BAB 9 - ARTHA
Tiga ide brilian yang punya titik lemah
Ide yang Sindu tunggu ternyata butuh waktu lama untuk datang. Selama Sindu menunggu kedatangan idenya, Diwasa sudah mengangkut lima keranjang penun buah artha ke dalam rumah. Rumahnya sudah bertambah tinggi lagi.
"Jadi, apa idenya?" tanya Oren begitu Sindu bilang dia mendapat ide yang bagus.
Inilah ide-ide yang terpikir oleh Sindu.
Ide pertama, Sindu akan menukar galah itu dengan kue jingga. Dengan kue itu, Diwasa tidak butuh galah untuk memetik. Dia hanya perlu terbang ke buah yang diinginkan.
"Ide ini punya kelemahan." Oren menyela kata-kata Sindu. Dia menunjukkan kelemahan ide pertama Sindu. "Manfaat kue itu tidak bertahan selamanya, jadi mungkin Diwasa akan menolak."
Ide kedua, Sindu akan mencoba berbicara pada pohon artha dan meminta pohon itu agar mau menjatuhkan buahnya ke tanah ketika sudah siap petik. Dengan begitu, Diwasa hanya perlu memungut buah-buah itu di tanah.
"Itu kalau si pohon mau." Lagi-lagi, Oren melanjutkan dengan menunjukkan di mana letak kelemahan ide ini. "Dan, kadang apa yang menurut manusia sudah siap petik belum tentu benar menurut si pohon. Manusia sering terburu-buru memanen, meskipun kadang masih belum matang penuh."
Ide ketiga, Sindu akan meminta pohon artha untuk memperbanyak dirinya. Kalau pohon itu mau, Sindu akan menjadikan anakan si pohon sebagai barang tawar-menawar untuk mendapatkan galah Diwasa. Semakin banyak pohon, semakin banyak buah yang bisa dipanen. Semakin banyak yang dipanen, semakin megah rumah Diwasa.
"Yang ini tergantung si pohon," komentar Oren. "Ini bisa berhasil kalau pohon artha mau berbaik hati pada kita."
Pohon artha tidak suka dijolok
Diwasa masih belum muncul lagi dari dalam rumah. Saat itu, Sindu manfaatkan untuk berbicara pada pohon artha tentang masalahnya dan ide-idenya. Sindu sudah mengatakan ide kedua dan ketiga pada pohon artha. Dia sedang menunggu jawaban si pohon yang ternyata butuh lama sekali waktu berpikir.
Selama pohon itu berpikir, Diwasa sudah berhasil mengangkut satu keranjang buah artha lagi ke rumahnya. Kini, cat-cat emas mulai terlihat di bingkai pintu dan jendela.
"Begini." Akhirnya pohon artha selesai berpikir. Dia menjawab dengan suaranya yang berat dan dalam. "Aku tidak suka ide kedua, karena itu berarti Diwasa tidak akan berusaha. Dia cuma akan mengambil buah yang kujatuhkan. Manusia tidak bisa diberi kemudahan seenak itu, nanti pasti akan meminta kemudahan lainnya."
Sindu mengangguk. Dia paham.
"Aku bisa mengabulkan ide ketiga dan memberi tiga pohon baru lagi untuk Diwasa," lanjut pohon artha. "Tapi, syaratnya, aku tidak mau buah-buahku dipetik dengan galah. Dijolok itu sakit dan bisa merusak buah dan dahan-dahanku. Aku mau Diwasa atau siapa pun yang akan memanen, harus mau memanjat dan memetik buahku dengan tangan."
Sindu mengiyakan syarat dari pohon artha, yang artinya dia harus membuang opsi ide kedua.
Sindu segera mengutarakan maksudnya pada Diwasa. Dia menawarkan ide pertama. Seperti dugaan Oren, begitu tahu manfaat kue jingga tidak bisa bertahan selamanya, Diwasa menolak. Namun, di tawaran kedua, soal tiga pohon artha tambahan, Diwasa sempat berpikir. Lama sekali, lebih lama dari waktu yang pohon artha butuhkan.
Setelah kira-kira lima belas menit, Diwasa mengatakan keputusannya, yang ternyata adalah penolakan.
"Kenapa?" tanya Sindu kecewa. "Bukankah tiga pohon tambahan itu banyak?"
"Memang," jawab Diwasa. "Tetapi, kalau aku harus memanjat untuk memetik buah artha, aku akan membuang banyak waktu. Kerjaku akan jadi lebih lambat. Pada akhirnya, tambahan tiga pohon itu tidak akan terlalu berguna."
Benar juga. Sindu kembali sampai di jalan buntu. Lalu, tiba-tiba Oren berbicara, yang bagi Diwasa mungkin cuma terdengar seperti kucing yang mengeong.
"Katakan ini ke Diwasa," ujar Oren. Dia punya ide yang sepertinya bisa digunakan untuk menarik minat Diwasa.
Sindu langsung menerjemahkan bahasa kucing Oren pada Diwasa. "Untuk tiga pohon artha yang baru nanti, bagaimana kalau kamu minta orang lain yang memanen dengan model bagi hasil. Enam puluh-empat puluh. Dari setiap yang dipanen dari pohon-pohon itu, kamu mendapat bagian enam puluh persennya. Dikali tiga atau empat pohon, terserah kamu. Tanpa perlu susah payah memanen, kamu bisa mendapatkan hasil lebih banyak dari orang mana pun di tempat ini."
Diwasa berpikir lagi. Kali ini lebih lama daripada yang pertama tadi. Saat akhirnya dia selesai berpikir, dia tidak langsung menyetujui. Dia masih mencoba tawar-menawar.
"Usul dan tawaran yang menarik," ujar Diwasa. "Tapi, aku baru mau menerima tawaran itu kalau kamu juga memberikan kue jingga itu untukku."
Ini menyebalkan. Diwasa ternyata bisa begitu serakah. Akan tetapi, tidak ada ruginya memberikan kue jingga itu pada Diwasa. Toh, Sindu sudah tidak membutuhkannya lagi. Dia tidak ingin terbang lagi.
"Oke, sepakat."
Cara pohon artha memperbanyak diri
Kalau Ciplukan teman Truna memperbanyak diri dengan biji, pohon artha punya cara lain. Di kelas empat, Sindu sudah mempelajari cara ini. Stek batang.
Sindu langsung menyampaikan kesepakatannya pada pohon artha. Diwasa setuju untuk tidak memetik dengan galah, karena itu pohon artha harus memperbanyak dirinya dan menambah tiga pohon lagi untuk Diwasa. Pohon artha setuju dan langsung melakukan kewajibannya.
Aksi memperbanyak diri itu segera berlangsung. Dimulai dengan suara berisik gesekan daun-daun dan ranting-ranting pohon artha, yang kemudian diikuti oleh jatuhnya tiga cabang seukuran ibu jari orang dewasa di dekat kaki Sindu. Panjang cabang-cabang itu hanya sekitar dua jengkal.
"Tancapkan cabang-cabang itu di tanah," perintah pohon artha setelah keributan kecil yang dia buat berhenti. "Pilih tanah yang paling subur agar cepat besar. Jangan saling berdekatan. Mereka akan butuh ruang tumbuh."
Sindu mengambil tiga ranting itu dan memberikannya pada Diwasa. Diwasa lebih paham bagian mana dari pekarangan ini yang tanahnya subur. Akhirnya, Diwasa menancapkan cabang-cabang itu di tiap sudut pekarangan.
Tidak lama setelah tertancap di tanah, pertumbuhan cabang itu dimulai. Dimulai dengan pertumbuhan tunas baru, pembesaran batang, hingga tumbuh rimbunan daun. Hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit hingga cabang-cabang itu berubah menjadi pohon setinggi orang dewasa, dan terus tumbuh. Tengah malam nanti, Sindu yakin pohon-pohon baru itu akan sama besar dengan pohon artha utama.
"Ini kuenya." Sindu menyerahkan syarat terakhir pada Diwasa.
Diwasa menerima kue itu sembali menyerahkan galahnya. Lalu, dia mulai mengunyah kue itu. Dia mengunyah sangat cepat. Sepertinya dia sudah tidak sabar merasakan menjadi burung.
Sindu bersalaman dengan Diwasa yang tubuhnya sudah mengambang beberapa centimeter dari tanah. Sindu segera pamit pada Diwasa sebelum laki-laki itu terbang tinggi.
"Sampai jumpa lagi," ujar Diwasa.
"Sampai jumpa," balas Sindu.
Kayu ketiga sudah terkumpul. Satu kayu lagi dan tugasnya akan selesai.
Di lantai kelima, Sindu akan bertemu dengan manusia jenis apa lagi? Atau tumbuhan apa lagi? Apa justru hewan?
Sindu tidak akan menemukan jawabannya hingga dia membuka pintu di lantai lima.
[bersambung]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top