dan juara.

"Ah, sial! Gini amat kalo kerasukan jiwa baik," gerutu Manis, yang kemudian segera menghampiri gadis itu dan menyodorkan tas tote-nya. "Nih, buat kamu aja. Saya nggak pengin makan."

Baik gadis itu maupun ayahnya segera mendongak saat melihat kedatangan Manis. Begitu pula Manis. Hanya sepersekian detik Manis langsung melompat kaget melihat sosok ayah dari gadis kecil itu.

"Eh? Kamu?!" pekik Manis begitu tahu Janji adalah ayah dari anak itu. Astaga! Kebetulan macam apa ini? Kok, sial? Batinnya.

"Oh, kamu." Janji berdiri tegap seraya menggenggam tangan putrinya.

"Kalo gitu kuenya nggak jadi saya kasih," kata Manis berubah pikiran.

Manis hendak menarik tangan, tapi Janji sudah lebih dulu menahan tas tote yang dipegang.

"Kamu janji mau kasih, kenapa harus nggak jadi? Apa malu karena insiden waktu itu?"

"Nggak." Manis memindahkan tas tote ke tangan gadis kecil itu, lalu berjalan cepat meninggalkan tanpa pamit. Manis menggigit bibir bawahnya gemas. "Ih ... masa ketemu lagi! Gue, kan, malu," gerutunya sepanjang jalan.

"Hensom!"

Manis menoleh. Ketar-ketir. Takut Janji tahu kalau dia seseorang yang Janji kenal. Damn! Dia manggil. Mau ngapain, sih? Batinnya panik.

Janji menghampiri Manis sambil menggandeng putrinya. Tanpa permisi, gadis kecil itu langsung memeluk Manis dengan erat. Hal ini membuat Manis kaku dan bingung. Manis tidak tahu harus membalas seperti apa.

"Makasih banyak, Om," ucap gadis kecil itu sambil mendongak, masih tetap memeluk Manis.

Om katanya? Manis ingin protes. Namun, ide cemerlang muncul. Kalau bocah itu menganggapnya laki-laki, bukankah Janji akan menganggapnya sama? Janji tidak akan curiga kalau dia Manis. Dia cuma tinggal mengubah warna suaranya saat bicara bukan? Manis berdeham kecil, mencoba mengubah suaranya lebih berat walau sulit karena warna asli suaranya nyaring seperti stereo.

Manis nyengir. "I-i-iya, sama-sama. Dimakan, ya."

"Om mau makan bareng sama aku nggak? Papa nggak suka makanan manis," ajak gadis itu.

Manis menggaruk tengkuk lehernya. "Om sibuk. Lain kali aja, ya. Bye ... uhm ... siapa namanya, Dek?"

Gadis itu menarik diri. Mundur selangkah dan tersenyum lebar sambil tetap mendongak. "Kamboja, Om."

"Oke, Kamboja. See you!" pamit Manis.

Berlari ngibrit, Manis tidak mau terlibat dengan Janji lama-lama. Akibat berlari terburu-buru, Manis tersandung sepatu pantofelnya sendiri dan nyaris jatuh kalau tidak berpegangan pada meja. Di sela hampir menciptakan malu, Manis menoleh ke belakang, lalu melambaikan tangan kepada Kamboja diselipi cengiran kuda ala iklan pasta gigi.

Parahnya, Manis menangkap basah Janji menertawakannya gara-gara nyaris nyusruk. Namun, dalam hitungan detik Janji geleng-geleng kepala dan berhenti tertawa. Manis sungguh takjub dengan perubahan kilat yang ditunjukkan Janji. Sungguh luar biasa.

🧸

Dari pantulan pintu lift yang tertutup, Kamboja dapat melihat betapa sempurnanya sosok sang ayah. Ayahnya mengenakan tuxedo hitam lengkap dengan sepatu pantofel berwarna senada. Tidak cuma gaya berpakaian saja yang sangat rapi, gaya sisiran rambut sang ayah dibuat berbeda dari biasanya dan berewok ayahnya dicukur habis.

"Papa ganteng banget!" puji Kamboja dengan bangganya.

"Oja juga cantik sekali." Janji mengusap kepala putrinya.

"Iya, dong. Aku harus cantik biar Mama Manis suka sama aku, Pa." Kamboja menyentuh bandana pita berwarna pink yang bertengker di kepala. Dia berkaca di depan pintu lift selagi menunggu liftnya datang. "Bandonya udah cantik, kan, Pa?"

"Iya, udah cantik, Oja."

Janji mengusap kepala putrinya. Dia tidak tahu Kamboja akan sesenang ini bertemu calon ibunya. Sebenarnya dia belum berminat menikah lagi. Akan tetapi, kata-kata ibunya membuat dia berpikir ulang menerima perjodohan ini. Bagaimana pun putrinya masih kecil, butuh kasih sayang seorang ibu agar tidak minder dengan anak-anak lain yang sering ditemani ibunya sekolah. Namun, dia tidak bisa mengharapkan Manis bersedia menikah dengannya. Bagaimana pun, ini perjodohan yang rasanya kurang pas untuk sosok seperti Manis. Dengar-dengar Manis pecinta kebebasan dan senang melakukan apa pun yang diinginkan, tidak suka diatur atau mengikuti aturan.

"Pa?"

Lamunan Janji buyar. Janji menurunkan pandangan. "Ya?"

"Mama Manis ... orang yang seperti apa, Pa?"

Lilliane Willow--ibunya Janji--menyela, "Nanti Oja bisa lihat sendiri. Mama Manis cantik banget mirip boneka Barbie."

"Emang iya, Pa?" Mata Kamboja membulat kagum walau hanya dengan mendengar penjelasan neneknya.

Janji mengangguk. Dia tidak bisa bohong Manis memang cantik paripurna. Wajah bule Manis seperti boneka Barbie, terutama hidung mancung dan iris biru laut cerah yang menawan itu. Baik dia maupun Manis terlahir dari keluarga campuran dan memiliki gen barat dari orang tua masing-masing. Namun, Manis sangat bule, bahkan lebih cocok jadi adik dari kakaknya. Janji masih terlihat wajah blasteran, tidak bule-bule banget seperti kakaknya.

"Woaaaaah ... aku nggak sabar!" ujar Kamboja girang.

"Omong-omong, Industri mana, Janji? Kakakmu datang, kan?" tanya Lilliane.

"I'm here, Momma! Yekali nggak datang ke acara penting." Industrian Kelavi Brown--kakak semata wayang Janji--muncul dengan merangkul pundak sang adik. Di belakangnya ada sang istri yang turut ikut. "Cihuy! Nikah lagi, nih, ye," ledeknya jahil.

Lilliane berdecak. "Kamu, nih, jangan ngomong gitu."

"Tau, Ma. Omelin aja," timpal Janji sengaja mengompori.

"Kompoooor! Adik kurang asem," kata Industri pura-pura sebal.

Industri memeluk leher Janji lebih erat seakan ingin meremukkan sang adik. Janji sampai harus memukul lengan sang kakak agar bisa terlepas. Industri melonggarkan pelukannya dan nyengir saat sang adik kesakitan. Sepertinya candaan adik-kakak selalu seperti ini. Industri pun melakukannya karena gemas dan sudah lama tidak bertemu Janji yang super sibuk.

"Omong-omong, bukannya Manis ini pernah lamar--mmhhh...." Industri berhenti bicara setelah sang ibu membekap mulutnya. Tak cuma itu saja, ibunya menyikut perutnya agar diam. Tidak perlu ditanya kenapa, Industri langsung paham kalau dia tidak boleh membicarakan hal yang ingin disampaikan.

"Lamar apa, Kak?" tanya Janji penasaran.

Industri berhasil menurunkan tangan sang ibu. Dengan cepat dia menjawab, "Lamar kerja. Manis pernah lamar kerja di perusahaan Papa, kan?"

Ayah mereka--Swaran Jeremiah Brown--mengangguk. Selain tidak mau kena cubit istri, tidak mau juga istrinya ngambek. Jadi cara tercepat adalah mengiakan dan tersenyum seperti model iklan pasta gigi.

Pada saat yang sama obrolan sedang berlangsung, pintu lift terbuka. Mereka bergegas masuk lift menuju lantai 22. Di lantai itu terdapat restoran mewah yang dirancang untuk pengunjung pecinta privasi. Ruangannya lumayan luas dan bisa disewa seluruhnya. Kebetulan keluarga Janji sudah menyewa seluruh ruangan meskipun meja yang disiapkan cuma dua dan kursinya sepuluh.

Saat pintu restoran terbuka keluarga Russell sudah tiba semua. Pandangan Janji langsung jatuh kepada Manis. Berbeda dari kemarin hanya mengenakan kaus unicorn, hari ini Manis mengenakan kebaya warna pink lengkap dengan kain berwarna cokelat. Rambut panjang Manis diatur dengan gaya bun tail. Make up-nya pun sederhana dan natural. Cantik sekali. Janji terpesona.

"Mama Manis yang pakai kebaya pink, ya, Pa?" tanya Kamboja sambil menggerak-gerakkan tangan sang ayah.

Tidak ada jawaban, Kamboja memperhatikan sang ayah. Ini pertama kalinya dia melihat ayahnya tidak berkedip dan nyaris menganga. Dia pun memanggil lagi. "Papa?"

Kali ini usaha Kamboja berhasil. Janji tersentak dan mengalihkan pandangan setelah tak berkedip selama beberapa menit.

"Iya? Gimana, Oja?" balas Janji.

"Widih! Papanya Oja terpesona sama Mama Manis," celetuk Industri dari belakang. Diam-diam dia memperhatikan adiknya tak berhenti menatap Manis. "Dek Manis emang secantik itu jadi jangan ngelak nggak terpesona lo."

"Berisik, deh. Pulang sana, Kak," ketus Janji.

"Nggak semudah itu, Ferguso." Industri tertawa kecil di telinga sang adik. Memang godain Janji paling bagus. Apalagi adiknya cool mirip kulkas.

"Ma, Ma, cepetan kita bahas pernikahan. Janji udah terpesona, tuh," ujar Industri masih terus menggoda adiknya.

Janji menyikut perut sang kakak. "Resek, deh. Ngarang aja." 

Lilliane tersenyum penuh arti melihat reaksi Janji. Tanpa basa-basi, dia menghampiri sahabat baiknya dan meminta maaf atas keterlambatan. Setelah itu, dia memanggil keluarganya untuk lebih dekat.

Mereka mulai duduk di tempat masing-masing. Janji duduk berhadapan dengan Manis. Berulang kali Janji memalingkan wajah untuk tidak melihat wajah Manis yang sedang cantik-cantiknya.

"Manis udah besar, ya," ucap Swaran.

"Iya, Om. Kan, dikasih makan terus," balas Manis berusaha mencairkan suasana.

Swaran tertawa kecil. "Betul juga. Padahal dulu waktu masih kecil nempel mulu sama Janji. Udah gitu lamar Janji duluan. Eh, sekarang gantian."

Semua orang berusaha tidak membeberkan apa pun mengenai hal itu, terutama Clarissa dan Lilliane. Namun, Swaran seenaknya membeberkan dan membuat yang lain eh-eh berjamaah.

Janji menyela, "Apa maksudnya, Pa?"

"Eh, kok...." Swaran menutup bibirnya dengan tangan. Begitu sadar sudah kelepasan, dia melihat istrinya melotot. Sudah pasti malam ini tidur di luar.

Manis paling kaget. Setelah dia berusaha untuk menutupi hal itu, ayahnya Janji malah ember. Astagaaaaaa! Dia mau sembunyi!

"Bukan apa-apa, kok," balas Swaran akhirnya.

"Lho? Kamu nggak ingat Janji? Dulu, kan, kita sering main bareng. Manis suka nangis kalo nggak diajak main sama kita berdua. Apalagi dia suka banget gegulingan perkara ditinggal kamu pergi. Dan Manis juga lamar kamu, lho! Dari kecil dia pengin nikah sama kamu." Dan begitulah pengungkapan Jelita Russell, kakak kedua Manis, yang asal ceplos tanpa melihat kode-kode yang dilempar Manis.

Janji melihat ke arah Manis. Sebelah sudut bibirnya tertarik sempurna meledek Manis. "Oh, ya? Saya nggak ingat."

Manis mengepal tangannya gemas. Cukup sudah. Habis ini Janji pasti gede kepala. Senyum miring laki-laki itu menandakan sesuatu yang bakal jadi tameng untuk meledeknya. Arrghhh! Kenapa Om Swaran sama Kakak gue mulutnya mirip ember pecah, sih? Bikin emosi aja!

🧸

Jangan lupa vote dan komen kalian😘🤗❤️

Follow IG: anothermissjo

Salam dari Janji❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top