BAB 8 - DIWASA
Pekarangan yang ada pohon anehnya
Sindu dan Oren meniti anak tangga ke lantai empat menara. Di puncak tangga, sebuah pintu sudah menunggu. Sindu penasaran ke mana lagi dia dan Oren akan dibawa sekarang.
Membuka pintu, Sindu dan Oren melangkah masuk. Kaki Sindu langsung menjejak tanah berumput begitu melewati ambang pintu. Dia pikir dia kembali ke kebun Truna. Ternyata salah. Kini, dia berada di pekarangan sebuah rumah yang tampak megah. Tinggi rumah itu hampir setinggi rumah penyihir, yang juga memiliki banyak jendela di setiap tingkat. Di kanan kiri rumah itu, ada rumah-rumah yang hampir sama. Hanya beda ketinggian saja.
Seperti biasa, Sindu mengamati sekeliling dulu. Dia mencari di mana letak kayu yang harus dia ambil. Sindu tak menemukan apa pun di pekarangan ini selain sebuah pohon tinggi yang berdaun sangat lebat. Pohon itu tidak seperti pohon apa pun yang pernah Sindu lihat. Dari pohon itu, menggantung buah-buah aneh. Buah berkilau dan berbetuk macam-macam. Ada yang bulat, kotak, segitiga, bahkan tak beraturan.
Mungkinkah kayu yang harus Sindu ambil ada di pohon itu? Tidak. Oren bilang kayu ketiga tidak ada di pohon itu, tetapi ada di dalam rumah.
Kalau begitu, berarti Sindu harus masuk ke rumah megah itu untuk mengambil kayu ketiga. Ternyata, tak perlu masuk ke rumah untuk mengambil kayu ketiga.
Tepat saat Sindu hendak melangkah ke arah rumah itu, seorang laki-laki muncul dari dalam rumah. Laki-laki itu mungkin seumuran Papa. Dia juga mengenakan pakaian seperti yang sering Papa pakai saat pergi ke kantor. Anehnya, alih-alih membawa tas seperti Papa, laki-laki itu malah membawa keranjang dan kayu yang sangat panjang.
Tanpa perlu diberitahu Oren pun, Sindu tahu kayu super panjang itulah kayu ketiga yang harus dia ambil.
Buah yang bisa meninggikan rumah
Sindu dan Oren langsung menghampiri laki-laki itu, yang kini sedang sibuk menjolok buah pohon aneh itu dengan kayu panjangnya yang dia fungsikan sebagai galah. Buah-buah yang jatuh dia tampung di keranjang. Dalam beberapa kali jolokan, banyak buah yang berjatuhan. Keranjang itu penuh dengan cepat.
Begitu keranjang penuh, laki-laki itu membawa masuk buah-buahnya ke dalam rumah. Tidak lupa, dia juga membawa galahnya masuk. Seolah dia tahu ada yang sedang menginginkan galah itu. Tak lama setelah si laki-laki menghilang ke dalam rumahnya, ada hal aneh yang terjadi dengan rumah besar itu. Tiba-tiba, rumah itu tampak meninggi. Sindu terpaku sesaat. Dia tidak akan pernah siap dengan semua keanehan ini.
Sindu dan Oren sudah hendak ikut masuk ke dalam rumah untuk menemui laki-laki itu ketika pemilik rumah muncul lagi di pekarangan. Dia masih mengenakan pakaian yang sama, membawa benda-benda yang sama, berjalan ke pohon yang sama, dan melakukan hal yang sama. Dia terus mengisi keranjangnya dengan buah berkilau itu hingga penuh. Ketika keranjang penuh, laki-laki itu bergegas membawa keranjang dan galahnya ke dalam rumah. Lalu, hal aneh terjadi lagi dengan rumah itu. Kali ini muncul beberapa jendela di dinding yang tadinya masih kosong.
Hal itu terjadi berulang, terus-menerus, sama sekali tidak memberi Sindu dan Oren kesempatan untuk menjelaskan maksud keberadaannya di sini. Bahkan, Sindu berpikir laki-laki itu tidak sadar ada bocah dua belas tahun dan seekor kucing berbulu jingga di pekarangannya.
Laki-laki itu sudah mengangkut buah-buah berkilau itu lebih dari sepuluh kali dan tinggi rumahnya sudah bertambah lebih dari setengah kali lipat saat Sindu memberanikan diri menyapa laki-laki itu.
"Hai."
Katanya, itu adalah buah bahagia
Satu sapaan itu mengubah beberapa hal. Berawal dari satu kata 'hai' itu, beberapa informasi tambahan Sindu dapatkan.
Pertama, laki-laki itu ternyata memang tidak sadar dengan keberadaan Sindu dan Oren. Dia terlalu fokus pada pekerjaannya. Dia sudah meminta maaf pada Sindu soal itu. Dia orang yang ramah dan baik.
Kedua, laki-laki itu memperkenalkan dirinya dengan nama Diwasa, setelah sebelumnya Sindu memperkenalkan diri terlebih dahulu. Namanya hanya Diwasa, satu kata itu saja. Tidak ada yang lain.
Ketiga, buah aneh yang dari tadi Diwasa petik adalah buah artha. Sindu belum pernah melihat atau pun merasakan buah itu. Untungnya, Diwasa menawari Sindu untuk mencoba buah itu sehingga dia tahu seperti apa rasanya. Kata Diwasa, buah itu sangat lezat dan bisa membuat orang bahagia. Nyatanya, rasa buah itu biasa saja. Nyaris hambar seperti jambu air. Sindu tidak terlalu suka dengan buah artha. Oren tidak suka buah-buahan, jadi dia tidak ikut mencoba.
Keempat, Diwasa tidak mengizinkan Sindu mengambil galah itu darinya. Galah itu adalah satu-satunya alat yang Diwasa punya untuk mengambil buah artha.
"Lihat dua tetanggaku itu," ujar Diwasa pada Sindu sambil menunjuk rumah-rumah di sisi kanan dan kiri rumah Diwasa. Diwasa sedang mengemukakan alasan kenapa dia tidak megizinkan Sindu mengambil galahnya. "Rumah mereka sudah hampir lebih tinggi daripada rumahku. Kalau aku berikan galah ini ke kalian, aku tidak akan bisa memanen buah artha lagi. Bisa-bisa, besok rumah mereka sudah jauh lebih tinggi daripada rumahku. Kalian tahu, kan, kalau buah itu yang membuat rumahku semakin tinggi dan besar? Aku tidak akan menyerahkan galah ini pada siapa pun."
Sindu mengiyakan. Dia berpura-pura paham, padahal dia bingung. Sementara itu, Oren mengeongkan kata iya dengan malas.
Sindu pikir, rumah Diwasa sudah sangat tinggi dan besar. Rumah itu pasti bisa digunakan untuk menampung puluhan orang sekaligus. Sindu benar-benar tidak paham kenapa dia ingin meninggikan dan memperbesar rumahnya lagi. Mau sebesar dan setinggi apa Diwasa menginginkan rumahnya? Memangnya bakal ada yang mengisi setiap ruangan dari rumah itu?
Sindu memandang Oren. Sepertinya mereka terbentur jalan buntu.
"Coba keluarkan kue-kuemu," perintah Oren. "Siapa tahu ada yang bisa kita gunakan di sini."
Benar juga. Di dua lantai sebelumnya, kue-kue itu selalu berhasil membantunya.
Sindu segera mengeluarkan kue-kuenya. Hanya tinggal enam keping saja dari empat warna yang berbeda. Masing-masing satu keping untuk kue yang ada di daftar Nenek Wilis, kue biru dan cokelat. Dua warna yang lain adalah yang asal Sindu ambil di lantai dasar menara, jingga dan putih, masing-masing satu keping. Oren sudah mengatakan kegunaan kue jingga dan biru di kebun Truna tadi. Untuk dua warna yang lain, Sindu tidak tahu.
"Kue cokelat untuk memberikan perasaan damai," jawab Oren ketika Sindu bertanya tentang kegunaan kue cokelat dan putih. "Yang putih bisa menyembuhkan penyakit apa pun."
Kue cokelat dan putih sepertinya tidak bisa digunakan di sini. Mungkin sudah saatnya Sindu memakan kue berwarna biru. Siapa tahu, setelah dia memakan kue itu, dia akan mendapat ide brilian untuk mendapatkan galah Diwasa. Oren setuju dengan ide itu.
Tanpa ragu sedikit pun, Sindu menggigit kue biru itu. Aromanya wangi seperti bunga, tetapi rasanya manis dan sedikit asin. Sindu lebih menyukai rasa kue-kue yang sudah dia makan sebelumnya daripada kue biru ini, tentu saja kecuali kue hitam.
Kue biru habis Sindutelan. Dia menunggu beberapa saat agar kue itu bereaksi di tubuhnya danberharap ide brilian akan segera datang.
[bersambung]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top